Write. Anywhere. Anytime.

Kamis, 28 Agustus 2014

Faith Of Love


Sebagian orang mungkin berpikir jika musim gugur akan lebih baik jika dihabiskan dengan mengurung diri di dalam rumah. Mengenakan kaus kaki dan bergelung di dalam selimut tebal, menyaksikan daun mapel yang berguguran, atau sekadar menikmati sereal cokelat sambil menonton DVD seharian penuh.

Tapi aku bukan salah satu dari orang seperti itu.

Aku lebih memilih keluar dan berjalan menyusuri Alderney Street bersama seorang gadis kecil yang biasa kupanggil Kitty. Well, nama aslinya Emma Huntington. Dia baru berusia lima tahun, masih duduk di taman kanak-kanak. Memiliki rambut panjang berwarna pirang yang sering dikuncir ekor kuda. Emma terbiasa menata rambutnya sendiri sejak kecil.

Kami meninggalkan apartemen pukul satu siang. Singgah sebentar ke sebuah kafe kecil untuk membeli secangkir kopi dan cokelat panas. Matahari tertutup oleh awan tebal. Dedaunan kering yang teronggok di sepanjang jalan Pimlico sesekali tertiup oleh angin. Ranting-ranting pohon di sekitar kami berderik pelan, pertanda hujan akan turun. Tapi kami tak peduli. Terus melanjutkan perjalanan hingga kami tiba di Legoland Windsor Resort.

Atmosfer berbeda mulai terasa ketika kulihat slogan ‘Play Your Part’ yang terpampang di pintu masuk. Huruf kapital hitam yang bertuliskan LEGOLAND itu seakan-akan menyambut kedatangan kami. Aku sama sekali tidak punya rencana untuk pergi ke sini. Namun entah kenapa, setiap kali melewati tempat ini, Emma selalu menggamit tanganku untuk segera masuk ke pusat permainan lego itu.

Aku tak sampai hati jika harus menolak keinginannya.

Menuju Duplo Valley – sebuah wahana permainan yang memperbolehkan kami menjelajahi lembah dengan sebuah perahu sampai terkena cipratan air. Menikmati es krim Cornetto sambil menaiki kereta Brickville Express. Kemudian berteriak sekencang-kencangnya saat melaju di atas Dragon Roller Coaster. Sewaktu berada di Atlantis Experience, kami sempat mengabadikan momen itu dengan memotret beberapa ikan hiu dan bermacam-macam tumbuhan laut.

Aku dan Emma berhenti di satu wahana bernama Miniland. Menyaksikan miniatur kota dari berbagai negara di dunia yang tersusun menggunakan empat puluh juta blok lego. Setiap detail kota itu diciptakan semirip mungkin dengan versi aslinya. Bahkan, jika diperhatikan dari dekat, lego-lego itu seakan-akan tampak sangat nyata.

“Sebagian warga Inggris masih belum tahu apa itu The Elizabeth Tower. Mereka beranggapan bahwa menara itu bernama Big Ben. Padahal sebenarnya, Big Ben adalah nama lonceng yang berada di dalam jam itu. Menaranya sendiri disebut St. Stephen Tower.”

Seorang pria berambut cokelat gelap yang mengenakan sweter kasmir abu-abu bersuara di belakangku. Memandangnya dari atas ke bawah, menebak-nebak apa yang membuat dirinya muncul di sana dan menceritakan asal-usul tentang jam raksasa yang dikenal dengan nama Big Ben. Pria itu tidak berdiri sendirian. Dia hadir bersama seorang anak perempuan yang sepertinya seusia dengan Emma.

“Itu saudara perempuanmu?” Dia bertanya sambil melirik Emma yang sedang mengamati struktur kota London yang terbuat dari lego.

“No, ze is mijn dochter[1],” jawabku terpaksa berdusta. Karena faktanya, Emma adalah keponakanku. Kedua orangtuanya sedang berada di luar kota lantaran ada urusan pekerjaan.

“Aku rasa – kau berasal dari sana, ya?” Telunjuknya terarah pada miniatur lego berbentuk rumah kincir angin yang dikelilingi kebun bunga tulip dan peternakan sapi.

Penuturannya kuiyakan dengan anggukan kepala.

“Belanda sangat menakjubkan. Aku pernah mengunjungi tempat itu sekali saat aku masih kuliah,” ucapnya membuat pengakuan. “Jadi, ke mana tujuanmu setelah ini?”

“Aku tidak tahu. Barangkali pulang ke apartemen,”

“Kau tidak berminat mengunjungi taman hiburan di Hyde Park? Ada sejumlah wahana permainan di sana.” Pria dengan bola mata hijau zamrud itu membenamkan kedua telapak tangannya ke dalam sweter dan melanjutkan, “Kau tahu. Ferris Wheel, Caroussel, Rumah Hantu, permen kapas... Rasanya sayang sekali untuk dilewatkan.”

Ucapannya terdengar seperti pemandu wisata yang menawarkan paket perjalanan dengan tarif murah. Dan untuk sesaat, aku sempat menoleh pada Emma yang sedang mendongakkan kepala dengan tatapan penuh harap; satu pertanda bahwa dia sangat ingin mengunjungi tempat itu. Membayangkan keseruan kami saat menembak balon-balon yang berhadiah boneka, naik ke atas replika bus Double Decker, dan membawa sepasang balon terbang ke apartemen.

Tapi aku menjawab, “Kedengarannya menarik. Tapi, lain kali saja. Aku harus segera pulang.”

“Baiklah, geniet van je dag[2],” ucapnya seraya menganggukkan kepala.

Tanpa perlu berpamitan, aku segera meraih tangan Emma dan mengajaknya menjauh dari pria asing di hadapan kami. Sebisa mungkin berjalan cepat-cepat agar tak perlu lagi terlibat dalam percakapan yang tidak kuinginkan.

Dan tepat ketika aku hendak menggendong tubuh Emma ke dalam pelukanku, aku mendengar satu teriakan lagi dari pria itu.

“Hey!” panggilnya dari kejauhan. Bocah perempuan di sebelahnya melambaikan tangan. “Siapa namamu?”

Aku menoleh ke belakang dan berseru, “Sophie!”

“Aku Hugo. Senang bisa berkenalan denganmu!”

Aku melempar seulas senyum, kemudian bersiap untuk melangkah pergi.

Dalam hati aku membatin, senang berkenalan denganmu, Hugo.

(to be continued)



[1]. Dia adalah anak perempuanku
[2]. Selamat menikmati harimu
Rabu, 06 Agustus 2014

Last Night

“Menurut kamu, nanti kita bakal ketemu lagi nggak, sih?”

Pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja ketika kami saling bertatapan dalam waktu yang lama. Benar saja. Aku menganggap kalimat itu sebagai pertanyaan bodoh karena aku tidak terlalu yakin dengan apa yang kuucapkan. Tidak terlalu yakin juga apakah dia memahami maksud dari pertanyaanku.

Malam semakin larut ketika nyanyian jangkrik di luar sana terdengar mengganggu telinga. Jarum jam yang berada di angka dua belas seolah-olah mengingatkan kami bahwa tanggal telah berganti. Tapi kami tak sedikit pun hendak memejamkan mata dan lekas tersesat di alam mimpi. Masih ingin seperti ini – saling merengkuh satu sama lain di bawah selimut – untuk waktu yang cukup lama.

“Aku boleh tahu alasan kenapa kamu masih mau ketemu aku?” Dia memandangku dengan satu alis terangkat. “Kamu sama sekali nggak nyesel kenal sama orang kayak aku, gitu?”

Aku menggeleng yakin. “Karena kamu orang yang menyenangkan. Dan terus terang, aku ngerasa nyaman sama kamu.” Aku sadar, sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa menjadi orang verbal. Aku selalu gagal menyampaikan jawaban kepada seseorang dengan kalimat yang cukup tepat.

Dia menarik selimut hingga menutupi dadanya dan menatapku lekat-lekat. Bibirnya terkunci rapat selagi aku merasakan jemarinya di setiap riak rambutku. Membelai lembut kepalaku sambil tersenyum saat aku mengernyit heran ke arahnya.

“Kenapa?”

“Kamu lucu,” ucapnya seakan-akan sedang berhadapan dengan pendongeng favoritnya.

“Nyebelin!” cibirku sembari mencubit hidungnya.

Satu hal yang aku tahu selanjutnya, dia mengenyahkan diri dari selimut dan mengambil posisi di atasku. Mengusap pipiku sebelum kedua bibir kami saling berpagutan dalam irama pelan. Aku dapat merasakan sensasi hangat yang menjalar di sepanjang aliran darahku, mendesakku untuk tidak berhenti melumat bibirnya, menggerilya lidahnya dengan satu gigitan kecil.

Tepat ketika tangannya berada di dadaku, memoriku mendadak terlempar pada satu masa di mana semua ini berawal.

Aku sedang mengunjungi sebuah situs pertemanan yang berinisial J ketika sebuah pesan baru masuk di inbox-ku. Sebuah pesan dari seseorang tak dikenal. Awalnya aku tidak berminat memeriksa apalagi menanggapi pesan itu. Tapi sewaktu aku mengetahui ada ketulusan yang tersirat pada sapaannya, aku jadi tergerak untuk mengetik pesan balasan. Kami sepakat untuk bertukar foto di kesempatan selanjutnya. Saling bertukar cerita sampai kami memutuskan agar percakapan kami dilanjutkan di messenger yang lebih serius.

Aku berinisiatif menyapanya di Whatsapp lebih dulu. Mengajaknya bercakap-cakap tentang hal-hal kecil seperti; apa kesibukannya, tinggal di mana, dan berbagai topik wajar lainnya. Kemudian, aku merasakan ada satu dorongan yang berasal nuraniku untuk merencanakan sebuah pertemuan. Dan aku sempat tak percaya saat dia menyetujui ajakanku, meskipun aku sadar akan satu hal; entah kapan dan di mana pertemuan itu akan berlangsung.

Dia hanya berpesan, just let me know if you’re ready enough to meet me.

Dan selanjutnya, peristiwa itu benar-benar terjadi.

Selasa siang, pukul dua lebih tiga puluh lima menit, aku berlari keluar dari gedung Nav Karaoke dan segera menuju tempat yang dia maksud. Ragu-ragu aku berjalan mendekati seseorang dengan sweter putih yang tengah menilik gadget di atas motor besarnya. Dia yang pertama kali menyapa dan mengulurkan jabat tangan perkenalan itu. Untuk sejenak aku sempat merasakan ada sesuatu aneh yang muncul saat telapak tangan kami saling bersentuhan.
Sesuatu yang membuatku terenyuh dan ingin menikmatinya lagi dan lagi.

Dan aku tidak sedikit pun menghiraukannya.

Kami tetap berbincang beberapa patah kata sebelum akhirnya dia memilih untuk pergi sejenak lantaran ada urusan yang harus dia selesaikan. Itu saja yang terjadi pada pertemuan singkat kami.

Satu hal yang masih dan akan terus kuingat adalah ketika kami bertemu di kesempatan selanjutnya. Pertemuan itu berlangsung di hari yang sama, namun di jam yang berbeda. Aku baru saja bertolak dari rumah temanku yang jaraknya tidak terlalu jauh jika dijangkau dengan berjalan kaki.  Sekitar pukul setengah sepuluh, dia hadir dengan sebuah kendaraan yang terlihat berbeda dengan tadi sore. Di atas skuter matic yang dikendarainya, dia membuat pengakuan bahwa kondisi kesehatannya tidak terlalu baik. Terbatuk-batuk di tengah pembicaraan kami yang membaur dengan angin malam.

Aku mungkin tidak mengerti bagaimana caranya agar dia merasa lebih baik. Tapi aku tidak ingin tinggal diam. Segera melingkarkan lenganku di pinggangnya, dan sesekali mengusap dadanya jika batuk itu kumat kembali. Hanya itu yang bisa kulakukan.

“Babe...” panggilnya lirih. Terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, “Kamu udah ngantuk?”

No. My mind was filled with your memory. And I dont know why i cant stop thinking about it, even just for a while. I guess, I have fell in love with someone – someone with his bright eyes, his dark skin, his tall body, and for every single thing he got. And the only one I think about is you, Baby.

That’s you...

“Kamu mau tidur?” aku balik bertanya sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu halus.

“Aku bakal tidur kalau kamu juga tidur.” Begitu katanya.

My heartbeat suddenly quickened. I dont know. It was soft and seductive. I remembered seeing him in blue sweater on his motorcycle and he smiled at me. Then my world was stop spinning. I could feel the warmth coming off from him and could smell his perfume and sweet like a wine.

And i wondered if he could hear my heart beating so fast.

Aku menjawab pertanyaannya dengan sebuah anggukan. Setuju bahwa inilah saat yang tepat untuk segera beristirahat dan pergi ke alam mimpi. Barangkali kami diberi kesempatan untuk berada bersama di sana juga?

Dia mengambil posisi tidur yang benar, lalu memberi tempat bagiku untuk berbaring di sebelahnya. Menarik kembali selimut yang melesak jauh dari kasur sembari berkata, “Kamu tahu, aku yakin kita pasti bakal ketemu lagi.”

Aku dapat merasakan sebuah ketulusan di dalam kalimatnya. Dan aku sepenuhnya percaya.

Sebelum kami benar-benar memejamkan mata, dia sempat menghujaniku dengan kecupan di kening, kemudian membimbingku ke dalam pelukannya.