Ide untuk bertemu
dengannya sebenarnya sudah terbentuk sejak lama. Bahkan sebelum kami sempat
bertatap muka satu sama lain. Dengan naif, saya susun sejumlah agenda
sedemikian rupa. Menulis daftar tempat yang akan kami kunjungi, menata aneka
kegiatan yang bisa kami lakukan bersama. Lalu, saya simpan baik-baik kesemua
itu di dalam binder , dengan harapan kami memiliki waktu yang cukup untuk
mewujudkannya. Dan entah bagaimana,
setelah pertemuan di bandara itu, saya tak pernah lelah mencari peluang agar —
setidaknya — jarak di antara kami dapat berakhir.
Sebagaimana yang
dikatakan Eka Kurniawan; seperti dendam, rindu pun harus dibayar tuntas.
Maka, pada pertengahan
Agustus lalu, saya memutuskan untuk mengambil kesempatan itu. Saya tak ingin
menyia-nyiakannya lagi. Karena, saya tak tahu sampai kapan saya harus
tersiksa jika saya tak bersedia mengerahkan sedikit usaha.
Berminggu-minggu saya
merahasiakan keputusan itu dari dirinya, berusaha menjaga komunikasi kami agar
berjalan tanpa perdebatan, meskipun pada akhirnya saya gagal mempertahankan itu
semua. Hari demi hari selalu terlewati dengan pertikaian. Dan tak jarang saya
melewati malam seorang diri sambil mencemaskan apa yang akan terjadi pada kami
selanjutnya.
Namun, kau tak akan
pernah tahu betapa kata maaf dapat menyembuhkan luka dan memadam benci.
Itulah yang saya
utarakan ketika kami duduk berhadapan di KFC Setiabudi pada Senin malam yang
dingin itu. Secangkir float miliknya
telah tandas. Sosok pria dalam balutan hoodie
Adidas hitam ini tak banyak bicara. Dia terus memandang saya lekat-lekat,
seakan memaksa saya tenggelam di sepasang danau gelap itu. Dan saya, dengan
segala kerapuhan yang saya miliki, hanya sanggup mengabaikan tatapan milikinya.
Lama, barulah saya
memiliki keberanian untuk mereguk surga yang dia tawarkan.
Saya rindu menyaksikan
dia tergelak malu dengan wajah tertunduk. Dan saya sama sekali tak keberatan
ketika dia terpaksa menarik telinga saya seusai menyaksikan foto usangnya yang
tersimpan di laptop saya.
“Itu fotonya nemu dari
mana coba?” protesnya.
“I know every single thing like no one has to tell me,” jawab saya.
“Dari Facebook deh
pasti!”
Saya hanya mengedikkan
bahu, kembali sibuk dengan helai demi helai kertas nota dan membentuknya
menjadi perahu kertas mungil. Tak butuh waktu lama, dia bergabung dengan saya
di atas ranjang, dan turut melipat-lipat kertas sedemikian rupa.
“Kamu tahu, kertas sekecil ini bisa
dibikin macam-macam selain perahu-perahuan.”
“Origami?” Saya meliriknya sejenak,
lalu menceletuk, “That’s so obvious.”
“Jangan salah. Nih, kamu perhatikan,
ya.”
Sekejap saja, di antara jari-jari
kurus miliknya, perahu kertas sederhana milik saya merupa sesuatu yang baru.
Ujung perahu itu tak lagi runcing. Kini bentuknya lebih menyerupai sekoci
alih-alih perahu layar.
Kemudian, dia meraih selembar struk
belanja dari Supermarket Borma. Saya memperhatikan jemari itu kembali bergerak
dalam manuver yang lebih rumit dari sebelumnya.
Dalam keheningan, dia bersuara, “Dulu,
waktu masih SMA, anak-anak di kelas suka bikin beginian pas jam pelajaran
kosong. Tahu nggak fungsinya buat apa?”
Saya menggeleng.
“Buat nampung kulit kuaci,” tukasnya, sembari memamerkan sebuah kotak berukuran mini lengkap dengan penutupnya. “Jadi,
sampahnya nggak bakal berserakan di lantai dan buang ke tempat sampah juga
lebih gampang.”
Imajinasi saya terlempar ke sebuah
potret di mana lelaki ini mengenakan seragam sekolah yang rapi, jauh dari kesan
dungu dan musuh guru-guru, sebab saya tahu dia selalu menjaga reputasi dirinya
di lingkungan sekolah. Betapa menyenangkan masa SMA-mu, Kiddo.
“Aku boleh foto ini?” tanya saya. “Anggap
aja oleh-oleh dari kamu.”
Dia mengangguk setuju dengan seulas
senyum. Mata sendunya mengirimkan kehangatan. Usai kegiatan lipat-melipat itu,
kami kembali bersandar di kepala ranjang. Ponsel saya menyenandungkan daftar
putar yang berisi sederet lagu instrumen piano, yang setidaknya terdengar jauh
lebih menyenangkan ketimbang detik jarum jam di dinding kamar.
Di tangannya, terdapat sebuah buku
bersampul merah muda. Itu adalah buku ketiga yang saya tulis. Pembicaraan kami
kembali bergulir pada proses penulisan buku itu, tentang siapa saja yang
menginspirasi saya, lagu-lagu yang saya putar, dan seperti apa saya
mempromosikan buku itu pada suatu acara yang digelar di LBH Cikini pada Mei dua
tahun silam.
Kisah demi kisah meluncur bagai
cucuran air dari langit. Kami bertukar tawa yang melebur dalam kata. Dan untuk
pertama kalinya, saya memberanikan kontak fisik itu berlangsung dengan intim. Telapak
tangan saya menyentuh dadanya yang masih terbungkus kaus biru gelap. STAY EVIL. Begitu yang tertulis di sana.
Jantung saya berdegup hebat. Sementara dia tak menunjukkan tanda-tanda penolakan.
Sepasang danau gelap itu menenggelamkan saya.
Yang saya tahu, pada saat itu segalanya
terjadi begitu saja. Ia mengurung saya dalam dekapannya, mengisi setiap sela
jemari saya dengan jemarinya yang ramping. Napasnya memburu, tetapi sesekali
terdengar teratur. Kecupan itu jatuh di bibir saya tanpa rencana. Saya
menerimanya seperti kemarau yang merindukan hujan. Begitu lembut, begitu
sempurna, sehingga rasanya menyatu sampai ke tulang belulang.
Matahari luruh perlahan. Malam pun
merambat naik. Di luar sana langit mulai gulita. Namun, kami masih jauh dari
kata selesai. Berkali-kali kami bertukar ciuman di sana dan di sini tanpa
henti. Perjalanan masih panjang, ucap
saya dalam hati. Saya tak ingin menghentikannya lekas-lekas. Sebab, separuh
nyawa saya telanjur menghilang entah ke mana.
Saya telah ditarik ke permukaan. Layaknya
seekor ikan yang megap-megap dan merindukan lautan, saya terus berusaha
menerima perlakuannya dengan sekuat tenaga. Sampai tak terasa gelap semakin
pekat.
***
Izinkan saya sependapat dengan
peribahasa ‘malu bertanya sesat di jalan’. Sebab, pada umumnya bertanya sama
sekali tak dikenakan biaya. Ahwal bertanya dan menjawab ini merupakan hal yang
lumrah dalam percakapan sehari-hari. Terlebih jika suatu pertanyaan menerima
respons yang layak. Namun, sebagian orang cenderung takut bertanya lantaran tak
sanggup dengan jawaban yang akan mereka dapatkan.
“Mungkin cara ini bisa membantu
kamu,” saya mengangsurkan pulpen dan sehelai tisu yang saya lipat membentuk
persegi panjang tak beraturan. Di sana tertulis enam buah pilihan yang tertulis
dengan tinta biru.
Dia menyambutnya dengan bibir
terkunci. Saya dengan sabar menanti saat tangan kanan yang menggenggam pulpen
itu mengguratkan sesuatu pada kertas tisu tersebut. Sesekali dia membuang muka,
menatap langit-langit kamar seakan ada jawaban di atas sana. Tak lama, dia
menyerahkan kembali tisu itu kepada saya.
“Feeling?”
alis saya terangkat. Suara saya lirih, takada penghakiman di sana. “Ayo kita
bahas bareng-bareng.”
Bantahnya, “Jangan, nggak usah.
Anggap aja aku nggak nanya apa-apa.”
“Kamu bercanda? Mana mungkin aku
bisa melupakan ini gitu aja? Coba, apa yang pengin kamu ungkapkan dari sesuatu
yang udah kamu tulis di sini?”
Bibirnya senantiasa bungkam. Di
tatapannya saya temukan kegelisahan, sesuatu yang tak pernah saya lihat
sebelumnya. Namun entah mengapa, orang ini — lelaki ini — enggan mengutarakan
keganjalan itu dengan saya. Padahal, saya teramat bersedia membantunya memikul
sebagian beban itu. Tanpa pamrih sekalipun.
Sebab, terkadang bahumu tak cukup kuat mengampu pelbagai masalah yang
ada di dunia. Kau harus membaginya dengan orang lain, agar letihmu ikut
berkurang.
Takada tanggapan. Tak peduli
seberapa dalam permohonan saya, tak peduli seberapa tulus air mata saya, tetap
saja dia bertahan dengan kemandiriannya. Dan saya nyaris meninggalkannya pada
malam itu. Nyaris membiarkan diri saya luntang-lantung di suatu tempat agar masalah
ini kepalang kacau, kepalang tak terselesaikan— jika memang demikian yang ia
mau. Tetapi, saya takingin menyerah begitu saja. Saya ingin mempertahankannya
tak peduli seberapa sering saya mencoba.
Setidaknya begitulah yang mereka katakan
tentang suatu hubungan.
Bukan jarimu yang harus kaupotong,
melainkan kukumu. Bukan hubungan yang harus kauakhiri, tapi egomu yang harus kaurendahkan.
Dan seketika, saya teringat dengan perbincangan
pada malam di KFC itu, pada aneka kekacauan yang terjadi beberapa waktu
sebelumnya. Betapa banyak masalah yang kami lalui, dan semua itu pada akhirnya
terselesaikan dengan satu kata yang tulus. Betapa dahsyatnya kata maaf, yang
sanggup menyembuhkan luka dan memadam benci.
Sisa-sisa malam itu, kami lewati dalam keheningan. Mencoba saling mengerti, mencoba saling memperbaiki karena masing-masing di antara kami tak sempurna.
***
Itu adalah Jumat yang teduh di kota
Bandung. Sehari sebelumnya langit memang tampak redup dan sendu. Mungkin ia
mengetahui ada seseorang yang harus pergi sebentar lagi. Empat hari bersama
dirinya merupakan momen yang paling menyenangkan dalam hidup saya. Satuan waktu
terlewati begitu cepat, dan akan terasa lama ketika jarak kembali berkuasa.
Dan saya akan selalu mengingat
setiap peristiwa tanpa melewati satu detail sedikit pun. Obat penurun panas dan
sepuluh tusuk sate di malam itu, potongan-potongan pizza yang tak termakan,
segelas madu hangat di pagi hari, aneka kekonyolan dan lelucon milik saya yang
berhasil membuatnya tertawa — tawa yang membuat sepasang danau gelap itu
menjelma garis. Satu di antara sekian banyak hal pada dirinya yang ingin selalu
saya rengkuh.
Dari bawah Gedung Fakultas Ilmu
Pendidikan, saya melihatnya berdiri menekuni ponsel di genggamannya. Kemeja
abu-abu lengan pendek, pandangannya menyapu ke sana kemari. Sementara saya menatap
dirinya dari kejauhan dengan penuh rasa kagum. Sosoknya begitu cemerlang,
begitu membanggakan, begitu dicinta. Saya terus memandanginya diam-diam, mengabadikannya
lewat kamera ponsel — dalam hati berharap suatu saat dirinya dapat saya miliki.
Lalu, di antara hiruk-pikuk
mahasiswa yang berkeliaran di sana, dia menyadari kehadiran saya. Melambaikan
tangan seolah-olah taksabar bertemu kawan lama.
Saya selalu di sini, Kiddo.
Saya tak akan lari.
Senyumnya terkembang ketika
mendapati saya berdiri di halaman itu. Kumis-kumis tipis di atas bibirnya, yang
tak pernah ingin dia cukur. Dan lengkung senyum itu masih tampak sama sewaktu
dia berhasil menangkap foto saya diam-diam lewat ponselnya. Dia tertawa,
memamerkan ekspresi saya yang jauh dari kata sempurna.
Tak apa. Setidaknya kamu masih memiliki foto itu jika suatu hari saya
telah tiada.
Detik-detik menuju perpisahan itu
terasa begitu cepat. Saya tergerak menjenguk kembali tempat-tempat yang pernah
saya lewati bersama dirinya; gang sempit di mana sejumlah rumah kos saling
berdempetan, tangga menuju kamarnya di lantai atas, pintu kamar dengan angka
11, botol-botol air lemon yang tersusun rapi di ventilasi udara, kamar mandi, warung
nasi tempat kami membunuh lapar, bahkan buah dagangan milik bapak kos. Kesemua
itu akan saya jaga dengan rapi setibanya saya di rumah nanti.
“Kalau aku udah pulang nanti, kamu
harus bisa jaga diri, ya…” ucap saya dengan suara bergetar. “Sebab, nggak akan
ada lagi yang bikin kamu air madu setiap pagi, yang ajak kamu makan tepat waktu.
Jangan nakal juga di sini.”
Mata saya memanas sewaktu
mengucapkan nasihat itu. Hanya masalah waktu saja sampai bendungan di mata saya
runtuh seketika. Namun, sebisa mungkin saya menahannya. Bersembunyi di balik
senyum palsu yang saya buat.
“Aku juga mau menjanjikan satu hal
untuk kamu,” balasnya.
“Apa itu?”
“Beri aku waktu satu bulan, ya. Beri
aku waktu supaya aku bisa menuntaskan semuanya,
sampai aku siap memberi jawaban buat kamu.”
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
saya langsung mendekap tubuhnya erat-erat. Membiarkan kepala itu hinggap di
dada saya sehingga dia tak perlu melihat bahwa air mata saya telah merembes. Biar
keheningan, biar langit-langit kamar dan tembok berwarna hijau itu yang
mengetahui segalanya.
“Aku bakal menunggu,” jawab saya
lirih.
Di perjalanan menuju bandara, kami
masih sempat bercanda dan sekadar berbagi tawa demi mengenyahkan rasa sedih.
Sebab, bagi siapa pun perpisahan itu akan selalu sama. Akan ada seseorang yang
harus ditinggal, akan ada pula hati yang kesepian. Maka, kami memutuskan untuk
berpura-pura bahagia. Mungkin dengan begitu kami bisa terhindar dari luka.
Saya bertanya, “Menurut kamu, apakah
nanti kita bisa mengulangi kebersamaan seperti ini lagi?”
Dengung pengumuman terdengar
berulang-ulang di pengeras suara. Dia memberi saya tatapan itu, sepasang danau
gelap yang bersembunyi di balik kacamatanya.
Dalam suara rendahnya, dia berkata, “Bisa.
Pasti bisa. Selama kita mau mencoba.”
Betapa saya ingin sepenuhnya memercayai
kalimatmu, Kiddo. Betapa saya
berharap Semesta dapat mengaminkannya untuk kita berdua. Namun, bukankah kita
semua tahu bahwa Semesta selalu memiliki cara kerjanya sendiri? Ia sanggup
membuyarkan rencana yang telah kita susun hanya dalam satu kedipan mata saja.
Setidaknya itulah yang terjadi
beberapa menit kemudian, saat saya terseok-seok menyeret koper dan bergabung ke
dalam antrean. Di belakang saya terdapat sepasang suami-istri yang rusuh. Dan
saya memutuskan untuk melihatnya kembali.
Dia masih berdiri di sana. Tersenyum,
melambaikan tangan, seperti yang pernah dia lakukan pada Senin malam yang
dingin itu.
Terbungkus hoodie Adidas hitam, memantau saya dari luar gardu Grand Setiabudi
hanya untuk memastikan saya baik-baik saja. Sesekali saya menoleh ke belakang,
mendapati dirinya selalu berdiri di tempat yang sama. Melambaikan tangan sampai
saya menyadari jarak kami telah terlalu jauh. Sosoknya pun telah menghilang.
Jaga diri, ya.
Begitu yang ditulisnya tepat setelah
saya menaruh koper di atas conveyor belt dan
melewati petugas keamanan bandara. Bedanya, kali ini dia masih senantiasa menunggu,
lama — sampai saya benar-benar memasuki ruang tunggu.
Kenyataan itu membuat saya tertampar
bahwa setelah ini kami harus memasrahkan diri kembali pada jarak dan waktu.
Seandainya saya sadar, seandainya saya membuka mata sejak awal, bahwa mencintai
seseorang memang demikian. Amy Winehouse bahkan pernah berkata, love is a losing game. It is either you lose
it, or you win it. And the truth is, falling in love is always tragic and awful.
Namun untuknya, saya bersedia
memperjuangkan segalanya.