Write. Anywhere. Anytime.

Kamis, 31 Desember 2015

In Memoriam Kiki

Pengujung tahun 2009 yang singkat, 31 Desember. Hujan turun deras disertai angin kencang pada sore itu. Sekali lagi saya melirik arloji di pergelangan tangan, masih pukul empat. Langit yang berwarna hitam membuat nuansa malam terasa lebih awal. Ponsel di saku celana saya tiba-tiba bergetar. Saya merogohnya dan melihat siapa pengirim dan isi pesan teks itu.
Kamu udah di depan BIP? Aku bentar lagi nyampe.
Kiki.
Saya mengenalnya bukan sekilas lalu. Sebelumnya kami sudah pernah bicara, bertegur sapa, meskipun hanya lewat line telepon. Terima kasih pada jejaring sosial Facebook yang telah menggiring saya ke dalam lingkaran pertemanan yang baru.
September 2009, seorang pemilik akun bernama Yusuf Alfarizky muncul di sepanjang daftar permintaan teman. Beberapa mutual friends, dan dia berdomisili di kota Bandung. Kami masih terlalu muda saat itu. Masih belum terpikir akan jadi apa pertemanan kami nanti. Jadi, hal pertama yang saya lakukan adalah menekan tombol accept (pada masa itu, confirm) atas friend request-nya.
Segalanya berubah drastis dalam beberapa bulan. Pertemanan kami semakin akrab, seperti dua murid yang duduk sebangku, seperti saudara kembar, seperti sepasang hamster yang saling berbagi kandang. Kami lahir di tahun 1992, menempuh pendidikan yang sama meskipun jurusannya berbeda. Dia mengambil jurusan perhotelan, sementara saya di bidang multimedia. Tak heran jika suatu hari nanti saya akan melihat dia duduk di balik front office dalam busana rapi, dan berbicara dengan logat sopan selayaknya hotelier. Banyaknya perbedaan tidak menyurutkan chemistry di antara kami.
Itu adalah conference call yang melibatkan empat orang dari wilayah yang berbeda. Salah satu di antaranya adalah Aji, si donatur panggilan berdurasi lama yang berasal dari Cirebon. Saya biasanya menjadi kepala kedua yang dia hubungi sebelum Denny, salah satu penduduk Jakarta Utara. Tak lama, suasana di dalam telepon itu berubah setelah Kiki bergabung bersama kami. Lama, dan keempat orang ini akan bicara panjang lebar mengenai banyak hal. Ngobrol ngalor ngidul sampai salah satu di antara kami akan undur diri.
Beberapa kali saya pernah menghubunginya via telepon. Sekadar bicara tentang ujian semester, persiapan UN karena kami sudah berada di tingkat akhir. Selebihnya, masalah cowok dan percintaan. Dia selalu jadi orang pertama yang tahu dengan siapa saya menjalin hubungan. Pernah satu kali aku mencurigainya yang bukan-bukan. Memusuhinya karena terjadi kesalahpahaman antara saya, dia, dan seorang pria. Tapi itu tak akan berlangsung lama. Ada satu momentum di mana kami menyadari bahwa persahabatan berada di atas segalanya. Pepatah lama yang mengatakan, lebih baik diputusi pacar daripada kehilangan satu orang sahabat.
Dia yang tertua di antara kami berempat. Tidak banyak bicara, agak tertutup, dan cenderung pemilih. Orang yang belum terlalu mengenalnya mungkin akan menilai dia sebagai pribadi yang angkuh, anti-sosial. Tapi itu keliru. Dia sosok yang ramah dan bijak. Sahabat yang baik. Saya dan kedua teman lainnya pun akan berkata demikian.
“Joy, sori lama. Tadi abis nunggu xxx (nama disamarkan) milih tempat makan.”
Seseorang tiba-tiba menghampiriku dari belakang. Pakaian kami hampir mirip. Kemeja merah motif kotak-kotak. Perbedaannya, dia memakai jins hitam panjang sementara saya mengenakan celana pendek. Dan saya rasa, dialah yang saya tunggu sejak tadi.
Kiki.
Saya berkata, “Aku mau masuk ke dalam BIP sebentar. Sekalian berteduh.”
“Ikut ke HokBen aja, yuk! Lumayan nanti ditraktir.” Kepalanya terangguk-angguk.
Sempat tergerak untuk mengiyakan, alih-alih berkeliling BIP sendirian mungkin lebih baik bila saya ikut. Tapi, saya menepis keinginan itu dan akhirnya menggelengkan kepala.
“Nanti ketemu di Dapla aja. Bareng Rika, Budhie, Fauzan, sama Teh Lulu...” pesan saya.
Dia hanya mengangguk. Tak perlu banyak bicara lagi karena saat itu hujan semakin deras. Guruh mengamuk di kegelapan warna langit. Dia segera melangkah, tergesa-gesa ketika menyeberang jalan Merdeka demi menyusul kekasihnya yang tengah menunggu di depan restoran Hoka-Hoka Bento.
Suatu hari kelak, cara berjalannya itu akan terus menjadi satu bahan lelucon oleh saya dan dua temannya yang lain. Salah satu di antara sekian banyak hal yang akan selalu saya rindukan dari seorang Kiki. Semoga dia juga menyimpan sesuatu tentang diri saya. Sekalipun hanya sebagian kecil saja.

***

Ketidakyakinan kerap kali membuat kita dekat pada putus asa. Rasa takut untuk mencoba, ragu akan kebenaran; hal-hal tersebut seolah menjadi kebiasaan setiap kali kita merasa tak berteman.
Bulan-bulan pertama di kota Bandung terasa begitu menyenangkan. Saya terbuai dengan seluruh pesona yang dimiliki kota itu. Terlena pada setiap ruas jalan yang meliuk-liuk, pohon-pohon beringin di pinggir jalan, trotoar yang saya lewati siang dan malam—dengan atau tanpa kehadiran seorang teman. Seketika saya lupa pada kampung halaman. Tempat di mana saya dilahirkan. Saya merasa bangga dengan drama yang saya ciptakan sendiri.
Satu masa di mana saya menyadari bahwa bumi telah berputar begitu cepat, kehidupan akan terus berjalan, dan itu mengingatkan pada tujuan utama saya tiba di kota ini. Janji yang selalu saya umbar kepada Mama dan Papa dulu, selepas menamatkan sekolah, saya tidak akan kuliah. Saya ingin bekerja. Di kota orang. Dan ketika hari itu telah tiba, saya malah mengabaikannya. Saya lupa bahwa ada sesuatu yang perlu saya kejar. Hingga pada suatu hari, seorang teman menyadarkan saya akan hal itu.
“Nanti ikut aku, ya! Kamu bikin surat lamaran sama CV yang banyak, terus kita kirim ke hotel, restoran, Mall. Aku bisa kasih tahu tempat-tempatnya.”
Kalimat itu bahkan masih terngiang-ngiang di dalam kepala saya sampai detik ini. Ia tak mau pergi. Namun saya menyepelekannya kala itu, seolah-olah kesempatan bisa datang kapan saja, keberuntungan selalu berada di pihak saya. Saya sepenuhnya salah, dan kesalahan itu pula yang membuat saya akhirnya mengambil langkah mundur.
Saya baru saja mengemasi barang-barang yang tersisa di dalam kamar kos itu. Aneka kosmetik, aksesori tubuh, topi dan peralatan menulis. Satu-satunya benda yang masih tertinggal di atas rak kontainer itu hanyalah seonggok Teddy Bear kecil berwarna cokelat tua. Itu boneka milik Kiki.
Terkenang lagi pada sore hari yang rintik, ketika saya mengundang ketiga teman saya untuk menginap bersama. Saya, Budhie dan Fauzan baru saja bertolak dari rumah Kiki. Saya lupa lagi formasi kami seperti apa sore itu. Yang saya ingat, Budhie berada paling depan, melangkah paling deras dengan sepasang kaki jenjangnya, sementara Kiki berada paling belakang. Gerimis menerpa wajah kami. Sesekali terdengar suara Kiki yang merengek manja, kemudian keluh kesah yang berbalas omelan dari Budhie, atau aku, atau Fauzan. Tapi dia sama sekali tidak marah. Dia akan terus melangkah bersama kami, menyusuri gang-gang sempit yang menghubungkan Linggawastu dan Taman Sari.
Gang sempit itu menjadi tempat bertemunya saya dengan Sasha pagi itu. Di benak saya, Sasha merupakan gadis periang berambut ikal yang doyan jajan BasReng, bocah perempuan bertubuh kecil dengan kulit sawo matang. Waktu telah membuatnya tumbuh begitu cepat saat terakhir kali saya melihatnya.
“Titip bonekanya sama Kak Ucup, ya. Kakak minta maaf nggak bisa jenguk dia sekarang. Sebentar lagi Kakak mesti ke bandara, Sha. Hari ini Kakak pulang.”
Sasha tak banyak bicara. Kepalanya terangguk karena dia sadar; dia belum bisa mengekspresikan perasaannya seperti orang dewasa. Jadi, Sasha menerima Teddy Bear kecil itu di genggamannya. Sempat memberinya pelukan perpisahan sebelum saya beranjak dari mulut gang itu.
Katanya, perubahan cuaca yang ekstrem sering dijadikan alasan kenapa seseorang bisa jatuh sakit. Faktor kebersihan, daya tahan tubuh, terlalu giat beraktivitas sehingga kurang istirahat; hipotesis yang tak pernah habis. Tapi pada akhirnya, kita menyadari bahwa penyakit bisa muncul kapan saja. Seolah-olah semua telah ditakdirkan kepada kita.
Hanya berselang dua hari setelah saya sembuh dari penyakit muntah-muntah dan gangguan pencernaan, Kiki mengalami hal yang sama. Saya baru tiba di di depan Pool X-Trans ketika Kiki menyampaikan berita itu via SMS. Dia meminta maaf sedalam-dalamnya karena tidak bisa mengantar kepergian saya. Jarak dari rumahnya ke Pool X-Trans Cihampelas tidak terlalu jauh. Itu hanya berkisar seratus meter saja. Tapi, dia terlalu lemah untuk melangkah keluar rumah. Bergerak pun enggan.
Cepat sembuh, Kiki. Doain aja supaya jalanan nggak macet, supaya selamat sampai tujuan. Kalau udah di rumah, pasti aku kasih kabar.
Pesan itu tidak berlangsung terus-terusan seusai saya membujuknya agar berhenti merasa bersalah. Hidup akan terasa berbeda jika saya tidak di dekatnya. Ke mana-mana kami menghabiskan waktu bersama, tertawa bersama, cari makan bersama. Hampir setiap hari begitu. Terus terang saya menangis ketika membaca isi SMS-nya. Saya tahu bagaimana pahitnya sebuah perpisahan. Itu lebih menyakitkan jika dibanding seseorang yang merampas mainanmu.
Ragam adegan berputar acak di koridor memori saya. Semuanya seperti potongan filem yang pernah saya tonton di masa lalu. Saya melihat Kiki keluar dari kamar kos saya, meninggalkan saya yang terpuruk demi mengejar mantan pacar saya di luar sana. Saya tidak tahu persis adegannya seperti apa. Satu hal yang pasti, Kiki memarahi cowok itu habis-habisan, memberi peringatan agar tidak lagi mendekati saya. Budhie yang menceritakan detail peristiwa itu di tengah isak-tangis saya. Belum pernah saya menemukan seorang sahabat seperti dia. Orang yang sudi memberi perlindungan.
Itu juga terjadi bertahun-tahun setelahnya. Dia selalu hadir untuk memberi nasihat, menguatkan saya agar berhenti bersedih, memberi semangat untuk tetap menjalani hidup seperti biasa. Dia bilang, Joy yang dikenalnya tidak mudah rapuh, Joy adalah orang yang selalu membawa sukacita untuk semua temannya. Dan saya tidak pernah peduli meskipun ucapannya terdengar klise, meskipun itu hanya sekadar kata-kata belaka. Setidaknya saya tahu, dia telah berusaha menghibur saya.
Betapa saya sangat berharap bisa setegar kamu, Ki. Saya kagum dengan api yang selalu kamu kobarkan lewat matamu. Iblis yang begitu murni. Malaikat yang paling angkuh. Terkadang saya begitu iri dengan seluruh kekuatan yang kamu punya.
Dunia terasa runtuh ketika kabar itu hinggap di telinga saya. Rasanya masih sulit menerima kenyataan bahwa Kiki telah pergi. Dia meninggal beberapa hari lalu, begitu yang disampaikan adik laki-lakinya. Tanpa pesan yang ditinggalkan, tanpa sisa percakapan, semua terasa dadakan. Dia telah berbuat curang! Mungkin saya akan berusaha ikhlas jika dia sempat memberi tahu saya alasan kepergiannya. Tapi itu tak mungkin terjadi. Saya tidak akan pernah bersahabat dengan sebuah perpisahan.
Tidak satu orang pun yang menyukai ketiadaan.
Bahkan setelah berminggu-minggu kepulangan Kiki, saya masih merasa dia baik-baik saja di rumah. Seolah tidak terjadi apa-apa. Suaranya masih serupa seperti yang sering saya dengar di line telepon, menggumamkan impian terbesarnya, bicara tentang gosip terbaru, menyemangati saya dengan koleksi nasihat andalannya. Hidup kamu nggak akan berhenti hanya karena seseorang meninggalkan kamu, Joy. Senyum dong! Jangan gampang rapuh.
Kemudian petir membelah langit malam disusul hujan yang turun deras.
Selasa, 06 Oktober 2015

Confession #2

Dari awal harusnya saya menyadari kalau hal seperti ini akan terjadi. Hal-hal kecil kerapkali mengacaukan seluruh rencana yang telah kita susun matang-matang. Tanpa pernah kita duga dari mana datangnya. Meskipun begitu, saya tidak pernah belajar dari pengalaman. Saya terbiasa menaruh ekspektasi yang ketinggian, impian yang jauh sekali rasanya untuk dicapai. Padahal saya selalu  menasihati orang bahwa, expectation leads us to disappointment. I noted that. 

Dan kali ini, saya harus membuat satu pengakuan.
 
Saya rasa, orang-orang perlu mengetahui semuanya. Kebenaran yang selama ini bersembunyi di balik senyuman dan tawa palsu saya.

Orang-orang tahu, saya sudah kapok berurusan dengan sesuatu yang dinamakan cinta. Saya beranggapan, cinta, atau menjalin hubungan dengan seseorang hanya akan mengacaukan segalanya. Karier, passion, studi, bahkan ketangguhan seseorang, dapat diruntuhkan dengan mudah oleh lima huruf sederhana itu. Makanya saya pernah berjanji untuk berhenti mengincar seseorang, dilarang membuka pintu hati kepada siapa pun, dan menutup semua kemungkinan dari rayuan orang-orang asing.

Setidaknya itulah yang selalu saya ucapkan kepada mereka.

Namun, ada kalanya saya menjadi luluh tak berdaya. Penyebab utamanya, ya, karena cinta.

Saya melanggar semua larangan yang telah saya toreh di dalam memori. Saya mendadak lupa dengan tujuan utama, dan kebahagiaan saya yang sesungguhnya. Saya pun tidak ingin menoleh ke sekitar lantaran saya yakin, hanya mencinta dan dicinta yang bisa membuat saya bahagia.

Bah! Omong kosong dengan cinta.
 
Ia justru memperlakukan saya seperti budak dungu. Membutakan penglihatan saya dengan aneka impian semu. Dan bodohnya lagi, giliran saya menyadari semua kebodohan itu, saya akan selalu mengulanginya dalam fase yang sama. Bodoh bukan?

Mereka mengenal saya sebagai sosok yang tangguh, anti-peluru, dan keras seperti baja. Mereka beranggapan, selama ini saya cuma fokus pada mimpi dan cita-cita. Sepanjang hari bekerja keras mencari uang, sepulang kerja saya menuju ke pusat kebugaran untuk berolahraga, aktivitas malam akan diisi dengan revisi naskah sampai pukul sembilan. Tidur malam tidak pernah lewat dari pukul sepuluh. Siklus itu akan terus berulang di hari esok, lusa, dan seterusnya.

Biar saya perjelas, rutinitas demikian berhasil menyeimbangkan diri saya. Siapa pun pasti merasa puas saat mereka menjadi orang yang produktif. Sampai pada suatu hari, satu demi satu orang bermunculan dalam kehidupan saya, masuk melewati celah terkecil, menyihir saya dengan satu pesona sederhana namun istimewa, kemudian pergi begitu saya.

Butuh waktu yang cukup lama untuk bangkit dan menyadari kebodohan yang saya perbuat. Saya mulai bertingkah irasional, sulit mengendalikan emosi, dan mendadak kehilangan rasa percaya diri. Berhari-hari saya akan bersikap aneh, murung, kemudian menyumpah-serapah siapa pun yang menjadi penyebab peristiwa ini, termasuk menyalahkan diri saya sendiri.

Tidak pernah menyangka bahwa saya telah berjalan melewati batas, meninggalkan salah satu bagian terkecil dalam diri saya -- sosok yang patuh, yang bijaksana, yang mengerti bagaimana caranya menikmati kesepian.
Barangkali, inilah yang dinamakan dengan proses pendewasaan diri. Semakin banyak kesalahan yang kamu perbuat, kamu akan belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Melangkah dengan bebas, namun sangat hati-hati. Karena kamu tahu, kamu selalu merasa cukup dalam segala hal. Dan itu saja sudah cukup membuatmu bahagia.
Sabtu, 01 Agustus 2015

Pelbagai Kenangan Tentang Mimpi dan Perjalanan

Fakta bahwa semua orang pernah bertindak impulsif meskipun hanya satu kali dalam seumur hidup. Tak peduli apa yang jadi alasan utamanya, tetap saja hal tersebut memberi kesan mengasyikkan. Sesuatu yang addicted. Tapi setelah direnungkan berulang-ulang, terkadang menjadi seorang impulsif sangat konyol dan kekanakan.

Aku tidak berhasil mengingat tanggal dan bulan berapa persisnya peristiwa itu. Mungkin sekitar sembilan tahun yang lalu, saat aku masih duduk di kelas sebelas.

Bel sekolah berdering lebih cepat dari perkiraanku. Awalnya aku mengira, aku bisa tiba di sekolah tepat waktu. Setidaknya satu menit sebelum guru muncul di dalam kelas. Tapi, ada beberapa hal di dunia ini yang bisa terjadi begitu saja dalam satu kedipan mata, tanpa mampu kita cegah. Sekalipun kita telah menyusun rencana serapi mungkin.

Seperti yang kualami di pagi hari yang terik itu.

Pintu gerbang sekolah terkunci rapat. Satpam sekolah yang berdiri di dalam sana memelototi kami dengan tatapan mengancam, seakan-akan hendak memberi hukuman. Aku ditemani puluhan murid lain yang sama-sama terlambat. Salah satu di antara mereka adalah Texas Nejrabi, siswa kelas XI IPS 2.

Kami pernah berbincang di perpustakaan sebelumnya. Peristiwa itu sudah cukup lama. Aku juga sering dengar orang-orang memanggilnya si Arab Nyasar. Julukan itu dia dapatkan dari para senior sewaktu masih jadi murid baru.

Aku kerap memperhatikan Texas diam-diam; memata-matai setiap kali dia bersama teman-temannya;  sesekali melempar senyum setiap kali berpapasan di kantin. Dan selama berbulan-bulan, aku terus berpura-pura di hadapan Texas. Aku tidak ingin dia mengetahui orientasi seksualku yang sebenarnya. Bertingkah seakan-akan aku ini cowok sungguhan – cowok normal yang suka cewek, bukan dengan cowok.

Kerumunan orang di sekelilingku mulai menipis. Sebagian besar masih berdiri di sana lantaran tak punya banyak pilihan, sisanya justru minggat ke suatu tempat. Aku mulai sadar satu hal; saatnya aku mengambil keputusan. Maka, aku pun pergi menjauh. Lebih baik kabur daripada menunggu kedatangan Kepala Sekolah atau guru piket untuk menghadiahi sanksi.

Aku melangkah ke sebuah warung kecil yang terletak di seberang jalan, letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah kami. Gerobak makanan bertuliskan ‘mi goreng, mi rebus, bubur kacang, gorengan’ itu belum sepenuhnya terisi. Pemiliknya bernama Pak Komar. Dia sedang meracik adonan tahu isi sewaktu aku masuk dan mencomot teh botol dari dalam kulkasnya.

Cuaca pagi itu ternyata tidak bisa diajak kompromi. Peluh menbanjiri pelipisku. Aku menyekanya berkali-kali, tapi ia seakan tak mau berhenti. Tepat ketika aku hendak membanjiri tenggorokanku dengan minuman dingin, seseorang tiba-tiba muncul dan mengurungkan niatku.

Seseorang yang biasanya kukagumi dari kejauhan.

Seseorang dengan rahang yang kokoh, tulang pipi yang tegas, sepasang bola mata cokelat cerah, dan bertubuh atletis.

Dia berjalan menuju meja panjang yang menempel ke dinding warung. Di tangannya ada sebotol air mineral ukuran sedang. Beberapa tegukan saja sampai air di dalam botol itu habis tak bersisa.

“Kamu yang anak IPA itu, kan?” Telunjuknya teracung ke arahku.

Aku mengangguk spontan, kemudian memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya. “Dan kamu Texas, anak IPS yang terkenal karena julukan itu.”

Kepalanya berguncang ke belakang. Itulah kali pertama aku melihat Texas tertawa lepas. Tawa yang begitu memabukkan, tanpa secuil kepalsuan.

“Bangun kesiangan?” Aku melempar tanya.

Dia menjawab dengan kepala terangguk. Kemudian mengeluarkan sebuah novel fenomenal yang berjudul To Kill A Mockingbird dari dalam ranselnya. Aku tidak tahu seperti apa alur cerita buku tersebut. Tapi suatu hari kelak, aku akan menyadari bahwa novel itu berkaitan dengan passion yang dia miliki.

Orangtua Texas tidak tinggal bersamanya di Jakarta. Keduanya berada di Pakistan, sesekali mampir ke Indonesia sebelum bertolak ke Sydney untuk mengurus bisnis Real Estate milik ayahnya. Seperti itulah yang dia ungkapkan sebelum percakapan kami bergulir semakin jauh.

“Biasanya kalau lagi boring, kamu pergi ke mana?”

Aku segera menjawab tanpa pertimbangan, “Nggak ke mana-mana, lebih sering di kamar aja. Mentok-mentok ya – jalan kaki keliling komplek perumahan.”

“Kelihatan, sih. Kamu tipe anak rumahan banget. Kulit putih, bersih, kalem.” Texas mulai menekuniku dari atas ke bawah, seakan-akan ada yang salah dengan penampilanku. Baru pertama kali aku mendengar seseorang mendeskripsikan diriku secara gamblang.

“Aku tahu,” jawabku. “Kalau kamu?”

“Pasar! Di Jakarta banyak pasar loak. Selain berburu barang murah, bisa berburu buku obral juga.” Texas menutur, “Aku senang membaca. Aku bisa duduk di perpustakaan satu hari penuh, tanpa makan dan minum.”

“Nggak heran aku sering lihat kamu di perpustakaan sekolah.”

“Ternyata kamu sering memperhatikan aku, ya?”

Aku semakin kehabisan perbendaharaan kata. Niat awal ingin menceletuk, justru diserang balik. Agak gugup aku membalasnya, “Itu kebetulan aja, kok.”

That’s okay. I don’t mind at all.” Dia tersenyum, seakan-akan tidak merasa keberatan. “Oh ya, habis ini mau ke mana?”

 “Mustahil untuk masuk ke kelas. Gerbang udah ditutup. Jam pelajaran pertama pun udah dimulai.” Aku mengedikkan bahu. “Lagian aku nggak suka berurusan sama Pak Ikbal. Kamu juga pasti sependapat sama aku!”

Pak Ikbal itu satpam sekolah kami. Orangnya rese, sering ikut campur urusan orang, sok berkuasa, mata keranjang.

Texas tergelak lagi. Kali ini lebih pelan. Cukup pelan hingga menyisakan satu keheningan.

Dan di tengah-tengah keheningan yang canggung itu, kudengar dia bicara, “Ikut aku, yuk.”

Dahiku mengernyit. “Ke mana?”

Texas beranjak dari kursi. Senyumnya terkembang sempurna. Ada sesuatu yang aneh di balik senyuman itu. Tapi aku tidak sanggup menerka. Dia hanya menjawab, “Somewhere only we know. Ayo!”

Bagaimana aku sanggup membuat satu penolakan ketika aku sama sekali tidak punya pilihan? Texas menggapai tanganku. Kami keluar dari warung Pak Komar, berlarian ke jalanan sampai akhirnya melompat ke dalam bus Patas 76 jurusan Pasar Senen. Aku sepenuhnya sadar bahwa tindakanku sangat gila. Tapi aku tak dapat memungkiri; aku menyukainya.

Apa pun terasa lebih menyenangkan selama aku bersama Texas.

Alih-alih singgah ke Plaza Atrium untuk nonton atau sekadar cuci mata, kami justru melipir ke Pasar Senen. Texas kerap mengunjungi tempat itu karena keunikannya. Siapa yang menyangka, kawasan itu dipenuhi sejumlah seniman dan kumpulan mahakaryanya. Pemain musik, pengrajin kayu, pelukis, pembuat puisi. Aku bahkan baru tahu kalau Chairil Anwar termasuk salah satu di antara Seniman Senen pada zamannya.

Perjalanan belum berhenti sampai di situ. Aku dan Texas melipir ke salah satu lapak PKL yang menjual tas dan koper bermerek dengan harga murah. Belakangan aku baru tahu, ternyata tidak sedikit selebriti tanah air yang doyan belanja di sana. Pedagang itu bilang, mereka lebih suka belanja barang bekas berkualitas ketimbang barang mahal. Agak mengejutkan memang.

Selama berjam-jam kami menjelajahi Pasar Senen tanpa rasa lelah. Tepat pukul 12, aku dan Texas memutuskan keluar dari pasar lantaran merasa lapar. Matahari membakar kepalaku. Kami sepakat menuju pedagang mie ayam yang berjualan di depan Stasiun Senen.

Ada sekelompok siswa SMA yang mendekati kami pada waktu itu. Mereka sepertinya berasal dari SMA swasta. Seragamnya bermotif batik kebiruan. Salah satu di antara mereka meminta rokok kepada kami secara paksa. Aku enggan menggubris, begitu pula dengan Texas. Kami berdua tahu, tidak ada pilihan selain berdamai atau balas menggertak. Tapi, membuat keributan di tempat umum sangat tidak dianjurkan.

Apalagi saat masih mengenakan seragam sekolah.

Jadi, aku merogoh selembar uang pecahan sepuluh ribu dari dalam saku seragam dan menaruhnya di bawah mangkuk mie ayamku. Diam-diam menyenggol Texas supaya bergegas kabur dari hadapan mereka. Kami melesat cepat seperti anak panah. Sebisa mungkin melarikan diri dari bahaya. Orang-orang itu terus-menerus meneriakkan sumpah-serapah, menyamakan kami dengan para penghuni kebun binatang. Terlalu nyaring sehingga aku dapat mendengarnya begitu jelas.

Aku terlalu sibuk untuk menoleh ke belakang. Fokusku terpecah antara jalanan dan jemari Texas yang senantiasa kugenggam. Napasku memburu. Perutku berguncang hebat. Seporsi mie ayam yang kusantap bisa saja melompat keluar dari mulutku sewaktu-waktu.

“Naik ke angkot!” perintah Texas dari belakang.

Ada sebuah kendaraan umum berjenis angkot yang berada beberapa meter di hadapan kami. Angkot itu baru mau mempercepat lajunya ketika aku dan Texas melompat masuk, dan menimbulkan bunyi gradak-gruduk yang berisik. Hanya ada empat orang penumpang yang berada di dalam. Seorang ibu dengan bayi di gendongannya menatap aneh ke arah kami.

Tapi kami sama sekali tak peduli.

Selama beberapa saat, aku dan Texas masih cekikikan sambil membahas apa yang baru saja terjadi. Mobil mulai memasuki kawasan Senen Raya yang ramai, kemudian berbelok ke Jalan Pejambon. Macet di mana-mana. Pada jam makan siang, lalu lintas akan berubah dua kali lebih sibuk. Aku baru sadar ke mana arah dan tujuan kendaraan ini ketika Texas bertanya pada salah seorang penumpang yang duduk di sebelahnya.

“Permisi, Pak, angkot ini berhentinya di mana, ya?”

Pria berkumis tebal itu menjawab dengan logat betawi yang sangat kental, “Di depan sono noh, Stasiun Gambir.”

Tak ada kalimat apa pun yang keluar dari mulut Texas. Dia hanya melirikku sekilas, menantiku bereaksi.
Pada saat itu, aku tak sanggup berkata apa-apa. Lututku mendadak lemas. Pikiran-pikiran buruk merasuki seisi kepala. Aku mulai menebak-nebak apa yang kami lakukan setelah ini? Kami bahkan sama sekali tidak punya rencana.

Satu hal yang kutahu, kejadian selanjutnya berlangsung begitu cepat.

***

Aku tidak pernah menyangka hari itu akan menjadi satu perjalanan yang sangat panjang.
Cukup lama kami berdiri di depan pintu masuk Stasiun Gambir tanpa berbuat apa-apa. Texas menatapku lama, kepala dimiringkan ke sisi, sepasang alis tebalnya terangkat; satu pertanda bahwa dia telah membuat keputusan. Aku bergeming, keheningan mulai melebur di antara kami. Namun sebelum aku menemukan alasan yang didasari keraguan, aku melihat Texas membongkar ranselnya dan mengeluarkan sesuatu ke hadapanku.

Sehelai kaus abu-abu dengan logo Crocodile berukuran kecil di bagian belakang. Warna kaus itu agak kusam, seperti telah dicuci ribuan kali. Dan aku langsung menarik kesimpulan, baju itu dia dapatkan di Pasar Senen tadi. Setali tiga uang dengan kaus hitam bergambar Rolling Stone yang kemudian berada di genggamannya.

Kita butuh ini.

Dan entah bagaimana, aku tersihir begitu saja oleh ucapannya;

Melangkah ke dalam Stasiun Gambir tanpa rasa keberatan, menuju toilet untuk mengganti seragam sekolah kami dengan kaus di tangan masing-masing.

Texas sama sekali tidak menunjukkan rasa malu ketika harus membuka seragamnya di hadapanku. Aku dapat melihat rambut-rambut halus yang tumbuh di sekitar pusarnya. Beberapa tahun kemudian, aku semakin sering menyaksikan pemandangan itu. Dengan beberapa perubahan yang membuktikan bahwa hormon selalu berpengaruh dalam masa pertumbuhan.

Sebagian dari diriku tak berhenti berpikir, bagaimana aku bisa secepat itu merasa nyaman dengan seseorang? Seseorang yang selama ini hanya sanggup kukagumi diam-diam. Anehnya lagi, aku terus berharap rasa nyaman itu tak segera pergi.

“Dam, cita-cita kamu apa?”

Texas bertanya dengan suara lirih. Dia berbaring terlentang di atas rumput-rumput yang tumbuh seadanya. Langit malam di atas kami tampak seperti selendang hitam yang dihiasi manik-manik.

Jadi, di sinilah kami berada. Setelah dirundung perasaan cemas bercampur bahagia, menempuh perjalanan berjam-jam dari Stasiun Gambir menggunakan kereta Argo Parahyangan, kemudian mengayuhkan sepasang kaki sampai tumit melepuh, aku dan Texas akhirnya tiba di Bukit Bintang.

Walau dinamakan demikian, sebenarnya tempat ini tidak memiliki unsur perbukitan sama sekali. Hanya ada hamparan tanah dan bebatuan yang tidak rata, ditumbuhi ilalang kecil di mana-mana, serta-merta terdapat beberapa warung kecil yang menyediakan jajanan ala kadarnya. Di malam hari, semua orang dapat menyaksikan kerlap-kerlip lampu yang menyala di sepanjang kota Bandung.

“Belum tahu.” Aku berada di belakangnya, duduk dengan kaki terlipat dan kedua tangan mencengkeram rumput. “Tapi kalau yang kamu maksud ini cita-cita yang sering ditanyakan orangtua sama anak mereka sewaktu kecil, aku punya jawabannya.”

“Jadi dokter? Atau pilot?” Texas terkekeh.

“Selalu bahagia dalam kesederhanaan. Simple as that.” Mataku menerawang jauh, menembus kilau lampu di bawah sana.

Texas beranjak, kemudian mengambil posisi duduk di sebelahku. “Sebenarnya, itu lebih mengacu ke impian, sih.” Mengalirlah filosofi sederhana tentang mimpi dan cita-cita versi Texas. Sebagian orang beranggapan bahwa cita-cita adalah goal terbesar dalam hidup mereka, sesuatu yang patut dipertahankan dengan harga mati. Namun, semua itu tak akan terwujud tanpa kehadiran mimpi. The dream is an energy that propels us to move forward. Mimpi membuat seseorang percaya bahwa segalanya terasa mungkin.

Anything could happen.

“Lulus nanti, aku mau kuliah jurusan Hukum. Terus lanjut magang di kantor pengacara ternama, terus menangani banyak kasus dan berurusan dengan klien.” Texas tidak peduli orang-orang beranggapan profesi itu sangat berkelas sekaligus kejam. Dia tidak peduli berapa banyak pendapatan yang akan diperoleh dalam satu bulan, satu tahun, lima tahun. Bukan uang yang dia cari.

Satu-satunya alasan mengapa Texas begitu berambisi menjadi seorang pengacara; karena dia tahu betapa banyak orang-orang lemah di luar sana yang membutuhkan perlindungan hukum.

Dan untuk kali pertama, aku terkagum-kagum mendengar pengakuannya.

“Tapi aku punya impian seperti itu juga.”

Aku mengernyit dan bertanya, “Seperti apa?”

Jeda sejenak. Kedua bola mata kami saling beradu. Dan selama jeda yang singkat itu, ada desir hangat yang membanjiri aliran darahku. Sesuatu yang membuatku ingin merasakannya lagi, lagi, dan lagi. Sekalipun perasaan itu sungguh tidak tepat.

“Like you said before.” Texas mengujar, kemudian merebahkan tubuhnya lagi di atas rumput.

Dari kejauhan, terdengar sekelompok mahasiswa sedang mendendangkan sebuah lagu. Bunyi dawai gitar yang dipetik; rangkaian chords sederhana. Disusul siul-siulan panjang yang bertransformasi menjadi sebuah melodi.

Shed a tear ‘cause I am missing you
I’m still alright to smile
Girl, I think about you everyday now
Was a time when I wasn’t sure
But you set my mind at ease
There is no doubt; you’re in my heart now

Patience yang dibawakan orang-orang itu masih mengalun di udara. Angin malam berembus pelan. Bukan dingin yang kurasakan, namun kehangatan yang begitu  kentara. Pikiranku melayang jauh bersama lagu.

Begitu jauh hingga aku tersadar bahwa Texas tak lagi berada di dekatku saat ini.

Di masa kini.
Kamis, 30 Juli 2015

Chapter 8 - Making Plans

“Masih belum kelar kerjaan lo?”  Fino menduduki kursi kosong di hadapanku. Secangkir Green Tea Frappuccino pesananku berada di genggamannya. Itu adalah cangkir kelima setelah aku menghabiskan dua jam di Starbucks tanpa melakukan apa-apa.

 “Dari tadi gue bolak-balik majalah, tapi belum ada satu pun ide yang nyangkut.”

“Jangan terlalu dipaksain. Istirahat dulu, deh.”

Aku menanggalkan kacamata minus-ku, mengempas lembar demi lembar kertas HVS yang berisi coretan kacau ke atas meja. Bolpoin-ku terguling ke sudut meja. Fino menahannya sebelum ia sempat jatuh di lantai.

Dia meraih majalah Vogue Spanyol yang tertutup lembaran sketsa berengsek itu dan mulai menjelajahi halamannya satu per satu. Mulutnya terkunci rapat. Sosok Constance Jablonski yang menghiasi sampul depannya seolah-olah tampak sedang mengejekku.

“Ini mesti diserahkan 5 hari lagi, Fin. Astaga!” Aku memijit pelipisku dan memejamkan mata erat-erat. Kepalaku mendadak terasa sangat nyeri, seperti dipukul lusinan palu. “Gue mesti gimana abis iniiiiiii?”

“Lo maunya bikin konsep kayak gimana, sih?”

“Yang jelas nggak pasaran dan sesuai sama permintaan mereka!” ucapku setengah menyerah. “Lo lihat aja, nih – “ Menarik satu rangkap kertas yang sejak tadi teronggok di salah satu kursi dan menyodorkannya ke hadapan Fino. “Gara-gara konsep sialan itu, orang-orang pasti berpikir gue nggak becus kerja, nggak profesional. Karier gue bakal ikut terancam kalau kayak gini terus!”

“Tega banget mereka nolak konsep kayak gini.”

Agak gengsi memang ketika aku harus memaparkan pengakuan Uki waktu itu. Tapi, Fino pantas mengetahuinya; konsep foto di pinggir pantai sudah ketinggalan zaman dan terlalu melenceng dari trademark kami selama ini.

Fino hanya diam. Memelototi gambar yang tertoreh pada kertas itu dengan saksama sampai kudengar dia berseru pelan, “Ambil notebook lo, gue punya jalan keluarnya!”

Bagaikan dihipnotis, aku langsung menyambar buku bersampul kulit dari dalam messenger bag-ku. Menuju kertas paling belakang di mana halaman itu dipenuhi oleh guratan pensil warna dan catatan yang tidak terlalu penting. Bolpoin berada dalam posisi siaga. Telingaku mulai menyimak apa yang disampaikan Fino. Tapi, gagasan itu belum sepenuhnya terangkum kala aku memilih untuk berhenti menulis.

Ada sesuatu yang salah.

 “Tunggu...” Aku melepaskan bolpoin dari genggaman. “Lo bermaksud iseng ke gue atau gimana?”

“Kenapa emang?” Dahi Fino mengernyit.

“Kebun Raya Bogor, latar pepohonan, gadis bergaun putih. Lo bercanda?” ulasku dengan napas terengah-engah. “Tema photoshoot­-nya urban vintageFin. Bukan yang spooky mirip majalah misteri gitu.”

 “Kalau lo berpikir konsep yang gue bilang barusan agak horor, berarti lo salah.” Fino membela diri. “Foto gothic-spooky lagi tren, tahu.”

“Oke, gue hargai pendapat lo. Cuma, yang harus ditonjolkan pada sebuah foto adalah konsepnya. Harmonisasi antara kostum, dandanan, dan pemilihan tempat.” Secara harfiah, ada pesan yang bisa tersampaikan lewat foto tersebut.

 “Coba lo googling, deh. Atau lo bisa cari di Pinterest. Di sana banyak banget fotografer lokal yang udah bikin portfolio mereka sendiri.”

 Perdebatan ini tidak akan kunjung usai. Jadi, lebih baik aku membungkam mulutku rapat-rapat. Sisa hujan masih beririsan di luar sana. Sejumlah kendaraan memadati jalan Melawai, menanti pergantian traffic light. Gumpalan asap knalpot Metromini membuat segalanya tampak lebih pekat.

Dan... Kotor.

Fino benar. Terkadang referensi itu memang sangat diperlukan. Bukan bermaksud menjiplak, tapi sekadar membandingkan gagasan kita dengan milik orang lain. Selain itu, referensi juga dapat membantu dalam evaluasi diri. Supaya kita tahu, apa saja yang perlu dikembangkan atau diperbaiki.
Namun, brainstorming dengan Fino sama sekali tidak ada gunanya. Dia mungkin mengerti masalah fashion. Fino tahu bagaimana menata penampilannya agar terlihat maskulin dan classy. Tapi, tidak semua individu dapat menciptakan ide. Gagasan out-of-the-box adalah sesuatu yang kubutuhkan saat ini.

Seorang pelayan berkaus hitam dan celemek hijau melintas di sebelah meja kami. Pada saat yang sama, iPhone-ku tiba-tiba berdering. Menatap sejenak empat huruf yang muncul di layar itu sebelum benar-benar menggapainya. Empat huruf yang membuatku yakin bahwa dia adalah orang yang tepat untuk diajak bicara.

Halo...” Telapak tanganku sedingin es. Fino mulai heran terhadap tingkahku yang mendadak tak keruan.

“Lagi di mana, Dam?” balas Heru di seberang sana. Samar terdengar bunyi klakson kendaraan. Dugaanku, Heru sedang berada dalam perjalanan menuju suatu tempat.

“Lagi di Starbucks Melawai, Her. Bareng temen gue, cewek.” Entah kenapa, statement yang terakhir itu terdengar kurang penting.

“Eh, kebetulan banget. Gue lagi on the way Taman Langsat nih, tapi masih di Sudirman, sih. Lo nyusul dong!”

Aku mengernyitkan dahi dan bertanya, “Gerimis gini ke Taman Langsat mau ngapain?”

“Ada kerjaan,” ucapnya santai. “Udah, ke sini aja. Apa mau gue jemput?”

Fino bertanya tanpa suara, ingin tahu dengan siapa aku bicara. Namun aku hanya memberinya isyarat untuk hening sesaat. Menengok arlojiku sebelum membuat keputusan, “Bentar lagi gue ke sana, deh.”

“Sip! Gue tunggu, ya.”


Aku mengakhiri panggilan. Berusaha menyembunyikan letupan rasa bahagia di dalam hati. Sementara, Fino masih menatapku dengan senyuman aneh; tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan semua ini.
Kamis, 23 Juli 2015

Chapter 7 - Bimbang

One day, I will have a child of my own
How will I tell him?
Oh...
This world – this world it is a good place?


Nerina Pallot berhasil menyulap rangkaian kalimat itu menjadi sebuah lagu yang menakjubkan. Denting piano dan vokal yang mengalun mesra, merupakan perpaduan sempurna yang sanggup memanjakan telinga. Pada saat tertentu, lagu itu seolah mendiktator ingatanku sehingga aku terseret ke dalam lembah masa lalu.

Potongan kejadian tentang Texas mulai berkelabat di kepala. Terkenang bagaimana kami kerap berangan-angan untuk memiliki seorang anak adopsi. Pada sore hari yang gerimis, di tengah suasana temaram apartemennya, History Boys bersenandung di telingaku untuk pertama kali. Praktis saja menjadikannya sebagai lagu favorit kami.

Sebagaimana peran sebuah lagu, ia akan membuat kita terkoneksi dengan masa lalu. Memonopoli pikiran kita sendiri dengan potongan lirik atau sepatah melodi.

Selagi lagu itu melantun lewat earphone-ku, seseorang tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang. Aku membalikkan badan dan segera mengetahui bahwa orang itu adalah Bunda. Merasa beruntung karena selang air yang kugenggam sejak tadi tidak tersembur ke arahnya.

“Ada teman kamu, tuh,” ujar Bunda seusai melihat aku mencopoti salah satu earbud dari telingaku.

Aku mengernyitkan kening dan bertanya, “Siapa, Bun?”

Bunda mengedikkan bahu. “Cowok. Orangnya lagi nungguin di depan. Padahal udah Bunda tawari masuk.”

Bergegas meraih ember yang berisi busa sabun pencuci mobil, lalu menjatuhkan kepala selang di dalam sana. Terrgerak untuk mencari tahu siapa tamu yang dimaksud Bunda. Aku segera menuju pintu pagar sambil mengelap sisa-sisa peluh di leherku.

Sebuah Yaris merah terparkir di undakan jalan di depan rumahku. Sementara, si pemilik mobil sedang berdiri di depan moncong mobil dan tampak asyik memelototi  layar ponselnya.

“Tumben pagi-pagi udah muncul di sini,” aku menyeru dan menghampiri dirinya yang berpenampilan amat necis. Berlawanan sekali dengan orang di hadapannya saat ini. Kaus lengan buntung, urak-urakan, ditambah lagi celana pendek basah yang sudah sepatutnya diganti.

Heru mendongakkan kepala dan segera menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. “Sengaja, kagak ada kerjaan di rumah.” Matanya sesekali memperhatikan sesuatu yang tercetak jelas di balik celana pendek merahku. “Jalan, yuk!”

“Duh!” Spontan saja, aku menepuk dahi. “Sori banget, Her. Kalau hari ini gue beneran nggak bisa. 
Gue udah janji mau jalan bareng David soalnya.”

Terus terang saja, semua ini di luar perkiraanku. Tadinya aku pikir dapat menghabiskan hari Minggu di rumah. Sekadar beristirahat sambil mencari ide untuk project kemarin, atau pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. Sayangnya, semua rencana itu tak berjalan sempurna saat David memberitahuku tentang agenda bermain bersama teman-teman sekelasnya.

Aku sempat terpikir untuk menolak permintaannya. David bisa saja pergi bersama Bunda. Toh kalau aku yang menemani David, aku tidak akan mungkin bergabung dengan orangtua yang lain. Tapi, David sama sekali tak peduli. Dia tetap bersikeras bahwa akulah yang harus ikut ke acara itu.

“David?” Heru menatapku heran dengan kedua alis yang bertautan.

Aku mendadak sadar, Heru belum pernah bertemu David sebelumnya. Dia pasti berasumsi aku hendak pergi kencan dengan pria lain. Dan sewaktu aku hendak memberi penjelasan atas pertanyaannya barusan, sosok David hadir di sebelahku.

“Kak Adam mau pergi jam berapa? Udah jam sepuluh, nih. Nanti kita telat!” gerutu David seraya mengamati jam tangan kesayangannya.

“Ini David...” Aku mengajak David berdiri lebih dekat sehingga kami tampak saling menempel.

“Adik lo?” Kepalaku terangguk mengiyakan pertanyaan Heru, meskipun sebetulnya tak perlu karena Heru langsung berjongkok di hadapan David dan mengajaknya berkenalan, “Hei, Ganteng. Sekolah kelas berapa sekarang?”

Alih-alih menjawab, David justru memandangku heran dan bersuara, “Ini siapa, Kak?”

“Kenalin, Kakak temannya Kak Adam,” Heru menyela sebelum aku sempat berbicara. “Nama Kakak – Heru.”

Tenggorokanku panas dan praktis tercekat seusai mendengar ucapan Heru. Terbayang lagi di benakku pada pertemuan Texas dan David untuk yang pertama. Telingaku dipenuhi gelak tawa mereka. Aku masih ingat, waktu itu David sama sekali tidak segan saat berbincang dengan Texas. Begitu pula sebaliknya. Dan entah bagaimana, tidak butuh waktu yang lama bagi Texas untuk membuat David akrab dengan dirinya.

“Kenapa bukan Kak Texas aja sih yang ke sini?”

Lamunan tentang Texas yang berceceran di koridor memoriku sekonyong-konyong musnah tak bersisa. Satu pertanyaan baru telah dilontarkan. Buruknya lagi, pertanyaan itu didengar langsung oleh Heru.

“Texas?” tanya Heru dengan mata memicing. “Texas siapa, Dam?”

“Dia – “

“Kak Texas itu temennya Kak Adam!” David tiba-tiba angkat bicara. “Orangnya pintar, jago main harmonika, pokoknya hebat deh! Dia juga pernah ajak aku jalan-jalan.”

Aku merapatkan bibirku dari segala jenis argumentasi. Sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Heru yang kini sedang mengamatiku lekat-lekat. Sadar bahwa dirinya hendak menagih penjelasan tanpa melewatkan satu bagian terkecil sekalipun.

Sebersit penjelasan mulai terbentuk di kepalaku. Baru mau menyuarakannya sewaktu Bunda menyeru dari teras rumah, “Temannya diajak masuk, Dam. Di luar panas.” 

“David udah cek apa aja yang mau dibawa nanti?” Aku bertanya pada David. Sengaja mengulur-ulur waktu untuk mengalihkan topik pembicaraan. Hanya butuh beberapa detik sampai David undur diri dari hadapan kami dan berlari ke dalam rumah.

Tapi, semua itu belum benar-benar selesai.

“Lo belum jawab pertanyaan gue barusan.” Air muka Heru berubah serius. Ekspresi seperti itu belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.

“Yang mana?” Suaraku parau, jantungku kembang-kempis tak beraturan sampai rasanya mau meletup – pertanda jelas bahwa aku tak sanggup mengendalikan diri.

“Siapa Texas?”

Pandanganku kosong. Aku bahkan tak tahu harus memulai penjelasan dari mana. Lidahku terasa kelu. Dan dari sekian banyak frasa yang membombardir seisi kepala, aku lebih memilih bertanya, “Lo mau tunggu di sini atau di ruang tamu aja. Gue mau ganti baju soalnya.”

Basa-basi yang busuk, memang!

“Jawab gue, Dam!” Dia menyambar lenganku dan mencengkeramnya erat-erat. Begitu keras sehingga aku yakin ia pasti meninggalkan bekas pada kulitku. “Lo berusaha menutupi sesuatu dari gue, kan??!!”

Sebagian dari diriku mendesak, “Katakan saja yang sejujurnya! Biar dia berhenti mencari tahu. Biar dia kapok.”

Sementara itu, bagian lain justru bersikeras, “Ada waktunya bagi kamu untuk terbuka, Dam. Bayangkan bagaimana perasaan seseorang setelah mengetahui semua itu.”

Aku menarik napas dalam-dalam, memercayai dalam hati bahwa pilihanku tidak salah. Menatap sepasang bola mata hitam milik Heru dan mengujar, “Lebih baik kita bicara di dalam aja. Nyokap gue udah manggil.”

Heru perlahan melonggarkan cengkeramannya.
Sabtu, 30 Mei 2015

Selamat Menjadi Genap, Sahabat.


Sebagian orang kerap kali mengaitkan momen ulang tahun dengan pengurangan sisa umur. Saya sering mendengar sejumlah harapan yang diucapkan untuk mereka yang sedang berulang tahun – sehat selalu, semakin dewasa, semoga panjang umur, dan bahagia. Terdengar seperti lagu, ya? Tapi entah kenapa, kalimat klise seperti itu dapat membuat siapa pun tersentuh.

Mari kita enyahkan sejenak filosofi ulang tahun ini sejenak dan mengenang momen paling berharga dalam hidup kita. Menghidupkan masa lalu. Saya sering melakukannya, dengan atau tanpa teman. Memang tidak ada yang menarik dengan hal itu. Rasanya seperti membuang-buang waktu saja. Namun, ada semacam keseruan setiap kali saya menjelajahi koridor memori dan bertabrakan dengan secuil cerita lampau.

Itu adalah pertama kalinya kami memulai pertemanan. Facebook sangat berjaya pada saat itu. Lewat perkenalan singkat, coretan di dinding profil masing-masing, komentar nyeleneh di album foto; sudah menjadi kebiasaan kami sehari-hari. Mungkin di akhir tulisan ini, saya harus memberi credit khusus untuk Mark Zuckerberg yang telah menciptakan Facebook.

Saya sempat menjulukinya sebagai The Most Talkative Person. Bagaimana tidak? Dia bisa berceloteh ratusan kalimat di saat saya hanya mampu menuturkan sepuluh. Saya sering berbicara padanya tentang masalah percintaan, karier, passion, bisnis, teknologi, edukasi, dan entertainment. Dia tahu bagaimana caranya menempatkan diri pada sejumlah aspek yang berbeda. Mungkin karena dia seorang Geminian. Biasanya, orang Gemini itu supel dan fleksibel.

Pada suatu siang yang terik di pengujung bulan Maret, kami meninggalkan kos dengan pintu pagar berwarna hijau itu. Menyusuri gang kecil yang terhubung langsung ke jalan raya Ujung Berung. Atmosfer dipenuhi asap kendaraan. Saya mengayuhkan kaki lebih cepat, mencari tempat untuk menanti bus Damri jurusan Kebon Kalapa, atau sekadar berteduh dari panasnya matahari. Sementara itu, teman saya jauh tertinggal di belakang. Mengusap peluh yang membanjiri keningnya dengan kain bercorak batik khas Sunda. Kepalanya tertutup tudung sweater. Dia selalu bermasalah dalam urusan menyeimbangkan kecepatan.

Sebuah pohon yang berdiri di depan bengkel kusam menjadi tempat persinggahan kami. Saya sempat menebak, bus Damri akan mengalami sedikit keterlambatan. Lalu lintas pada jam makan siang dapat mengacaukan segalanya. Selagi menunggu kedatangan bus Damri, saya membahas kembali tentang insiden mengerikan yang kami alami tadi malam. We were kidnapped by stranger, stepped into his car, til we found the way home. Sedikit pun kami tidak pernah menduga hal itu dapat terjadi. Meskipun, ya – kami sempat terpukau oleh Nissan March putih yang dikendarainya.

Butuh waktu lima belas menit sampai bus berwarna biru putih itu muncul di hadapan kami. Seluruh kursi penumpang tampak penuh. Tak ada lagi kesempatan untuk duduk bersebelahan dan memperbincang kejadian tadi malam. Kami tak punya pilihan selain berdiri di antara himpitan mahasiswa UIN bertampang Islami.

Sebuah pesan baru tiba-tiba muncul di layar ponsel saya.

Langsung nonton atau makan dulu, Buk?

Saya bergegas menekan tombol alfabet dan membalas.

Makan dulu aja. Di Giggle Box.

***

Ada beberapa hal di dunia ini yang tak bisa dihindari, tak peduli seberapa besar kita berusaha. Sebagai contohnya, suara sopir angkot Kalapa yang meneriakkan tujuan keberangkatannya. Malam telah naik sejak satu jam lalu. Kawasan Merdeka dihujani cahaya remang oleh sejumlah lampu jalan. Arloji di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul delapan. Sebagian besar angkot jurusan Kalapa memang beroperasi 24 jam. Tapi, bus Primajasa di terminal Leuwi Panjang sana hanya tersedia sampai pukul sembilan.

“I gotta go now.”

Ada getir yang terasa ketika kalimat itu terlontar dari mulut sahabat saya. Dia membenarkan letak ranselnya. Ransel yang hanya berisi dua helai kaus, charger, dan aneka peralatan kecantikan. Ponselnya telanjur mati sejak di dalam bioskop tadi.

Pada saat yang sama, benak saya terputar lagi pada sosok Iko Uwais, Mad Dog, dan Julie Estelle. Film The Raid berhasil membuat saya menjerit dengan kondisi perut melilit. Tapi, keseluruhan film itu tidak ada apa-apanya dibandingkan drama kehilangan tiket masuk studio XXI. Memang kesalahan saya yang kelewat teledor lantaran menyimpan tiket itu asal-asalan. Entah di mana dan bagaimana tiket itu bisa hilang, saya pun tidak ingat. Satu hal yang saya tahu, tiket itu sudah menghilang dari genggaman saat kami tiba di Giggle Box.

Terus terang perasaan saya campur aduk pada waktu itu. Ada rasa bersalah, sekaligus pasrah. Bersalah karena telah mengacaukan agenda siang ini dalam satu kedipan mata. Pasrah karena saya tahu; saya patut mengganti tiket itu dua kali lipat, meskipun pada akhirnya kami masih diizinkan masuk ke Studio berkat bantuan manajer dan kesaksian si Kasir. Terima kasih, Empire XXI.

Dont forget to text me when you’re at home.” Menariknya ke dalam pelukan sebelum dia benar-benar melangkah ke dalam angkot hijau itu.

Dia mengiyakan permintaan saya dengan satu senyuman. Senyum yang seolah-olah menunjukkan, everything will be fine – sooner or later.

Dan semua itu tidak pernah salah.

Karena bagi kami, sebuah perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Saya sudah pernah mengalami hal itu berkali-kali. Making plans, waving goodbye, memulai hidup yang baru, tapi pada akhirnya – waktu selalu membawa kami pada satu pertemuan. Terminal Kampung Rambutan, Mangga Dua Square, Bandung Timur Plaza, dalam momentum yang berbeda, segalanya masih terasa sama. Senyum kami melayang di udara, dua tawa melebur jadi satu, di antara ingar-bingar suara.

Saya selalu berharap jarak dapat menguatkan, meskipun waktu selalu membuat perubahan. Tak peduli di mana pun kita berada nanti, pasti ada satu atau dua hal yang akan kita rindukan. Salah satunya; kebersamaan.

Selamat menjadi genap. Semoga selalu berkecukupan.


Sincerely,
Joy