Write. Anywhere. Anytime.

Kamis, 30 Juli 2015

Chapter 8 - Making Plans

“Masih belum kelar kerjaan lo?”  Fino menduduki kursi kosong di hadapanku. Secangkir Green Tea Frappuccino pesananku berada di genggamannya. Itu adalah cangkir kelima setelah aku menghabiskan dua jam di Starbucks tanpa melakukan apa-apa.

 “Dari tadi gue bolak-balik majalah, tapi belum ada satu pun ide yang nyangkut.”

“Jangan terlalu dipaksain. Istirahat dulu, deh.”

Aku menanggalkan kacamata minus-ku, mengempas lembar demi lembar kertas HVS yang berisi coretan kacau ke atas meja. Bolpoin-ku terguling ke sudut meja. Fino menahannya sebelum ia sempat jatuh di lantai.

Dia meraih majalah Vogue Spanyol yang tertutup lembaran sketsa berengsek itu dan mulai menjelajahi halamannya satu per satu. Mulutnya terkunci rapat. Sosok Constance Jablonski yang menghiasi sampul depannya seolah-olah tampak sedang mengejekku.

“Ini mesti diserahkan 5 hari lagi, Fin. Astaga!” Aku memijit pelipisku dan memejamkan mata erat-erat. Kepalaku mendadak terasa sangat nyeri, seperti dipukul lusinan palu. “Gue mesti gimana abis iniiiiiii?”

“Lo maunya bikin konsep kayak gimana, sih?”

“Yang jelas nggak pasaran dan sesuai sama permintaan mereka!” ucapku setengah menyerah. “Lo lihat aja, nih – “ Menarik satu rangkap kertas yang sejak tadi teronggok di salah satu kursi dan menyodorkannya ke hadapan Fino. “Gara-gara konsep sialan itu, orang-orang pasti berpikir gue nggak becus kerja, nggak profesional. Karier gue bakal ikut terancam kalau kayak gini terus!”

“Tega banget mereka nolak konsep kayak gini.”

Agak gengsi memang ketika aku harus memaparkan pengakuan Uki waktu itu. Tapi, Fino pantas mengetahuinya; konsep foto di pinggir pantai sudah ketinggalan zaman dan terlalu melenceng dari trademark kami selama ini.

Fino hanya diam. Memelototi gambar yang tertoreh pada kertas itu dengan saksama sampai kudengar dia berseru pelan, “Ambil notebook lo, gue punya jalan keluarnya!”

Bagaikan dihipnotis, aku langsung menyambar buku bersampul kulit dari dalam messenger bag-ku. Menuju kertas paling belakang di mana halaman itu dipenuhi oleh guratan pensil warna dan catatan yang tidak terlalu penting. Bolpoin berada dalam posisi siaga. Telingaku mulai menyimak apa yang disampaikan Fino. Tapi, gagasan itu belum sepenuhnya terangkum kala aku memilih untuk berhenti menulis.

Ada sesuatu yang salah.

 “Tunggu...” Aku melepaskan bolpoin dari genggaman. “Lo bermaksud iseng ke gue atau gimana?”

“Kenapa emang?” Dahi Fino mengernyit.

“Kebun Raya Bogor, latar pepohonan, gadis bergaun putih. Lo bercanda?” ulasku dengan napas terengah-engah. “Tema photoshoot­-nya urban vintageFin. Bukan yang spooky mirip majalah misteri gitu.”

 “Kalau lo berpikir konsep yang gue bilang barusan agak horor, berarti lo salah.” Fino membela diri. “Foto gothic-spooky lagi tren, tahu.”

“Oke, gue hargai pendapat lo. Cuma, yang harus ditonjolkan pada sebuah foto adalah konsepnya. Harmonisasi antara kostum, dandanan, dan pemilihan tempat.” Secara harfiah, ada pesan yang bisa tersampaikan lewat foto tersebut.

 “Coba lo googling, deh. Atau lo bisa cari di Pinterest. Di sana banyak banget fotografer lokal yang udah bikin portfolio mereka sendiri.”

 Perdebatan ini tidak akan kunjung usai. Jadi, lebih baik aku membungkam mulutku rapat-rapat. Sisa hujan masih beririsan di luar sana. Sejumlah kendaraan memadati jalan Melawai, menanti pergantian traffic light. Gumpalan asap knalpot Metromini membuat segalanya tampak lebih pekat.

Dan... Kotor.

Fino benar. Terkadang referensi itu memang sangat diperlukan. Bukan bermaksud menjiplak, tapi sekadar membandingkan gagasan kita dengan milik orang lain. Selain itu, referensi juga dapat membantu dalam evaluasi diri. Supaya kita tahu, apa saja yang perlu dikembangkan atau diperbaiki.
Namun, brainstorming dengan Fino sama sekali tidak ada gunanya. Dia mungkin mengerti masalah fashion. Fino tahu bagaimana menata penampilannya agar terlihat maskulin dan classy. Tapi, tidak semua individu dapat menciptakan ide. Gagasan out-of-the-box adalah sesuatu yang kubutuhkan saat ini.

Seorang pelayan berkaus hitam dan celemek hijau melintas di sebelah meja kami. Pada saat yang sama, iPhone-ku tiba-tiba berdering. Menatap sejenak empat huruf yang muncul di layar itu sebelum benar-benar menggapainya. Empat huruf yang membuatku yakin bahwa dia adalah orang yang tepat untuk diajak bicara.

Halo...” Telapak tanganku sedingin es. Fino mulai heran terhadap tingkahku yang mendadak tak keruan.

“Lagi di mana, Dam?” balas Heru di seberang sana. Samar terdengar bunyi klakson kendaraan. Dugaanku, Heru sedang berada dalam perjalanan menuju suatu tempat.

“Lagi di Starbucks Melawai, Her. Bareng temen gue, cewek.” Entah kenapa, statement yang terakhir itu terdengar kurang penting.

“Eh, kebetulan banget. Gue lagi on the way Taman Langsat nih, tapi masih di Sudirman, sih. Lo nyusul dong!”

Aku mengernyitkan dahi dan bertanya, “Gerimis gini ke Taman Langsat mau ngapain?”

“Ada kerjaan,” ucapnya santai. “Udah, ke sini aja. Apa mau gue jemput?”

Fino bertanya tanpa suara, ingin tahu dengan siapa aku bicara. Namun aku hanya memberinya isyarat untuk hening sesaat. Menengok arlojiku sebelum membuat keputusan, “Bentar lagi gue ke sana, deh.”

“Sip! Gue tunggu, ya.”


Aku mengakhiri panggilan. Berusaha menyembunyikan letupan rasa bahagia di dalam hati. Sementara, Fino masih menatapku dengan senyuman aneh; tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan semua ini.
Kamis, 23 Juli 2015

Chapter 7 - Bimbang

One day, I will have a child of my own
How will I tell him?
Oh...
This world – this world it is a good place?


Nerina Pallot berhasil menyulap rangkaian kalimat itu menjadi sebuah lagu yang menakjubkan. Denting piano dan vokal yang mengalun mesra, merupakan perpaduan sempurna yang sanggup memanjakan telinga. Pada saat tertentu, lagu itu seolah mendiktator ingatanku sehingga aku terseret ke dalam lembah masa lalu.

Potongan kejadian tentang Texas mulai berkelabat di kepala. Terkenang bagaimana kami kerap berangan-angan untuk memiliki seorang anak adopsi. Pada sore hari yang gerimis, di tengah suasana temaram apartemennya, History Boys bersenandung di telingaku untuk pertama kali. Praktis saja menjadikannya sebagai lagu favorit kami.

Sebagaimana peran sebuah lagu, ia akan membuat kita terkoneksi dengan masa lalu. Memonopoli pikiran kita sendiri dengan potongan lirik atau sepatah melodi.

Selagi lagu itu melantun lewat earphone-ku, seseorang tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang. Aku membalikkan badan dan segera mengetahui bahwa orang itu adalah Bunda. Merasa beruntung karena selang air yang kugenggam sejak tadi tidak tersembur ke arahnya.

“Ada teman kamu, tuh,” ujar Bunda seusai melihat aku mencopoti salah satu earbud dari telingaku.

Aku mengernyitkan kening dan bertanya, “Siapa, Bun?”

Bunda mengedikkan bahu. “Cowok. Orangnya lagi nungguin di depan. Padahal udah Bunda tawari masuk.”

Bergegas meraih ember yang berisi busa sabun pencuci mobil, lalu menjatuhkan kepala selang di dalam sana. Terrgerak untuk mencari tahu siapa tamu yang dimaksud Bunda. Aku segera menuju pintu pagar sambil mengelap sisa-sisa peluh di leherku.

Sebuah Yaris merah terparkir di undakan jalan di depan rumahku. Sementara, si pemilik mobil sedang berdiri di depan moncong mobil dan tampak asyik memelototi  layar ponselnya.

“Tumben pagi-pagi udah muncul di sini,” aku menyeru dan menghampiri dirinya yang berpenampilan amat necis. Berlawanan sekali dengan orang di hadapannya saat ini. Kaus lengan buntung, urak-urakan, ditambah lagi celana pendek basah yang sudah sepatutnya diganti.

Heru mendongakkan kepala dan segera menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. “Sengaja, kagak ada kerjaan di rumah.” Matanya sesekali memperhatikan sesuatu yang tercetak jelas di balik celana pendek merahku. “Jalan, yuk!”

“Duh!” Spontan saja, aku menepuk dahi. “Sori banget, Her. Kalau hari ini gue beneran nggak bisa. 
Gue udah janji mau jalan bareng David soalnya.”

Terus terang saja, semua ini di luar perkiraanku. Tadinya aku pikir dapat menghabiskan hari Minggu di rumah. Sekadar beristirahat sambil mencari ide untuk project kemarin, atau pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. Sayangnya, semua rencana itu tak berjalan sempurna saat David memberitahuku tentang agenda bermain bersama teman-teman sekelasnya.

Aku sempat terpikir untuk menolak permintaannya. David bisa saja pergi bersama Bunda. Toh kalau aku yang menemani David, aku tidak akan mungkin bergabung dengan orangtua yang lain. Tapi, David sama sekali tak peduli. Dia tetap bersikeras bahwa akulah yang harus ikut ke acara itu.

“David?” Heru menatapku heran dengan kedua alis yang bertautan.

Aku mendadak sadar, Heru belum pernah bertemu David sebelumnya. Dia pasti berasumsi aku hendak pergi kencan dengan pria lain. Dan sewaktu aku hendak memberi penjelasan atas pertanyaannya barusan, sosok David hadir di sebelahku.

“Kak Adam mau pergi jam berapa? Udah jam sepuluh, nih. Nanti kita telat!” gerutu David seraya mengamati jam tangan kesayangannya.

“Ini David...” Aku mengajak David berdiri lebih dekat sehingga kami tampak saling menempel.

“Adik lo?” Kepalaku terangguk mengiyakan pertanyaan Heru, meskipun sebetulnya tak perlu karena Heru langsung berjongkok di hadapan David dan mengajaknya berkenalan, “Hei, Ganteng. Sekolah kelas berapa sekarang?”

Alih-alih menjawab, David justru memandangku heran dan bersuara, “Ini siapa, Kak?”

“Kenalin, Kakak temannya Kak Adam,” Heru menyela sebelum aku sempat berbicara. “Nama Kakak – Heru.”

Tenggorokanku panas dan praktis tercekat seusai mendengar ucapan Heru. Terbayang lagi di benakku pada pertemuan Texas dan David untuk yang pertama. Telingaku dipenuhi gelak tawa mereka. Aku masih ingat, waktu itu David sama sekali tidak segan saat berbincang dengan Texas. Begitu pula sebaliknya. Dan entah bagaimana, tidak butuh waktu yang lama bagi Texas untuk membuat David akrab dengan dirinya.

“Kenapa bukan Kak Texas aja sih yang ke sini?”

Lamunan tentang Texas yang berceceran di koridor memoriku sekonyong-konyong musnah tak bersisa. Satu pertanyaan baru telah dilontarkan. Buruknya lagi, pertanyaan itu didengar langsung oleh Heru.

“Texas?” tanya Heru dengan mata memicing. “Texas siapa, Dam?”

“Dia – “

“Kak Texas itu temennya Kak Adam!” David tiba-tiba angkat bicara. “Orangnya pintar, jago main harmonika, pokoknya hebat deh! Dia juga pernah ajak aku jalan-jalan.”

Aku merapatkan bibirku dari segala jenis argumentasi. Sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Heru yang kini sedang mengamatiku lekat-lekat. Sadar bahwa dirinya hendak menagih penjelasan tanpa melewatkan satu bagian terkecil sekalipun.

Sebersit penjelasan mulai terbentuk di kepalaku. Baru mau menyuarakannya sewaktu Bunda menyeru dari teras rumah, “Temannya diajak masuk, Dam. Di luar panas.” 

“David udah cek apa aja yang mau dibawa nanti?” Aku bertanya pada David. Sengaja mengulur-ulur waktu untuk mengalihkan topik pembicaraan. Hanya butuh beberapa detik sampai David undur diri dari hadapan kami dan berlari ke dalam rumah.

Tapi, semua itu belum benar-benar selesai.

“Lo belum jawab pertanyaan gue barusan.” Air muka Heru berubah serius. Ekspresi seperti itu belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.

“Yang mana?” Suaraku parau, jantungku kembang-kempis tak beraturan sampai rasanya mau meletup – pertanda jelas bahwa aku tak sanggup mengendalikan diri.

“Siapa Texas?”

Pandanganku kosong. Aku bahkan tak tahu harus memulai penjelasan dari mana. Lidahku terasa kelu. Dan dari sekian banyak frasa yang membombardir seisi kepala, aku lebih memilih bertanya, “Lo mau tunggu di sini atau di ruang tamu aja. Gue mau ganti baju soalnya.”

Basa-basi yang busuk, memang!

“Jawab gue, Dam!” Dia menyambar lenganku dan mencengkeramnya erat-erat. Begitu keras sehingga aku yakin ia pasti meninggalkan bekas pada kulitku. “Lo berusaha menutupi sesuatu dari gue, kan??!!”

Sebagian dari diriku mendesak, “Katakan saja yang sejujurnya! Biar dia berhenti mencari tahu. Biar dia kapok.”

Sementara itu, bagian lain justru bersikeras, “Ada waktunya bagi kamu untuk terbuka, Dam. Bayangkan bagaimana perasaan seseorang setelah mengetahui semua itu.”

Aku menarik napas dalam-dalam, memercayai dalam hati bahwa pilihanku tidak salah. Menatap sepasang bola mata hitam milik Heru dan mengujar, “Lebih baik kita bicara di dalam aja. Nyokap gue udah manggil.”

Heru perlahan melonggarkan cengkeramannya.