Write. Anywhere. Anytime.

Minggu, 21 Desember 2014

Mengulang Masa Lalu (Tentang Kado yang Datang Terlambat)

Hal pertama yang terlintas di benak saya ketika mendengar nama dia adalah sesuatu yang berwarna cerah. Merah seperti sebutir ceri di dalam gelas mojito, kuning seperti langit pagi yang merekah, jingga seperti senja yang tumpah.

Warna-warna itu kerap berseliweran setiap kali saya teringat seorang sahabat Hermi Yustina.

Saya pernah mengunggah satu tulisan tentang dia sebelumya. Sesuatu yang mengisahkan kilas balik persahabatan kami. Dua tahun lalu, saat tulisan saya masih belum sempurna dan apa adanya. Dua tahun lalu, pada tanggal yang sama dan momentum yang sama pula.

Setiap orang pasti memiliki angka favoritnya masing-masing. Begitu pula dengan sahabatku yang satu itu. Angka 17 mungkin angka kegemarannya. Pun angka bersejarah dalam hidupnya. Hari di mana dia pertama kali membuka mata dan menyapa dunia.

Dan pada tanggal 17 Desember, dia akan merayakan kebahagiaannya bersama orang-orang tercinta – dengan caranya sendiri.

Itu adalah hari pertama saya bertemu dengan Hermi Yustina. Dalam balutan seragam kerja berwarna hijau, kerudung hitam yang dilipat sederhana, dan celana jins biru gelap. Saya tidak pernah menyangka jika pertemuan itu akan membawa kami ke sebuah jalinan pertemanan yang lebih erat. Karena terus terang, dia tidak terlihat seperti gadis pada umumnya. Cenderung pemalu, tidak banyak bicara, tertawa pun seadanya. Beda sekali dengan salah satu rekan kerjanya yang bernama Sari – cewek selebor, pecicilan, dan selalu melawak di setiap kondisi.

But, her speaks louder than words.

Dia tahu bagaimana membuat saya terkesan dengan sejumlah kisah tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang hal favoritnya, tentang warna kesukaannya. Ada banyak kesamaan yang bikin saya menaruh kepercayaan dan bisa menganggapnya sebagai seorang sahabat. Dan semua itu tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama sejak pertemuan kami yang pertama.

Saya bahkan masih ingat saat kami menjelajahi Blok M Square untuk sekadar cuci mata. Barangkali ada sesuatu yang lucu di sana. Tapi percuma. Kami pulang dengan tangan hampa dan lebih memilih berbelanja di atas jembatan penyeberangan. Saya juga pernah menculiknya ke restoran Klenger Burger di saat jam istirahat. Duduk di hadapan saya sambil membahas Taylor Swift, penyanyi country kesukaan kami.

Kapan itu, kami pernah tersesat di daerah Menteng saat hendak mencari restoran Ocha & Bella. Baik saya maupun dia sangat gemar berburu kuliner. Dimulai dari sekadar makanan angkringan sampai kafe-kafe populer sekalipun. Dan setibanya di Ocha & Bella, kami kembali mengulang satu kebiasaan yang rasanya sulit sekali dihilangkan. Berbicara dari hati ke hati tentang karier, tentang masalah percintaan. Well, saya selalu gagal setiap kali menjalin hubungan asmara dengan seseorang.

Saya juga pernah membangunkannya tengah malam lewat telepon untuk menyampaikan kegelisahan saya. Dia tidak hanya bersedia mendengar, tapi juga memberi solusi. Dia tahu sahabatnya sedang tidak bisa tidur, dan dia sama sekali tidak merasa keberatan.

Dia adalah pendengar yang baik.

Dia selalu hadir ketika saya butuh seseorang untuk mendengarkan apa yang hendak saya sampaikan. Tak hanya itu, dia juga mengerti bagaimana caranya memberi timbal balik yang baik. Mungkin karena dia terlahir sebagai orang Sagitarius. Biasanya orang Sagitarius dianugerahi sifat solidaritas yang tinggi.

Ah... Kalau saja saya punya mesin waktu, saya ingin sekali memutar seluruh momen itu dan mengabadikannya dengan kamera. Selama ini saya terlalu sibuk menceritakan masalah saya sendiri. Jarang sekali saya teringat untuk mengajaknya foto berdua.

Semoga di lain waktu, kami masih diberi kesempatan untuk bertemu dan tersenyum bersama di hadapan kamera.

Semoga di lain waktu, saya bisa berperan lebih banyak sebagai seorang sahabat.

Hanya tulisan sederhana ini yang bisa saya persembahkan sebagai kado ulang tahun. Saya tidak bisa menjanjikan kejutan seperti cupcake, buket bunga ataupun sepatu lucu yang sering dia pakai.

Hanya tulisan yang bisa membuktikan bahwa saya tidak pernah lupa dengan hari ulang tahunnya.

Selamat ulang tahun, Hermi Yustina.
Tetaplah berpijar seperti warna merah, kuning dan jingga
Terus belajar dan selalu diberi kesehatan untuk menggapai mimpi.
Semoga selalu merasa cukup.


Sahabatmu,
Joy Agustian.
Senin, 01 Desember 2014

The Test (Part 2)



Untuk kedua kalinya, aku mendatangi rumah sakit dengan alasan yang sama. Masih ingat dengan jelas, dua belas bulan yang lalu, aku berjalan menelusuri koridor rumah sakit hanya untuk mencari tahu di mana letak Poli Melati. Ruangan itu biasanya digunakan untuk konseling sekaligus tes darah. Dan selama melakukan pencarian, aku memandang ke arah taman yang ditumbuhi rumput liar dan pohon-pohon ketapang. Pohon-pohon itu kerap mengantarkan aroma mistik saat aku pertama kali berada di sana.

Aku tersadar bahwa aku sudah berada di kota yang berbeda.

Menapakkan kaki di Rumah Sakit SB (*disamarkan) ini seperti melempar saya ke zaman dahulu. Sebagian bangunannya adalah karya arsitektur Belanda yang masih dipertahankan sampai saat ini. Pilar-pilar megah di pintu utama, daun jendela kuno yang terbuat dari kayu jati, seperti ada kisah lama yang tak boleh dilupakan di rumah sakit ini.

Awan kelabu yang bergelayut mulai menumpahkan rintik hujan. Udara dingin berembus pulan, tapi terasa menusuk hingga ke tulang. Di sekitarku ada seorang suster berbaju putih yang tengah mendorong kereta makan siang. Lelah menghiasi wajahnya. Mengalihkan pandangan ke arah halaman yang ditumbuhi pohon-pohon cemara menjulang tinggi. Sebuah pohon pinang sedang bertahan menantang angin. Salah satu pelepahnya tampak layu dan putus asa. Bahkan, sebatang pohon pun bisa menunjukkan rasa jenuh pada kehidupan.

Hujan turun semakin deras. Aku tiba di depan ruangan yang kelihatan sepi dari arah luar. Daun pintunya menganga lebar. Melangkah ke dalam seusai mengetuk pintu dan disambut oleh seorang dokter yang telah membuat janji denganku sebelumnya. Dokter Hendrik namanya. Aku sempat berpikir dokter ini sudah berumur dan punya uban di kepalanya. Tapi aku salah. Dokter Hendrik masih kelihatan muda, meskipun aku tidak tahu persis berapa umurnya.

Kami saling bersalaman sebelum menjatuhkan diri di atas sofa. Menanyakan kabar masing-masing seolah-olah hal itu tidak boleh dilewatkan. Aku sudah sering mendengar basa-basi seperti itu dari beberapa dokter sebelumnya. Tidak butuh waktu lama sampai Dokter Hendrik menyerahkan satu lembar kuesioner dipenuhi kolom yang harus aku isi. Menekuninya dengan saksama sambil menyimak satu demi satu pertanyaan yang  mulai dilontarkan cepat.

Barangkali dokter ini termasuk orang multitasking yang sering melakukan dua hal dalam waktu bersamaan.

Aku sudah pernah melakukan VCT setahun sebeleumnya di Bangka. Dan pada waktu itu, hasil tes yang kuterima adalah negatif. Dokter Hendrik kembali meluncurkan aneka pertanyaan seperti; mengapa aku tergerak menjalani tes, apakah belakangan ini sempat terjadi sesuatu yang membahayakan kesehatanku, dan kapan peristiwa itu terjadi. Perutku menegang hebat ketika merangkai sebuah kalimat yang tepat. Tapi beruntung, jawabanku tidak serta-merta membuat dokter pusing kepala.

Begitu sesi wawancara selesai, dokter meminta kuesioner yang telah kuisi dan berpesan sesuatu kepadaku. Dia berkata, sebaiknya aku bergegas menuju laboratorium untuk pengambilan darah. Ada seorang perawatnya yang telah menungguku di sana. Dalam hati aku mengujar, inilah yang kutunggu-tunggu!

Jadi, aku keluar ruangan dan berlari menuju laboratorium. Otakku berputar mengingat petunjuk yang diberikan Dokter Hendrik tadi. Sejumlah anak tangga kulewati. Sekelompok pembesuk menatapku aneh ketuka aku melintas cepat di hadapan mereka.

Setibanya di lantai 2, aku dengan mudah menemukan ruang laboratorium. Dokter Hendrik benar. Ada seorang perawat yang sedang duduk di dalam sana. Aku lupa namanya siapa. Tapi yang pasti, perawat itu mengenakan kerudung hijau muda dan masker yang menutupi separuh wajahnya. Aku mengambil posisi duduk di hadapannya. Dan seakan tahu maksud kedatanganku, perawat itu mengambil sesuatu dari dalam laci meja.

Sebuah suntik yang masih disegel!

Semuanya berlangsung begitu cepat sewaktu aku menyerahkan lengan kiriku. Jemarinya sibuk mencari titik pembuluh darah. Kemudian, dia membuka bungkusan suntik. Tali pengikat sudah dikenakan. Aku menunduk dalam-dalam lantaran ngeri menyaksikan jarum itu menusuk ke dalam kulitku. Perih sejenak, tapi tidak berlangsung lama. Aku hanya terenyuh sewaktu dia membubuhi kapas beralkohol untuk menutupi bekas suntikan.

Seperti ada sesuatu yang ketegangan itu jadi semakin berlipat-lipat.

Kini, suntik yang tergeletak di atas meja itu sudah terisi darahku dan siap dibawa ke laboratorium untuk segera diperiksa.

Aku diminta menunggu di luar.

Harap-harap cemas menanti hasil lab yang akan keluar dalam waktu 30 menit.

***

Tiga puluh menit berlalu dalam keheningan. Berkali-kali aku menengok ke dalam ruang pemeriksaan hanya untuk memastika tes laboratorium sudah ada atau belum. Tapi, ruang kecil yang bersebelahan dengan laboratorium itu masih tampak kosong. Tak ada siapa-siapa yang duduk di belakang meja itu.

Beginilah yang kurasakan setahun lalu. Duduk menanti kabar dari laboratorium sambil mencari cara untuk mengusir kegelisahan. Pada waktu itu, aku mengutak-atik sejumlah games di Tablet-ku demi menghibur diri. Dan kali ini, aku berkutat di hadapan Blackberry Messenger yang menampilkan window percakapan antara aku dan sahabatku, Janna.

Derai hujan di luar sana masih belum berhenti. Mendung terlihat semakin tebal. Aku langsung berpikir bagaimana caranya pulang ke kantor seusai menerima hasil dari pihak laboratorium. Aku bisa singgah di rumah sakit pun karena memanfaatkan jam makan siang.

Tepat ketika aku mendengar denting notifikasi Blackberry Messenger, seorang perawat memanggil namaku dari dalam ruangan itu. Dia hendak menyampaikan sesuatu. Jantungku seperti bunyi gendang yang ditabuh. Kedua telapak tanganku mendadak dibanjiri keringat.

Perawat itu memintaku untuk tetap tenang. Karena setelah mendengar kabar yang dia sampaikan, aku pasti bisa merasa sedikit lega – sekalipun kabar buruk. Dan ternyata, benar saja. Jawabannya serta-merta membuatku terperangah dan tak sanggup meneteskan air mata.

Aku masih dinyatakan NEGATIF!
Itu berarti, aku masih baik-baik saja.

Rasanya seperti diguyur air hujan. Aku bahkan tidak tahu bagaimana mengekspresikan kegembiraanku saat ini. Hanya melonjak kegirangan, tersenyum sumringah, lantas bersalaman dengan si perawat dan mengucapkan terima kasih. Tak lupa bersyukur kepada doa yang kupanjatkan kepada Tuhan.

Aku berlari menuruni sejumlah anak tangga, menuju ke lantai bawah. Bahagia sekaligus segenap emosi yang meletup-letup membuat langkahku semakin bersemangat. Tak peduli pada petugas kebersihan dan resepsionis yang menatapku heran, aku masih tersenyum gembira. Meninggalkan gedung rumah sakit dan segera melompat ke dalam angkutan umum.

Langit memang sedang bersedih pada hari ini.
Tapi aku percaya, hujan tidak selamanya menyimpan kesedihan.
Hujan akan berhenti, dan berubah menjadi pelangi.
Sabtu, 29 November 2014

Dear Brother

Dear Brother...

Jauh sebelum hari ini, saya pernah memiliki sosok pelindung yang bisa diandalkan. Saya memanggilnya dengan sebutan Abang. Beberapa orang sering berkata wajah kami mirip satu sama lain. Saya tidak mengerti mengapa mereka berpendapat demikian. Tapi belakangan, barulah saya menyadari sejumlah kemiripan yang ada di antara kami.

Saya masih ingat dengan jelas masa-masa di mana kami menghabiskan masa kecil bersama sebagai saudara laki-laki. Itu adalah hari Minggu, saat saya dan Abang berlarian di halaman belakang rumah orang sambil bermain layangan. Sesekali terdengar suara Mama yang meneriaki kami untuk segera pulang. Sudah tengah hari, katanya, nanti ada penculik.

Sampai sekarang pun, dongeng tentang penculik yang selalu memenggal kepala anak kecil itu masih berlaku untuk sebagian orangtua.

Seiring berjalannya waktu, saya dapat merasakan perubahan di antara saya dan Abanv. Seperti ada tembok besar yang membuat kami saling berjauhan, sering merendahkan dan bertingkah egois. Namun, jauh di dasar hati saya yang paling dalam, saya selalu berharap agar saya dan Abang bisa berbaikan seperti dulu lagi -- seperti adik dan kakak yang saling berangkulan.

Saya bahkan rindu dengan volume suaranya yang tidak pernah rendah ketika berbicara. Saya rindu dengan gelak tawanya yang selalu terselip di tengah-tengah lagu Guns and Roses yang sering dia putar setiap pulang sekolah. Saya rindu dengan lukisan burung elang yang dia sadur dari kertas kalender -- satu-satunya lukisan yang selalu saya banggakan.

Ah... Rasanya semua kenangan dan peristiwa itu baru terjadi kemarin sore. Saya kerap mengingatnya di saat saya sedang rindu, ataupun menjelang tidur.

Orang selalu bilang bahwa seorang Kakak adalah Pahlawan Kedua yang dikagumi adik setelah sosok ayah. Begitu pula saya yang selalu mengagumi Abang dengan segala kekurangannya.

Tidak ada maksud apa-apa yang terselip di balik tulisan ini. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa sampai kapan pun, Abang masih akan tetap sama di mata saya. Dia masih sosok Abang yang sering saya kagumi seperti dahulu kala. Dan saya selalu berharap, dia tidak pernah lupa bahwa kedua orangtuanya selalu cinta dan bangga -- tak peduli seperti apa pun dirinya.

Sincerely,

Your Little Brother

Jumat, 28 November 2014

Best Mistake

Terkadang, apa yang kita miliki hanyalah segudang harapan. Berharap pada sebuah perlindungan, bantuan, ataupun sesuatu yang sulit untuk kita dapatkan. Itulah yang terjadi padaku saat tiba di Bandara Ngurah Rai. Menekuni sekitar seusai keluar dari pintu kedatangan penumpang, sembari memeriksa ponsel di genggamanku.

Bukan tanpa alasan jika aku hadir di sini seorang diri. Rekan kerjaku memberi kabar dadakan bahwa ada project photoshoot yang harus diselesaikan dalam waktu dekat. Dan lokasi pemotretan itu berada di Danau Tambligan. Mereka telah tiba di sini lebih awal, sementara aku menggunakan penerbangan paling akhir dari Jakarta.

Dudukku semakin tak nyaman ketika para sopir taksi dan sejumlah pemandu wisata bertarif tinggi di sekitarku menawarkan jasa antar. Alih-alih menanggapi teriakan mereka, aku malah mengunci bibirku rapat-rapat. Menggerakkan jemariku pada layar ponsel dan mem-posting sesuatu di Twitter. Aneh... Dalam situasi genting seperti ini, masih saja aku sempat meng-update berita terbaru di sosial media. Harusnya aku mencari bantuan atau segera bertindak, bukannya mengabarkan peristiwa malang ini ke seluruh dunia.

Aku segera menghubungi nomor Jenny berulang-ulang. Mendengarkan nada tunggu tak berkesudahan sampai kalimat permintaan maaf yang disampaikan oleh si operator. Begitu pula dengan nomor Andhika dan Lucky yang ternyata berada di luar jangkauan. Tampaknya kesemua di antara mereka memang sedang tidak bisa dihubungi.

Aku jadi semakin tidak mengerti, untuk apa aku datang ke sini?

Tenagaku rasanya sudah terkuras habis. Aku duduk termangu dan mendongakkan kepala. Di atas sana, matahari mulai merangkak turun. Langit kota Denpasar dibanjiri warna jingga kemerahan. Suara pengumuman yang terdengar lewat pengeras suara seakan meredup ketika pikiranku melayang jauh pada seseorang yang selama ini kurindukan.

Betapa aku berharap dia ada di sebelahku saat ini; menemaniku melawan sepi, menarik koperku dan melangkah bersama ke dalam taksi, kemudian bercengkerama sepanjang perjalanan menuju hotel. Betapa aku berharap jarak antara Bali dan Sydney bisa ditempuh dalam hitungan menit untuk menebus rasa rinduku terhadap Texas.

Tapi sayang, rasanya semua itu sangat tidak mungkin.

Aku berjalan menenteng koperku ke arah taksi hitam di seberang jalan. Embusan angin yang berasal dari AC mobil semakin membuatku mengantuk. Aku bahkan tidak sanggup menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan si sopir taksi saat mobil yang kami tumpangi mulai meninggalkan area bandara.

***

Gue lagi di Seminyak. Lo sama siapa di sana, Dam? --- Di mananya? The Amala atau Amalea? Suara lo nggak jelas.
Halo, Dam.
Adam...

Tidak terlalu yakin dari mana suara itu berasal. Tapi yang pasti, suara itu masih terngiang-ngiang sampai aku terbangun di siang hari. Kepalaku terasa berat saat aku beranjak dari tempat tidur. Rasanya seperti meneguk ratusan liter Cuervo tadi malam sehingga sulit membedakan mana yang maya dan mana yang nyata.

Aku memindai pandanganku sekeliling ruangan dan mencari letak jam dinding. Terkesiap kaget begitu melihat jarum jam yang telah menunjukkan pukul satu. Entah berapa lama aku tertidur, aku pun tidak ingat lagi. Dan semua itu semakin bertambah kacau saat kudengar pintu kamarku diketuk dari luar.

Barangkali Jenny, Andhika, Lucky, atau siapa pun di antara mereka telah menemukan keberadaanku.

Sewaktu handle pintu kutarik, satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah terdiam. Rasa pusing yang sejak tadi meremas kepalaku pun mendadak hilang. Seorang pria asing berbusana khas peselancar yang tidak kuketahui dari mana datangnya sedang berdiri di hadapanku.

Aku mengernyitkan dahi dan bertanya, "Cari siapa?"
"Adam, kan?" Dengan seringai senyum di wajahnya, dia kembali bersuara, "Gue yang nelepon tadi malem."

Selama sejenak, aku berusaha mengingat apa yang aku bicarakan dan dan dengan siapa aku berbicara di telepon tadi malam. Terlalu banyak pikiran yang berseliweran di kepalaku saat ini sehingga aku memutuskan untuk diam saja.

"Lo pasti udah lupa? Harun, nih. Temen kuliah lo dulu, satu angkatan kita." Menyilang kedua lengannya di depan dada sambil menatapku dalam-dalam. "Inget nggak?"

Dalam lima tahun terakhir, sudah banyak sekali peristiwa yang kualami. Termasuk bertemu orang-orang baru. Sebagian ada yang bertahan, sebagian ada juga yang pergi begitu saja. Aku bertemu dengan Harun sewaktu pendaftaran mahasiswa baru. Tidak banyak yang kami bicarakan saat itu. Aku lebih banyak diam, sementara dia bersama teman-temannya.

Pantas saja wajahnya terlihat sedikit familier.

"Harun yang anak Banjarmasin bukan, sih?" aku mencoba menebak.

"Nah bener!"

Pada waktu yang sama, tawa kami melebur jadi satu. Entah apa yang lucu, tapi rasanya sangat menyenangkan dapat tertawa bersamanya. Aku mengagumi sebaris gigi putihnya yang tersusun rapi dan gelak suaranya yang begitu lepas.

Usai menyudahi tawa, aku mempersilakan Harun untuk singgah ke dalam kamar. Kami saling menanyakan kabar dan bercerita mengenai kesibukan masing-masing. Harun sempat bekerja selama setahun di perusahaan Desain Interior sebagai graphic designer. Tak lama, Harun pun kembali ke Banjarmasin dan menekuni bisnis pabrik besi baja milik ayahnya. Dia sempat tercengang sewaktu aku mengisahkan bagaimana aku bisa tiba-tiba berada di Bali.

Aku pun tidak pernah menyangka kenapa semuanya serba kebetulan seperti ini.

Telantar sebatang kara, kemudian dipertemukan dengan seseorang yang tidak pernah kuduga sebelumnya.

Namun, suatu hari nanti aku akan menyadari bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. Alam telah mengatur segalanya dalam sebuah ketetapan, dan segala sesuatu yang ada di dunia ini saling memiliki keterikatan.

Cukup lama kami membahas cerita masa lalu sampai kami benar-benar lupa waktu. Siang telah berganti sore, dan tanpa aku sadari  aku telah melewati setengah hari tanpa menyantap satu porsi sama sekali. Menjelang sore, Harun mengajakku keluar dan berjalan-jalan di sekitar pantai Seminyak.

Sejumlah payung dan kursi bantal beraneka warna yang menghiasi bibir pantai seolah-olah menjadi daya tarik tersendiri. Pada pagi hari, tempat ini akan ramai oleh para peselancar yang singgah untuk sarapan sekaligus mencari ombak untuk surfing. Sore harinya, orang-orang akan mengerumuni restoran La Plancha atau duduk di bawah payung warna-warni itu untuk bersantai sambil menunggu matahari terbenam. Begitulah yang dituturkan Harun kepadaku.

Tak ada bosan-bosannya kami berjalan di sepanjang bibir Pantai Seminyak. Kami berkejaran dan menjahili satu sama lain, memeloroti celana seperti yang sering dilakukan pria semasa kanak-kanak. Menertawakan seorang turis yang sedang bercekcok dengan kekasihnya. Ditemani suara debur ombak dan teriakan burung camar di atas sana, sore terasa lebih istimewa. Senja telah turun, air laut pun berubah menjadi jingga. Dan sesekali, Harun berhenti untuk membekukan momen itu lewat kamera ponselnya. Aku sendiri lupa di mana ponselku berada. Benda itu sudah tak penting lagi, menurutku.

Malamnya, kami berdua memutuskan untuk menikmati makan malam di restoran La Plancha. Lagi-lagi, Harun-lah yang merekomendasikan tempat ini. La Plancha tampak gemerlap pada malam hari. Bola lampu warna-warni bergelayut di sepanjang dinding. Lilin-lilin kecil pun menghiasi setiap meja. Hanya saja, bagian dalam restoran ini masih kalah ramai jika dibandingkan dengan area luar. Sebagian pengunjung lebih memilih untuk bersantap ria di bawah payung.

Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya kami memutuskan untuk beranjak dari La Plancha. Sudah pukul delapan, dan hari semakin malam.  Meskipun masih terlalu cepat untuk segera terpejam. Aku bahkan terlalu sedih ketka Harun hendak berpamitan ke hotelnya.

"Kayaknya gue perlu mandi deh. Badan gue udah bau matahari abis jalan-jalan di pantai seharian." Dia menimpal dengan nada santai. "Lo nggak apa-apa kan kalo gue tinggal sendirian?"

Terus terang saja, sulit sekali bagiku untuk menganggukkan kepala ataupun mengiyakan jawabannya. Dapat menghabiskan waktu bersama Harun seperti menyelematkanku dari kesendirian yang tak berkesudahan. Lagi pula, sudah lama sekali aku tidak menemukan seorang teman semenjak kepergian Texas ke Sydney.

Seseorang yang bisa membuatku merasa nyaman dalam keadaan terburuk sekalipun.

Aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Berharap dia dapat membaca pikiranku atau sekadar membujukku untuk menyuarakan sesuatu.

"Atau gini aja, Dam - " Harun mendaratkan telapak tangannya di pundakku, meremasnya pelan dan mengujar, Kalo elo ngerasa sepi, telepon aja gue. "Punya nomornya kan?"

Sesuatu membuat perutku melintir. Aku tak mengerti. Barangkali karena kontak fisik yang terjadi di antara kami atau karena kalimat yang baru saja dia ucapkan.

Dengan berat hati aku menjawab, "Okay..."

Harun membalikkan badannya, kemudian bersiap melangkah pergi.

Aku sendiri masih berdiri memandangi punggungnya yang kian menjauh dan mulai menghilang di antara kerumunan para turis. Semilir angin malam yang berembus dari arah pantai membuat tenggorokanku tercekat. Napasku terasa sesak. Ada sesuatu yang harus kusampaikan kepada Harun saat ini juga, tapi aku terlalu takut untuk melakukannya.

Pada waktu yang sama, aku teringat oleh kalimat Bunda yang berbunyi, lebih baik melakukan sesuatu yang gila daripada diam dan tidak melakukan apa-apa.

Mungkin kalimat Bunda ada benarnya juga.

"Harun!" Teriakanku serta-merta menghentikan langkahnya dan membuat kepalanya tertoleh ke belakang.

Aku melanjutkan, "Gimana kalau singgah sebentar aja ke hotel gue?"

Aku dapat menyaksikan sejumlah kepala memandangku dengan tatapan heran. Tapi aku sama sekali tak peduli. Begitu pula dengan Harun yang mulai melangkah mendekatiku tanpa ragu-ragu.

Suaranya nyaris berupa bisikan saat berkata, "Gue pikir itu lebih baik."

***

Lewat pintu kamar mandi yang tertutup, aku bisa mendengar bunyi air shower memancar deras. Seseorang yang berada di dalam sana telah membuatku menunggu selama 10 menit. Aku memandangi televisi dengan saksama yang sedang menayangkan serial TV 24. Mencoba memahami alur ceritanya meskipun sama sekali tidak kelihatan menarik.

"Dam..." Harun tiba-tiba menyeru namaku. Gema suaranya memenuhi setiap sudut kamar mandi. "Ambilin handuk baru dong. Handuknya jatoh ke lantai nih."

Aku beringsut turun dari tempat tidur, menyambar selembar handuk putih yang terlipat rapi di rak penyimpanan. Dan sewaktu aku tiba di depan kamar mandi, aku sempat terperanjat melihat tangan Harun yang menyembul keluar seolah menanti kedatanganku. Busa putih tampak memenuhi lengannya.

Tepat ketika jemarinya menyambar handuk pemberianku, dia mengintip keluar lewat celah pintu kamar mandi sambil bertanya, "Yakin nggak mau mandi bareng?"

Aku mengernyitkan alis. "Apaan sih, Har? Kayak anak kecil aja!"

Kali aja. Dia melepaskan tawa. Gue bilas dulu, yak.

Aku berjalan menuju ranjang dan meraih remote control yang tergeletak di atas meja nakas. Mengganti-ganti saluran televisi hanya untuk mengusir kantuk yang tiba-tiba menyerang. Tapi percuma saja. Semua itu sama sekali tidak membantu. Hampir semua saluran televisi menayangkan siaran yang tidak menghibur sedikit pun.

Merogoh Macbook dari dalam tas backpack-ku. Warna putih keabu-abuan memenuhi layarnya selama beberapa detik. Sesaat setelah proses startup itu berakhir, aku lekas membuka program Word dan mengayunkan jemariku di atas papan ketik.

Kita adalah dua kutub yang saling berlawanan.
Kau berada di utara, dan aku bermukim di selatan.
Senja kita memang berwarna jingga
Tapi kau dan aku tidak akan pernah bisa mereguk kisah yang sama
Sesalah membuang garam ke lautan
Sepercuma menanti mentari di musim hujan 

"Nulis apa, Dam?"

Aku menoleh ke belakang dan terkesiap bukan main saat melihat sosok Harun yang hanya dibalut sehelai handuk. Rambutnya masih terlihat basah. Aroma sitrus yang berasal dari tubuhnya memenuhi penciumanku.
 Kehadirannya yang serbatiba-tiba membuat jantungku berdegup sejuta kali lebih cepat.

Aku merutuk kesal sembari menutup layar Macbook-ku, "Lo ngagetin aja kayak hantu!" Sebagian dari diriku berharap agar dia tidak mengetahui apa yang sedang kutulis barusan. Sebagian yang lain justru mendesakku untuk memperhatikan sesuatu yang berada di balik handuknya.

"Lihat dong... Pelit amat!" Dan seolah tak menghiraukan ucapanku, Harun pun bergerak ke atas tempat tidur dan menjatuhkan tubuhnya di sebelahku. Menggeser telapak tanganku dengan mudah seakan-akan dia tahu bahwa aku tak sanggup mencegah tindakannya.

Aku memenuhi paru-paruku dengan oksigen dan mencoba bersikap tenang. Tapi ternyata, upayaku sia-sia. Berada di sebelah Harun dalam jarak sedekat ini membuat napasku terasa lebih berat. Detak jantungku pun semakin tak berirama.

Sambil memandangi layar Macbook yang masih menyala, dia berkata, "Gue emang belom pernah baca karya lo sebelumnya. Tapi terus terang aja nih, pas baca tulisan lo yang satu ini, rasanya ada sesuatu yang istimewa aja."

Aku mengernyit, mata memicing hingga segaris. "Deskripsi istimewa menurut lo itu seperti apa?"

Dia hanya tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sementara, mata kami bertemu dalam satu garis maya. Bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang akan dia lakukan setelah ini?

Lalu, kudengar dia bergumam lirih, "Seistimewa kamu..."

Wajah kami begitu dekat, embusan napasnya membuat kulit wajahku terasa hangat. Aku memejamkan mata perlahan dan bersiap menyambut bibir Harun yang hendak memagut bibirku. Semakin lama, ciuman kami semakin jauh. Saling mengisap, saling melumat, saling menggerayangi tanpa rela melewatkan satu inchi. Seperti ada sesuatu yang membuat kami enggan untuk mengakhirinya.

Harun merengkuhku erat-erat dalam dekapannya dan segera melepas tanktop putih yang kukenakan. Membasahi leherku dengan lidahnya sampai aku menggelinjang bagai cacing kepanasan. Di luar sana, malam mulai beranjak naik. Tapi Harun masih jaih dari selesai. Dia menjilati kedua putingku secara bergantian, kemudian beralih pada otot perutku yang sudah lama basah oleh keringat. Tahap demi tahap terus berlanjut sampai Harun memperlihatkanku sesuatu yang rasanya sulit untuk kulupakan.

Handuk putihnya telah tergeletak di atas lantai. Kini, tak ada satu benang pun yang membungkus tubuh kami berdua. Remang-remang cahaya lampu kamar memperjelas setiap keistimewaan yang terpahat pada tubuh pria ini. Dan kurasa, sudah saatnya kami menerbangkan sejuta kenangan menjadi kenyataan.

Aku menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan segera berkutat di bawah pusarnya. Sempat kudengar dia melenguh dan menyebut namaku dengan rintihan manja. Sementara, telapak tangannya tak berhenti membelai rambutku -- seakan-akan memohon agar aku tidak berhenti menghadiahinya perlakuan istimewa.

Ranjang berderik pelan, dua anak manusia sedang asyik mengekspresikan kebersamaan dalam permainan yang penuh desahan. Keringat kami melebur jadi satu. Lukisan di dinding pun menjadi saksi bisu. Keindahan yang nyaris sempurna, meskipun aku sadar apa yang kami lakukan adalah satu kesalahan besar.

Tapi aku tak peduli. Semuanya telah telanjur terjadi.

Selama beberapa saat, aku dan Harun saling berpandangan. Begitu sulit menyadari bahwa kami telah melakukan sesuatu yang gila. Namun, Harun hanya tersenyum -- seolah-olah dia sama sekali tak ambil pusing atas apa yang telah terjadi.

"Kayaknya habis ini gue mesti mandi lagi deh," ujarnya sembari menggosok dada bidangnya yang bersimbah keringat.

Aku mengamatinya dengan saksama, menduga ada sesuatu yang aneh di balik ucapannya. "Gue duluan atau lo duluan nih?"

Dia mencubit hidungku dan berkata, "Bareng aja, biar hemat air."

Belum sempat aku membuat satu penolakan, Harun lebih dulu menggapai tanganku dan mengajakku berjalan menuju kamar mandi.

***

Desir angin pagi yang mengantarkan suara ombak menghinggapi pendengaranku. Semburat sinar matahari menyeruak masuk dan tumpah di setiap sudut kamar. Dari balik jendela, aku dapat melihat kubangan awan putih yang saling berpagutan di sepanjang pita langit.

Begitu harmonis.

Begitu erat.

Seerat lengan Harun yang senantiasa melilit di pinggangku.

Sebelumnya, aku sempat berpikir kejadian tadi malam akan terulang lagi. Tapi ternyata, semua jauh berbeda dari perkiraanku. Tak ada lagi adegan penuh desahan ataupun kecup yang saling berpadu-padan. Semua itu tergantikan oleh sebuah senyuman dan sepasang bola mata hitam yang berkilau seperti matahari pagi.

Dia mencium keningku, mengucapkan selamat pagi sebelum kami sepakat untuk turun dari ranjang dan saling mengenakan pakaian. Berjalan keluar dari hotel, kemudian menuju jalan setapak yang menuntun kami ke bibir pantai Seminyak.

Sejauh mata memandang, tampak sejumlah peselancar dan para turis yang sedang berjemur di bawah terik matahari pagi. Debur ombak pantai menghantam batu karang, menyeret pasir pantai ke dalam gulungannya, lantas mencipratkan buih-buih putih di udara.

Aku melirik diam-diam ke arah Harun yang berjalan di sebelahku. Kedua matanya terbungkus oleh kacamata hitam pelindung silau matahari. Bertekad untuk memecah keheningan yang membungkus kami berdua sejak meninggalkan hotel tadi. Tapi, sesuatu justru mematahkan keberanianku. Terlebih saat kulihat dirinya yang sedang menekuni layar ponsel tanpa memalingkan pandangan.

Aku menenggelamkan kedua telapak tanganku ke dalam saku celana, memandangi fajar yang merekah di langit timur Seminyak. Jerit suara burung laut membaur dengan nyanyian ombak. Sedikitpun tidak berhasil mengusik sunyi yang menggelayut di antara aku dan Harun.

Tepat ketika aku menoleh ke arahnya, dia menyampaikan sesuatu, "Besok gue pulang ke Banjarmasin, Dam."

Kalimat yang dia tuturkan seketika membuat tenggorokanku tercekat. Kedua kakiku pun mendadak terasa sulit diayunkan. Jantungku seperti diremas berulang-ulang sehingga meninggalkan rasa sakit yang tak bisa diobati.

"Jaga diri ya, Dam..." tuturnya, tanpa mau menungguku memberi tanggapan.

Mataku terasa perih. Aku memaksakan diriku bersuara, "Lo juga, Har." Hanya itu satu-satunya kalimat yang meluncur dari bibirku. Tanpa pesan tambahan secuil pun.

Harun meraih telapak tanganku, mengusapnya lembut sebelum mendaratkan sebuah kecupan kecil sebagai tanda perpisahan.

Pikiranku berputar pada sederet peristiwa yang kulewati bersama Harun sejak pertama. Teringat bagaimana dia akhirnya menemukanku di hotel Amala; menyaksikan sosok pria linglung yang tampak tersesat. Teringat bagaimana kami berkisah dan membagi masa lalu, makan malam bersama di La Plancha. Dan untuk pertama kalinya, kami berdua tidur dalam ranjang yang sama.

Barangkali kami telah melakukan kesalahan besar.

Tapi tak mengapa. Karena bagiku, dialah satu kesalahan terindah yang pernah kulakukan.

Setetes air mataku meluncur jatuh. []



*END*
Sabtu, 27 September 2014

Faith of Love (part 2 - ending)

December 11th, Westminster

Rasanya baru kemarin aku melihat sejumlah pepohonan yang mengering di kota ini. Daun-daun kuning yang biasanya mengotori jalanan dan pekarangan rumah, kini berganti dengan lapisan salju tipis. Musim dingin telah dimulai sejak pekan terakhir bulan November.

Malam baru saja naik saat aku meninggalkan apartemen dan memilih untuk berjalan keluar. Suhu mencapai -5◦C. Angin menusuk tajam, udara dingin berusaha menembus masuk mantelku. Melewati rumah-rumah kopel dan sederet restoran yang nyaman. Tempat keluarga sejati dan beberapa pasangan muda-mudi sedang makan bersama. Bercengkerama dan tertawa sambil menikmati kehangatan di dalam sana.

Menenggelamkan telapak tangan kiriku ke saku mantel sementara aku bergerak menuju Patissarie Valerie. Menutup payungku dan segera melangkah ke dalam kafe yang bernuansa remang-remang itu.

Suasana di Patisserie Valerie tidak pernah membosankan; etalase yang dihiasi kue-kue dan aneka roti, bunyi sendok yang beradu dengan dinding cangkir, serta ingar-bingar suara pengunjung yang tengah bercakap-cakap. Bahkan tempat ini terlalu sempit untuk menampung orang-orang yang bosan mengurung diri pada Jumat malam yang beku.

Aku berdiri di depan etalase yang menyajikan roti bagel dan jenis kue-kue cantik beraneka warna. Mencomot beberapa muffin cokelat dan cupcake ke atas nampan sambil menikmati alunan musik blues yang diputar lewat pengeras suara. Dan untuk saat ini, aku harus bilang bahwa bepergian ke suatu tempat dan berbelanja adalah cara termudah untuk membahagiakan diri sendiri.

Di luar sana, salju turun lagi. Aku baru mau menuju meja kasir saat terdengar seseorang yang memanggilku dari arah konter Cheese Cake.

“Kamu lagi?” Seorang pria tak dikenal tersenyum sumringah kepadaku.

Agak ragu aku bersuara, “Permisi?”

“Kau pasti Sophie, kan?” Dia menggaruk-garuk kepala, tampak bingung sendiri dengan ucapannya. “Ah, rasanya sudah lama sekali.”

Aku menatapnya dari atas ke bawah. Mengamati sosok asing bertubuh jangkung yang dibungkus jaket dan mantel tebal, dan rambut cokelat gelapnya yang dipotong rapi.

Dia berkata lagi, “Aku Hugo. Kita pernah bertemu beberapa bulan lalu.”

Aku mengulang namanya berkali-kali sambil berpikir keras. Berusaha mencari nama itu di sepanjang koridor memoriku – barangkali ada satu atau dua momen yang pernah kami lewati, tapi tak sengaja terlupakan. Dan aku baru teringat bahwa dia adalah orang yang pernah kutemui di Legoland pada Oktober lalu.

“Ya. Senang bisa bertemu denganmu lagi,” ucapku, tersenyum malu. “Omong-omong, apa yang kaulakukan di sini?”

Telunjuknya teracung pada seiris tar Almond dan Strawberry Shortcake yang terbungkus rapi dalam mika plastik.

Dan pada saat yang sama, aku benar-benar merasa malu lantaran telah melontarkan pertanyaan bodoh.

Dia balik bertanya, “Kau tidak bersama putrimu?”

Aku tercenung selama beberapa saat. Dalam hati, aku amat menyesali kebohonganku kala itu. Mengakui Emma sebagai putri kandungku justru membuatku terjebak dalam posisi yang sulit. Bingung harus memilih 1) tetap berbohong, atau 2) mengatakan yang sesungguhnya kepada Hugo.

“Sebenarnya, dia anak temanku. Waktu itu dia menitipkannya kepadaku karena ada suatu urusan yang harus dia selesaikan bersama suaminya.” Kuungkapkan saja yang sebenarnya. Biar dia tahu bahwa aku tak pandai bersandiwara.

Hugo hanya menganggukkan kepala.

“Kau sendiri? Ke mana perginya anak perempuan yang bersamamu waktu itu?”

“Nicki berada di rumah. Musim dingin bukan waktu yang tepat untuk bepergian.”

Percakapan kami ternyata memakan waktu yang cukup lama saat seorang kasir di hadapanku berdeham seakan-akan aku telah membuat satu kesalahan. Terperanjat kaget melihat sekelompok orang di belakangku yang membentuk satu antrean panjang. Beberapa orang memandangku dengan mata melotot sambil mendengus kesal.

Aku bergegas menyelesaikan proses pembayaran dan masih sempat menyampaikan permintaan maaf sebelum keluar dari barisan.

Hugo mengekoriku dari belakang.

Dia bertanya, “Masih pertanyaan yang sama seperti waktu itu, ke mana tujuanmu setelah ini?”

“Tidak ada tempat yang bisa menyelamatkan dari badai salju selain apartemen,” jawabku. “Kau?”

Alih-alih menjawab, dia malah balik bertanya, “Kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku ikut denganmu? Sekadar bertamu sambil menghabiskan kue bersamamu, barangkali.”

Tenggorokanku tercekat sewaktu menatap bola mata hijau zamrudnya berpendar cerah terkena cahaya lampu di kafe ini. Perutku terasa nyeri oleh sesuatu yang tidak beralasan. Aku mengembangkan payungku dan menjawab, “Dengan senang hati.”
***


“Kau sendirian yang menghuni tempat ini?” tanya Hugo seraya mengambil posisi duduk di atas sofa. Matanya memindai ke seluruh penjuru ruangan. Dimulai dari pemanas ruangan, bingkai foto, kertas dinding, aneka figura dan miniatur, sampai tumpukan majalah yang tersusun rapi di bawah rak televisi.

“Terkadang aku mengajak Emma dan kedua orangtuanya ke sini,” aku menjawab dari pantry dapur, sedang menyiapkan sesuatu untuk menemani perbincangan kami. “Sementara, rekan-rekan kerjaku kebanyakan sudah berkeluarga dan punya anak. Agak sulit jika harus mengajak mereka datang setiap hari.”

“Omong-omong, kau bekerja di mana?”

“Penulis artikel di Daily World.”

“Kedengarannya menarik.”

“Ya, begitulah. Hanya saja, aku bukan bekerja sebagai karyawan tetap. Kontrakku bisa saja habis sewaktu-waktu,” tanggapku sambil menuju ruang tengah, meletakkan dua cangkir yang berisi teh ginseng dan kudapan kecil yang kudapat dari Patisserie Valerie barusan. “Bagaimana dengan kau?”

Kemudian, Hugo pun bercerita tentang pekerjaannya sebagai manajer kreatif di sebuah perusahaan iklan. Butuh kerja keras dan penantian yang cukup panjang untuk mencapai kariernya yang gemilang. Dia juga mengisahkan apa saja yang dia alami di tahun pertama ketika menggeluti profesinya; seluruh perjuangan dan berbagai peristiwa emosional yang rasanya sulit untuk dilupakan.

Sesuatu yang istimewa dalam hidupnya baru dimulai di tahun keempat. Aku baru tahu bahwa Hugo adalah seorang ayah dari pernikahan yang kini berada di ambang kehancuran. Nicki adalah putri pertamanya. Aku sendiri tidak mengerti apa penyebab utamanya sehingga peristiwa itu bisa terjadi – dan aku pun tidak memaksa Hugo untuk bercerita. Dan selama setahun terakhir, Hugo lebih sering menghabiskan hari-harinya bersama Nicki, atau bahkan seorang diri.

“Rasanya pasti sulit sekali,” gumamku lirih.

“Tentu saja. Tapi aku sudah enggan memikirkannya lagi. Bagiku, semua itu sudah selesai.” Dia mengedikkan bahu. “Well, Sophie, apakah kau tertarik pergi denganku setelah nanti?”

Mataku memicing menatapnya. “Ke mana?”

“London’s Eye selalu terlihat memesona di malam hari. Semua orang akan berkumpul di sana untuk melihat festival kembang api.”

Apa yang dibicarakan Hugo barusan adalah tentang malam pergantian tahun. Pikiranku langsung dipenuhi oleh semburat warna-warni lampu dan jutaan kembang api yang meletup di langit kota London.

Aku hendak menanggapi ajakannya sewaktu ponsel Hugo berbunyi nyaring sehingga menginterupsi niatku.

Dia menatap layar ponselnya lekat-lekat, tercenung selama beberapa saat sebelum akhirnya mengambil jarak untuk menjawab panggilan itu.

Dua menit kuhabiskan dalam diam. Aku berharap Hugo segera muncul dan menyampaikan kabar gembira, atau setidaknya sesuatu yang menarik. Tapi rasanya sangat tak mungkin. Hugo berdiri di hadapanku dengan tatapan lesu. Air mukanya tampak berantakan, seolah-olah ada sesuatu yang telah terjadi dengannya.

“Barusan itu Celine. Dia ingin bertemu denganku untuk membicarakan proses perceraian kami.” Segera saja aku tahu bahwa itu bukan pertanda baik. “Dia baru saja tiba di Heathrow.”

Betapa pun aku sangat berharap tidak mendengar berita itu dari mulutnya.

Betapa pun aku sangat mengerti dia masih mencintai wanita itu dengan segenap jiwa; meskipun separuh hatinya telah hampa.

Tapi aku tak pernah mengerti kenapa aku bisa merasakan cemburu yang amat hebat atas apa yang dia sampaikan. Tak pernah mengerti kenapa hal ini bisa terjadi kepadaku.

“Pergilah,” ujarku singkat.

Hal berikut yang kuketahui adalah Hugo beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. Memandangku sejenak sebelum dia melangkah pergi.

“Sampai nanti, Sophie...” gumamnya pelan, tapi aku terlalu letih untuk bersuara.

Pintu tertutup.

Air mataku tumpah.
***

Kontrak kerjaku berakhir di pertengahan bulan Februari. Musim salju masih belum sepenuhnya berhenti kala itu. Tapi, sebagian maskapai penerbangan tujuan domestik dan internasional telah beroperasi secara optimal. Aku akhirnya meninggalkan London pada malam hari dan terbang ke kampung halamanku di Belanda. Sudah lama sekali aku tak merasakan kehangatan yang berasal dari rumah.

Bulan April seperti menghantarkan atmosfer baru di kehidupanku. Semburat matahari musim semi yang menyeruak masuk lewat jendela membuat segalanya terasa sempurna pada pagi ini. Aku melangkah menuju dapur dan bergegas menyiapkan adonan pancake untuk menu sarapan.

Tidak ada siapa-siapa yang tinggal di rumah ini selain aku dan Mom. Dad meninggal ketika aku berusia 12 tahun. Satu hal yang kupelajari sejak hari itu, kepergian seseorang bukanlah satu alasan yang perlu ditakutkan sehingga kita sulit untuk melanjutkan kehidupan. Karena setiap hal yang pergi, pasti akan ada satu hal baru yang datang ke dalam hidup kita.

Usai menuangkan pasta cokelat dan madu ke atas pancake, aku mendengar seseorang mengetuk pintu rumahku dari luar. Aku hendak menuju asal suara itu ketika Mom lebih dulu menggerakkan kursi rodanya dan memutar kenop pintu.

Tamu dalam wujud anak perempuan berambut pirang itu bersuara, “Nona Sophie?”

Mom mendongak menatapku, seakan-akan meminta penjelasan siapa gadis kecil yang tengah berdiri di hadapan kami.

“Ya. Aku Sophie.” Aku mengernyitkan dahi sambil melepas celemek yang kukenakan. “Kau siapa?”

“Aku... Kau mungkin sudah melupakanku, tapi aku masih mengingat dengan jelas kau siapa,” ucapnya dengan seulas senyum polos.

“Oke. Tapi, bisakah kita bicara sejenak?” sergahku setengah ketakutan. Sementara, Mom masih memandangku dengan tatapan bingung.

Dia meraih telapak tanganku dan menggenggamnya erat. “Kau harus ikut aku sekarang. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu.”

Untuk sejenak, aku sempat berniat mengenyahkan genggamannya dari tanganku. Tapi, ada sesuatu yang membuatku percaya bahwa dia tak akan berbuat macam-macam. Gadis kecil ini menuntunku berjalan dan melewati pekarangan rumah yang ditumbuhi rumput dan beraneka ragam tanaman hias. Seekor sapi betina pun tampak heran menyaksikan derap langkah kami yang berubah semakin cepat.

Aku bertanya dengan napas tak keruan, “Tunggu! Ke mana kau akan membawaku?”

“Ke sana – “ Anak perempuan ini mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah kebun yang bunga tulip yang jaraknya memang cukup jauh dari rumahku.

Ternyata, inilah yang dibilang orang-orang tentang bunga cinta itu. Warna-warni bunga tulip mampu membuat siapa pun terpana akan pesonanya. Tapi, aku sedang tidak membicarakan tentang sihir yang dimiliki bunga tulip. Ada sesuatu yang membuatku benar-benar tercengang dan membuat lidahku terasa kelu.

“Seperti yang kita ketahui, Belanda adalah kota kecil yang serbakekurangan sejak perang dunia kedua berakhir. Sampai pada suatu hari di musim dingin, seorang gadis kecil dari Amerika yang bernama Rosy mengirimkan kado berisi cokelat kepada temannya tinggal di kota ini. Surat menyurat antara mereka terus berlanjut meskipun keduanya tidak pernah bertemu.”

Aku pernah mendengar dongeng itu sebelumnya. Dongeng yang mengisahkan kedua anak perempuan bernama Rosy dan Fiona yang menjalin komunikasi dengan cara surat-menyurat. Setiap kali Fiona mengisahkan apa yang terjadi di tempatnya, Rosy pasti menghadiahkan Fiona sesuatu yang mungkin diperlukannya. Pada surat mereka yang terakhir, di musim semi, Rosy menerima surat dan paket dari Fiona yang berisi umbi bunga tulip untuk ditanam.

Dan betapa pun hadiah itu teramat sederhana, Rosy sama sekali tidak mempermasalahkannya. Rosy teramat gembira. Umbi tulip itu dibagi-bagi untuk ditanam di sebagian tempat di Amerika.

Begitulah ceritanya.

“Lama tak berjumpa, Sophie.”

Sesuatu membuat mataku terasa panas. Aku masih mengingat dengan jelas saat Hugo meninggalkan apartemenku pada malam itu. Dia berdiri di ambang pintu dan berkata ‘sampai nanti’ – tanpa kupahami maksud dari kalimatnya. Dan kini, dia benar-benar membuktikan apa yang pernah dia ucapkan.

Dia menggumam, “Aku benar-benar menyesali atas apa yang telah terjadi waktu itu.”

“Aku mengerti, Hugo. Setiap orang pasti pernah mengalami masa-masa tersulit di dalam hidupnya,” balasku.

“Jadi, segalanya benar-benar telah berakhir.” Dia mulai berkisah tanpa kuminta, “Juri akhirnya memberikanku kuasa penuh atas hak asuh Nicki. Tapi dengan syarat, Celine tetap diperbolehkan menengok ataupun merawatnya dalam situasi tertentu.”

Aku membalas seadanya, “Senang mendengar kabar baik itu darimu.”

Sosok pria dalam balutan kemeja biru ini mengambil posisi berdiri di hadapanku. Pandangan kami saling bertumbukan sehingga rasanya tidak ada kesempatan bagiku untuk berkedip. Dia meraih telapak tanganku dan meremasnya lembut. Sementara, tangan kanannya mengulurkan sesuatu kepadaku.

Sebuah bunga tulip berwarna merah.

Aku menerima pemberiannya. Mencium kelopaknya yang masih terasa lengket dan basah oleh embun.

“Kau tentu mengetahui makna dari bunga tulip merah itu, Sophie...” Kalimatnya dibiarkan menggantung.

“Sebuah cinta dengan ketulusan tanpa batas,” jawabku dengan wajah merah padam. “Kuharap kau bersungguh-sungguh dengan kalimatmu, Hugo.”

“Tak ada batas dalam mencintaimu.”

“Tak ada batas untuk percaya pada kekuatan cinta,” sambung Nicki yang tiba-tiba muncul di dekat kami.
Hugo memberikan satu kecupan kecil dan membimbingku ke dalam pelukannya.

***END***