Pengujung tahun 2009 yang singkat, 31 Desember.
Hujan turun deras disertai angin kencang pada sore itu. Sekali lagi saya
melirik arloji di pergelangan tangan, masih pukul empat. Langit yang berwarna
hitam membuat nuansa malam terasa lebih awal. Ponsel di saku celana saya
tiba-tiba bergetar. Saya merogohnya dan melihat siapa pengirim dan isi pesan
teks itu.
Kamu udah di depan BIP? Aku bentar lagi nyampe.
Kiki.
Saya mengenalnya bukan sekilas lalu. Sebelumnya
kami sudah pernah bicara, bertegur sapa, meskipun hanya lewat line telepon.
Terima kasih pada jejaring sosial Facebook yang telah menggiring saya ke dalam
lingkaran pertemanan yang baru.
September 2009, seorang pemilik akun bernama Yusuf
Alfarizky muncul di sepanjang daftar permintaan teman. Beberapa mutual friends,
dan dia berdomisili di kota Bandung. Kami masih terlalu muda saat itu. Masih
belum terpikir akan jadi apa pertemanan kami nanti. Jadi, hal pertama yang saya
lakukan adalah menekan tombol accept (pada masa itu, confirm) atas friend
request-nya.
Segalanya berubah drastis dalam beberapa bulan.
Pertemanan kami semakin akrab, seperti dua murid yang duduk sebangku, seperti
saudara kembar, seperti sepasang hamster yang saling berbagi kandang. Kami
lahir di tahun 1992, menempuh pendidikan yang sama meskipun jurusannya berbeda.
Dia mengambil jurusan perhotelan, sementara saya di bidang multimedia. Tak
heran jika suatu hari nanti saya akan melihat dia duduk di balik front office
dalam busana rapi, dan berbicara dengan logat sopan selayaknya hotelier. Banyaknya
perbedaan tidak menyurutkan chemistry di antara kami.
Itu adalah conference call yang melibatkan empat
orang dari wilayah yang berbeda. Salah satu di antaranya adalah Aji, si donatur
panggilan berdurasi lama yang berasal dari Cirebon. Saya biasanya menjadi
kepala kedua yang dia hubungi sebelum Denny, salah satu penduduk Jakarta Utara.
Tak lama, suasana di dalam telepon itu berubah setelah Kiki bergabung bersama
kami. Lama, dan keempat orang ini akan bicara panjang lebar mengenai banyak
hal. Ngobrol ngalor ngidul sampai salah satu di antara kami akan undur diri.
Beberapa kali saya pernah menghubunginya via
telepon. Sekadar bicara tentang ujian semester, persiapan UN karena kami sudah
berada di tingkat akhir. Selebihnya, masalah cowok dan percintaan. Dia selalu
jadi orang pertama yang tahu dengan siapa saya menjalin hubungan. Pernah satu
kali aku mencurigainya yang bukan-bukan. Memusuhinya karena terjadi
kesalahpahaman antara saya, dia, dan seorang pria. Tapi itu tak akan
berlangsung lama. Ada satu momentum di mana kami menyadari bahwa persahabatan
berada di atas segalanya. Pepatah lama yang mengatakan, lebih baik diputusi
pacar daripada kehilangan satu orang sahabat.
Dia yang tertua di antara kami berempat. Tidak
banyak bicara, agak tertutup, dan cenderung pemilih. Orang yang belum terlalu
mengenalnya mungkin akan menilai dia sebagai pribadi yang angkuh, anti-sosial.
Tapi itu keliru. Dia sosok yang ramah dan bijak. Sahabat yang baik. Saya dan
kedua teman lainnya pun akan berkata demikian.
“Joy, sori lama. Tadi abis nunggu xxx (nama
disamarkan) milih tempat makan.”
Seseorang tiba-tiba menghampiriku dari belakang.
Pakaian kami hampir mirip. Kemeja merah motif kotak-kotak. Perbedaannya, dia
memakai jins hitam panjang sementara saya mengenakan celana pendek. Dan saya
rasa, dialah yang saya tunggu sejak tadi.
Kiki.
Saya berkata, “Aku mau masuk ke dalam BIP
sebentar. Sekalian berteduh.”
“Ikut ke HokBen aja, yuk! Lumayan nanti
ditraktir.” Kepalanya terangguk-angguk.
Sempat tergerak untuk mengiyakan, alih-alih berkeliling
BIP sendirian mungkin lebih baik bila saya ikut. Tapi, saya menepis keinginan
itu dan akhirnya menggelengkan kepala.
“Nanti ketemu di Dapla aja. Bareng Rika, Budhie,
Fauzan, sama Teh Lulu...” pesan saya.
Dia hanya mengangguk. Tak perlu banyak bicara lagi
karena saat itu hujan semakin deras. Guruh mengamuk di kegelapan warna langit.
Dia segera melangkah, tergesa-gesa ketika menyeberang jalan Merdeka demi
menyusul kekasihnya yang tengah menunggu di depan restoran Hoka-Hoka Bento.
Suatu hari kelak, cara berjalannya itu akan terus
menjadi satu bahan lelucon oleh saya dan dua temannya yang lain. Salah satu di
antara sekian banyak hal yang akan selalu saya rindukan dari seorang Kiki.
Semoga dia juga menyimpan sesuatu tentang diri saya. Sekalipun hanya sebagian
kecil saja.
***
Ketidakyakinan kerap kali membuat kita dekat pada
putus asa. Rasa takut untuk mencoba, ragu akan kebenaran; hal-hal tersebut
seolah menjadi kebiasaan setiap kali kita merasa tak berteman.
Bulan-bulan pertama di kota Bandung terasa begitu
menyenangkan. Saya terbuai dengan seluruh pesona yang dimiliki kota itu.
Terlena pada setiap ruas jalan yang meliuk-liuk, pohon-pohon beringin di
pinggir jalan, trotoar yang saya lewati siang dan malam—dengan atau tanpa
kehadiran seorang teman. Seketika saya lupa pada kampung halaman. Tempat di
mana saya dilahirkan. Saya merasa bangga dengan drama yang saya ciptakan
sendiri.
Satu masa di mana saya menyadari bahwa bumi telah berputar
begitu cepat, kehidupan akan terus berjalan, dan itu mengingatkan pada tujuan
utama saya tiba di kota ini. Janji yang selalu saya umbar kepada Mama dan Papa
dulu, selepas menamatkan sekolah, saya tidak akan kuliah. Saya ingin bekerja. Di
kota orang. Dan ketika hari itu telah tiba, saya malah mengabaikannya. Saya
lupa bahwa ada sesuatu yang perlu saya kejar. Hingga pada suatu hari, seorang
teman menyadarkan saya akan hal itu.
“Nanti ikut aku, ya! Kamu bikin surat lamaran sama
CV yang banyak, terus kita kirim ke hotel, restoran, Mall. Aku bisa kasih tahu
tempat-tempatnya.”
Kalimat itu bahkan masih terngiang-ngiang di dalam
kepala saya sampai detik ini. Ia tak mau pergi. Namun saya menyepelekannya kala
itu, seolah-olah kesempatan bisa datang kapan saja, keberuntungan selalu berada
di pihak saya. Saya sepenuhnya salah, dan kesalahan itu pula yang membuat saya
akhirnya mengambil langkah mundur.
Saya baru saja mengemasi barang-barang yang
tersisa di dalam kamar kos itu. Aneka kosmetik, aksesori tubuh, topi dan
peralatan menulis. Satu-satunya benda yang masih tertinggal di atas rak
kontainer itu hanyalah seonggok Teddy Bear kecil berwarna cokelat tua. Itu
boneka milik Kiki.
Terkenang lagi pada sore hari yang rintik, ketika
saya mengundang ketiga teman saya untuk menginap bersama. Saya, Budhie dan
Fauzan baru saja bertolak dari rumah Kiki. Saya lupa lagi formasi kami seperti
apa sore itu. Yang saya ingat, Budhie berada paling depan, melangkah paling
deras dengan sepasang kaki jenjangnya, sementara Kiki berada paling belakang.
Gerimis menerpa wajah kami. Sesekali terdengar suara Kiki yang merengek manja,
kemudian keluh kesah yang berbalas omelan dari Budhie, atau aku, atau Fauzan.
Tapi dia sama sekali tidak marah. Dia akan terus melangkah bersama kami,
menyusuri gang-gang sempit yang menghubungkan Linggawastu dan Taman Sari.
Gang sempit itu menjadi tempat bertemunya saya
dengan Sasha pagi itu. Di benak saya, Sasha merupakan gadis periang berambut
ikal yang doyan jajan BasReng, bocah perempuan bertubuh kecil dengan kulit sawo
matang. Waktu telah membuatnya tumbuh begitu cepat saat terakhir kali saya
melihatnya.
“Titip bonekanya sama Kak Ucup, ya. Kakak minta
maaf nggak bisa jenguk dia sekarang. Sebentar lagi Kakak mesti ke bandara, Sha.
Hari ini Kakak pulang.”
Sasha tak banyak bicara. Kepalanya terangguk
karena dia sadar; dia belum bisa mengekspresikan perasaannya seperti orang
dewasa. Jadi, Sasha menerima Teddy Bear kecil itu di genggamannya. Sempat
memberinya pelukan perpisahan sebelum saya beranjak dari mulut gang itu.
Katanya, perubahan cuaca yang ekstrem sering
dijadikan alasan kenapa seseorang bisa jatuh sakit. Faktor kebersihan, daya
tahan tubuh, terlalu giat beraktivitas sehingga kurang istirahat; hipotesis
yang tak pernah habis. Tapi pada akhirnya, kita menyadari bahwa penyakit bisa
muncul kapan saja. Seolah-olah semua telah ditakdirkan kepada kita.
Hanya berselang dua hari setelah saya sembuh dari
penyakit muntah-muntah dan gangguan pencernaan, Kiki mengalami hal yang sama.
Saya baru tiba di di depan Pool X-Trans ketika Kiki menyampaikan berita itu via
SMS. Dia meminta maaf sedalam-dalamnya karena tidak bisa mengantar kepergian
saya. Jarak dari rumahnya ke Pool X-Trans Cihampelas tidak terlalu jauh. Itu
hanya berkisar seratus meter saja. Tapi, dia terlalu lemah untuk melangkah
keluar rumah. Bergerak pun enggan.
Cepat
sembuh, Kiki. Doain aja supaya jalanan nggak macet, supaya selamat sampai
tujuan. Kalau udah di rumah, pasti aku kasih kabar.
Pesan itu tidak berlangsung terus-terusan seusai
saya membujuknya agar berhenti merasa bersalah. Hidup akan terasa berbeda jika
saya tidak di dekatnya. Ke mana-mana kami menghabiskan waktu bersama, tertawa
bersama, cari makan bersama. Hampir setiap hari begitu. Terus terang saya
menangis ketika membaca isi SMS-nya. Saya tahu bagaimana pahitnya sebuah
perpisahan. Itu lebih menyakitkan jika dibanding seseorang yang merampas
mainanmu.
Ragam adegan berputar acak di koridor memori saya.
Semuanya seperti potongan filem yang pernah saya tonton di masa lalu. Saya
melihat Kiki keluar dari kamar kos saya, meninggalkan saya yang terpuruk demi
mengejar mantan pacar saya di luar sana. Saya tidak tahu persis adegannya
seperti apa. Satu hal yang pasti, Kiki memarahi cowok itu habis-habisan,
memberi peringatan agar tidak lagi mendekati saya. Budhie yang menceritakan
detail peristiwa itu di tengah isak-tangis saya. Belum pernah saya menemukan
seorang sahabat seperti dia. Orang yang sudi memberi perlindungan.
Itu juga terjadi bertahun-tahun setelahnya. Dia
selalu hadir untuk memberi nasihat, menguatkan saya agar berhenti bersedih,
memberi semangat untuk tetap menjalani hidup seperti biasa. Dia bilang, Joy
yang dikenalnya tidak mudah rapuh, Joy adalah orang yang selalu membawa
sukacita untuk semua temannya. Dan saya tidak pernah peduli meskipun ucapannya
terdengar klise, meskipun itu hanya sekadar kata-kata belaka. Setidaknya saya
tahu, dia telah berusaha menghibur saya.
Betapa
saya sangat berharap bisa setegar kamu, Ki. Saya kagum dengan api yang selalu
kamu kobarkan lewat matamu. Iblis yang begitu murni. Malaikat yang paling
angkuh. Terkadang saya begitu iri dengan seluruh kekuatan yang kamu punya.
Dunia terasa runtuh ketika kabar itu hinggap di
telinga saya. Rasanya masih sulit menerima kenyataan bahwa Kiki telah pergi.
Dia meninggal beberapa hari lalu, begitu yang disampaikan adik laki-lakinya.
Tanpa pesan yang ditinggalkan, tanpa sisa percakapan, semua terasa dadakan. Dia
telah berbuat curang! Mungkin saya akan berusaha ikhlas jika dia sempat memberi
tahu saya alasan kepergiannya. Tapi itu tak mungkin terjadi. Saya tidak akan
pernah bersahabat dengan sebuah perpisahan.
Tidak satu orang pun yang menyukai ketiadaan.
Bahkan setelah berminggu-minggu kepulangan Kiki,
saya masih merasa dia baik-baik saja di rumah. Seolah tidak terjadi apa-apa.
Suaranya masih serupa seperti yang sering saya dengar di line telepon, menggumamkan impian terbesarnya, bicara tentang gosip
terbaru, menyemangati saya dengan koleksi nasihat andalannya. Hidup kamu nggak akan berhenti hanya karena
seseorang meninggalkan kamu, Joy. Senyum dong! Jangan gampang rapuh.
Kemudian petir membelah langit malam disusul hujan
yang turun deras.