Write. Anywhere. Anytime.

Jumat, 27 Desember 2013

Dear Father...


I'm pretty fed up with my father. Long story short, he's not a very good father. He didnt even believe in my passion at all. Sometimes, I wanna get away from him. I know I can move out, but i cant stop wishing if I had a different father, an uncle, or whatever - someone who can treat me like a son, and support what I want to do.

I was physically and emotionally disappointed by my father. As far as I remember, he never care for me , accept me , initiate conversation and give me attention . I hate being lonely. He was never there whenever I need a shoulder to cry on. The day when I was young, he always left me cry in loneliness.

The most important, he never know what I really needed. He always treat me like a stranger, never gave me support for what I did. He's become the reason why I hate another part of myself, the reason why I wanna go out there, the reason why I dont wanna stay here anylonger. I hate when he tried to domimate something that he doesn't understand or shortly -- know me.

I just want to be happy like another. Want to feel like I'm an importance person no matter what happens. Want him to love me even if I walked in the wrong path. I just want to feel the warmth of an embrace.

Back then again when I was teen, he wants me to succeed. But he never had the time to understand my feelings. He never cared what I planned for. Instead, he never really cared for my happiness. I'm still like a stranger in his eyes.

Kamis, 26 Desember 2013

Sebelum Pergi


Semuanya masih terasa sama ketika seulas kata itu terucap dari mulutku.

Bunda hanya bergeming, sedikit pun tak ingin memberi komentar mengenai kalimat yang kusampaikan barusan. Pandangannya kosong, melesat jauh ke arah pepohonan jambu air di halaman rumahku. Angin di luar sana menyapu beberapa helai rambutnya. Tapi dia tak hiraukan. Dia lebih memilih untuk mengunci bibirnya rapat-rapat sambil menahan air mata.

Sesaat kemudian, aku merasa bersalah. Aku benar-benar berdosa karena telah membuatnya terluka. Bahkan, aku selalu mengecewakannya dengan cara seperti ini. Mengungkapkan sesuatu yang tidak ingin dia dengar, hanya untuk melihatnya menjatuhkan air mata.

Peristiwa seperti ini mengingatkanku lagi pada satu tahun yang lalu. Aku baru saja resign dari pekerjaanku waktu itu. Mengundurkan diri lantaran lelah bekerja di bawah tekanan. Dan setelah itu, aku terpikir untuk pergi, berniat melanjutkan hidup dengan cara yang lebih baik lagi. Aku sudah bertekad meninggalkan kota ini.

Tapi saat itu, aku tak menerima apa-apa selain penolakan. Baik Papa maupun Bunda sama-sama tidak memberi izin. Mereka berpikir, akan lebih baik jika aku tetap tinggal di sini sampai tua nanti. Tidak perlu pergi ke mana-mana kalau memang ingin melanjutkan hidup.

Aku memberontak, menyangkal pendapat Papa dengan sejumlah alasan yang meyakinkan. Aku terus berkelakar mengenai apa yang akan kuterima di sana nanti. Sampai pada akhirnya, Bunda mengambil jalan tengah dan mengakhiri perdebatan di antara kami. Dia menangis. Dan satu-satunya orang yang membuatnya menangis adalah aku.

Bunda memang selalu seperti itu. Dari luar, dia tampak begitu tegar. Tapi dia begitu sensitif untuk urusan yang menyangkut perpisahan. Dia tidak pernah sanggup membiarkan satu pun dari kami pergi meninggalkannya. Pernah waktu itu dia menangis sepanjang malam karena tidak sampai hati melepas kepergian Kakakku ke Yogyakarta. Dia masih dapat tersenyum, meskipun matanya terlihat keruh.

Dan hari ini, semuanya terjadi lagi. Aku kembali membuatnya terluka dengan cara yang sama, dengan tujuan yang sama. Bunda tetap tak mau bicara ataupun memberi keputusan. Sama halnya dengan Papa. Mereka masih bungkam, seolah-olah tak mau memberiku kesempatam untuk bahagia.

Minggu, 22 Desember 2013

Kenangan

Dia pernah membangunkan saya di waktu subuh. Hanya untuk mengabarkan bahwa dia rindu dan ingin sekali bercakap-cakap denganku. Dan anehnya, aku sama sekali tidak terganggu. Mataku terbelalak sempurma setiap kali aku membaca pesan darinya..

Aku terjaga. Dan kami masih bercerita.

Pada saat yang sama, adzan subuh mulai terdengar di udara. Kami belum mau menyudahi segalanya. Terus berbicara dan bertukar pikiran sampai kami sepakat untuk menyudahinya.

Dan saat aku menua nanti, aku tak ingin kenangan seperti ini melapuk. Aku ingin terus mengingat dan menjaganya di dalam sanubari. Meskipun aku tahu, kita takkan pernah bisa untuk saling memiliki.

Jumat, 13 Desember 2013

Fragile Heart


Setahun yang lalu, segalanya masih belum serumit ini. Aku masih dapat menikmati gejolak perasaan menyenangkan setiap hari, tersenyum di depan cermin seorang diri, bahkan menulis kata-kata indah di setiap halaman buku binder-ku. Semuanya terasa indah pada saat itu.

Aku mengenalnya sudah cukup lama. Lewat cara konvensional di social media - Twitter - aku dan dirinya sering bertutur sapa. Sekadar bersinggungan mengenai twit-twit yang lucu, berperang sajak, bahkan tak jarang kami berbincang di Direct Message. Dan ya, aku amat bahagia dapat berkenalan dengannya. Aku sudah menganggap dirinya sebagai kembaranku sendiri.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan tak terasa kami berjumpa dengan bulan April. Ketika itulah segalanya mulai berubah secara perlahan. Aku mulai sering mengiriminya ucapan selamat pagi, mengucapkan selamat tidur sebelum kami bermimpi, dan tentu - aku sering menuliskannya puisi. Aku bahkan tak ragu-ragu meminta nomor ponselnya pada waktu itu.

Bertukar nomor ponsel seolah menjadi jembatan bagi kami berdua. Kami sering terjebak dalam pesan singkat yang berisi lelucon konyol dan ledekan garing. Aku juga kerap mengabarkannya setiap kali aku menulis. Entah mengapa aku mau melakukannya, aku sendiri tidak tahu. Yang kutahu, setiap kali berbicara dengannya, darahku berdesir hangat seolah dialiri gelombang semangat tak tanpa batas. Dan aku amat menikmatinya.

Tapi sayangnya, waktu bergulir begitu cepat bagai desingan peluru. Semakin banyak biaya yang kami habiskan untuk percakapan di dunia maya, semakin besar pula bahagia itu tercipta. Dan secara tidak langsung, aku tersadar bahwa aku telah jatuh cinta. Lebih tepatnya, aku telanjur suka. Teramat suka pada sosoknya yang menyenangkan, yang tenang, yang selalu membuatku kangen setiap waktu.

Aku menikmati setiap bulir kebahagiaan itu mengisi kepalaku sepanjang hari. Dan selagi aku terjebak dalam lembah yang dipenuhi warna-warni cinta, aku juga sering dihujani rasa cemburu yang tak beralasan. Aku sering menangis karena rindu terhadap dirinya yang sering menghilang. Bahkan, aku pernah merasakan hal-hal seperti itu selama berbulan-bulan sampai aku tak dapat lagi berpikir secara normal. Akal sehatku seolah-olah mendadak lumpuh.

Hingga pada hari ini, sesuatu yang tak pernah kuharapkan benar-benar terjadi.

Aku tidak tahu apa penyebab sebenarnya. Karena sejak dua hari kemarin, semuanya masih terlihat baik-baik saja. Aku masih menjalin komunikasi dengannya via pesan singkat. Mengiriminya puisi dan bercakap-cakap barang sejenak. Tapi entah kenapa, sewaktu aku hendak membuka akun Twitter-ku, aku melihat satu keganjilan yang membuatku berpikir; ada yang tidak beres dengan jumlah followers-ku.

Aku tahu, ini masalah yang sepele dan sangat wajar. Namun yang tak kumengerti adalah, seseorang yang tidak berada di sana adalah namanya. Selama sejenak, perutku terasa mulas selagi jantungku berdegup kencang. Kepalaku mulai dihujani sejumlah tanda tanya dan spekulasi burukmyang tak kuketahui dari mana datangnya.

Meraih ponselku, dan mencoba menghubunginya. Sekadar bertanya mengenai alasan atau penjelasan singkat sehingga dia melakukan hal seperti itu. Setelah cukup lama menunggu, dia pun menanggapinya dengan satu kalimat yang berisi kata 'maaf'. Aku tidak mengerti kenapa dia harus minta maaf. Karena bagiku, followers are just a number. Aku bahkan tidak peduli seberapa banyak jumlah followers di akun Twitter-ku.

Sampai pada akhirnya, dia menjelaskan alasannya serinci mungkin. Ada sesuatu yang membuatnya harus menjauh, haris menjaga jarak dariku. Dan langkah kecil itu tentu saja dimulai dari social media. Aku berpikir, kenapa sih harus ada drama follow-unfollow-block-unblock di social media? Kenapa??? Itu semua terlalu kekanak-kanakkan!

Dia juga berkata padaku tentang sesuatu yang sulit sekali untuk kuterima. Maksudku, aku sudah berjanji untuk memaklumi apa pun alasannya. Tapi apa yang dia ucapkan begitu -- begitu ganjil dan tidak masuk akal. Aku tidak mengerti. Yang pasti, pada saat itu aku mengungkapkan apa yang telah kusimpan selama ini terhadapnya. Biar saja! Biar dia menyadari semuanya.

Tapi kemudian, tampaknya aku harus menelan kecewa. Semua upayaku tak membawa perubahan. Dia lebih memilih untuk pergi, sementara aku tidak berhak untuk menahannya. Karena akan lebih sakit jika kubiarkan dia bertahan lebih lama. Jadi, mau tidak mau aku mengikhlaskan pilihannya.

Aku sadar, semua orang memang berhak memilih siapa yang hendak dia jadikan sebagai sahabat ataupun teman hidup. Seperti apa pun keputusannya, tidak seorang pun yang pantas untuk melarang.

Saat menulis kisah ini, aku memang merasakan sakit hati yang teramat dalam. Kecewa sekaligus bercampur putus asa. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menanam benci, sekalipun dia berkata bahwa aku pantas untuk membencinya. Aku tidak mau. Kebencian tidak akan membuahkan apa pun selain kebencian itu sendiri.

Dan jika suatu hari nanti kamu membaca tulisan ini, aku ingin kamu tahu bahwa aku masih tetap sama. Sedikit pun tak akan pernah lupa pada seluruh masa lalu kita - meskipun kini ia telah berakhir.

*teruntuk inisial H.A

Kamis, 05 Desember 2013

Reason


Pada suatu hari, aku sangat berharap keajaiban itu dapat terjadi. Di mana kamu menyapaku dengan penuh semangat, lalu meyakinkanku bahwa kamu rindu. Aku pun selalu berharap kamu mengungkapkan satu hal yang lucu. Kamu akan bilang, komunikasi kita terganggu karena sesuatu yang sangat sepele. Beberapa di antaranya karena kesibukanmu yang menumpuk, tidak tersedianya waktu untuk menengok ponsel, atau barangkali kartu prabayarmu belum di-top up. Setidaknya alasan-alasan seperti itu masih dapat kumaklumi.

Tapi, apa pun alasan yang akan kudengar pada suatu hari nanti, aku akan tetap memercayainya. Percayalah...

Jumat, 22 November 2013

The Test


Hari itu, matahari seakan-akan berada di atas kepala. Hawa panas yang bercampur dengan pengap asap kendaraan semakin membuatku merasa gerah. Jalan Jenderal Sudirman selalu seperti ini di siang hari. Aneka kendaraan roda dua dan roda empat memenuhi setiap ruas jalan.

Aku berangkat dari rumah pukul sembilan pagi. Sengaja minta diantar oleh Dad dengan alasan ingin menjenguk temanku yang sedang dirawat di rumah sakit. Padahal, kalau saja Dad tahu, aku punya tujuan yang lebih penting daripada itu.

Semuanya berawal ketika aku membaca beberapa artikel di internet mengenai gejala pengidap HIV-AIDS. Aku sama sekali tidak berniat untuk mencari tahu tentang hal itu sebelumnya. Tapi berhubung aku ingin menulis cerita terbaru yang ada kaitannya dengan penyakit itu, aku pun mulai mengumpulkan informasi lewat mesin pencaharian; google.

Singkat cerita, ketika aku tersadar betapa pentingnya pemeriksaan HIV-AIDS, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengunjungi rumah sakit terdekat. Sedikit pun tidak memikirkan apa yang akan terjadi jika aku mengetahui hasilnya tidak sesuai seperti yang kuharapkan. Tapi, we never know until we try. Selalu begitu, kan?

Menjejakkan kaki di sepanjang koridor rumah sakit, aroma obat-obatan dan cairan kimia mulai memenuhi penciumanku. Setiap sudut ruangan yang dikerumuni para pembesuk terlihat begitu mencekam. Hanya dingin, selalu diselimuti kesedihan. Kehadiran pohon ketapang yang tumbuh di tengah-tengah taman pun tidak menghantar suasana nyaman. Seolah-olah ada pesan kematian yang akan muncul di setiap waktu.

Sesampainya aku di Poli Melati, sepi itu menyambutku kembali. Aku tidak melihat kehadiran satu orang pun selain suster yang sibuk berlalu-lalang dan para pengunjung dengan muka masam. Tidak tampak senyum bahagia di wajah mereka. Kalaupun ada, mungkin senyum itu hanya terpancar dari anak kecil yang sedang bersama mereka. Betapa pun bocah itu tidak mengerti tentang apa-apa.

Cukup lama aku duduk seorang diri di Poli Melati. Dokter yang memiliki janji denganku tak kunjung muncul. Dan untuk mengisi kejenuhan yang meruap di dalam ruangan itu, aku tidak punya pilihan selain mengutak-atik gadget kesayanganku. Subway Surfer, Temple Run 2, Angry Birds Season selalu dimain secara bergantian. Sesekali, kala aku merasa bosan dengan permainan-permainan itu, aku beranjak dari duduk dan melihat-lihat isi lemari. Sejumlah obat - pil dan kapsul - terpajang rapi beserta catatannya, satu set suntik yang masih disegel, alat kontrasepsi untuk wanita dan pria, brosur-brosur penyuluhan, dan masih banyak lagi benda-benda yang tidak kuketahui apa fungsinya.

Aku sedang mengintip keluar jendela saat mendengar pintu berderit dan menyaksikan seorang wanita berkerudung biru tersenyum kepadaku. Bu Vivi namanya. Tadinya aku berpikir, dia adalah seorang perawat yang biasa keluar-masuk di Poli itu. Ternyata perkiraanku salah. Bu Vivilah yang akan mewawancaraiku sesaat lagi. Bukan dokter Fauzan Muhammad, seperti yang kubayangkan.

Bersamaan dengan hal itu, Bu Vivi lekas mempersilakan duduk di sofa. Aku sempat merasa takut selama beberapa saat. Terlebih ketika aku harus memaparkan sejumlah pengakuan kepada orang yang belum pernah kukenal sebelumnya. Tapi, Bu Vibi berpesan agar aku terbuka saja. Segala yang kututurkan akan tetap menjadi rahasia di antara kami berdua. Dan aku percaya.

Sesi tanya jawab itu terlewati dengan sempurna. Aku selalu menjawab dengan baik setiap pertanyaan yang dia ajukan. Tidak ada rasa takut sedikit pun untuk membeberkan segala fakta yang berkaitan dengan masa laluku. Bahkan, Bu Vivi mendengarkannya dengan saksama, lalu memberikan pengarahan dan nasihat yang tidak terkesan menggurui.

Begitu sesi tanya jawab itu berakhir, Bu Vivi beranjak berdiri dan langsung menuju lemari yang terletak di sudut ruangan itu. Sebuah suntik kini berada di genggamannya. Aku sudah tahu, pasti dia akan segera mengambil darahku untuk dilakukan pemeriksaan. Oleh karena itulah, aku memohon padanya untuk menggunakan cara alternatif seperti tes melalui air liur atau cara apa pun asalkan tidak disuntik. Terus terang, aku bukan penyuka jarum suntik!
Sembari menggelengkan kepalanya, dia berkata padaku bahwa cuma itu satu-satunya cara yang paling akurat. Karena darah yang diambil, akan diperiksa melalui tiga tahap di laboratorium rumah sakit. Mau tidak mau, aku pun mengiyakan penuturannya.

Aku lebih banyak diam selama proses pengambilan darah berlangsung. Sedikit pun tidak berkehendak menatap jarum suntik sialan itu menghunus ke dalam kulitku sampai ia benar-benar mengisap sepersekian mili darahku ke dalam tabungnya. Benar-benar cara yang kejam! Dan sesaat sebelum Bu Vivi benar-benar pergi ke laboratorium, dia menutupi lipatan lengan kiriku dengan sebuah kapas yang telah dibasahi dengan cairan alkohol. Kemudian berpesan bahwa dia akan kembali menemuiku sesaat lagi.

Lima belas menit telah berlalu. Kebosanan tak henti-hentinya menghinggapi isi kepalaku. Tak hanya itu, suasana di dalam ruangan pun seketika berubah mencekam. Aku takut saat Bu Vivi muncul di hadapanku, dia memberitahukan sebuah kabar yang tidak ingin kudengar. Semua ketakutan itu semakin bertambah parah ketika aku teringat nama-nama orang yang tercantum di daftar Follow Up Pasien, di mana beberapa di antara mereka ada yang telah meninggal dunia dalam waktu dua minggu terakhir. Tapi, aku berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu sejauh mungkin. Aku terus menenangkan pikiranku dengan membaca ayat Al-Ikhlas sebanyak 10 kali dan berdoa agar aku diberikan kekuatan yang cukup.

Selang beberapa menit, pintu kaca itu kembali berderik. Bu Vivi benar-benar menepati janjinya untuk kembali. Dia duduk di hadapanku dengan wajah yang sulit sekali untuk ditebak. Bertanya dengan lirih apakah bekas suntiknya sudah hilang? Dan pertanyaan itu hanya mampu kujawab dengan sebuah anggukan. Rasanya aku hilang kemampuan untuk bicara sebelum mendengar keputusan akhir dari Bu Vivi.

Seakan mengerti dengan keadaanku yang sedang harap-harap cemas, saat itu juga Bu Vivi menyampaikan sesuatu yang mengejutkan. Tidak ditemukan virus berbahaya jenis apa pun di dalam darahku. Kondisi CD4-ku pun tidak mengalami penurunan. Itu berarti, aku dinyatakan HIV Negatif!

Entah apa yang terjadi pada diriku pada saat itu, aku tidak tahu persis. Yang pasti, aku tidak mampu berbicara banyak. Ingin sekali rasanya aku berteriak, menangis, tertawa, bahkan sujud di hadapan Bu Vivi pada detik itu juga. Tapi aku tahu, itu hal yang berlebihan. Dan satu-satunya hal yang  dapat kulakukan saat itu adalah berterima kasih sebesar-besarnya. Kepada Tuhan, kepada Bu Vivi, kepada jarum suntik, kepada lemari, kepada rerumputan di tamah rumah sakit, kepada pohon ketapang yang mengirim aroma mistik, aku berterima kasih. Segala yang kuterima pada hari itu tidak dapat terbayarkan dengan materi jenis apa pun. Dan saat itu pula, aku berjanji untuk menjaga diriku dari perbuatan-perbuatan hina seperti yang pernah kulakukan di waktu dulu.

Wednesday, 20 November 2013

Minggu, 10 November 2013

Kangen

Seringkali, aku mengulang segala kenangan tentangmu. Membaca satu demi satu percakapan kita yang terdahulu, memandangi potret wajahmu, dan hal apa pun yang kerap membuatku merindu..

Dalam hati aku terus bertanya, masih adakah sebongkah kangen itu? Masih adakah namaku di relung hatimu?

Dan jika kau menanyakan hal itu kepadaku, mungkin kau sudah tahu jawabannya.. Iya. Aku rindu! Teramat rindu sampai-sampai aku tidak mampu berpikir dengan baik lagi.

Minggu, 03 November 2013

Trouble

Pernah aku berpikir untuk melupakanmu.
Mengenyahkan segala kenangan tentangmu dari dalam kepala.
Tapi, aku tidak pernah tahu bagaimana caraku melakukannya.
Selain itu, aku pun tidak yakin jika tindakan itu sepenuhnya membantu

Jumat, 25 Oktober 2013

Why I Don't Wanna Be an Employee


Siang itu, orangtua saya kedatangan seorang tamu dari jauh. Saya tidak tahu siapa orang itu. Yang saya tahu, mereka terus berbincang-bincang di ruang tamu. Dimulai dari menanyakan kabar satu sama lain, bagaimana kondisi anak-anak, sampai yang menyangkut kehidupan pribadi anak-cucu masing-masing. Saya sendiri sempat mendengar dia menanyakan bagaimana kabar saya. Dan orangtua saya hanya bilang kalau saya jobless dan nggak punya kesibukan apa-apa.

Sontak saya terenyuh. Terkejut sekaligus tidak mengerti bagaimana kalimat itu bisa meluncur dari mulut kedua orangtua saya.

Di dalam kamar, saya masih terdiam. Saya duduk termenung di hadapan laptop yang menampilkan revisi naskah saya sambil merenungi kalimat barusan. Mata saya terasa memanas. Saya pengin menitikkan air mata. Tapi saya tidak mau menunjukkan kesedihan. Saya sudah berjanji untuk tidak menangisi hal-hal yang terdengar sepele.

Namun, saya masih nggak pernah mengerti mengapa orang-orang selalu menganggap sebuah pekerjaan adalah keharusan. Sesuatu yang dinilai komersil dan memiliki nilai jual. Mereka bilang, nggak punya pekerjaan nggak akan bisa hidup. Jujur, saya sendiri pernah berpikir demikian. Tapi itu dulu banget. Saat saya masih memiliki ambisi untuk meneruskan hidup dengan cara yang normal.

Tapi kenyataannya, saya hidup di dunia yang tidak normal. And I’m not normal actually...

Sejauh ini saya justru merasa nyaman dengan kesibukan saya sebagai seorang tenaga pengajar lepas dan seorang penulis – sekalipun itu belum mendapat pengakuan secara luas. Tapi, apakah sebuah pengakuan menjadi nilai tolak ukur yang mutlak? Dan, apakah uang menjadi satu-satunya simbol bahwa orang tersebut memiliki pekerjaan?

Saya tekankan sekali lagi bahwa itu tidak benar. Saya sendiri tidak beranggapan demikian. Bagi saya, pekerjaan adalah sesuatu yang harus dikerjakan berdasarkan sebuah tuntutan. Sementara, profesi adalah sesuatu yang telah dipilih oleh seseorang dengan alasan kecintaan dan keikhlasan. Begitu pula anggapan saya terhadap kesibukan yang saya tekuni sampai pada saat ini. Terus terang, uang adalah urusan yang kesekian. Yang terpenting adalah selama saya cinta terhadap apa yang lakukan, itulah profesi saya yang sesungguhnya.

Saya sudah pernah merasa hidup di bawah tekanan sebuah institusi yang mengharuskan saya bangun pukul tujuh pagi, bersiap-siap kerja dari jam sembilan sampai pukul sepuluh. Dua belas jam dalam sehari, tujuh puluh dua jam dalam seminggu. Terkadang lembur saat akhir pekan. Bayangkan  ketika saya melakukan aktivitas yang hanya itu-itu saja di dalam lingkaran yang teramat membosankan. Sedikit membuat kekeliruan, surat peringatan pun melayang. Begitu menjenuhkan hingga akhirnya saya mengambil keputusan untuk resign dan kembali untuk menulis.

Di pekerjaan saya yang sekarang, memang masih ada sistem yang seperti saya bilang barusan. Bangun pagi, mandi, mengajar dari jam sekian sampai jam sekian, menulis dari jam sekian sampai jam sekian. Tapi terus terang, siklus tersebut diciptakan oleh saya sendiri. Andaipun saya melanggarnya, saya harus menerima konsekuensi dari saya pribadi. Bukan dari orang lain.

Dan saya merasa nyaman dengan aktivitas tersebut.

Yang saya tidak habis pikir, entah kenapa kalimat seperti itu tercetus dari mulut orangtua saya? Saya pernah berangan-angan, suatu hari nanti mereka bersedua menuturkan sesuatu di hadapan teman-temannya bahwa saya seorang penulis, dengan bangganya pula menyatakan bahwa saya tidak bekerja pada suatu perusahaan ternama yang memberi saya upah per bulan. 

Saya pun sangat berharap orang-orang dapat memahami maksud dan tujuan kehidupan saya. Saya sengaja berkarya karena ingin berbagi, bukan untuk mencari uang. Dan saya senang dengan apa yang saya lakukan sekarang.
Rabu, 16 Oktober 2013

Buyung yang Malang

Siang itu, hujan datang tanpa diundang. Langit berubah gelap diselimuti kubangan awan mendung. Padahal, sejak tadi pagi matahari bersinar cerah. Hal itu seolah meyakinkan bahwa sepanjang hari tidak akan turun hujan.

Buyung sedang berada di ruang tengah. Berkutat di hadapan buku dan alat tulis sambil mengerjakan PR. Matematika menjadi satu-satunya pelajaran yang ia takutkan. Ia tak pernah menyukai rumus atau teka-teki yang terdapat pada soal cerita. Ia lebih baik membaca, menghafal, atau bahkan menulis karangan sebanyak dua halaman.

Dan sejak naik ke kelas empat, Buyung sudah terbiasa mengerjakan segalanya sendirian. Ayahnya bekerja sebagai petani. Ibunya hanya seorang buruh cuci. Ia juga tak pernah meminta bantuan pada kedua kakaknya karena ia tak ingin merepotkan mereka. Mengerjakan PR saat sepulang sekolah, istirahat di kala siang, mengulangi pelajarannya di kala malam. Begitulah aktivitas Buyung sehari-hari.

Mendengar deru hujan yang menimpa atap rumah mereka, ibu Buyung yang sedang berada di kamar mandi bergegas berlari untuk mengangkat jemuran. Cuciannya ditinggalkan sementara. Buyung yang sejak tadi sibuk menghitung pun ikut berlari. Ia menyusul ibunya keluar dan hendak memberikan bantuan. Saat itu, Buyung masih berusia sembilan tahun. Badannya ceking, tangannya pun agak ringkih. Jadi, wajar saja kalau ia tidak bisa segesit ibunya dalam bergerak.

"Duh!! Kalau kayak gini kan jadi memperlambat kerjaan Ibu!" Ibunya menggertak saat melihat pakaian-pakaian setengah basah itu terlepas dari pelukan si Buyung.
Buyung mencoba berkata, "Tapi, Bu - "
"Sudah, kamu masuk ke dalam! Bukannya membantu malah bikin repot!" Ibunya marah-marah.

Alih-alih bersikeras untuk membantu, Buyung yang merasa patah hati pun segera berganjak pergi dan masuk ke dalam rumah. Kakinya yang penuh debu tak menghalangi niatnya untuk segera naik ke atas dipan rongsok.

Buyung membenamkan wajahnya pada bantal yang bersarung kain batik lusuh itu. Menjatuhkan air mata sambil menahan sesenggukan yang bercampur dengan aroma tengik dari bantalnya. Ia tak peduli. Ia sudah telanjur sakit hati. Sebagai seorang anak, ia merasa begitu kerdil dan tak berguna di hadapan orangtuanya.

Pernah suatu hari, saat sepulang sekolah, Buyung menyaksikan sesuatu yang begitu mengiris-iris pembuluh nadinya. Dia melihat teman sekelasnya, sedang duduk di atas motor bebek bersama ayahnya. Menyantap es lilin dengan lahap karena terik matahari yang amat menyengat. Sementara, Bayu yang berjalan sendirian hanya dapat menikmati pemandangan itu dengan tatapan nanar. Debu yang beterbangan membuat pikirannya terlempar pada ayah dan ibu di rumah. Dia bergeming di dalam hati, jangankan untuk makan es lilin, pulang bersama orangtua pun aku tak pernah.

Buyung tahu, kedua orangtuanya sibuk bekerja. Sepanjang hari selalu dihabiskan untuk mencari uang. Pontang-panting tak kenal waktu, baik siang maupun malam. Buyung sadar kondisi keuangan yang dialami keluarganya. Oleh karena itulah, Buyung tak pernah merengek untuk membeli makanan. Paling banter, Buyung hanya meminta sebuah sepatu lantaran sepatu yang lama sudah jebol akibat tak pernah diganti sejak duduk di kelas satu. Itu pun karena Buyung memakai sepatu bekas milik kakaknya yang masih layak.

Buyung selalu menyayangi kedua orangtuanya sekalipun ia berada dalam keluarga yang serbasederhana. Terutama pada ibunya yang semakin hari semakin tua. Kadang, Buyung selalu mendapati ibunya jatuh sakit. Ia tahu, ibunya menderita TBC. Dan gejala yang demikian selalu muncul kalau kondisi tubuh seseorang terlalu lelah. Oleh sebab itulah, Bayu merasa wajib melindungi ibunya dalam situasi macam apa pun.

Sewaktu tangis itu mulai berangsur reda, Bayu berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Kalau bisa, aku rela memberikan nyawaku untuk ibu. Agar ia dapat melanjutkan hidup tanpa perlu terbebani oleh penyakitnya."

Jumat, 11 Oktober 2013

Suara Hati




Aku masih mengingat dengan jelas segala hal yang kita bicarakan dalam percakapan panjang pada malam itu. Kamu dengan suaramu yang selalu rendah, sesekali diiringi gelak tawa yang renyah, dan letupan gairah untuk saling berbagi kisah. Sementara aku, yang terkadang terlalu ceroboh dan tidak bisa mengontrol diri untuk menanggapi pertanyaanmu dengan bahasa yang tepat.

Kamu bertanya padaku dalam kalimat yang sulit kupahami...

Kenapa kamu begitu ingin bertemu denganku?  

Aku sempat terdiam selama beberapa saat sebelum aku memutuskan untuk sebuah jawaban. Ketika itu aku hanya menjawab, karena aku ingin bercerita denganmu lebih banyak dari biasanya. Tapi kamu hanya melepaskan tawa, tawa yang selalu membuatku merindu. Dan aku tidak mengerti apa maksud dari tawamu itu. Tidak terpikir pula untuk menanyakan mengapa kamu menertawaiku?

Yang kutahu saat itu, kita kembali melanjutkan percakapan. Fokus kepada satu topik pembicaraan, lalu tertawa, sampai kita tidak tahu harus memperbincangkan apa. Tapi entah kenapa, aku selalu menikmati saat-saat seperti itu. Tidak pernah merasa nyaman berada dalam kulitku sendiri ketika aku bersamamu, meskipun hanya lewat cara yang semu.

Kau dan aku mungkin sama-sama mengetahui bahwa tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat memahami prinsip kerja waktu. Baik itu untuk urusan jodoh, perjumpaan, ataupun perpisahan. Oleh karena itulah, aku merasa patut mengungkapkan jawaban atas pertanyaanmu waktu itu.

Aku ingin bertemu denganmu karena aku harus menemuimu. Aku ingin mempergunakan kesempatan itu selagi aku masih bernyawa dan masih sanggup bernapas dalam suka maupun duka. Karena kita tidak pernah tahu kapan seseorang akan pergi, sehingga tidak ada cara baginya untuk kembali. Dan aku ingin memandangi matamu, menggenggam tanganmu, menikmati tawamu, merengkuh hangatmu, tanpa memedulikan seperti apa dirimu yang sebenarnya. Dan aku tidak peduli jika suatu hari nanti kita harus jatuh cinta atau terluka. Aku hanya ingin – merasakan kehadiranmu lewat cara yang nyata. 

Terdengar sedikit sinting, bukan? Tapi beginilah jawaban yang bisa kusampaikan. 

Aku harap kamu dapat memahaminya...
Jumat, 04 Oktober 2013

Curahan Hati Sang Pengajar

“Bahkan, lima belas menit pun terasa begitu lama saat kau menghadapi hal tersulit dalam hidupmu...”

Dua minggu yang lalu, saya diperkenalkan seorang bocah perempuan berusia 5 tahun oleh tetangga saya. Atas perkenalan itu, dia mengajukan permintaan agar saya bersedia mendidik sekaligus mengajarnya. Atau dengan kata lain, menjadi guru privatnya.

Pada dasarnya, saya sama sekali tidak merasa keberatan. Saya sangat senang begitu tahu saya akan mendapati kesibukan baru, selain menulis. Di samping itu pun, saya sudah cukup mengenal anak perempuan itu sebagai bocah yang aktif. Sehingga saya berpikir, tentulah tidak akan sulit dalam mendidiknya.

Satu-dua hari masih berjalan dengan lancar, meskipun sempat saya temui kesulitan saat kami berada dalam proses belajar-mengajar. Dan saya rasa, hal kecil seperti itu mungkin tidak akan berpotensi menjadi sesuatu yang tidak saya inginkan.

Namun ternyata, saya salah.

Hari kelima proses belajar-mengajar, murid tersebut mulai menunjukkan tanda-tanda kemalasan. Gejala bosan atau tertekan, saya kurang tahu. Yang saya tahu hanyalah; saya harus mendidiknya dengan cara yang sedikit berbeda, lebih menyenangkan dari biasanya.

Maka, saya lakukan saja apa yang berada di dalam benak saya. Saya ajarkan dia sesuatu yang tidak terkesan menjenuhkan, saya ajak dia menggambar seusai belajar menulis tegak bersambung, saya ajak dia menyantap camilan seusai belajar berhitung. Tapi, kelihatannya usaha saya tidak berjalan mulus. Si murid kembali menunjukkan gejala yang sama.

Saya heran! Padahal sepengetahuan saya, dia terbilang siswi yang pandai. Dia tidak bodoh, hanya saja dia agak malas. Kalau kata orang-orang, anaknya ogahan. Proses belajar-mengajar pun menjadi sangat melelahkan walau hanya satu jam. Bahkan, lima belas menit pun terasa begitu lama buat saya.

Hari ini, dia datang lagi, menunjukkan gejala yang sama lagi. Dan saya enggan. Satu jam saya habiskan dalam diam. Saya biarkan saja dia berkutat dengan peralatan masaknya, lalu saya berpamitan pulang kepada orangtuanya. 

Saya bilang, “pelajaran hari ini sangat menyenangkan!”
Kamis, 19 September 2013

Dear Old Friend

Kepada Sahabat lama di mana pun kau berada...

Aku ingin menyampaikan sejumput prakata terkait perkara yang sedang kamu alami saat ini. Tentang sebuah masalah yang tak kunjung bisa terselesaikan dengan gampang.

Aku meminta maaf kepadamu, Sahabat. Karena, hanya ini yang bisa aku berikan. Hanya wejangan-wejangan sederhana yang aku hadiahkan kepadamu. Tidak ada maksud yang lain, aku cuma berpikir kalau aku perlu melakukannya. Menuntunmu menapaki langkah ke sebuah jalan untuk satu kebahagiaan. Meskipun aku tidak pernah tahu kebahagiaan macam apa yang kamu inginkan.

Dan, aku juga meminta maaf jika petuah-petuah yang kusampaikan tidak mendatangkan guna yang seharusnya. Aku hanya merasa kamu pantas bahagia ketika kamu sanggup merelakan dia. Lalu membenahi hidupmu lebih baik lagi tanpa perlu mencecap duka atau derita. Sudah cukup untuk pahit, Sahabat.

Kini waktunya kau bahagia dengan hidupmu yang baru. Lihatlah ke depan, fokus, dan bernapaslah! Berjalan, hingga kamu temukan satu keajaiban. Percayalah. Karena hidup itu tak sesulit yang kamu bayangkan.

Salam,
Joy...

Sabtu, 31 Agustus 2013

Mom: Sebuah Kado Terindah

Di suatu siang yang mendung, aku duduk termenung di depan kelasku. Halaman sekolah sudah tampak sepi sejak satu jam yang lalu. Sementara itu, hujan masih belum juga usai. Rintik-rintiknya terus mengguyur lapangan upacara hingga menciptakan genangan air di mana-mana. Dan sesekali terdengar gemuruh petir yang menyalak-nyalak seakan hendak membelah langit. 

Selama beberapa saat, aku terus bertanya dalam hati mengapa hujannya belum juga berhenti. Buruknya lagi, mengapa aku masih betah berdiam diri di sini sementara sosok yang kutunggu tak kunjung muncul? 

Sejujurnya, aku bisa saja pergi dari tempat ini sejak tadi jika aku mau. Okky – teman sekelasku – dan ayahnya sempat menawarkan tumpangan untuk mengantarku pulang. Hanya saja aku menolak tawaran keduanya. Aku lebih memilih menunggu karena Mom telah berjanji untuk menjemputku. Tak hanya itu, salah satu alasan yang membuatku bertahan karena aku juga ingin menunjukkan pada Mom hasil ulangan Bahasa Inggris-ku yang mendapat angka 90. 

Kupandangi jam G-Shock kuning yang melilit di pergelangan tanganku, waktu menunjukkan pukul dua lebih sepuluh menit. Itu artinya aku telah berada di sini selama satu jam tanpa melakukan hal apa pun selain duduk dan menunggu.

Saat aku maju beberapa langkah, hendak menyorongkan tanganku dan menangkap air hujan yang mengucur dari atap sekolah, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing di telingaku.

“Dek...”

Aku menoleh, menangkap sosok pria yang berumur empat puluhan dalam balutan kemeja biru muda dan celana hitam yang sangat kukenal. Setelan khas karyawan rumah sakit milik Dad. 

Lantas, dia pun melangkah ke arahku tanpa terpikir untuk melipat payung hijau bermotif bunga-bunga yang berada dalam genggamannya.

Aku mengerutkan dahi menatap kehadirannya yang benar-benar nyata. “Dad...?” tanyaku, suara diwarnai kebingungan. “Dad kenapa bisa ada di sini? Mom mana?”

“Mom di rumah,” jawabnya lirih.

“Di rumah?” Sama sekali tidak mengerti bagaimana Mom bisa mengabaikan janjinya untuk menjemputku. Lagi pula, Dad seharusnya masih berada di rumah sakit, bukan di sini.

“Mom nggak bisa jemput, Dek,”

Kurasakan mataku memanas seketika. Teramat kecewa saat mengetahui penantianku selama satu jam tadi hanyalah tindakan yang sia-sia. Dan saat Dad menuturkan pernyataan itu, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan selain merajuk. “Mom kenapa?”

“Mom sakit...” Nada yang sama seperti sebelumnya.

Aku terkesiap. Emosi itu semakin tak terbendung saat aku bertanya, “Sakit apa???”

Dad membuang napas panjang. “Maag-nya kambuh.”

Aku bergeming, merasa sangat bodoh, tak berguna, dan patut disalahkan.

Sepengetahuanku, Mom adalah perempuan yang supertangguh. Satu-satunya perempuan yang kukenal sebagai ibu yang merangkap sekaligus sebagai seorang pekerja. Namun, semua orang di rumahku tahu bahwa Mom tidak pernah akrab untuk urusan kesehatannya, terutama kondisi perutnya. Belakangan, Dad memang menceritakan padaku mengenai Mom yang selalu mengalami sakit seperti maag sejak masih remaja.

“Aku mau pulang sekarang!” kataku dengan suara sesenggukan, tidak bisa lagi membendung air mataku sejak tadi.

Satu hal yang kutahu setelah itu, Dad menuntun tanganku, dan kami bergegas menyeberangi halaman sekolah, menantang hujan.

***

Setibanya di teras rumah, suasana sepi serta merta menyambut kedatangan kami. Dad dalam setelan kemeja biru mudanya yang basah, mengeluarkan serenceng anak kunci dari saku celananya dan bergegas membukakan pintu rumah. Hujan masih belum juga selesai. Aku sudah lama merasa kedinginan semenjak sepatu Pro ATT yang kukenakan ini basah terkena genangan air hujan di halaman sekolah.

Sesaat setelah daun pintu coklat itu menganga, aku segera menanggalkan sepatu beserta kaus kakiku dan berlari ke kamar Mom. Menemukan beliau sedang berbaring lemah di atas ranjangnya sambil ditemani segelas air putih, beberapa lapis roti tawar, dan tak lupa juga sejumlah obat yang tak kuketahui namanya pada waktu itu.

“Dek, Mom minta – “

Belum sempat Mom menyelesaikan ucapannya, aku sudah lebih dulu menaiki ranjang dan memeluk dirinya yang berselimut tebal.

“Maafin aku ya, Mom. Harusnya – dari tadi aku pulang biar bisa jagain Mom di rumah,” aku berusaha berbicara selagi air mataku tidak mau berhenti. 

Selama sejenak, Mom hanya diam. Sesekali aku dapat mendengar isak tangisnya yang sengaja ditahan. “Nggak apa-apa. Ini salah Mom juga yang nggak bisa jaga pola makan,” tuturnya sambil membelai pelan riak rambutku. “Ulangannya gimana, Gus?” 

Aku beranjak bangkit dan membuka ritsleting tasku, mengeluarkan dua helai kertas HVS yang dibubuhi angka 90 menggunakan tinta merah. Memamerkan kertas ulangan Bahasa Inggris lecek yang nyaris basah itu ke hadapan Mom dengan bangga. “Sembilan puluh, Mom!” seruku.

Mom meraih kertas itu, kemudian memicingkan matanya untuk memastikan kembali angka yang tercantum di sana. Dia mengujar sesuatu, “Angka ini udah cukup bikin Mom bangga sama kamu.” Meskipun dia mengucapkan kalimatnya dengan lirih, rasa terima kasih itu dapat tersampaikan dengan jelas. 

Aku tersenyum, tidak ingin berkomentar karena ungkapan seperti itulah yang ingin kudengar darinya. Rasanya bahagia sekali dapat membuat Mom bahagia dengan cara yang sederhana seperti ini. Dan sejak hari itu, aku mempelajari satu hal terpenting dalam hidupku, sekecil apa pun pengorbanan yang kamu lakukan terhadap orangtuamu, percayalah bahwa mereka akan selalu menghargainya...

***

Hari ini, 27 Agustus 2013...

Sejak tadi, aku mengabaikan aroma mentega leleh yang terendus jelas di penciumanku. Begitu pula dengan pekat wangi Dark Chocolate yang mungkin telah bercampur ke adonan kue yang berada di dalam loyang. Sementara itu, mesin mixer sudah lama berhenti berteriak saat aku menyadari aku telah melewatkan sesuatu yang penting.

That cake!!!

Aku bergegas meninggalkan Notebook-ku dan keluar dari kamar sesaat setelah hidungku menangkap aroma yang serupa dari arah dapur. Mendapati Mom dalam busananya sehari-hari sedang berkutat di hadapan sesuatu yang berbentuk persegi, berwarna coklat, dan tentu saja wangi...

That’s my cake!!!

Aku menghampirinya dan bertanya, “Mau aku bantu, Mom?”

“Bantu makan, ya?” celetuk Mom.

Aku tergelak, bisa-bisanya Mom mengkaryakan pertanyaan jenaka di saat aku hendak menerkam kue yang berhubungan dengan hari lahirku itu.

Dia meneruskan, “Tapi, kue ini emang khusus buat kamu, kok.”

Tidak berniat memberi tanggapan dengan sesuatu yang konyol, aku pun tersenyum, memandanginya dengan mantap, seolah-olah sebuah telepati yang mengisyaratkan bahwa today is a perfect day!

Maka detik itu juga, aku menghambur ke dalam pelukannya. Berbisik, “Terima kasih banyak, Mom...”

“Selamat ulang tahun, Gus. Tetep jadi anak yang baik, ya,” ucapnya seraya menyertai sebuah belaian di kepalaku.

Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Saat di mana aku berada dalam pelukannya, dihadiahi sentuhan lembut di riak rambutku, dan aku berhasil membuatnya tersenyum hanya dengan angka 90 yang kuperoleh dalam tes Bahasa Inggris. Hanya saja, kali ini sedikit berbeda karena akulah yang mengucapkan kata terima kasih untuknya.

Mom merenggangkan pelukannya, kemudian berkata, “Semoga suka sama kuenya, ya.”

It’s okay, Mom. This is completely perfect...Aku berusaha menampilkan senyum terbaik, tapi tak bisa. “Terima kasih, Mom.”

Dan untuk kado yang terindah ini, izinkan aku mengucapkan terima kasih sekali lagi.