Write. Anywhere. Anytime.

Sabtu, 27 September 2014

Faith of Love (part 2 - ending)

December 11th, Westminster

Rasanya baru kemarin aku melihat sejumlah pepohonan yang mengering di kota ini. Daun-daun kuning yang biasanya mengotori jalanan dan pekarangan rumah, kini berganti dengan lapisan salju tipis. Musim dingin telah dimulai sejak pekan terakhir bulan November.

Malam baru saja naik saat aku meninggalkan apartemen dan memilih untuk berjalan keluar. Suhu mencapai -5◦C. Angin menusuk tajam, udara dingin berusaha menembus masuk mantelku. Melewati rumah-rumah kopel dan sederet restoran yang nyaman. Tempat keluarga sejati dan beberapa pasangan muda-mudi sedang makan bersama. Bercengkerama dan tertawa sambil menikmati kehangatan di dalam sana.

Menenggelamkan telapak tangan kiriku ke saku mantel sementara aku bergerak menuju Patissarie Valerie. Menutup payungku dan segera melangkah ke dalam kafe yang bernuansa remang-remang itu.

Suasana di Patisserie Valerie tidak pernah membosankan; etalase yang dihiasi kue-kue dan aneka roti, bunyi sendok yang beradu dengan dinding cangkir, serta ingar-bingar suara pengunjung yang tengah bercakap-cakap. Bahkan tempat ini terlalu sempit untuk menampung orang-orang yang bosan mengurung diri pada Jumat malam yang beku.

Aku berdiri di depan etalase yang menyajikan roti bagel dan jenis kue-kue cantik beraneka warna. Mencomot beberapa muffin cokelat dan cupcake ke atas nampan sambil menikmati alunan musik blues yang diputar lewat pengeras suara. Dan untuk saat ini, aku harus bilang bahwa bepergian ke suatu tempat dan berbelanja adalah cara termudah untuk membahagiakan diri sendiri.

Di luar sana, salju turun lagi. Aku baru mau menuju meja kasir saat terdengar seseorang yang memanggilku dari arah konter Cheese Cake.

“Kamu lagi?” Seorang pria tak dikenal tersenyum sumringah kepadaku.

Agak ragu aku bersuara, “Permisi?”

“Kau pasti Sophie, kan?” Dia menggaruk-garuk kepala, tampak bingung sendiri dengan ucapannya. “Ah, rasanya sudah lama sekali.”

Aku menatapnya dari atas ke bawah. Mengamati sosok asing bertubuh jangkung yang dibungkus jaket dan mantel tebal, dan rambut cokelat gelapnya yang dipotong rapi.

Dia berkata lagi, “Aku Hugo. Kita pernah bertemu beberapa bulan lalu.”

Aku mengulang namanya berkali-kali sambil berpikir keras. Berusaha mencari nama itu di sepanjang koridor memoriku – barangkali ada satu atau dua momen yang pernah kami lewati, tapi tak sengaja terlupakan. Dan aku baru teringat bahwa dia adalah orang yang pernah kutemui di Legoland pada Oktober lalu.

“Ya. Senang bisa bertemu denganmu lagi,” ucapku, tersenyum malu. “Omong-omong, apa yang kaulakukan di sini?”

Telunjuknya teracung pada seiris tar Almond dan Strawberry Shortcake yang terbungkus rapi dalam mika plastik.

Dan pada saat yang sama, aku benar-benar merasa malu lantaran telah melontarkan pertanyaan bodoh.

Dia balik bertanya, “Kau tidak bersama putrimu?”

Aku tercenung selama beberapa saat. Dalam hati, aku amat menyesali kebohonganku kala itu. Mengakui Emma sebagai putri kandungku justru membuatku terjebak dalam posisi yang sulit. Bingung harus memilih 1) tetap berbohong, atau 2) mengatakan yang sesungguhnya kepada Hugo.

“Sebenarnya, dia anak temanku. Waktu itu dia menitipkannya kepadaku karena ada suatu urusan yang harus dia selesaikan bersama suaminya.” Kuungkapkan saja yang sebenarnya. Biar dia tahu bahwa aku tak pandai bersandiwara.

Hugo hanya menganggukkan kepala.

“Kau sendiri? Ke mana perginya anak perempuan yang bersamamu waktu itu?”

“Nicki berada di rumah. Musim dingin bukan waktu yang tepat untuk bepergian.”

Percakapan kami ternyata memakan waktu yang cukup lama saat seorang kasir di hadapanku berdeham seakan-akan aku telah membuat satu kesalahan. Terperanjat kaget melihat sekelompok orang di belakangku yang membentuk satu antrean panjang. Beberapa orang memandangku dengan mata melotot sambil mendengus kesal.

Aku bergegas menyelesaikan proses pembayaran dan masih sempat menyampaikan permintaan maaf sebelum keluar dari barisan.

Hugo mengekoriku dari belakang.

Dia bertanya, “Masih pertanyaan yang sama seperti waktu itu, ke mana tujuanmu setelah ini?”

“Tidak ada tempat yang bisa menyelamatkan dari badai salju selain apartemen,” jawabku. “Kau?”

Alih-alih menjawab, dia malah balik bertanya, “Kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku ikut denganmu? Sekadar bertamu sambil menghabiskan kue bersamamu, barangkali.”

Tenggorokanku tercekat sewaktu menatap bola mata hijau zamrudnya berpendar cerah terkena cahaya lampu di kafe ini. Perutku terasa nyeri oleh sesuatu yang tidak beralasan. Aku mengembangkan payungku dan menjawab, “Dengan senang hati.”
***


“Kau sendirian yang menghuni tempat ini?” tanya Hugo seraya mengambil posisi duduk di atas sofa. Matanya memindai ke seluruh penjuru ruangan. Dimulai dari pemanas ruangan, bingkai foto, kertas dinding, aneka figura dan miniatur, sampai tumpukan majalah yang tersusun rapi di bawah rak televisi.

“Terkadang aku mengajak Emma dan kedua orangtuanya ke sini,” aku menjawab dari pantry dapur, sedang menyiapkan sesuatu untuk menemani perbincangan kami. “Sementara, rekan-rekan kerjaku kebanyakan sudah berkeluarga dan punya anak. Agak sulit jika harus mengajak mereka datang setiap hari.”

“Omong-omong, kau bekerja di mana?”

“Penulis artikel di Daily World.”

“Kedengarannya menarik.”

“Ya, begitulah. Hanya saja, aku bukan bekerja sebagai karyawan tetap. Kontrakku bisa saja habis sewaktu-waktu,” tanggapku sambil menuju ruang tengah, meletakkan dua cangkir yang berisi teh ginseng dan kudapan kecil yang kudapat dari Patisserie Valerie barusan. “Bagaimana dengan kau?”

Kemudian, Hugo pun bercerita tentang pekerjaannya sebagai manajer kreatif di sebuah perusahaan iklan. Butuh kerja keras dan penantian yang cukup panjang untuk mencapai kariernya yang gemilang. Dia juga mengisahkan apa saja yang dia alami di tahun pertama ketika menggeluti profesinya; seluruh perjuangan dan berbagai peristiwa emosional yang rasanya sulit untuk dilupakan.

Sesuatu yang istimewa dalam hidupnya baru dimulai di tahun keempat. Aku baru tahu bahwa Hugo adalah seorang ayah dari pernikahan yang kini berada di ambang kehancuran. Nicki adalah putri pertamanya. Aku sendiri tidak mengerti apa penyebab utamanya sehingga peristiwa itu bisa terjadi – dan aku pun tidak memaksa Hugo untuk bercerita. Dan selama setahun terakhir, Hugo lebih sering menghabiskan hari-harinya bersama Nicki, atau bahkan seorang diri.

“Rasanya pasti sulit sekali,” gumamku lirih.

“Tentu saja. Tapi aku sudah enggan memikirkannya lagi. Bagiku, semua itu sudah selesai.” Dia mengedikkan bahu. “Well, Sophie, apakah kau tertarik pergi denganku setelah nanti?”

Mataku memicing menatapnya. “Ke mana?”

“London’s Eye selalu terlihat memesona di malam hari. Semua orang akan berkumpul di sana untuk melihat festival kembang api.”

Apa yang dibicarakan Hugo barusan adalah tentang malam pergantian tahun. Pikiranku langsung dipenuhi oleh semburat warna-warni lampu dan jutaan kembang api yang meletup di langit kota London.

Aku hendak menanggapi ajakannya sewaktu ponsel Hugo berbunyi nyaring sehingga menginterupsi niatku.

Dia menatap layar ponselnya lekat-lekat, tercenung selama beberapa saat sebelum akhirnya mengambil jarak untuk menjawab panggilan itu.

Dua menit kuhabiskan dalam diam. Aku berharap Hugo segera muncul dan menyampaikan kabar gembira, atau setidaknya sesuatu yang menarik. Tapi rasanya sangat tak mungkin. Hugo berdiri di hadapanku dengan tatapan lesu. Air mukanya tampak berantakan, seolah-olah ada sesuatu yang telah terjadi dengannya.

“Barusan itu Celine. Dia ingin bertemu denganku untuk membicarakan proses perceraian kami.” Segera saja aku tahu bahwa itu bukan pertanda baik. “Dia baru saja tiba di Heathrow.”

Betapa pun aku sangat berharap tidak mendengar berita itu dari mulutnya.

Betapa pun aku sangat mengerti dia masih mencintai wanita itu dengan segenap jiwa; meskipun separuh hatinya telah hampa.

Tapi aku tak pernah mengerti kenapa aku bisa merasakan cemburu yang amat hebat atas apa yang dia sampaikan. Tak pernah mengerti kenapa hal ini bisa terjadi kepadaku.

“Pergilah,” ujarku singkat.

Hal berikut yang kuketahui adalah Hugo beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. Memandangku sejenak sebelum dia melangkah pergi.

“Sampai nanti, Sophie...” gumamnya pelan, tapi aku terlalu letih untuk bersuara.

Pintu tertutup.

Air mataku tumpah.
***

Kontrak kerjaku berakhir di pertengahan bulan Februari. Musim salju masih belum sepenuhnya berhenti kala itu. Tapi, sebagian maskapai penerbangan tujuan domestik dan internasional telah beroperasi secara optimal. Aku akhirnya meninggalkan London pada malam hari dan terbang ke kampung halamanku di Belanda. Sudah lama sekali aku tak merasakan kehangatan yang berasal dari rumah.

Bulan April seperti menghantarkan atmosfer baru di kehidupanku. Semburat matahari musim semi yang menyeruak masuk lewat jendela membuat segalanya terasa sempurna pada pagi ini. Aku melangkah menuju dapur dan bergegas menyiapkan adonan pancake untuk menu sarapan.

Tidak ada siapa-siapa yang tinggal di rumah ini selain aku dan Mom. Dad meninggal ketika aku berusia 12 tahun. Satu hal yang kupelajari sejak hari itu, kepergian seseorang bukanlah satu alasan yang perlu ditakutkan sehingga kita sulit untuk melanjutkan kehidupan. Karena setiap hal yang pergi, pasti akan ada satu hal baru yang datang ke dalam hidup kita.

Usai menuangkan pasta cokelat dan madu ke atas pancake, aku mendengar seseorang mengetuk pintu rumahku dari luar. Aku hendak menuju asal suara itu ketika Mom lebih dulu menggerakkan kursi rodanya dan memutar kenop pintu.

Tamu dalam wujud anak perempuan berambut pirang itu bersuara, “Nona Sophie?”

Mom mendongak menatapku, seakan-akan meminta penjelasan siapa gadis kecil yang tengah berdiri di hadapan kami.

“Ya. Aku Sophie.” Aku mengernyitkan dahi sambil melepas celemek yang kukenakan. “Kau siapa?”

“Aku... Kau mungkin sudah melupakanku, tapi aku masih mengingat dengan jelas kau siapa,” ucapnya dengan seulas senyum polos.

“Oke. Tapi, bisakah kita bicara sejenak?” sergahku setengah ketakutan. Sementara, Mom masih memandangku dengan tatapan bingung.

Dia meraih telapak tanganku dan menggenggamnya erat. “Kau harus ikut aku sekarang. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu.”

Untuk sejenak, aku sempat berniat mengenyahkan genggamannya dari tanganku. Tapi, ada sesuatu yang membuatku percaya bahwa dia tak akan berbuat macam-macam. Gadis kecil ini menuntunku berjalan dan melewati pekarangan rumah yang ditumbuhi rumput dan beraneka ragam tanaman hias. Seekor sapi betina pun tampak heran menyaksikan derap langkah kami yang berubah semakin cepat.

Aku bertanya dengan napas tak keruan, “Tunggu! Ke mana kau akan membawaku?”

“Ke sana – “ Anak perempuan ini mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah kebun yang bunga tulip yang jaraknya memang cukup jauh dari rumahku.

Ternyata, inilah yang dibilang orang-orang tentang bunga cinta itu. Warna-warni bunga tulip mampu membuat siapa pun terpana akan pesonanya. Tapi, aku sedang tidak membicarakan tentang sihir yang dimiliki bunga tulip. Ada sesuatu yang membuatku benar-benar tercengang dan membuat lidahku terasa kelu.

“Seperti yang kita ketahui, Belanda adalah kota kecil yang serbakekurangan sejak perang dunia kedua berakhir. Sampai pada suatu hari di musim dingin, seorang gadis kecil dari Amerika yang bernama Rosy mengirimkan kado berisi cokelat kepada temannya tinggal di kota ini. Surat menyurat antara mereka terus berlanjut meskipun keduanya tidak pernah bertemu.”

Aku pernah mendengar dongeng itu sebelumnya. Dongeng yang mengisahkan kedua anak perempuan bernama Rosy dan Fiona yang menjalin komunikasi dengan cara surat-menyurat. Setiap kali Fiona mengisahkan apa yang terjadi di tempatnya, Rosy pasti menghadiahkan Fiona sesuatu yang mungkin diperlukannya. Pada surat mereka yang terakhir, di musim semi, Rosy menerima surat dan paket dari Fiona yang berisi umbi bunga tulip untuk ditanam.

Dan betapa pun hadiah itu teramat sederhana, Rosy sama sekali tidak mempermasalahkannya. Rosy teramat gembira. Umbi tulip itu dibagi-bagi untuk ditanam di sebagian tempat di Amerika.

Begitulah ceritanya.

“Lama tak berjumpa, Sophie.”

Sesuatu membuat mataku terasa panas. Aku masih mengingat dengan jelas saat Hugo meninggalkan apartemenku pada malam itu. Dia berdiri di ambang pintu dan berkata ‘sampai nanti’ – tanpa kupahami maksud dari kalimatnya. Dan kini, dia benar-benar membuktikan apa yang pernah dia ucapkan.

Dia menggumam, “Aku benar-benar menyesali atas apa yang telah terjadi waktu itu.”

“Aku mengerti, Hugo. Setiap orang pasti pernah mengalami masa-masa tersulit di dalam hidupnya,” balasku.

“Jadi, segalanya benar-benar telah berakhir.” Dia mulai berkisah tanpa kuminta, “Juri akhirnya memberikanku kuasa penuh atas hak asuh Nicki. Tapi dengan syarat, Celine tetap diperbolehkan menengok ataupun merawatnya dalam situasi tertentu.”

Aku membalas seadanya, “Senang mendengar kabar baik itu darimu.”

Sosok pria dalam balutan kemeja biru ini mengambil posisi berdiri di hadapanku. Pandangan kami saling bertumbukan sehingga rasanya tidak ada kesempatan bagiku untuk berkedip. Dia meraih telapak tanganku dan meremasnya lembut. Sementara, tangan kanannya mengulurkan sesuatu kepadaku.

Sebuah bunga tulip berwarna merah.

Aku menerima pemberiannya. Mencium kelopaknya yang masih terasa lengket dan basah oleh embun.

“Kau tentu mengetahui makna dari bunga tulip merah itu, Sophie...” Kalimatnya dibiarkan menggantung.

“Sebuah cinta dengan ketulusan tanpa batas,” jawabku dengan wajah merah padam. “Kuharap kau bersungguh-sungguh dengan kalimatmu, Hugo.”

“Tak ada batas dalam mencintaimu.”

“Tak ada batas untuk percaya pada kekuatan cinta,” sambung Nicki yang tiba-tiba muncul di dekat kami.
Hugo memberikan satu kecupan kecil dan membimbingku ke dalam pelukannya.

***END***