Yang saya ingat, dialah poros dari semua cemas dan takut yang menghantui pikiran saya belakangan ini.
Apa yang ada di pikiran kalian ketika mendengar kata
wisuda? Tawa bahagia dari orang-orang tercinta? Keharuan yang identik dengan
air mata? Buket bunga dan aneka cindera mata? Well, pada akhirnya
masa kelulusan tak ayalnya seperti akhir dari suatu perjuangan dan awal bagi
sebuah perjalanan.
Dalam beberapa waktu terakhir, saya
tak ingat sudah berapa kali mengucapkan kata tersebut baik secara lisan maupun
lewat tulisan. Yang saya ingat, dialah poros dari semua cemas dan takut yang
menghantui pikiran saya belakangan ini.
Dan hari ini, seharusnya saya berada di sana. Menyambut
dirinya keluar dari gedung gymnasium, dengan toga di atas kepala, senyum
merekah lantaran perjuangannya telah berakhir. Seharusnya saya berada di sana,
mendapati sosok itu dikelilingi keluarga dan teman-teman terbaiknya, dan saya
akan datang mendekat dengan sebuah bingkisan — setelah terlalu lama
memandanginya dari jauh.
Saya nyaris
senekat itu, Kiddo, andai kamu tahu.
Saya bisa saja datang
ke kotamu tanpa persiapan apa-apa, muncul di sana pada suatu petang atau tengah
malam sebelum hari wisuda itu diselenggarakan. Bila perlu, saya bisa saja hadir
di depan pintu kosmu dan berkata bahwa saya rindu. Tanpa perlu basa-basi.
Namun, saya tahu
bukan itu yang kamu mau dari saya. Kamu pernah bilang, bertindak impulsif bukan
solusi untuk segala masalah. Seperti yang kamu ucapkan sewaktu kamu jatuh
sakit, hanya lima hari setelah kepulangan saya dari sana. Dan saya bertekad
menghampirimu pada saat itu juga. Sekadar mengantar obat-obatan dan makanan
yang layak. Atau sekadar memberi peluk, barangkali itu dapat meringankan segalanya.
Kala itu, kamu
menolaknya, Kiddo. Alasanmu macam-macam. Dan kamu berkata bahwa tak ingin
mengenal saya lagi jika saya sampai bertindak senekat itu.
Itulah yang membuat saya kembali mempertimbangkan rencana
yang sempat mengusik isi kepala saya kemarin. Saya tak ingin jika kedatangan
saya justru memperburuk keadaan. Belum lagi, opini-opini tak mengenakkan yang
mungkin saja datang dari pihak keluarga dan teman-teman terdekatnya. Sudah
saatnya dia membagi momen-momen berharga itu dengan orang-orang yang tepat.
Maka, Kiddo, jika suatu
hari nanti kamu menemukan tulisan ini, ketahuilah bahwa saya tak bermaksud
melupakan hari bahagiamu. Saya hanya ingin menghargai ruang yang kamu punya —
tanpa pesan singkat, tanpa dering telepon, tanpa notifikasi yang terkadang mengganggumu.
Dengan demikian, kamu bisa mereguk sukacita yang sesungguhnya.
Bagaimana rasanya
sekarang, Kiddo? Setelah melahap lusinan buku demi mendukung validitas
tulisanmu, setelah berhadapan dengan dosen pembimbingmu yang sering kita
perbincangkan itu, setelah melewati malam-malam panjang tanpa tidur yang lelap,
setelah ragam pertikaian di WhatsApp yang sering membuat mood-mu berantakan, setelah
pulang-pergi ke kampus hanya untuk sebubuh tanda tangan.
Kini, perjuangannya telah terbayar lunas. Sudah saatnya dia
memikirkan kehidupan yang baru dan pulang ke pelukan Ibunda. Sebab, dia sudah
terlalu lama jauh dari rumah.
Dan untuk masa
depanmu yang masih penuh misteri, izinkan saya mengirim jutaan doa kepada
Tuhan. Agar gelapmu tak lagi gulita, agar langkahmu diringankan, agar bimbangmu
sirna dan terganti oleh bijaksana. Asahlah ilmu yang kamu punya di mana pun
kamu berada, dan jadilah persona yang rendah hati.
You have done very
well.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar