Write. Anywhere. Anytime.

Sabtu, 31 Agustus 2013

Mom: Sebuah Kado Terindah

Di suatu siang yang mendung, aku duduk termenung di depan kelasku. Halaman sekolah sudah tampak sepi sejak satu jam yang lalu. Sementara itu, hujan masih belum juga usai. Rintik-rintiknya terus mengguyur lapangan upacara hingga menciptakan genangan air di mana-mana. Dan sesekali terdengar gemuruh petir yang menyalak-nyalak seakan hendak membelah langit. 

Selama beberapa saat, aku terus bertanya dalam hati mengapa hujannya belum juga berhenti. Buruknya lagi, mengapa aku masih betah berdiam diri di sini sementara sosok yang kutunggu tak kunjung muncul? 

Sejujurnya, aku bisa saja pergi dari tempat ini sejak tadi jika aku mau. Okky – teman sekelasku – dan ayahnya sempat menawarkan tumpangan untuk mengantarku pulang. Hanya saja aku menolak tawaran keduanya. Aku lebih memilih menunggu karena Mom telah berjanji untuk menjemputku. Tak hanya itu, salah satu alasan yang membuatku bertahan karena aku juga ingin menunjukkan pada Mom hasil ulangan Bahasa Inggris-ku yang mendapat angka 90. 

Kupandangi jam G-Shock kuning yang melilit di pergelangan tanganku, waktu menunjukkan pukul dua lebih sepuluh menit. Itu artinya aku telah berada di sini selama satu jam tanpa melakukan hal apa pun selain duduk dan menunggu.

Saat aku maju beberapa langkah, hendak menyorongkan tanganku dan menangkap air hujan yang mengucur dari atap sekolah, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing di telingaku.

“Dek...”

Aku menoleh, menangkap sosok pria yang berumur empat puluhan dalam balutan kemeja biru muda dan celana hitam yang sangat kukenal. Setelan khas karyawan rumah sakit milik Dad. 

Lantas, dia pun melangkah ke arahku tanpa terpikir untuk melipat payung hijau bermotif bunga-bunga yang berada dalam genggamannya.

Aku mengerutkan dahi menatap kehadirannya yang benar-benar nyata. “Dad...?” tanyaku, suara diwarnai kebingungan. “Dad kenapa bisa ada di sini? Mom mana?”

“Mom di rumah,” jawabnya lirih.

“Di rumah?” Sama sekali tidak mengerti bagaimana Mom bisa mengabaikan janjinya untuk menjemputku. Lagi pula, Dad seharusnya masih berada di rumah sakit, bukan di sini.

“Mom nggak bisa jemput, Dek,”

Kurasakan mataku memanas seketika. Teramat kecewa saat mengetahui penantianku selama satu jam tadi hanyalah tindakan yang sia-sia. Dan saat Dad menuturkan pernyataan itu, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan selain merajuk. “Mom kenapa?”

“Mom sakit...” Nada yang sama seperti sebelumnya.

Aku terkesiap. Emosi itu semakin tak terbendung saat aku bertanya, “Sakit apa???”

Dad membuang napas panjang. “Maag-nya kambuh.”

Aku bergeming, merasa sangat bodoh, tak berguna, dan patut disalahkan.

Sepengetahuanku, Mom adalah perempuan yang supertangguh. Satu-satunya perempuan yang kukenal sebagai ibu yang merangkap sekaligus sebagai seorang pekerja. Namun, semua orang di rumahku tahu bahwa Mom tidak pernah akrab untuk urusan kesehatannya, terutama kondisi perutnya. Belakangan, Dad memang menceritakan padaku mengenai Mom yang selalu mengalami sakit seperti maag sejak masih remaja.

“Aku mau pulang sekarang!” kataku dengan suara sesenggukan, tidak bisa lagi membendung air mataku sejak tadi.

Satu hal yang kutahu setelah itu, Dad menuntun tanganku, dan kami bergegas menyeberangi halaman sekolah, menantang hujan.

***

Setibanya di teras rumah, suasana sepi serta merta menyambut kedatangan kami. Dad dalam setelan kemeja biru mudanya yang basah, mengeluarkan serenceng anak kunci dari saku celananya dan bergegas membukakan pintu rumah. Hujan masih belum juga selesai. Aku sudah lama merasa kedinginan semenjak sepatu Pro ATT yang kukenakan ini basah terkena genangan air hujan di halaman sekolah.

Sesaat setelah daun pintu coklat itu menganga, aku segera menanggalkan sepatu beserta kaus kakiku dan berlari ke kamar Mom. Menemukan beliau sedang berbaring lemah di atas ranjangnya sambil ditemani segelas air putih, beberapa lapis roti tawar, dan tak lupa juga sejumlah obat yang tak kuketahui namanya pada waktu itu.

“Dek, Mom minta – “

Belum sempat Mom menyelesaikan ucapannya, aku sudah lebih dulu menaiki ranjang dan memeluk dirinya yang berselimut tebal.

“Maafin aku ya, Mom. Harusnya – dari tadi aku pulang biar bisa jagain Mom di rumah,” aku berusaha berbicara selagi air mataku tidak mau berhenti. 

Selama sejenak, Mom hanya diam. Sesekali aku dapat mendengar isak tangisnya yang sengaja ditahan. “Nggak apa-apa. Ini salah Mom juga yang nggak bisa jaga pola makan,” tuturnya sambil membelai pelan riak rambutku. “Ulangannya gimana, Gus?” 

Aku beranjak bangkit dan membuka ritsleting tasku, mengeluarkan dua helai kertas HVS yang dibubuhi angka 90 menggunakan tinta merah. Memamerkan kertas ulangan Bahasa Inggris lecek yang nyaris basah itu ke hadapan Mom dengan bangga. “Sembilan puluh, Mom!” seruku.

Mom meraih kertas itu, kemudian memicingkan matanya untuk memastikan kembali angka yang tercantum di sana. Dia mengujar sesuatu, “Angka ini udah cukup bikin Mom bangga sama kamu.” Meskipun dia mengucapkan kalimatnya dengan lirih, rasa terima kasih itu dapat tersampaikan dengan jelas. 

Aku tersenyum, tidak ingin berkomentar karena ungkapan seperti itulah yang ingin kudengar darinya. Rasanya bahagia sekali dapat membuat Mom bahagia dengan cara yang sederhana seperti ini. Dan sejak hari itu, aku mempelajari satu hal terpenting dalam hidupku, sekecil apa pun pengorbanan yang kamu lakukan terhadap orangtuamu, percayalah bahwa mereka akan selalu menghargainya...

***

Hari ini, 27 Agustus 2013...

Sejak tadi, aku mengabaikan aroma mentega leleh yang terendus jelas di penciumanku. Begitu pula dengan pekat wangi Dark Chocolate yang mungkin telah bercampur ke adonan kue yang berada di dalam loyang. Sementara itu, mesin mixer sudah lama berhenti berteriak saat aku menyadari aku telah melewatkan sesuatu yang penting.

That cake!!!

Aku bergegas meninggalkan Notebook-ku dan keluar dari kamar sesaat setelah hidungku menangkap aroma yang serupa dari arah dapur. Mendapati Mom dalam busananya sehari-hari sedang berkutat di hadapan sesuatu yang berbentuk persegi, berwarna coklat, dan tentu saja wangi...

That’s my cake!!!

Aku menghampirinya dan bertanya, “Mau aku bantu, Mom?”

“Bantu makan, ya?” celetuk Mom.

Aku tergelak, bisa-bisanya Mom mengkaryakan pertanyaan jenaka di saat aku hendak menerkam kue yang berhubungan dengan hari lahirku itu.

Dia meneruskan, “Tapi, kue ini emang khusus buat kamu, kok.”

Tidak berniat memberi tanggapan dengan sesuatu yang konyol, aku pun tersenyum, memandanginya dengan mantap, seolah-olah sebuah telepati yang mengisyaratkan bahwa today is a perfect day!

Maka detik itu juga, aku menghambur ke dalam pelukannya. Berbisik, “Terima kasih banyak, Mom...”

“Selamat ulang tahun, Gus. Tetep jadi anak yang baik, ya,” ucapnya seraya menyertai sebuah belaian di kepalaku.

Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Saat di mana aku berada dalam pelukannya, dihadiahi sentuhan lembut di riak rambutku, dan aku berhasil membuatnya tersenyum hanya dengan angka 90 yang kuperoleh dalam tes Bahasa Inggris. Hanya saja, kali ini sedikit berbeda karena akulah yang mengucapkan kata terima kasih untuknya.

Mom merenggangkan pelukannya, kemudian berkata, “Semoga suka sama kuenya, ya.”

It’s okay, Mom. This is completely perfect...Aku berusaha menampilkan senyum terbaik, tapi tak bisa. “Terima kasih, Mom.”

Dan untuk kado yang terindah ini, izinkan aku mengucapkan terima kasih sekali lagi.
Senin, 26 Agustus 2013

Hates Me Not

Sore itu, ponsel saya berdenting tepat setelah saya keluar dari kamar mandi. Saya sangat hapal dengan notifikasi itu. Dengan bergairah, saya segera merampas benda mungil yang tergeletak di atas ranjang saya, lantas membuka aplikasi Whatsapp dalam hitungan detik.

Satu pesan baru.

Awalnya saya berharap pesan itu dikirim dari seseorang yang saya tunggu-tunggu. Ternyata bukan. Saya harus menelan kecewa ketika saya mengetahui  identitas si pengirim pesan adalah teman saya sendiri. Well, sebut saja namanya Mike. Kami mengenal satu sama lain sudah cukup lama. Sekitar tiga tahun yang lalu, waktu itu saya baru lulus SMA. Dan memang, bagi saya tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Sudah banyak hal yang saya dapatkan dalam kurun waktu tersebut.

Salah satunya, Mike yang akan saya ceritakan sesaat lagi.

Semangat saya sudah lama surut. Jadi, mau tidak mau akhirnya saya membuka sejumlah pesan yang dikirimi oleh Mike.

Hei, Joy.
Apa kabar? Where have you been?
Sombong banget ya sekarang! >.<

Ya... Kurang lebih begitulah isi pesan yang tertampil di layar ekstra-lebar ponsel saya. Sesaat setelah sederet kalimat itu saya tuntaskan, saya melenguh. Membuang napas panjang-panjang dan terdiam sampai saya sendiri tidak tahu berapa lama saya melamun.

Kalau boleh berkata, saya sudah sering menerima pesan yang berbunyi demikian. Dibilang sombong, cuek, belagu, bahkan lupa sama temen. Jadi yang seperti itu bukan hal baru lagi buat saya pribadi. Tapi, saya nggak menanggapinya dengan hal yang jahat. Saya berusaha seramah mungkin agar mereka sadar bahwa saya tidak sombong, belagu, whatever-you-called-it. Karena pada dasarnya, saya bukan tipe orang yang suka memulai sebuah permusuhan.

Agak lama saya membatu, akhirnya saya mengetik beberapa patah kalimat sebagai pesan balasan. Nggak mau banget kalau dia berpikir saya sombong gara-gara hanya membaca pesannya saja. Begini balasan saya;

Alhamdulillah gue baik, kok. Everything’s fine here.
Duh... Jangan bilang gue sombong, dong. :p

Tak beberapa lama kemudian, dia merespons.

Emang elu sombong kali! Di twitter jarang mensyen, di path juga jarang nyapa.
Di whatsapp apalagi!!!

Saya terkesiap ketika saya mendapati tiga butir tanda seru yang berada di akhir kalimatnya. Secara tiba-tiba saja rasanya kepala saya seperti dihujani jutaan tanda tanya. Tapi dalam waktu yang bersamaan, saya pengin ketawa. Terus bertanya dalam hati, emangnya saya sombong, ya? Letak kesombongan saya di mana, sih? Saya kan cuma ciptaan Tuhan yang nggak ada bedanya sama manusia yang lain...

Merasa gerah dengan tudingan yang tidak sesuai kenyataan, akhirnya saya menginjakkan jemari saya secepat mungkin di atas touchscreen dan membalas seperti ini;

Sori, bukannya sombong.
Waktu itu gue udah nyapa di twitter,guma gue nggak dapet tanggapan apa-apa.
Gue liat di timeline, lo juga kayaknya lagi sibuk sama temen-temen lo yang baru J

Selang beberapa lama, dia menanggapi pesan saya.

Itu mah geng rumpi gue, Joy. Anaknya asik-asik, kok.. Hahaha

Menurut saya, kalimat itu sudah sangat jelas menunjukkan bahwa Mike merasa lebih nyaman dengan teman-temannya yang sekarang. Dengan kata lain, saya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan mereka.

Saya menghela napas dalam-dalam, menetralkan amarah saya yang meluap-luap di kepala. Dan beruntungnya, saya bukan tipe orang yang temperamental dan lumayan sanggup mengendalikan emosi saya (untuk hal-hal tertentu) sehingga saya tidak perlu membanting ponsel saya detik itu juga. Jadi, saya hanya diam dan tersenyum. Mengambil tindakan dengan menghapus chat history saya dengan Mike dan mematikan ponsel saya agar tidak ada lagi gangguan-gangguan berikutnya.

Sepanjang malam – sebelum saya terpejam – saya merenung kembali saat-saat di mana saya dan Mike biasanya bercakap-cakap di Whatsapp, atau bahkan bergosip via telepon hingga dini hari.  Kami sering membicarakan topik yang jenisnya beraneka ragam. Dimulai dari menasihati kelakuan saya yang suka berharap terlalu tinggi kepada seseorang yang belum tentu menyukai saya, kemudian giliran saya yang memberinya wejangan-wejangan sederhana supaya tidak kelewat naif terhadap orang yang dia taksir. Selalu ada timbal balik yang wajar setiap kali kami menumpahkan isi kepala.

Saya rindu momen-momen manis seperti itu.

Namun percakapan bersama Mike tadi sore membuat saya bernala-nala, bagaimana dia bisa berkata demikian? Bagaimana dia bisa menilai saya sebagai orang yang sombong sementara kami sudah bersahabat sejak lama? Dan padahal, selama ini saya selalu menjaga komunikasi dan hubungan pertemanan kami sebaik mungkin. Bahkan saya tidak pernah sekali pun mencoba memulai satu permusuhan.

Apakah hanya saya satu-satunya objek yang patut dijuluki sebagai sahabat yang sombong?

Kenapa dia sendiri tidak bisa menyadari kalau sebagian masalah ini juga berasal dari kesalahannya?

Hingga pada satu waktu, saya menyadari bahwa waktu selalu membuat sebuah perubahan. Mike telah memiliki satu lingkaran pertemanan yang baru di saat intensitas percakapan kami tidak sesering dulu. Belakangan ini saya memang kerap menyibukkan diri dengan menulis. Mike sendiri tahu mengenai kesibukan saya, dan barangkali dia berupaya menjaga jarak agar tidak terlalu mengganggu saya. Mungkin itulah salah satu faktor yang membuat dua di antara kami seperti saling bersisian.

Dalam kasus ini, saya tidak tahu siapa yang benar-benar egois. Selama ini saya telah mencoba bersikap seadil mungkin. Saya juga memiliki teman-teman yang lain. Tapi saya tidak pernah melupakan Mike. Sekalipun saya tidak ingin belajar membenci seseorang hanya karena sebuah kesalahpahaman. Namun, jika sahabat saya itu lebih memilih untuk bergabung bersama teman-temannya yang baru, saya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Semua keputusan itu sepenuhnya berada di tangan sahabat saya.
Selasa, 20 Agustus 2013

Life Goes On

Pagi itu, aku bangun lebih awal. Aku beringsut turun dari ranjang dan keluar dari kamar sesaat setelah aku dihadiahi spektrum ilusi yang membuatku teramat merindu. Beberapa di antaranya adalah sejumlah suara semu yang tidak kuketahui dari mana mereka berasal.


Aku melangkah gontai ke ambang pintu rumahku, duduk bergeming di sana sembari menengadahkan kepala. Menyaksikan selendang biru yang membentang luas di sepanjang cakrawala beserta riak-riak awan putih yang sedang berdansa di sekitarnya. Angin bertiup kencang tanpa perhitungan sekalipun bola api di atas sana berpijar terik tak terkira. Satu demi satu dedaunan pohon jambu di halaman rumahku mengelupas dari rantingnya yang tampak telah menua.


Dalam diam aku membatin, ini tidak terasa seperti biasanya.


Aku tidak tahu apa yang sedang kualami. Bahkan, aku tidak mengerti mengapa aku memilih untuk duduk di sini. Biasanya, aku akan hanyut dalam damai setiap kali aku berada dalam ketenangan yang demikian. Hanya saja semuanya telah berbeda. Ada semacam perasaan gelisah yang membuatku takut dan tiba-tiba ingin meneteskan air mata.


Aku menoleh ke belakangku untuk sejenak. Menyaksikan sebuah ruangan yang senyap tanpa penghuni selain barang-barang pajangan dan aneka benda mati. Tidak ada siapa pun di sekitar sana. Tidak ada suara, maupun sosok yang tenangkan jiwa. Yang ada hanya sepi.


Pikiranku kembali terlempar pada sederet kenangan yang kulalui beberapa hari kemarin. Masa di mana segalanya terasa begitu hangat. Ada gelak tawa, ada sukacita, dan ada cerita yang senantiasa menjadi bukti kebersamaanku dengan seluruh penghuni di rumah ini. Dan biasanya, semua bentuk keceriaan itu akan kutemui di saat-saat seperti sekarang.


Aku juga masih mengingat dengan jelas saat bocah-bocah kecil itu berteriak dengan suaranya yang sumbang pada suatu pagi, kemudian diselingi dengan nyanyian yang terus berlanjut tanpa tahu kapan mereka akan mengakhiri. Atau momen di mana mereka berteriak menangisi sesuatu yang seharusnya mereka miliki. Dan tak ayal, tangis itu pun akan segera berhenti saat salah satu dari penghuni rumah ini mencoba menenangkan keadaan dengan caranya sendiri.


Selama beberapa saat, aku hanya terdiam sembari menyeka bulir tangis yang tertahan di ekor mataku. Aku membayangkan bila seandainya sukacita seperti itu tidak lagi tercipta dengan esensi tawa yang seutuhnya. In bottom line, tanpa suatu kebersamaan dalam keluarga, atau setelah terjadi sebuah perpisahan.


Aku beranjak dari dudukku, tahu bahwa semua kenyataan ini harus kuhadapi. Karena pada suatu waktu, aku menyadari bahwa fase inilah yang disebut fase pendewasaan. Siap atau tidak, hidup akan terus berjalan – dengan atau tanpa perencanaan.



Bangka, 20 Agustus 2013

Teras rumah...
Rabu, 07 Agustus 2013

Subuh Pertama di Bulan Syawal

Hujan semalam menciptakan seberkas kenangan
Pada embun yang menempel malang di dedaunan
Pada risik jangkrik yang menyepi bersama bulan
Pada lembutnya fajar yang mulai meruap perlahan

Aku duduk di antara kegeleapan
Melafal sebaris kata sederhana
Memintal seutas doa beserta Asma'ul Husna
Hanya untuk sekadar bercerita atau bertatap muka

Untuk siapa lagi doa ini kupersembahkan selain padamu, wahai Tuhan?
Satu-satunya dzat yang selalu kuagungkan
Satu-satunya nama termulia yang patut kucintai tanpa pilihan...

Wahai Tuhan, apabila ini awal dari sebuah perjalanan
Jangan tawarkan kami bimbang dan pelbagai alasan menyesatkan
Tuntunlah kami ke arah jalan untuk sebuah kebenaran
Agar kami yakin bahwa nikmat-Mu selalu hadir tak terelakkan di kemudian.