Write. Anywhere. Anytime.

Minggu, 31 Desember 2017

New Year and Kaleidoscope of Memory

“Lima menit lagi, Joy.”

Sekali lagi saya memindai pandangan ke sekeliling; pekik suara terompet melengking di udara, motor-motor menyelip di antara kerumunan manusia, dan aroma bubuk mesiu yang bercampur dengan wangi jagung bakar dari warung-warung kecil di sepanjang trotoar. Bandung tak pernah terlihat penuh dan begitu hidup, kecuali pada malam itu— malam di mana sebagian orang sengaja keluar rumah untuk merayakan malam pergantian tahun, atau sekadar menyaksikan parade kembang api.

Jika ditilik ke belakang, pemandangan seperti ini sama sekali baru di hidup saya. Nyaris tak pernah ada kesempatan untuk berkumpul ataupun membagi ruang dengan para sahabat dalam momen terbaik. Malam pergantian tahun biasanya saya habiskan sendirian di dalam kamar, tidur lebih awal, dan terbangun ketika dentum kembang api mengusik alam mimpi. Saya akan berdiri di balik jendela dan menyaksikan warna-warni itu menghiasi langit, membiarkan telinga saya pekak karena dentumannya yang luar biasa.

Begitulah siklusnya sepanjang tahun.

Kecuali pada hari itu, di pengujung tahun 2009.

Janji-janji terciptakan, sejumlah agenda pun menunggu untuk terealisasikan. Saya ingat seperti apa sambutan mereka ketika saya sedang dalam perjalanan menuju studio foto Jonas pada pagi itu. Budhie dan Arini menunggu saya di Jalan Aceh, masing-masing menghadiahi saya peluk dan cium di pipi kanan kiri, lalu keduanya tanpa ragu-ragu membawakan tas ungu milik saya.

Tiga hari terlewati dengan menakjubkan. Tak sedikit saya membuang air mata lantaran kebodohan yang saya lakukan. Sesuatu yang buruk seringkali mengacaukan kebahagiaan kita, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Manusia bisa apa? Serapi apa pun rencana yang kita susun, hasil akhirnya tak akan pernah sama sesuai ekspektasi. Begitu pula ketika saya harus menerima momen-momen pahit itu dengan tangan terbuka.

Kamis sore itu, saya bertekad mengajak mereka merayakan malam tahun baru bersama. Kiki adalah orang pertama yang saya hubungi. Budhie sepakat untuk tiba sebelum pukul enam sore, dan Fauzan mengiyakan meskipun dia satu-satunya orang yang datang agak terlambat. Setelah dua jam berkeliling di dalam BIP, sebuah pesan baru muncul di ponsel saya dari salah seorang teman. Desi dan beberapa yang lain telah berkumpul di Circle K Dapla — kala itu, Dago Plaza merupakan salah satu tempat nongkrong paling hits di Bandung, sampai sesuatu meruntuhkan bangunan itu dan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih komersil.

Jadi, di sanalah kami berada, berdiri di sebuah pembatas jalan dengan tatapan menengadah. Saya tak tahu dari mana sumber keramaian itu karena semua orang berkumpul di tempat yang sama, meskipun ada beberapa yang berkumpul di depan Dunkin Donuts. Namun, malam itu kawasan Ir. H. Djuanda tampak begitu padat.

“Resolusi kamu buat tahun 2010 apa?” seorang teman—Rika—bertanya kepada saya.

“Lulus dengan nilai memuaskan, nerbitin satu buku, terus...” saya berpikir sejenak. “Punya pacar baru juga mungkin?”

Pacar baru.... Betapa naifnya keinginan saya kala itu, seolah-olah saya tak punya hal-hal lain yang lebih pantas untuk diimpikan.

Kemudian, dari kejauhan terdengar sorak-sorai hitung mundur oleh sekelompok orang. Kian lama suara itu kian jelas. Tangan saya terasa dingin. Jantung saya bergemuruh seakan-akan bersiap menghadapi sesuatu yang besar. Maka, saya menggenggam tangan Rika, semata-mata untuk memastikan bahwa saya tak sendirian.

LIMA... EMPAT... TIGA... DUA... SATU!!!

Hal berikut yang saya ketahui berlangsung begitu cepat. Ribuan kembang api meletup-letup di langit dan menumpahkan seluruh warna yang ia miliki; sedetik terang, sedetik kemudian gelap kembali. Orang-orang kembali meniupkan terompetnya sehingga menghasilkan bunyi sumbang. Dan, di antara gegap gempita malam itu, telinga saya menangkap lagu yang didendangkan sekelompok musisi jalanan lewat gitar mereka.

Because tonight will be the night that I will for you, over again, don’t make me change my mind...

Tanpa saya sadari, sepenggal lirik itu dilanjutkan oleh Rika, yang sejak tadi tak beranjak di sebelah saya. Pandangan kami bertemu sejenak. Saya memberanikan diri untuk menatap kedalaman matanya, kemudian ikut bersenandung sampai lagu itu benar-benar selesai.

Or I won’t live to see another day, I swear it’s true.
Because a girl like you is impossible to find, is impossible to find.

Tak jauh, saya bisa melihat Kiki berada dalam pelukan kekasihnya. Di genggamannya terdapat setangkai mawar putih yang masih segar. Desi, Lulu, Budhie, Fauzan, dan Aji sibuk merekam atraksi kembang api di langit dengan ponsel mereka. Semua orang tersenyum. Semua orang berbahagia dengan cara mereka masing-masing. Dan untuk pertama kalinya, saya merasa bangga dapat berbagi ruang bersama para sahabat di momen yang tepat.

~

Delapan tahun berlalu semenjak malam pergantian tahun di Bandung kala itu. Saya tumbuh menjadi pribadi yang lebih tertutup dan dewasa. Tak ada lagi terlintas di pikiran saya tentang perayaan tahun baru. Tak pernah lagi saya memikirkan di mana saya harus merayakannya, bersama siapa saya akan melewatkannya. Sebisa mungkin saya berusaha agar waktu tak terbuang oleh hal yang sia-sia.

Namun, ada beberapa hal yang mungkin saya rindukan dari momen delapan tahun silam itu. Saya seringkali teringat tentang Kiki. Menduga-duga, apa yang akan dikerjakannya bila dia masih ada di bumi ini. Barangkali dia sependapat dengan saya, melewati malam 31 Desember dengan kerja lembur lantaran tamu hotel yang mendadak penuh, atau bisa saja dia menghabiskan malam pergantian tahun bersama orangtuanya dan akan tidur lebih awal.

Seandainya manusia bisa sedikit lebih bijaksana.
Seandainya bising bisa ditukar dengan hening.
Meski hanya satu malam.

Ketika menyelesaikan tulisan ini, saya justru tak henti-hentinya berpikir tentang resolusi tahun lalu yang belum tercapai. Draf pertama tak kunjung selesai. Proyek musik tak terealisasikan. Dan segenap rencana besar yang sampai detik ini hanya sekadar checklist. I guess Buddha was true—we think we have time, but simply we don’t. Terlalu banyak waktu terbuang percuma. Terlalu sering saya mengatakan ‘nanti’ kepada diri sendiri sehingga saya baru merasakan seperti apa rasanya sebuah penyesalan.

Penundaan adalah awal dari penyesalan. Ini berlaku untuk segala kasus. Menunda untuk bangun tidur lebih cepat, menunda untuk melunasi utang, menunda untuk membahagiakan orang lain, menunda untuk mengatakan cinta sampai akhirnya orang tersebut telah memiliki cinta yang lain.

Ini akan menjadi tulisan pertama di blog saya untuk tahun 2018. Dan saya berharap dapat memanfaatkannya hari-hari di tahun ini dengan sebaik mungkin, berusaha untuk tidak mengatakan ‘nanti’ untuk apa-apa yang bisa diselesaikan saat itu juga. Because, every minute that passes by is just one more chance to change something that could change everything. Time is our most precious resource; so,make every moments count.


Happy New Year 2018, Everyone.
Minggu, 24 September 2017

Setengah Hari Bersama Dua Pejalan Kaki

“Awas, ada kereta Muggle mau lewat!” ujarnya, tepat ketika sebuah Avanza hitam melintas di hadapan saya dengan kecepatan sedang.

Saya merespons ucapannya dengan alis mengernyit, dalam hati mendengus — ternyata masih belum selesai saja kegilaan kami ini. Kalau kau bertanya apa yang telah terjadi sebelumnya, maka kau akan segera mengetahui segalanya sesaat lagi. Namun, izinkan saya tertawa sejenak. Kenapa tertawa? Karena hanya itu yang sanggup keluar dari mulut saya setiap kali dia melontarkan hal-hal konyol yang sering kali mengocok perut.

Di seberang sana, terparkir sejumlah mobil beraneka warna yang mayoritas berplat B. Itu adalah Sabtu sore yang mendung di kota Bandung. Awan gelap bergelantung diiringi lirih angin dari arah selatan. Saya sedang berusaha menerka-nerka ke mana arah tujuan kami ketika saya secara tak sengaja melihat sebuah pintu putih dengan papan bertuliskan Warkop Modjok di atasnya.

“Kamu lihat sendiri kan, aku mana pernah bohong sama kamu, sih.” Dia menyeringai, seketika mematahkan keyakinan saya bahwa dia suka usil dan kalimatnya tidak bisa dipercaya.

Saya bergeming sambil memindai pandangan ke sekitar tempat itu — meja-meja berpayung dan rimbun pepohonan di latar belakang. Tampak dari luar, para pengunjung berduyun-duyun memasuki rumah mungil bercat biru muda. Rumah itu berada tepat di tengah halaman yang ditumbuhi sejumlah bunga dan tanaman hias. Cahaya lampu yang menyeruak dari dalam sana tampak hangat. Saya semakin penasaran untuk mencari tahu lebih banyak tentang Warkop Modjok ini.

“Jadi, mau masuk?” Dia berhenti, tepat di depan pagar putih yang mengelilingi halaman rumah berwarna biru itu.

Kepala saya terangguk, tak bisa mengucapkan tidak. Maka, kami pun berjalan menuju sebuah meja berpayung yang letaknya tak terlalu jauh dari toilet. Gemerisik pohon bambu menjadi bunyi penyambut saat kami hendak menduduki bangku masing-masing. Saya meletakkan tas di atas meja dan kembali mendengar suara dari hadapan saya.

“Kamu lihat toilet itu, Joy?” Dia mengedikkan bahunya ke arah bilik toilet, dua buah pintu tertutup rapat. “Itu tuh Diagon Alley-nya di sini. Jadi, kalau kamu masuk ke sana dan nyiram air ke dalam lubang kloset, kamu bakal terisap ke dimensi lain dan nggak bakal muncul ke sini lagi.”

Untuk kesekian kali, leluconnya berhasil membuat saya tergelak. Saya mengenal pria ini sudah cukup lama, sekitar empat tahun lalu. Akan tetapi, saya lupa bahwa selain mahir dalam berimajinasi, dia juga gemar melawak.

Dia menambahkan, “Eh, beneran! Tadi aku lihat cewek masuk ke sana sendirian, tapi sampe sekarang belum keluar-keluar aja coba. Coba bayangin, ke mana mereka perginya?”

“Kamu mau tahu mereka pergi ke mana? Tuh — “ Telunjuk saya teracung pada sebuah rumah beratap tinggi yang berada persis di sebelah warkop ini. “Itu rumah Luna Lovegood, mereka ke sana buat ngambil sovenir buah plum.”

Dia ikut terpingkal-pingkal usai mendengar dongeng ngalor-ngidul yang saya karyakan. Entah di mana letak lucunya. Namun, ada beberapa hal yang membuat dia tampak menarik saat sedang tertawa: sepasang matanya membentuk garis dan dia kerap melingkarkan lengan di perutnya.

Sejenak setelah tawanya berakhir, saya berkata padanya, “Kita nggak usah makan berat-berat, ya. Aku cuma haus aja gara-gara perjalanan tadi.”

Dia mengangguk setuju.

Kami berjalan lewat pintu samping dan berpapasan dengan seonggok buket mawar putih di atas meja kasir. Tangkai-tangkai mawar itu tampak hijau dan keras, begitu pula dengan kelopak-kelopaknya yang masih segar, seolah-olah mereka baru saja dipetik dari kebun. Saya menyadari dia mengamati hal yang sama. Maka, saya iseng bertanya apakah bunga tersebut bisa bicara, atau barangkali ia sanggup membaca pikiran orang? Dan dia membalas pertanyaan saya dengan jawaban yang tak kalah konyol: “nggak ada magis di sekitar sini, kalau di dapur iya, peralatannya bisa gerak sendiri,” demikian ucapnya.

Saat itu, saya kembali teringat dengan sejumlah cerita yang dia tuturkan sebelum kami tiba di sini. Kilas balik kehidupan Beretty Willem dan kematiannya yang masih menjadi misteri, tentang pemugaran komplek permukiman di sekitar Curug Sigay, dan ambisinya menjadi rektorat UPI agar rasa penasarannya terhadap Villa Isolla bisa terbayarkan.

“Aku yakin ada lorong bawah tanah di dalam gedung itu, Joy. Panjangnya berkisar belasan kilometer yang nantinya nyambung ke Goa Belanda. Lorong itu cuma bisa dipake dalam keadaan darurat, dan para petinggi UPI udah pasti punya akses buat sampai di sana.”

“Kamu mulai beranggapan gedung rektorat UPI kayak White House, ya?” tanya saya skeptis.

Dia mulai berkisah lagi dengan cara yang sangat saya kagumi. “Kalau diamati dari segi eksterior, bagian taman dan balkonnya simetris banget. Terus pintu utama juga searah sama kolam kecil yang di bawah. Yang jadi pertanyaannya, dari halaman utama ke kolam itu kenapa mesti ada semacam undakan?” Tak butuh waktu lama sampai pertanyaan itu dijawab oleh dirinya sendiri, “Itu karena konstruksi di bawah taman itu ada lorong, Joy.”

Untuk beberapa alasan, saya lebih baik menyerah alih-alih berdebat dengannya. Bukan karena saya tidak memiliki argumen yang kuat untuk mengalahkan opininya, tapi karena saya menyukai caranya berbicara. Pada setiap gestur yang dia gunakan, pada sepasang lesung pipinya, pada jambang-jambang subur itu, dan pada dua garis horizontal halus yang membentang di atas alisnya.

Di meja yang sedang kami huni, topik obrolan bisa berganti dalam sekejap.

“Minuman yang kamu pesan rasanya aneh,” dia mengomentari gelas berisi cairan hijau yang katanya adalah Green Tea Frosted. “Kayak campuran lumut sama Cip**dent!”

“Kamu sebelumnya pernah nyobain lumut diblender?” Saya bertanya sambil menahan tawa. “Tapi, pisang gorengnya gurih, lho. Mungkin karena ditabur gula merah kali, ya?”

“Kamu mau coba pisang yang lain nggak?”

ASDMSDVAVSNHYQTSN&@$Fk#$!!!!!!!!

~

Mungkin benar yang dikatakan sebagian orang: Cute boys make you blush, hot boys make you droll, cool boys make you daydream, but funny boys make you fall in love without even realizing it. Dan dia termasuk dalam kategori terakhir. Kenapa? Karena dia memiliki tawa yang renyah dan begitu menular. Dia juga piawai dalam memainkan intonasi setiap kali mengungkapkan sesuatu.

Akan tetapi, ada beberapa hal pada dirinya yang kerap mengingatkan saya pada seseorang di masa lalu; salah satu teman terbaik saya, yang kini telah beristirahat dengan tenang. Baik dia maupun sahabat saya sangat menggemari jajanan gerobak seperti basreng, cilok, cilor, apa pun itu namanya. Dia bahkan mengklaim, tak peduli semahal dan senikmat apa pun hidangan di restoran fine and dine, tak akan ada yang bisa menandingi aroma cilor yang digoreng di atas minyak daur ulang.

Kemiripan selanjutnya, dua orang ini senang berangan sesuatu yang menakjubkan. Kiki memercayai saya sebagai wadah mimpi-mimpi besarnya. Dahulu dia selalu datang kepada saya untuk meminta solusi, atau sekadar bercerita mengenai kariernya. Sama halnya dengan pria ini. Tak akan cukup satu hari untuk menyimak rencana besar yang akan dicapainya suatu hari kelak. Barangkali sejumlah persamaan itu yang membuat saya merasa nyaman berada di dekatnya. Rasanya seperti bernostalgia bersama sahabat lama.

Dari balik gumpalan awan kelabu, matahari perlahan merangkak turun. Langit kian menghitam. Kami melewati lagi rute yang sama seperti sebelumnya — pagar kawat, hutan terlarang, barisan pohon pinus, hutan rahasia, rumah fiktif di siang hari, gymnasium UPI, pintu pengukur obesitas, permukiman Sigay, Villa Isola — sampai akhirnya kami tiba di depan Kedai Utama, tempat di mana motor hitamnya terparkir.

“Kamu kok kelihatan beda pas aku pake kacamata?” dia bertanya sambil membetulkan letak kacamatanya.

“Bedanya gimana?”

“Jadi kelihatan cakep aja.” Dia mengencangkan tali helm dengan benar, lalu tersenyum dengan cara yang sangat menyebalkan.

“Bukan gitu kali,” saya hendak membalas komentarnya. “Pas nggak pake kacamata, nyangkanya Yesus, pas udah pake kacamata langsung kelihatan kayak Beyonce.”

Tanpa perlu saya tulis pun, kau pasti tahu seperti apa reaksinya. Betul sekali! Dia berusaha agar tidak terbahak, terus mengubah posisi motor, walaupun saya tahu usahanya sia-sia. Satu hal yang pasti, ujung pipinya tertarik ke sudut, membuat kedua lesung pipi itu tampak semakin jelas.

Sesaat lagi, malam akan merambat naik. Tak ada gunanya membuang waktu, karena kami yakin — semakin malam lalu lintas Bandung akan semakin buruk. Ditambah lagi satu fakta bahwa kami masih memiliki agenda yang lain setelah ini. Walaupun begitu, dia sama sekali tak keberatan diajak mengitari kawasan Pasar Baru, Kebon Kalapa, agar saya bisa menemukan kendaraan umum untuk pulang.

“Kamu kalau mau pulang duluan, nggak apa-apa. Kamu bukannya ada acara di rumah teman kamu pukul 7 nanti?”

“Nyantai aja, dari sini ke Soreang mah nggak nyampe sejam.” Suaranya membaur dengan ribut kendaraan. “Sampai ketemu Damri aja, ya.”

“Nanti berhenti di halte aja, biar aku nunggu sendirian di sana. Aku nggak enak banget merepotkan kamu gini.” Saya bersikukuh, “Kalau nggak ada Damri, toh bisa pake gojek.”

Pada akhirnya, dia mengabulkan permintaan saya. Tanpa bantahan maupun paksaan.

Saya menyaksikan sosok berjaket merah itu menghilang ditelan jalanan dengan perasaan campur aduk. Sebersit pilu, rindu, kehilangan — entahlah. Kendati demikian, saya tak ingin mengabaikan rasa bahagia yang hadir setelah perjalanan kami. Setengah hari yang terasa panjang. Setengah hari yang menakjubkan. Setengah hari yang berhasil mengubah semuanya.

Sore itu saya mempelajari satu hal: perpisahan mungkin kerap menyakitkan, namun tak selamanya perpisahan merupakan suatu akhir. An end is not always the end, it just means that something else is about to begin.