Write. Anywhere. Anytime.

Sabtu, 26 Juli 2014

Restart

Hujan baru saja usai ketika aku melangkah keluar dari sebuah kedai kopi di Old Town Square. Lampu-lampu jalan yang berpijar terang sama sekali tidak memberikan rasa hangat. Udara musim gugur rasanya menusuk hingga ke tulangku. Kuhirup lagi secangkir cappuccino yang rasanya agak tawar di lidah, semata-mata agar aku tidak kedinginan.

Aku masih ingat, itu adalah malam terakhirku di Prague.

Malam di mana aku angkat kaki dari apartemen Karin dan memilih untuk berjalan seorang diri sampai dini hari. Terus berjalan tanpa punya arah tujuan sama sekali. Tapi satu hal yang aku tahu, pada saat itu aku berhenti di Charles Bridge. Berdiri di sana selama beberapa jam sambil melamun hal-hal yang tidak penting.

Aku melihat bayang diriku sedang berdiri di bawah patung St. John Nepomuk. Bersama Bram yang hadir di sebelahku. Segalanya terasa manis pada saat itu. Menikmati langit sore kota Prague yang berwarna jingga, ditemani sepotong es krim yang berada di tangan masing-masing. Dia terus menceritakan tentang sejarah 30 patung di Charles Bridge yang kini terdengar seperti omong kosong bagiku.

Salah satu cerita yang masih kuingat adalah tentang patung itu.

“Sebagian besar orang percaya kalau patung St. John ini bisa membawa keberuntungan bagi siapa pun yang menyentuhnya.” Dia tahu aku penasaran dengan ceritanya. Oleh karena itu, dia melanjutkan, “Suatu hari nanti, orang itu pasti akan kembali lagi ke kota ini.”

Aku mulai berargumen, “Kata siapa?”

“Aku nggak tahu. Kisahnya menyebar dari mulut ke mulut.” Dia mengedikkan bahu. “Kalau kamu mau lihat salah satu contohnya, ya aku.”

Selanjutnya, Bram mulai bercerita bagaimana dia bersama ibunya naik kereta dari Berlin dan tiba di sini pada pukul satu siang. Itu adalah siang yang cerah yang di musim panas. Begitu yang dia ceritakan kepadaku. Bram mengambil foto dengan berbagai pose di bawah patung St. John dan sempat menyentuhnya beberapa kali. Ibunya pun melakukan hal yang serupa.

Dia mengakhiri cerita itu dengan satu kalimat pendek, “Aku sayang kamu, Win...”

Dan itu adalah hal berikutnya yang tidak ingin kuingat.

Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak punya punya alasan mengapa aku teramat benci dengan kalimat sederhana itu. Barangkali karena aku telah menyadari bahwa aku sama sekali tidak istimewa baginya.

Satu hal yang kutahu, pada waktu itu aku hanya bergeming. Aku dapat merasakan jantungku berdegup kencang seakan hendak melompat dari dadaku. Es krim cokelat yang kupegang pun mendadak terlepas dari genggaman.  Seolah-olah, aku baru saja mendengarkan hal yang paling membahagiakan di hidupku.

Tapi saat ini, aku tidak ingin mengingatnya lagi. Aku sudah telanjur muak dengan dirinya yang terlalu licik. Dan aku pun benci kepada diriku yang terlalu picik. Entah kenapa aku bisa dibodohi oleh cinta dengan mudahnya, dengan tiga kata sederhana yang sama sekali tidak memiliki makna.

Aku memandangi lagi ke layar ponselku. Jam sudah menunjukkan pukul empat subuh. Kabut tipis mulai memenuhi pemandangan di hadapanku. Tapi matahari belum muncul sama sekali. Aku mulai berpikir, sudah saatnya kepedihan ini berakhir. Sudah tak ada gunanya bertahan di sini untuk mempertahankan segala sesuatu yang tidak pasti.

Dengan kata lain, sudah saatnya aku berjalan dan melangkah pulang.

Pulang untuk mencari arti kebahagiaan yang sesungguhnya.

Jumat, 18 Juli 2014

Prelude

PRELUDE

“Windy... I want you to be mine. Will you?”

Aku tercenung. Alat perekam itu masih berada di genggamanku. Jantungku selalu bergetar cepat setiap kali aku mendengar rekaman suara yang tidak lebih dari tujuh detik itu. Tak pernah bosan memainkannya berulang-ulang sampai-sampai aku hafal akan intonasi suara dan bunyi napas yang kerap muncul di pertengahan kalimat.

Sebuah suara yang selalu membuatku rindu pada keteduhan di kedua bola matanya, segaris senyum yang menenangkan, dan gelak tawanya yang renyah. Bahkan segala sesuatu tentangnya masih terasa nyata di ingatanku.

Hanya saja, satu hal yang menjadi masalah saat ini adalah; aku tidak menemukan jawaban yang tepat untuk membalas pertanyaannya. Aku telah kehabisan kata-kata. Dan pikiranku pun seolah tidak mau diajak bekerjasama.

Ibu jariku berada pada tombol record yang berwarna merah. Aku hendak menguraikan satu alasan panjang saat terdengar sebuah ketukan di pintu kamarku.

“Windy...”

Itu suara Papa.

Alat suara itu tak lagi kupedulikan.

Aku bergegas turun dari tempat tidur. Menghirup napas dalam-dalam sambil merapikan rambutku, sebelum menyambut seseorang di balik pintu itu.

“Iya, Pa,”

Papa membetulkan letak kacamatanya dan berkata, “Udah ditungguin di bawah tuh.”

Aku menengok ke arah jam bundar yang menempel di dinding kamarku. Pukul empat lebih sepuluh menit. Itu berarti, aku telah membuang waktu enam ratus detik tanpa melakukan apa-apa.

Segera saja aku bertanya, “Aku harus kasih jawaban seperti apa, Pa?”

Papa tersenyum. Garis kerutan di wajahnya terlihat semakin jelas. “Hanya kamu yang tahu jawabannya, Win. Ini masalah kejujuran hati.”

“Dan, gimana kalau jawaban dari aku malah bikin dia kecewa?” tukasku gelisah.

Papa meletakkan kedua telapak tangannya di bahuku, meremasnya lembut sambil berkata, “Papa yakin dia bisa terima apa pun keputusan kamu.” Dia tersenyum lagi. “Sekarang, temui dia di bawah, ya.”

Aku menggigit bibir bawahku, meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mulai menuruni sejumlah anak tangga dengan amat hati-hati. Tangan kananku mencengkeram erat pegangan tangga, khawatir kalau aku akan terpeleset atau jatuh sewaktu-waktu.

Dan ketika kakiku menapaki anak tangga yang terakhir, aku dapat melihat kehadirannya dengan sangat jelas. Duduk di atas sofa ruang tamu. Dalam balutan kemeja cokelat dan celana jins berwarna gelap; satu setelan khas dirinya. Pandangannya tertancap ke lantai. Meskipun begitu, aku dapat merasakan segunduk kecemasan yang bergejolak di sepasang bola matanya. Kecemasan yang bercampur dengan secuil harapan.

Sadar akan sosokku yang tengah mengamatinya dari jauh, dia pun menyapa, “Hei.”

Aku menyeret kedua kakiku ke arahnya dan lekas mengambil posisi duduk di atas sofa. “Maaf agak lama. Tadi abis – beresin kamar sebentar,” ujarku terpaksa berbohong.

“Tadinya aku sempat mikir kalau kamu nggak bakalan turun, lho.”

Aku membalas penuturannya dengan senyuman kecil, tahu dia sedang berbasa-basi untuk menghindari kecanggungan. Dan sejak awal aku sudah menebak, berada di dekatnya sudah pasti akan membuatku gugup. Saking gugupnya, aku bahkan tidak tahu bagaimana memulai sebuah pembicaraan.

Tapi, kecanggungan itu berangsur hilang ketika kudengar dia bersuara, “Tentang pertanyaan aku waktu itu, kamu udah punya jawabannya?”

“Aku – sejujurnya aku belum tahu harus ngambil keputusan seperti apa.”

Hening selama beberapa saat.

Aku yakin, pernyataanku barusan sudah cukup mematahkan separuh dari harapannya. Semua itu tergambar jelas dari wajahnya yang seolah-olah tak ada lagi keinginan untuk berada di sini lebih lama.

Tapi, sebelum terjadi kesalahpahaman di antara kami, aku segera menambahkan, “Aku sama sekali nggak bermaksud narik-ulur hati kamu, Bay. Aku cuma – belum yakin aja.” Lanjutku, “Aku takut kalau ada penyesalan yang harus dibayar oleh salah satu di antara kita suatu hari nanti.”

“Aku ngerti. Dari awal harusnya aku nggak perlu mendesak kamu untuk nerima cinta aku, Win. Aku juga belum tentu siap kalau harus mendengar satu penolakan dari kamu.” Dia menyeringai pasrah, berusaha menghibur diri sendiri dengan kalimat itu. “Tapi nggak apa-apa. Just take your time.”

Di satuan waktu selanjutnya, aku menyadari dia telah beranjak dari sofa. Berancang-ancang mengambil langkah menuju pintu utama. Dan aku tahu, aku tidak punya banyak waktu untuk melakukan sesuatu jika aku hendak menahan kepergiannya.

“Bayu!” panggilku setengah berteriak. “Kamu masih bersedia nunggu?”

Cukup lama dia menatapku dari balik kacamata minus itu sampai kudengar dia mengujar, “I will.”

Okay, stay right here! Aku permisi ke kamar dulu.”

Dengan segenap kekuatan yang aku punya, aku segera berlari ke lantai atas. Jantungku terasa berdengap saat aku tiba di kamar.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ini. Selama dua menit, aku habiskan dalam diam sambil mematut bayang diriku di depan cermin. Semenit lagi kuhabiskan untuk mondar-mandir tanpa berbuat apa-apa. Semenit berikutnya, aku sudah menutup pintu kamar dan kembali menemui Bayu yang masih berdiri di ambang pintu rumahku.

“Aku udah ngambil keputusan. Dan kamu bisa dengerin jawabannya ketika kamu sampai di rumah,” ujarku di sela-sela napas yang tak keruan. Tanganku mengulurkan sesuatu berwarna silver kepadanya.

Bayu menerima pemberianku. Memandangi benda itu dengan tatapan bingung bercampur penasaran. “Kamu yakin sama semua ini?” Dia bertanya sambil menimang-nimang alat perekam suara itu.

“Sepenuhnya yakin,” jawabku dengan kepala terangguk.

Minggu, 06 Juli 2014

Surat Untuk Bapak Jokowi

Sore itu, saya berdiri mematung di depan lobi utama Plaza Semanggi. Saya baru saja turun dari Sky Dining dan hendak menuju jembatan penyeberangan yang mengarah ke halte Trans Jakarta. Benar. Jembatan penyeberangan yang jaraknya nyaris 500 meter itu. Tapi saya tidak terlalu buru-buru untuk pulang. Saya masih berdiri di sana sambil mengamati satu pemandangan yang membuat hati saya tergetar.

Lengkungan bunga cengkih di jalanan Semanggi itu masih sama seperti terakhir kali saya melihatnya. Pepohonan dan rumput-rumput hijau itu tampak segar oleh semprotan air yang mencuat di tengah-tengah halaman. Saya senang sekali menyaksikannya dari atas sini. Meskipun sesekali terllihat sejumlah kendaraan yang terjebak dalam kemacetan, hal itu sama sekali tidak memengaruhi saya untuk segera beranjak.

Saya masih berada di sana untuk beberapa saat yang lama. Menikmati senja yang meleleh di langit sore kota Jakarta, sembari merenungkan sejumlah peristiwa yang pernah terjadi di tempat ini belasan tahun yang lalu. Belasan tahun yang terasa sangat kelam buat saya, buat seluruh warga Indonesia, dan tentu saja buat Bapak Jokowi juga.

Saya memang tidak berada di kota ini pada tahun 1998. Saya menempuh pendidikan saya selama sembilan tahun di Pulau Bangka dan hanya tahu peristiwa itu lewat berita. Lagi pula, saya masih terlalu kecil untuk ikut campur dalam unjuk rasa itu. Satu hal yang masih saya ingat, seluruh media cetak dan media elektronik selalu dipenuhi dengan berita mengenaskan. Kolom artikel yang memaparkan betapa kejamnya pemimpin negara dan para kaki-tangannya.

Kita semua tahu apa yang terjadi dalam peristiwa itu. Pekik kebencian dari para mahasiswa Universitas Atmajaya kepada aparat negara, sumpah serapah yang membabi-buta, dan milyaran cara telah mereka coba untuk mengalahkan antek-antek bersenjata. Para pasukan anti huru-hara tak mau kalah. Mereka berbalik menyerang sampai beberapa orang di antara mereka harus mengorbankan nyawa. Bahkan ada pula oknum yang sengaja menculik para aktivis dengan modus tertentu. Menodongkan pistol, memasukkan mereka secara paksa ke dalam mobil Toyota Twin Cam, lalu membawa mereka kabur.

Kejadian itu berlangsung di depan RS Cipto Mangunkusumo.

Dan saya yakin, Bapak mungkin sedang menebak-nebak siapa pelakunya.

Segalanya mungkin telah berlalu sejak lama, Pak. Kematian Elang dan kawan-kawannya mungkin hanya sekadar sejarah. Tapi bagi kami, semua itu masih jauh dari kata selesai. Saya sendiri masih sering dihantui rasa takut setiap kali membayangkan hal-hal yang demikian terulang kembali. Penculikan, maraknya kekacauan, krisis keuangan, pengkhianatan, ambruknya sistem pemerintahan, politik dinasti... Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka.

Jadi... Kepada Pak Jokowi yang baik hati...

Mungkin surat ini hanya berisi seputar kilas-balik masa lalu Indonesia. Semua orang masih bisa menyampaikan isi yang lebih baik daripada saya. Namun, jauh di dasar hati saya, ada harapan besar yang saya tanamkan kepada Bapak. Seluruh warga Indonesia – kami –  tidak ingin negara ini jatuh untuk kesekian kalinya. Kami tidak ingin melihat pertumpahan darah oleh mereka yang tidak berdosa.

Sejatinya, kami menginginkan pemimpin yang lebih baik. Pemimpin yang sabar. Kami benar-benar berharap negeri ini dipimpin oleh seseorang seperti Bapak. Sosok yang rendah hati, yang menginspirasi, yang dermawan, tegas namun tidak menakutkan, dan yang paling penting; yang mengerti bagaimana caranya membaur dengan rakyat. Dan semua itu ada di dalam diri Pak Jokowi.

Kami semua senang dan sangat kagum dengan Bapak. Sama seperti saya mengagumi bentuk bunga cengkih di jalan Semanggi.
Oleh karena itulah, kami menaruh harapan besar padamu, Pak Jokowi.
Terima kasih banyak.

#SalamDuaJari