Write. Anywhere. Anytime.

Minggu, 21 Agustus 2016

More Than Gravity



Untuk waktu yang lama, Gina tepekur memandangi telunjuknya yang tak henti-henti mengentuk meja. Dia tahu tindakannya itu sangat mengganggu Ivy. Tapi, dia sama sekali tidak tahu bagaimana menghentikannya. Pikirannya terfokus pada satu masalah yang sampai saat ini belum memiliki jalan keluar.

“Lo udah menghubungi dia ke ponselnya?” saran Ivy.

“Boro-boro nelepon, gue bahkan nggak pernah bertukar nomor handphone sama dia.”

“Terus gimana?”

Gina berangkat dari kursi yang didudukinya, lalu menjawab, “Gue bakal ke Ubud besok.”

“Gin!” Ivy terperanjat. “Barusan lo bercanda, kan?”

It’s now or never, Vy. Nggak ada hasil yang turun dari langit kalau lo nggak berani mencoba.”

Jawaban Gina sontak membuat Ivy terdiam. Tak ada gunanya menentang atau memberi bantahan. Ivy mengenal seperti apa karakter sahabatnya yang satu itu—keras kepala, impulsif, dan idealis. Jadi, yang sanggup Ivy lakukan hanyalah berharap agar upaya Gina kali ini membuahkan hasil. Meskipun mereka tahu, tidak ada yang bisa menjamin keberhasilan mutlak atas sebuah perjuangan.

*

Bepergian ke suatu tempat ketika bertepatan dengan satu perayaan besar bukanlah ide yang buruk. Kau mungkin berharap segalanya berjalan sesuai rencana; namun kau tak pernah tahu, ada banyak kejutan yang bisa terjadi begitu saja. Atmosfer asing yang menyerupai euforia, perlahan-lahan membuatmu terpukau pada keberagaman. Faktor inilah yang terkadang mendorong sebagian orang selalu ingin kembali ke tempat yang sama.

Ini adalah kali kedua Gina mengunjungi Bali dalam waktu kurang dari setahun. Pertama kali pada pengujung Desember 2014, menyaksikan kembang api pergantian tahun di Pantai Sanur. Masih dengan formasi yang sama seperti waktu itu, Gina ditemani Ivy, Robin, dan kekasih Gina sendiri—Alex. Sekali ini mereka memilih Ubud sebagai destinasi utama.

Semua orang akan setuju bahwa Ubud menyimpan nilai spiritualisme yang sangat kental. Sejumlah Pura bertebaran di mana-mana, sawah terasering yang seolah menjadi simbol keharmonisan. Ditambah lagi dengan kehadiran Penjor dan aneka persembahan yang hadir di muka rumah pada momen hari raya Galungan.

Di bawah langit Ubud yang berwarna biru, keempat wisatawan asal Jakarta itu berkendara menuju Bali Pulina. Itu merupakan pusat agrowisata yang belakangan sedang marak diperbincangkan di media sosial.

Seorang pria pemandu berada beberapa langkah di hadapan Ivy, Alex, dan Robin. Sementara, Gina terpisah dari rombongan. Matanya sibuk menyapu ke sekitar; sebidang tanah yang dihuni pohon nanas, lalu pohon kopi Arabika dengan buahnya yang berwarna merah darah. Gina tertarik untuk mendekat. Namun, sesuatu membuatnya mundur dari tempat itu. Dia melihat jalan setapak yang mengarah ke sebuah panggung kayu berbentuk daun. Panggung yang sering dijadikan lokasi untuk berfoto oleh para turis. Mereka menamainya Kembang Kopi Stage.

Gina tergerak untuk melangkah ke sana ketika terdengar sebuah suara yang mengurungkan niatnya.

“Sebaiknya lewat sini saja, Mbak.”

Pria itu tersenyum sopan sembari menganggukkan kepala. Dia berpakaian seperti pemandu Bali Pulina pada umumnya; kemeja putih gading dengan motif batik, celana panjang dan celemek abu-abu khas barista. Untuk sesaat yang singkat, Gina terperangkap dalam kebisuan.

“Nama saya Galih. Kalau Mbak mau duduk di saung, bisa saya antarkan,” tambah pria itu. “Tapi akan lebih baik kalau saya perkenalkan dulu jenis-jenis kopi di sini.”

“Saya nggak doyan kopi,” ucap Gina.

“Kami juga menyediakan teh dan cokelat sebagai alternatif.”

Lagi, mulut Gina terkunci rapat. Dia sendiri tidak mengerti apa yang membuatnya mendadak salah tingkah di hadapan pria pemandu itu.

“Barangkali mau lihat proses pembuatan kopi luwak? Kebetulan di dapur sudah tersedia biji kopi pilihan yang siap disangrai.”

Angin berdesir pelan meniupi rambut panjang Gina. Lidahnya terasa kelu karena sesuatu yang tidak beralasan. Namun, sesaat kemudian, Gina mendengar dirinya bersuara, “Kedengarannya menarik. Bisa antar saya ke sana?”

Pemandu bernama Galih itu pun mengangguk patuh.

*

“Waktu kecil, saya pernah punya pengalaman kurang mengenakkan sama kopi,” tutur Gina.

Galih tidak memberi respons. Dia menanti Gina meneruskan kisahnya.

“Paman saya petani kopi di Bangka. Letaknya nggak terlalu jauh dari rumah saya. Saya sering pergi ke sana sendirian, melihat dia memetik biji kopi ke dalam bakul; menyaksikan proses penggilingannya, kemudian pulang ke rumah dengan sekantung kopi bubuk.”

Keduanya berjalan mendekati dua buah kandang yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat pemanggangan biji kopi. Masing-masing kandang dihuni seekor luwak yang tengah tertidur pulas. Di dalam kandang itu berserakan kotoran-kotoran luwak—yang kelak akan dipilah dan diolah menjadi kopi luwak. Konon, para luwak hanya mengonsumsi buah kopi berkualitas prima. Itulah sebabnya kopi luwak dibanderol harga yang sangat tinggi.

“Kadang saya iseng, buah kopi yang berwarna merah itu suka saya gigit kulitnya. Manis. Iya, rasanya manis.” Gina terkekeh sendiri. “Karena melihat tingkah saya waktu itu, Paman saya memberi secangkir kopi hitam yang masih hangat.”

Kini, Galih semakin tertarik untuk mengetahui kelanjutan dongeng masa kecil perempuan itu.

“Rasanya gimana?” tanya Galih.

“Saya berekspektasi rasa kopi itu manis, seperti kulit buahnya yang saya gigiti. Dan memang benar, kopi itu manis, pekat, agak pahit,” ungkap Gina. “Tapi, tahukah Anda apa yang terjadi malam harinya?”

Galih menggelengkan kepala.

“Kepala saya pusing, perut saya mual, kembung—mirip seperti orang yang masuk angin.” 

Detik itu pula, Galih meledakkan tawanya. Gina menyadari kisahnya cukup konyol sekaligus menggelikan. Jadi, dia ikut tergelak. Keduanya tertawa lepas sehingga membuat seorang rekan kerja Galih yang tengah menyangrai kopi menoleh ke arah mereka.

“Makanya, sampai saat ini saya masih trauma minum kopi.”

“Itu karena kopi yang Anda minum waktu itu kopi Robusta.”

“Apa bedanya?”

Di dekat pemanggangan kopi, terdapat sebuah pondok yang memperlihatkan berbagai jenis kopi yang telah disangrai. Sebagian telah dikemas ke dalam stoples. Gina membuntuti Galih ke tempat itu. Dia duduk di sebelah baki-baki berisi biji kopi yang telah dikeringkan.

“Biji kopi yang bentuknya lonjong, pipih, dan agak memanjang ini jenis Arabika. Karakter rasanya cenderung asam. Arabika biasanya tumbuh di Aceh, Toraja, Papua.” Galih bergerak ke baki yang lain dan mulai bicara, “Yang ini, jenis kopi Robusta.”

Gina mengamati biji-biji kopi yang berhamburan pada baki itu. Bentuk bijinya bulat, jauh lebih kecil dibandingkan jenis sebelumnya. Karakteristik biji kopi itu sangat familier. Dan secara kontan, Gina menyadari bahwa biji kopi itulah yang sering dia saksikan sewaktu kecil.

“Kadar kafein Robusta lebih tinggi jika dibandingkan Arabika. Rasanya pun cenderung pahit, strong. Meskipun begitu, semua kopi sama saja, tergantung pengolahannya.”

“Boleh saya coba?”

Galih mengangguk, mempersilakan.

Setengah ragu, Gina menyuapi dirinya dengan sebutir biji kopi Robusta. Dan ketika giginya berhasil meremukkan biji kopi itu di dalam mulutnya—meleleh di lidahnya, Gina tak kuasa untuk memuntahkannya.

“Pahit!”

Hal seperti ini memang tak seharusnya terjadi. Tapi, Gina sama sekali tidak pernah memprediksinya. Pun Galih, yang segera saja menuangkan segelas air putih dari dalam teko. Memetik buah kakao dan membentur kulitnya yang kekuningan pada pohon, sebelum mengulurkannya kepada Gina.

“Butuh waktu yang lama bagi seseorang untuk menjadi penikmat kopi sejati. Seperti perjalanan, ada sekian banyak tempat yang kamu lalui sebelum akhirnya memutuskan satu tempat terbaik,” ujar Galih. “Bagi saya, kopi itu teman terbaik yang tidak ada tandingannya. Ia selalu ada ketika seseorang merasa sedih, bahagia, sendirian, ataupun saat ditemani seseorang.”

“Sejak kapan jadi penyuka kopi?” tanya Gina sambil mengulum sebiji kakao di dalam mulutnya.

“Sejak kecil.” Galih melanjutkan, “Orangtua saya petani kopi Gayo di Aceh. Saya selalu bersemangat setiap kali memasuki musim panen kopi. Saya dan teman-teman seumuran saya di kampung, kelak berlomba-lomba mengumpul hasil petikan ke dalam karung. Kelak, kopi-kopi itu kami serahkan ke Bapak. Biasanya kami diupah seribu rupiah, seribu lima ratus.”

“Itu sebabnya Anda berada di sini?”

“Untuk mempelajari sesuatu, membangun relasi, mencari peluang bisnis—“ Galih menunduk dalam-dalam. “Klise, ya?”

Aroma kopi sangrai meruak di udara. Gina baru saja mau menanggapi ucapan itu ketika terdengar seseorang meneriaki namanya dari kejauhan.

“Gue cari lo ke mana-mana, ternyata elo ngumpet di sini!”

Ivy muncul di hadapan Gina dengan napas tersengal-sengal. Matanya membelalak tak keruan—satu kesatuan dari cemas, kesal, jengkel, dan lega. Alex dan Robin muncul beberapa detik setelah kedatangan Ivy.

Alex, sebagai kekasih Gina ikut menunjukkan kekhawatiran. “Kamu ke mana aja sih, Gin? Aku telepon berkali-kali malah nggak diangkat.”

“Ya wajar lah. Aku kan nggak bawa handphone.”

“Terus ini siapa?” Telunjuk Ivy teracung pada Galih, di mana hal itu justru menimbulkan kecurigaan pada semua orang di sekelilingnya. Terutama Alex.

Gina menjawab, “Dia karyawan Bali Pulina juga, kok. Namanya Galih.”

Ada kecanggungan yang menggantung di antara mereka. Tiga pasang mata memperhatikan sosok Galih dengan tatapan berbeda-beda. Gina hendak memaparkan satu penjelasan, namun dia kalah cepat sewaktu Alex menyambar tangannya dan mengakhiri keheningan itu.

“Permisi, Mas, saya perlu bicara sebentar sama pacar saya.

Kalimat itu seharusnya memang tidak perlu. Tapi, Alex berhak menggunakannya—sekadar menegaskan bahwa Gina adalah kekasihnya. Dan dia tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mengajak Gina pergi dari tempat itu. Ivy dan Robin menyusul dari belakang, selagi Galih masih menyaksikan kepergian mereka.

*
Gina tidak pernah tahu berapa banyak mesin pendingin udara yang dipasang di ruang tunggu ini. Dia bahkan sudah merasa dingin sejak tadi, saat taksi yang dia tumpangi menurunkkannya di area dropzone. Menyeret kopernya dengan langkah gontai ke konter check-in, terus berjalan seorang diri tanpa sudi melirik kanan dan kiri.

Lima belas menit menuju waktu keberangkatan pesawatnya. Tidak ada penundaan ataupun jadwal yang dipercepat. Namun, berada terlalu lama di ruang tunggu bandara ini membuat Gina merasa mual. Ditambah lagi dengan upaya pencariannya kemarin tidak berjalan sesuai yang dia harapkan. Seolah-olah semesta tak mengizinkannya bahagia kali ini.

Layar ponselnya tiba-tiba menyala. Gina terpaksa menerima panggilan itu ketika dia melihat peneleponnya adalah Ivy.

“How’s it going, Gin?” tanya Ivy antusias.

“Gagal.” Di antara bunyi pengumuman yang berdengung di tempat itu, suara Gina nyaris terdengar seperti bisikan. “Galih resign dari Bali Pulina lima bulan lalu. Sekarang dia melanjutkan usaha kopi bokapnya di Aceh.”

Yang terdengar di seberang sana hanya helaan napas. Gina sama sekali tidak ingin diganggu saat ini. Membayangkan pekerjaannya pun sudah cukup membuat kepalanya berputar. Apa yang harus dilakukan oleh perempuan yang bernotabene bukan penyuka kopi, selain meminta bantuan kepada Galih?

Betapa Gina sangat ingin mematikan ponselnya. Tapi, dia pun tidak mungkin mendesak Ivy untuk segera memberi solusi. Tak ada gunanya menyelesaikan masalah ketika emosi seseorang sedang tidak stabil.

Gini aja deh, masalah ini kita beresin di Jakarta, ya. Kebetulan gue punya kenalan anak Production House juga. Siapa tahu dia bisa bersedia bantu.”

Itu bukan ide yang bagus. Tapi, itu juga bukan ide yang terlalu buruk.

Jadi, Gina tidak memberi respons yang berlebihan selain mengganti topik pembicaraan mereka.

“Kayaknya gue butuh sedikit refreshing, Vy. Otak gue mumet banget, serius.” Gina memijit pelipisnya sekejap sambil bicara, “That’s why, gue ambil penerbangan ke Bandung.”

“Well... Enjoy your short vacation, then.”

Tak lama setelah panggilan itu berakhir, Gina bergegas menarik kopernya dan bergabung ke dalam antrean. Sesaat lagi, burung besi yang telah menanti di luar sana akan membawanya ke satu tempat yang baru.

*

Gina menyadari satu hal, kedatangannya di kota Bandung bukan sekadar untuk bermalas-malasan. Waktu tidak akan mungkin berputar ke arah yang berlawanan. Jadi, Gina telah memutuskan untuk berjalan kaki sambil mencari inspirasi. Karena, kau tidak akan pernah tahu bahwa sebuah ide bisa muncul kapan saja dan di sembarang tepat.

Melintasi lobi hotel Aryaduta, Gina tak sengaja menyaksikan sesuatu yang menarik perhatiannya. Keramaian itu berada tepat beberapa langkah di hadapannya. Sebuah bangunan sederhana bernuansa cokelat, namun tampak penuh dari luar. Kanopi awning bermotif garis vertikal hitam putih menghiasi teras bangunan itu. Gina bisa melihat sesuatu yang mencolok di atas kanopi itu, enam huruf bertuliskan ‘ROEMPI’. Penyingkatan dari Roemah Kopi.

Seonggok papan tulis hitam yang dicoreti kapur warna-warni berada di dekat pintu masuk. Mereka menuliskan berbagai menu andalan dan sebaris quotes andalan tentang kopi—Everything Gets Better With Coffee. Gina memutuskan untuk melangkah masuk seusai melihat tulisan ‘FREE TIRAMISU’ pada papan tulis itu.

Bunyi mesin penggiling kopi dan sendok yang berdenting seolah menyambut kedatangan para pengunjung. Aroma kopi memenuhi ruangan itu. Gina pernah sangat membenci wewangian itu. Tapi untuk yang pertama kali, dia ingin memaknainya lebih dalam lagi. Ada sebuah meja tak berpenghuni yang terletak di pojok. Gina mendudukinya, memesan pancake dan sebotol air mineral.

Lewat pengeras suara, melantun sebuah musik yang diawali petikan gitar akustik.

There’s not a simple explanation for the things that I feel
There’s no word to tell you why I do the things that I do

Lagu itu terdengar asing di telinga Gina. Pun tidak ada niat untuk menghafal lagu itu secara pribadi. Tapi entah kenapa, ia terus menerus terngiang di telinga Gina. Begitu sulit untuk dienyahkan dari kepalanya.

Strawberry pancake, air mineral, dan tiramisu.”

Kepala Gina terangkat. Bukan karena hendak segera menyantap pesanannya, tapi karena dia begitu familier dengan suara itu.

“Galih?” Gina spontan beranjak dari kursi. “Kamu—”

Dia tersenyum—masih dengan cara yang sama. Dan tatapan yang sama seperti terakhir kali Gina melihatnya. Sepasang bola mata berwarna cokelat kopi, alis yang nyaris bersambungan satu sama lain, dan bibirnya yang ranum. Tidak ada satu pun yang berubah dari pria itu.

“Saya masih nggak percaya kita bisa ketemu di sini.”

“Ceritanya panjang,” ujar Gina sambil tersenyum semringah. “Tapi, percayalah, ini nggak ada kaitannya dengan gaya gravitasi.”

“Saya siap mendengar.” Galih menarik kursi di hadapan Gina.

Mengalirlah kisah tentang project yang menuntut Gina untuk membuat konsep iklan produk kopi. Proyek senilai puluhan juta rupiah, deadline yang semakin dekat. Belum lagi pengetahuan Gina tentang kopi yang teramat minim. Galih terkekeh ketika mengetahui tindakan Gina yang nekat terbang ke Ubud demi mencari dirinya.

Seakan ada yang kurang, Gina pun bertanya apa saja yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Galih menjelaskan bahwa kini dia sedang belajar menjadi pengusaha di bidang kuliner. Sudah saatnya dia membuka lapangan pekerjaan. Dan kedai kopi yang dia kelola saat ini merupakan pengembangan dari usaha milik orangtuanya. Hampir 60% kopi yang digunakan di kedai ini berasal dari kota kelahirannya.

“Semoga saya bisa membantu kamu menyelesaikan proyek ini, Gina.” Itulah kali pertama Galih mengucapkan nama perempuan itu secara langsung. “Tumben, kamu nggak datang satu rombongan kayak waktu itu?”

“Aku sama Alex udah selesai.”

Memang demikian kenyataannya. Hubungan mereka berakhir seminggu setelah peristiwa di Bali Pulina waktu itu. Gina menyadari bahwa selama ini Alex terlalu posesif dan tidak pernah mendukung kariernya di dunia periklanan.

“Mau Earl Grey Tea buat temen ngobrol? Kafe saya nggak melulu tentang kopi, kok.”

“Saya mau Espresso.”

“Whoa! Sejak kapan si Penyuka Teh berani keluar dari zona nyamannya?”

“Sejak saya ketemu kamu di Bali Pulina.”

Dunia seolah berhenti berputar. Dan keduanya bagai terbungkus dalam gelembung udara, terasa hening dan damai. Galih mengagumi saat perempuan itu berkedip, menyukai bagaimana dia menyisipkan rambut-rambut ke belakang telinganya. Dia seperti kembang gula—begitu manis dan menggoda.

Galih berusaha mengenyahkan fantasinya. “Tapi, kalau saya boleh memberi saran, Cappuccino lebih tepat untuk mind-stimulation. Itu bisa membantu kamu dalam berpikir.”

Gina tidak perlu menolak saran dari orang yang sudah berpengalaman di bidangnya. Dan semua itu hanya masalah waktu saja sampai Galih kembali di hadapan Gina, membawakan secangkir Cappuccino hangat dengan latte art berbentuk tulip.

Perlahan, Gina menyesap Cappuccino itu. Dia terdiam sejenak, membiarkan indera pengecapnya bekerja dalam menginterpretasi rasa sesungguhnya. Manis, lembut dan menakjubkan. Gina kehabisan kata-kata sehingga yang dia lakukan hanyalah tersenyum di hadapan Galih.

Satu hal yang Gina tahu, dia telah jatuh cinta. Pada Cappuccino-nya, dan kepada pria yang menghadiahi Cappuccino itu.

- FIN -  


Blog Post ini dibuat dalam rangka Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh Giordano dan Nulisbuku.com