“Lima
menit lagi, Joy.”
Sekali
lagi saya memindai pandangan ke sekeliling; pekik suara terompet melengking di
udara, motor-motor menyelip di antara kerumunan manusia, dan aroma bubuk mesiu yang
bercampur dengan wangi jagung bakar dari warung-warung kecil di sepanjang
trotoar. Bandung tak pernah terlihat penuh dan begitu hidup, kecuali pada malam
itu— malam di mana sebagian orang sengaja keluar rumah untuk merayakan malam
pergantian tahun, atau sekadar menyaksikan parade kembang api.
Jika
ditilik ke belakang, pemandangan seperti ini sama sekali baru di hidup saya.
Nyaris tak pernah ada kesempatan untuk berkumpul ataupun membagi ruang dengan
para sahabat dalam momen terbaik. Malam pergantian tahun biasanya saya habiskan
sendirian di dalam kamar, tidur lebih awal, dan terbangun ketika dentum kembang
api mengusik alam mimpi. Saya akan berdiri di balik jendela dan menyaksikan
warna-warni itu menghiasi langit, membiarkan telinga saya pekak karena
dentumannya yang luar biasa.
Begitulah
siklusnya sepanjang tahun.
Kecuali
pada hari itu, di pengujung tahun 2009.
Janji-janji
terciptakan, sejumlah agenda pun menunggu untuk terealisasikan. Saya ingat
seperti apa sambutan mereka ketika saya sedang dalam perjalanan menuju studio
foto Jonas pada pagi itu. Budhie dan Arini menunggu saya di Jalan Aceh, masing-masing
menghadiahi saya peluk dan cium di pipi kanan kiri, lalu keduanya tanpa
ragu-ragu membawakan tas ungu milik saya.
Tiga
hari terlewati dengan menakjubkan. Tak sedikit saya membuang air mata lantaran
kebodohan yang saya lakukan. Sesuatu yang buruk seringkali mengacaukan
kebahagiaan kita, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Manusia bisa apa? Serapi
apa pun rencana yang kita susun, hasil akhirnya tak akan pernah sama sesuai
ekspektasi. Begitu pula ketika saya harus menerima momen-momen pahit itu dengan
tangan terbuka.
Kamis
sore itu, saya bertekad mengajak mereka merayakan malam tahun baru bersama.
Kiki adalah orang pertama yang saya hubungi. Budhie sepakat untuk tiba sebelum
pukul enam sore, dan Fauzan mengiyakan meskipun dia satu-satunya orang yang
datang agak terlambat. Setelah dua jam berkeliling di dalam BIP, sebuah pesan
baru muncul di ponsel saya dari salah seorang teman. Desi dan beberapa yang
lain telah berkumpul di Circle K Dapla — kala itu, Dago Plaza merupakan salah
satu tempat nongkrong paling hits di Bandung, sampai sesuatu meruntuhkan
bangunan itu dan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih komersil.
Jadi,
di sanalah kami berada, berdiri di sebuah pembatas jalan dengan tatapan
menengadah. Saya tak tahu dari mana sumber keramaian itu karena semua orang
berkumpul di tempat yang sama, meskipun ada beberapa yang berkumpul di depan
Dunkin Donuts. Namun, malam itu kawasan Ir. H. Djuanda tampak begitu padat.
“Resolusi
kamu buat tahun 2010 apa?” seorang teman—Rika—bertanya kepada saya.
“Lulus
dengan nilai memuaskan, nerbitin satu buku, terus...” saya berpikir sejenak. “Punya
pacar baru juga mungkin?”
Pacar baru.... Betapa naifnya keinginan saya kala itu, seolah-olah saya tak punya
hal-hal lain yang lebih pantas untuk diimpikan.
Kemudian,
dari kejauhan terdengar sorak-sorai hitung mundur oleh sekelompok orang. Kian
lama suara itu kian jelas. Tangan saya terasa dingin. Jantung saya bergemuruh
seakan-akan bersiap menghadapi sesuatu yang besar. Maka, saya menggenggam
tangan Rika, semata-mata untuk memastikan bahwa saya tak sendirian.
LIMA... EMPAT... TIGA...
DUA... SATU!!!
Hal
berikut yang saya ketahui berlangsung begitu cepat. Ribuan kembang api
meletup-letup di langit dan menumpahkan seluruh warna yang ia miliki; sedetik
terang, sedetik kemudian gelap kembali. Orang-orang kembali meniupkan
terompetnya sehingga menghasilkan bunyi sumbang. Dan, di antara gegap gempita
malam itu, telinga saya menangkap lagu yang didendangkan sekelompok musisi
jalanan lewat gitar mereka.
Because tonight will be the
night that I will for you, over again, don’t make me change my mind...
Tanpa
saya sadari, sepenggal lirik itu dilanjutkan oleh Rika, yang sejak tadi tak
beranjak di sebelah saya. Pandangan kami bertemu sejenak. Saya memberanikan
diri untuk menatap kedalaman matanya, kemudian ikut bersenandung sampai lagu
itu benar-benar selesai.
Or I won’t live to see another
day, I swear it’s true.
Because a girl like you is
impossible to find, is impossible to find.
Tak
jauh, saya bisa melihat Kiki berada dalam pelukan kekasihnya. Di genggamannya
terdapat setangkai mawar putih yang masih segar. Desi, Lulu, Budhie, Fauzan,
dan Aji sibuk merekam atraksi kembang api di langit dengan ponsel mereka. Semua
orang tersenyum. Semua orang berbahagia dengan cara mereka masing-masing. Dan
untuk pertama kalinya, saya merasa bangga dapat berbagi ruang bersama para
sahabat di momen yang tepat.
~
Delapan
tahun berlalu semenjak malam pergantian tahun di Bandung kala itu. Saya tumbuh
menjadi pribadi yang lebih tertutup dan dewasa. Tak ada lagi terlintas di
pikiran saya tentang perayaan tahun baru. Tak pernah lagi saya memikirkan di
mana saya harus merayakannya, bersama siapa saya akan melewatkannya. Sebisa
mungkin saya berusaha agar waktu tak terbuang oleh hal yang sia-sia.
Namun,
ada beberapa hal yang mungkin saya rindukan dari momen delapan tahun silam itu.
Saya seringkali teringat tentang Kiki. Menduga-duga, apa yang akan
dikerjakannya bila dia masih ada di bumi ini. Barangkali dia sependapat dengan
saya, melewati malam 31 Desember dengan kerja lembur lantaran tamu hotel yang
mendadak penuh, atau bisa saja dia menghabiskan malam pergantian tahun bersama orangtuanya
dan akan tidur lebih awal.
Seandainya
manusia bisa sedikit lebih bijaksana.
Seandainya
bising bisa ditukar dengan hening.
Meski
hanya satu malam.
Ketika
menyelesaikan tulisan ini, saya justru tak henti-hentinya berpikir tentang
resolusi tahun lalu yang belum tercapai. Draf pertama tak kunjung selesai.
Proyek musik tak terealisasikan. Dan segenap rencana besar yang sampai detik
ini hanya sekadar checklist. I guess Buddha was true—we think we have
time, but simply we don’t. Terlalu banyak waktu terbuang percuma. Terlalu
sering saya mengatakan ‘nanti’ kepada
diri sendiri sehingga saya baru merasakan seperti apa rasanya sebuah penyesalan.
Penundaan
adalah awal dari penyesalan. Ini berlaku untuk segala kasus. Menunda untuk
bangun tidur lebih cepat, menunda untuk melunasi utang, menunda untuk
membahagiakan orang lain, menunda untuk mengatakan cinta sampai akhirnya orang
tersebut telah memiliki cinta yang lain.
Ini
akan menjadi tulisan pertama di blog saya
untuk tahun 2018. Dan saya berharap dapat memanfaatkannya hari-hari di tahun
ini dengan sebaik mungkin, berusaha untuk tidak mengatakan ‘nanti’ untuk
apa-apa yang bisa diselesaikan saat itu juga. Because, every minute that passes by is just one more chance to change something that could change everything. Time is our most precious resource; so,make every moments count.
Happy
New Year 2018, Everyone.