Write. Anywhere. Anytime.

Rabu, 10 Oktober 2018

Segenap Doa dan Pinta Di Hari Bahagia


Yang saya ingat, dialah poros dari semua cemas dan takut yang menghantui pikiran saya belakangan ini.



Apa yang ada di pikiran kalian ketika mendengar kata wisuda? Tawa bahagia dari orang-orang tercinta? Keharuan yang identik dengan air mata? Buket bunga dan aneka cindera mata? Well, pada akhirnya masa kelulusan tak ayalnya seperti akhir dari suatu perjuangan dan awal bagi sebuah perjalanan.

Dalam beberapa waktu terakhir, saya tak ingat sudah berapa kali mengucapkan kata tersebut baik secara lisan maupun lewat tulisan. Yang saya ingat, dialah poros dari semua cemas dan takut yang menghantui pikiran saya belakangan ini.

Dan hari ini, seharusnya saya berada di sana. Menyambut dirinya keluar dari gedung gymnasium, dengan toga di atas kepala, senyum merekah lantaran perjuangannya telah berakhir. Seharusnya saya berada di sana, mendapati sosok itu dikelilingi keluarga dan teman-teman terbaiknya, dan saya akan datang mendekat dengan sebuah bingkisan — setelah terlalu lama memandanginya dari jauh.

Saya nyaris senekat itu, Kiddo, andai kamu tahu.
Saya bisa saja datang ke kotamu tanpa persiapan apa-apa, muncul di sana pada suatu petang atau tengah malam sebelum hari wisuda itu diselenggarakan. Bila perlu, saya bisa saja hadir di depan pintu kosmu dan berkata bahwa saya rindu. Tanpa perlu basa-basi.

Namun, saya tahu bukan itu yang kamu mau dari saya. Kamu pernah bilang, bertindak impulsif bukan solusi untuk segala masalah. Seperti yang kamu ucapkan sewaktu kamu jatuh sakit, hanya lima hari setelah kepulangan saya dari sana. Dan saya bertekad menghampirimu pada saat itu juga. Sekadar mengantar obat-obatan dan makanan yang layak. Atau sekadar memberi peluk, barangkali itu dapat meringankan segalanya.

Kala itu, kamu menolaknya, Kiddo. Alasanmu macam-macam. Dan kamu berkata bahwa tak ingin mengenal saya lagi jika saya sampai bertindak senekat itu.

Itulah yang membuat saya kembali mempertimbangkan rencana yang sempat mengusik isi kepala saya kemarin. Saya tak ingin jika kedatangan saya justru memperburuk keadaan. Belum lagi, opini-opini tak mengenakkan yang mungkin saja datang dari pihak keluarga dan teman-teman terdekatnya. Sudah saatnya dia membagi momen-momen berharga itu dengan orang-orang yang tepat.

Maka, Kiddo, jika suatu hari nanti kamu menemukan tulisan ini, ketahuilah bahwa saya tak bermaksud melupakan hari bahagiamu. Saya hanya ingin menghargai ruang yang kamu punya — tanpa pesan singkat, tanpa dering telepon, tanpa notifikasi yang terkadang mengganggumu. Dengan demikian, kamu bisa mereguk sukacita yang sesungguhnya.

Bagaimana rasanya sekarang, Kiddo? Setelah melahap lusinan buku demi mendukung validitas tulisanmu, setelah berhadapan dengan dosen pembimbingmu yang sering kita perbincangkan itu, setelah melewati malam-malam panjang tanpa tidur yang lelap, setelah ragam pertikaian di WhatsApp yang sering membuat mood-mu berantakan, setelah pulang-pergi ke kampus hanya untuk sebubuh tanda tangan.

Kini, perjuangannya telah terbayar lunas. Sudah saatnya dia memikirkan kehidupan yang baru dan pulang ke pelukan Ibunda. Sebab, dia sudah terlalu lama jauh dari rumah.

Dan untuk masa depanmu yang masih penuh misteri, izinkan saya mengirim jutaan doa kepada Tuhan. Agar gelapmu tak lagi gulita, agar langkahmu diringankan, agar bimbangmu sirna dan terganti oleh bijaksana. Asahlah ilmu yang kamu punya di mana pun kamu berada, dan jadilah persona yang rendah hati.

You have done very well.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar