Write. Anywhere. Anytime.

Minggu, 24 September 2017

Setengah Hari Bersama Dua Pejalan Kaki

“Awas, ada kereta Muggle mau lewat!” ujarnya, tepat ketika sebuah Avanza hitam melintas di hadapan saya dengan kecepatan sedang.

Saya merespons ucapannya dengan alis mengernyit, dalam hati mendengus — ternyata masih belum selesai saja kegilaan kami ini. Kalau kau bertanya apa yang telah terjadi sebelumnya, maka kau akan segera mengetahui segalanya sesaat lagi. Namun, izinkan saya tertawa sejenak. Kenapa tertawa? Karena hanya itu yang sanggup keluar dari mulut saya setiap kali dia melontarkan hal-hal konyol yang sering kali mengocok perut.

Di seberang sana, terparkir sejumlah mobil beraneka warna yang mayoritas berplat B. Itu adalah Sabtu sore yang mendung di kota Bandung. Awan gelap bergelantung diiringi lirih angin dari arah selatan. Saya sedang berusaha menerka-nerka ke mana arah tujuan kami ketika saya secara tak sengaja melihat sebuah pintu putih dengan papan bertuliskan Warkop Modjok di atasnya.

“Kamu lihat sendiri kan, aku mana pernah bohong sama kamu, sih.” Dia menyeringai, seketika mematahkan keyakinan saya bahwa dia suka usil dan kalimatnya tidak bisa dipercaya.

Saya bergeming sambil memindai pandangan ke sekitar tempat itu — meja-meja berpayung dan rimbun pepohonan di latar belakang. Tampak dari luar, para pengunjung berduyun-duyun memasuki rumah mungil bercat biru muda. Rumah itu berada tepat di tengah halaman yang ditumbuhi sejumlah bunga dan tanaman hias. Cahaya lampu yang menyeruak dari dalam sana tampak hangat. Saya semakin penasaran untuk mencari tahu lebih banyak tentang Warkop Modjok ini.

“Jadi, mau masuk?” Dia berhenti, tepat di depan pagar putih yang mengelilingi halaman rumah berwarna biru itu.

Kepala saya terangguk, tak bisa mengucapkan tidak. Maka, kami pun berjalan menuju sebuah meja berpayung yang letaknya tak terlalu jauh dari toilet. Gemerisik pohon bambu menjadi bunyi penyambut saat kami hendak menduduki bangku masing-masing. Saya meletakkan tas di atas meja dan kembali mendengar suara dari hadapan saya.

“Kamu lihat toilet itu, Joy?” Dia mengedikkan bahunya ke arah bilik toilet, dua buah pintu tertutup rapat. “Itu tuh Diagon Alley-nya di sini. Jadi, kalau kamu masuk ke sana dan nyiram air ke dalam lubang kloset, kamu bakal terisap ke dimensi lain dan nggak bakal muncul ke sini lagi.”

Untuk kesekian kali, leluconnya berhasil membuat saya tergelak. Saya mengenal pria ini sudah cukup lama, sekitar empat tahun lalu. Akan tetapi, saya lupa bahwa selain mahir dalam berimajinasi, dia juga gemar melawak.

Dia menambahkan, “Eh, beneran! Tadi aku lihat cewek masuk ke sana sendirian, tapi sampe sekarang belum keluar-keluar aja coba. Coba bayangin, ke mana mereka perginya?”

“Kamu mau tahu mereka pergi ke mana? Tuh — “ Telunjuk saya teracung pada sebuah rumah beratap tinggi yang berada persis di sebelah warkop ini. “Itu rumah Luna Lovegood, mereka ke sana buat ngambil sovenir buah plum.”

Dia ikut terpingkal-pingkal usai mendengar dongeng ngalor-ngidul yang saya karyakan. Entah di mana letak lucunya. Namun, ada beberapa hal yang membuat dia tampak menarik saat sedang tertawa: sepasang matanya membentuk garis dan dia kerap melingkarkan lengan di perutnya.

Sejenak setelah tawanya berakhir, saya berkata padanya, “Kita nggak usah makan berat-berat, ya. Aku cuma haus aja gara-gara perjalanan tadi.”

Dia mengangguk setuju.

Kami berjalan lewat pintu samping dan berpapasan dengan seonggok buket mawar putih di atas meja kasir. Tangkai-tangkai mawar itu tampak hijau dan keras, begitu pula dengan kelopak-kelopaknya yang masih segar, seolah-olah mereka baru saja dipetik dari kebun. Saya menyadari dia mengamati hal yang sama. Maka, saya iseng bertanya apakah bunga tersebut bisa bicara, atau barangkali ia sanggup membaca pikiran orang? Dan dia membalas pertanyaan saya dengan jawaban yang tak kalah konyol: “nggak ada magis di sekitar sini, kalau di dapur iya, peralatannya bisa gerak sendiri,” demikian ucapnya.

Saat itu, saya kembali teringat dengan sejumlah cerita yang dia tuturkan sebelum kami tiba di sini. Kilas balik kehidupan Beretty Willem dan kematiannya yang masih menjadi misteri, tentang pemugaran komplek permukiman di sekitar Curug Sigay, dan ambisinya menjadi rektorat UPI agar rasa penasarannya terhadap Villa Isolla bisa terbayarkan.

“Aku yakin ada lorong bawah tanah di dalam gedung itu, Joy. Panjangnya berkisar belasan kilometer yang nantinya nyambung ke Goa Belanda. Lorong itu cuma bisa dipake dalam keadaan darurat, dan para petinggi UPI udah pasti punya akses buat sampai di sana.”

“Kamu mulai beranggapan gedung rektorat UPI kayak White House, ya?” tanya saya skeptis.

Dia mulai berkisah lagi dengan cara yang sangat saya kagumi. “Kalau diamati dari segi eksterior, bagian taman dan balkonnya simetris banget. Terus pintu utama juga searah sama kolam kecil yang di bawah. Yang jadi pertanyaannya, dari halaman utama ke kolam itu kenapa mesti ada semacam undakan?” Tak butuh waktu lama sampai pertanyaan itu dijawab oleh dirinya sendiri, “Itu karena konstruksi di bawah taman itu ada lorong, Joy.”

Untuk beberapa alasan, saya lebih baik menyerah alih-alih berdebat dengannya. Bukan karena saya tidak memiliki argumen yang kuat untuk mengalahkan opininya, tapi karena saya menyukai caranya berbicara. Pada setiap gestur yang dia gunakan, pada sepasang lesung pipinya, pada jambang-jambang subur itu, dan pada dua garis horizontal halus yang membentang di atas alisnya.

Di meja yang sedang kami huni, topik obrolan bisa berganti dalam sekejap.

“Minuman yang kamu pesan rasanya aneh,” dia mengomentari gelas berisi cairan hijau yang katanya adalah Green Tea Frosted. “Kayak campuran lumut sama Cip**dent!”

“Kamu sebelumnya pernah nyobain lumut diblender?” Saya bertanya sambil menahan tawa. “Tapi, pisang gorengnya gurih, lho. Mungkin karena ditabur gula merah kali, ya?”

“Kamu mau coba pisang yang lain nggak?”

ASDMSDVAVSNHYQTSN&@$Fk#$!!!!!!!!

~

Mungkin benar yang dikatakan sebagian orang: Cute boys make you blush, hot boys make you droll, cool boys make you daydream, but funny boys make you fall in love without even realizing it. Dan dia termasuk dalam kategori terakhir. Kenapa? Karena dia memiliki tawa yang renyah dan begitu menular. Dia juga piawai dalam memainkan intonasi setiap kali mengungkapkan sesuatu.

Akan tetapi, ada beberapa hal pada dirinya yang kerap mengingatkan saya pada seseorang di masa lalu; salah satu teman terbaik saya, yang kini telah beristirahat dengan tenang. Baik dia maupun sahabat saya sangat menggemari jajanan gerobak seperti basreng, cilok, cilor, apa pun itu namanya. Dia bahkan mengklaim, tak peduli semahal dan senikmat apa pun hidangan di restoran fine and dine, tak akan ada yang bisa menandingi aroma cilor yang digoreng di atas minyak daur ulang.

Kemiripan selanjutnya, dua orang ini senang berangan sesuatu yang menakjubkan. Kiki memercayai saya sebagai wadah mimpi-mimpi besarnya. Dahulu dia selalu datang kepada saya untuk meminta solusi, atau sekadar bercerita mengenai kariernya. Sama halnya dengan pria ini. Tak akan cukup satu hari untuk menyimak rencana besar yang akan dicapainya suatu hari kelak. Barangkali sejumlah persamaan itu yang membuat saya merasa nyaman berada di dekatnya. Rasanya seperti bernostalgia bersama sahabat lama.

Dari balik gumpalan awan kelabu, matahari perlahan merangkak turun. Langit kian menghitam. Kami melewati lagi rute yang sama seperti sebelumnya — pagar kawat, hutan terlarang, barisan pohon pinus, hutan rahasia, rumah fiktif di siang hari, gymnasium UPI, pintu pengukur obesitas, permukiman Sigay, Villa Isola — sampai akhirnya kami tiba di depan Kedai Utama, tempat di mana motor hitamnya terparkir.

“Kamu kok kelihatan beda pas aku pake kacamata?” dia bertanya sambil membetulkan letak kacamatanya.

“Bedanya gimana?”

“Jadi kelihatan cakep aja.” Dia mengencangkan tali helm dengan benar, lalu tersenyum dengan cara yang sangat menyebalkan.

“Bukan gitu kali,” saya hendak membalas komentarnya. “Pas nggak pake kacamata, nyangkanya Yesus, pas udah pake kacamata langsung kelihatan kayak Beyonce.”

Tanpa perlu saya tulis pun, kau pasti tahu seperti apa reaksinya. Betul sekali! Dia berusaha agar tidak terbahak, terus mengubah posisi motor, walaupun saya tahu usahanya sia-sia. Satu hal yang pasti, ujung pipinya tertarik ke sudut, membuat kedua lesung pipi itu tampak semakin jelas.

Sesaat lagi, malam akan merambat naik. Tak ada gunanya membuang waktu, karena kami yakin — semakin malam lalu lintas Bandung akan semakin buruk. Ditambah lagi satu fakta bahwa kami masih memiliki agenda yang lain setelah ini. Walaupun begitu, dia sama sekali tak keberatan diajak mengitari kawasan Pasar Baru, Kebon Kalapa, agar saya bisa menemukan kendaraan umum untuk pulang.

“Kamu kalau mau pulang duluan, nggak apa-apa. Kamu bukannya ada acara di rumah teman kamu pukul 7 nanti?”

“Nyantai aja, dari sini ke Soreang mah nggak nyampe sejam.” Suaranya membaur dengan ribut kendaraan. “Sampai ketemu Damri aja, ya.”

“Nanti berhenti di halte aja, biar aku nunggu sendirian di sana. Aku nggak enak banget merepotkan kamu gini.” Saya bersikukuh, “Kalau nggak ada Damri, toh bisa pake gojek.”

Pada akhirnya, dia mengabulkan permintaan saya. Tanpa bantahan maupun paksaan.

Saya menyaksikan sosok berjaket merah itu menghilang ditelan jalanan dengan perasaan campur aduk. Sebersit pilu, rindu, kehilangan — entahlah. Kendati demikian, saya tak ingin mengabaikan rasa bahagia yang hadir setelah perjalanan kami. Setengah hari yang terasa panjang. Setengah hari yang menakjubkan. Setengah hari yang berhasil mengubah semuanya.

Sore itu saya mempelajari satu hal: perpisahan mungkin kerap menyakitkan, namun tak selamanya perpisahan merupakan suatu akhir. An end is not always the end, it just means that something else is about to begin.


Be First to Post Comment !
Posting Komentar