Sama seperti orang-orang pada umumnya, bagi saya perpisahan tak ayalnya seperti menyanggupi kehilangan. Siap atau tidak, ia akan datang dan meminta kita untuk menghadapinya dengan penuh rasa sabar.
Momen-momen seperti ini bukanlah yang pertama dalam hidup saya. Ada banyak perpisahan yang sudah pernah saya atasi: saat kehilangan salah satu sahabat terbaik saya, saat kepergian Papa, saat tak ada lagi pilihan untuk bertahan di suatu tempat sehingga pilihan terakhir yang saya punya adalah melambaikan tangan. Dan kali ini, terus terang saya belum sanggup jika harus mengucapkan kata ‘selamat tinggal’ kepada dirinya. Masih ingin berlama-lama di sini, bercengkerama dengan dirinya tanpa kenal waktu, tanpa memedulikan kewajiban yang harus saya penuhi di hari esok.
Segenap pikiran itu masih terus merundung seisi kepala saya selama beberapa jam terakhir, bahkan saat saya kembali ke sofa dan duduk di sebelahnya.
Dia bertanya, “Udah selesai check-out?”
Saya mengangguk, tak mau banyak bicara.
“Sopirnya udah kamu hubungi? Tanya dulu, masih lama atau nggak.”
Demi Tuhan saya berharap agar sopirnya datang tak tepat waktu, atau semoga saja dia kesulitan mencari lokasi ini supaya saya bisa berbincang dengannya lebih banyak. Setidaknya untuk hari ini saja.
“Saya mau bicara, boleh?”
Dia menoleh sejenak, lalu menyalakan pemantik api dan mengarahkan apinya ke ujung rokok. “Silakan,” balasnya.
Dalam-dalam saya menghela napas. “Kamu tentu bertanya-tanya kenapa saya bersikeras menginap di sini dan alasan saya meminta kamu untuk datang.”
Hening. Saya menebak dia sepenuhnya lupa atau bahkan tidak mengerti apa yang sedang saya bicarakan. Tanpa menunggu tanggapannya, saya pun mulai menjelaskan bagaimana gagasan itu berawal.
Pengujung bulan Februari lalu, kami membicarakan bisnis jaringan perhotelan yang kerap menawarkan diskon gila-gilaan di sejumlah kota besar. Awalnya saya tidak tahu-menahu tentang layanan itu. Sampai pada akhirnya dia memberi kabar bahwa dia mendapatkan satu kesempatan menginap gratis di salah satu hotel ternama di bilangan Sudirman. Saya sendiri kerap merasa iri lantaran dirinya seringkali dianugerahi keberuntungan di sana-sini.
Tentu saja dia tak ingin menyia-nyiakan peluang emas itu. Oleh karena itulah, dia menyampaikan maksud dan tujuannya: mengajak saya menghabiskan waktu di sana barang satu malam. Dan saya pun tak punya alasan untuk menolak tawarannya. Terlepas dari fakta bahwa dia adalah kekasih saya, lokasi hotel itu cukup dekat dengan sejumlah pusat rekreasi seperti Grand Indonesia, fX, Bundaran HI, dan sebagainya. Dengan demikian kami bisa melompat dari satu tempat ke tempat yang lain dalam waktu tempuh yang relatif singkat.
Di akhir percakapan, saya sempat berkata bahwa suatu hari saya akan mencoba layanan perhotelan itu. Mana tahu saya seberuntung dirinya. Dengan satu kesepakatan, satu-satunya orang yang boleh saya ajak adalah dia sendiri.
Saya menganggap kalimat itu adalah utang untuk diri saya sendiri. Dan bagaimanapun juga, saya harus melunasinya.
“Usaha kamu sangat saya hargai, kok.” Dia tiba-tiba berucap, “Bahkan saya kagum karena kamu masih bersedia menyanggupi janji-janji kita kemarin.”
“Karena saya nggak mau ada sesuatu yang dinamakan ‘unfinished business’ di antara kita,” ucap saya. Selagi saya mampu, saya pasti akan mewujudkannya. Dengan cara apa pun.”
Asap rokok berembus pelan dari mulutnya. Mengepul, lalu menyatu dengan udara.
“Saya mau bertanya.”
“Ya?” tanggapnya.
“Salah nggak, sih, kalau sebenarnya saya masih mengharapkan kamu? Atau, salah nggak kalau saya bersedia masuk ke daftar tunggu di hidup kamu?”
Usai pertanyaan itu, saya tak punya keberanian sama sekali untuk menatap matanya. Keberanian saya seolah meredup. Saya takut jika pertanyaan itu akan membuatnya tersinggung, marah, kecewa, benci, atau bahkan jijik terhadap saya.
Lirih, saya mendengar dia bersuara, “Nggak salah, kok. Justru kejujuran kamu membuat mata saya terbuka. Setidaknya saya tahu kalau perasaan kamu ke saya masih sama, nggak berubah sedikit pun.”
Sedetik, saya merasa lega.
“Tetapi, kamu tahu sendiri kan kalau kita benar-benar udah selesai?”
Mata saya perlahan memanas. Saya ingin bangkit saat itu juga, menyembur ke hadapannya — menuangkan semua perasaan saya agar dia benar-benar tahu, agar tak ada lagi yang bisa saya sembunyikan. Namun, saya yakin semua itu tak akan berpengaruh apa-apa. Ada pun, tindakan demikian justru berpotensi menimbulkan kekacauan.
Maka saya diam saja, mengiyakan setiap penjelasan yang dia sampaikan dengan anggukan yang teramat patuh. Sementara pada waktu yang sama, pikiran saya melayang jauh ke masa-masa ketika kami masih bersama, terlalu sibuk menghabiskan waktu dalam tawa yang sesekali menjelma tangis, dan tanpa kami sadari bahwa selama ini kami telah sering melupakan kebahagiaan diri sendiri.
***
Sekali janji tetap janji.
Sejak kecil, saya selalu dididik untuk bersungguh-sungguh dengan
apa yang saya ucapkan. Jika kau mampu, katakan mampu. Jika tak yakin, maka
jangan pernah berjanji. Tak ada toleransi untuk seseorang yang tak sanggup
menepati janjinya. Begitu yang diucapkan mendiang Papa ketika saya masih duduk
di bangku sekolah dasar.
Saya tak ingat sudah berapa banyak agenda yang kami rancang,
tetapi tak berjalan dengan sempurna. Salah satunya adalah rencana kepulangan
saya yang seharusnya berjalan pada tanggal 20 Maret lalu. Sejumlah peristiwa
buruk terjadi, perbedaan idealisme yang berujung perseteruan, dan masih banyak
lagi aneka alasan lainnya.
Jauh sebelum pertikaian hebat itu terjadi, saya sudah memesan satu
tiket penerbangan one way untuk pertengahan bulan April. Sengaja saya rahasiakan
hal itu dari dirinya. Semata-mata agar saya dapat menghadiahinya kejutan, agar
dia tersenyum melihat kedatangan saya yang tanpa kabar berita sebelumnya.
Akan tetapi, kau tak akan pernah tahu apa yang telah disiapkan
semesta. Selalu begitu, bukan?
Semua terjadi di luar kendali. Hubungan kami berakhir hanya dalam
hitungan jam. Kebencian tumbuh begitu saja. Dan pada saat itu saya terus
meratapi serangkaian jadwal yang telah saya susun: menemuinya di suatu tempat,
bersama-sama mencari tempat tinggal baru, makan bersama di pinggir jalan sambil
menertawakan tingkah orang-orang.
Betapa hal kecil dapat mengubah segalanya.
Lalu, di sanalah saya berada pada Jumat pagi itu. Langit Jakarta
Selatan yang muram, awan gemawan disertai rintik gerimis. Lalu lintas cukup
lengang mengingat pekan itu adalah momen libur yang cukup panjang.
Sedari awal saya memang tak berekspektasi ketinggian. Harapan saya
sekadar bertemu dirinya, lalu menyampaikan maksud kedatangan saya. Syukur jika
dia menyambut kemunculan saya dengan tangan terbuka. Pun tak jadi masalah besar
apabila dia akan mengusir saya dari hadapannya.
Satu hari sebelum keberangkatan, saya masih sempat berkendara ke
sana kemari di kota saya tanpa memiliki tujuan yang jelas. Saya mengunjungi
sejumlah tempat yang merangkum kenangan-kenangan tentang dirinya. Sekadar
mengingat kembali, apa saja yang pernah kami perbincangkan di WhatsApp sewaktu
saya berada di tempat-tempat itu.
Saya mengawali perjalanan pada sore itu dengan melewati kawasan
pemakaman Papa.
Itu adalah sore yang mendung pada tanggal 2 Februari. Acara 40
harian Papa akan berlangsung dalam hitungan jam. Di sana, saya mengirimkannya
foto pusara Papa yang diselubungi bunga-bunga beraneka warna. Seakan belum
cukup lengkap, saya pun menyertai swafoto di sana — dengan busana koko abu-abu
dan peci putih yang saya kenakan pada hari itu.
Tak hanya sekali. Saya juga pernah mengunjungi makam itu pada
tanggal 23 Maret lalu, hari di mana dia meminta izin untuk menemui salah satu
rekan kerjanya. Seorang perempuan yang lebih dikenal sebagai orang terdekat
dengan sederet selebriti tanah air. Dan pada hari itu, keduanya berniat mencoba
perjalanan perdana MRT yang pada akhirnya berujung dengan kegiatan makan
bersama di pasar Kawasan Radio Dalam.
Perjalanan sore itu masih jauh dari kata usai. Saya melewati lagi
pom bensin di jalan Jenderal Sudirman, yang mengingatkan saya kembali pada
percakapan singkat kami di pengujung bulan Desember lalu. Hari ketujuh setelah
kepergian Papa. Dan dia hadir untuk menyemangati saya agar tak terlalu larut
dalam kesedihan.
Saya sedih saat menyadari semua itu telah tertinggal jauh di
belakang. Fakta bahwa dia selalu ada di sana untuk saya, bersedia meluangkan
waktunya kapan pun saya membutuhkan: telinga untuk mendengar, bahu untuk
bersandar, dan kaki yang tangguh untuk menopang saya ketika tak sanggup lagi
untuk berdiri.
Seandainya saja saya dapat kembali ke momen-momen itu untuk
memperbaiki segalanya.
Langit berubah cerah sewaktu mobil yang saya tumpangi mulai
menyambangi Jalan Cipunegara. Sebuah minimarket berada tak jauh dari mulut
gang. Saya teringat lagi dengan kebiasaan saya beberapa waktu lalu:
berkali-kali saya mengirim madu dan obat-obatan ke rumahnya yang saya pesan
jarak jauh lewat layanan pesan antar.
“Sebaiknya kita bicara di
tempat lain, jangan di sini.”
Dia muncul di persimpangan rumahnya, mengendarai motor matic yang warnanya seringkali saya temui
di mana-mana. Tak saya temukan seulas senyum di wajahnya. Hanya dingin yang
sulit diterjemahkan dengan bahasa. Dan seolah tak mempunyai pilihan, saya patuh
saja dengan ajakannya saat motor itu berhenti di dekat saya.
Tak butuh waktu yang lama sampai saya benar-benar mengetahui arah
tujuan kami. Dia berjalan beberapa langkah lebih awal, sementara saya sibuk mengamati
bangunan itu dengan saksama.
Jadi, di sinilah dia pernah
duduk pada suatu malam sambil berbicara dengan saya lewat sambungan telepon. Di
sinilah dia pernah membaca buku saya selama satu jam lamanya. Di sinilah saya
pernah memesan makanan untuk dirinya pada pengujung bulan Maret lalu, dan dia
sempat menasihati tingkah laku saya yang teramat impulsif itu.
Kami duduk berhadapan tanpa berani melakukan kontak mata satu sama
lain. Saya memalingkan muka ke arah jalan raya. Sejumlah kendaraan yang berlalu
Lalang dan hiruk-pikuk pengunjung supermarket Giant di seberang sana.
Perbincangan kami telah bergulir sejak beberapa belas menit yang
lalu; dimulai dari saya yang menyampaikan permintaan maaf atas kedatangan saya
yang serbatiba-tiba, atas kelancangan sikap saya selama ini, atas apa yang
telah terjadi pada malam 7 April itu, atas semua kesalahan yang pernah saya
perbuat dalam hidupnya. Sementara itu, dia senantiasa menyimak penuturan saya tanpa
ada niat untuk menginterupsi.
“Mungkin sudah telat bagi saya untuk menyadari kalau selama ini saya
benar-benar menjadi orang yang teramat bodoh,” ungkap saya dengan suara bergetar.
“Entah kamu mengetahuinya atau tidak, hubungan yang kita jalani ini seolah-olah
membuat saya lupa dengan diri saya sendiri.
“Saya mengabaikan eksistensi mimpi-mimpi saya: naskah yang seharusnya
saya tuntaskan, lagu-lagu yang sering kita bicarakan. Saya terlalu sering
memprioritaskan orang lain, meskipun sebetulnya saya tak punya maksud untuk
menyinggung kamu dalam kasus ini. Kamu berarti buat saya. Namun di sisi lain
saya seolah lupa bahwa saya juga punya kehidupan pribadi.”
“Bukan hanya kamu yang merasa seperti itu,” tanggapnya. “Saya pun merasa
gagal karena dalam tiga bulan terakhir ini nggak bisa membahagiakan diri saya
sendiri. Poros kehidupan saya seolah cuma di situ-situ saja. Suatu hubungan itu
kan harusnya saling menguatkan satu sama lain.”
“Alih-alih, kita malah saling menyakiti.”
Dia lantas menasihati saya untuk berhenti menyalahi diri sendiri. Tak
ada yang benar-benar salah, pun tak ada yang sepenuhnya benar di antara kami
berdua. Baik saya maupun dirinya adalah korban, sukarelawan, atas siklus yang
kami ciptakan berdua.
Di luar dugaan, tiba-tiba dia beranjak dari duduk dan berjalan ke
belakang. Sama sekali tak tergerak untuk mencari tahu ke mana kakinya akan melangkah.
Hanya berselang beberapa menit, dia kembali dengan secangkir Avocado Float di
genggamannya, lalu mengangsurkan minuman itu untuk saya.
Saat itu saya ingin menangis sekencang-kencangnya. Menyadari bahwa
dia masih mengingat apa-apa yang saya suka dan yang tidak saya suka. Dia tahu
saya bukan penyuka kopi. Oleh karena itu dia memilih minuman alternatif agar
saya tak kehausan. Mungkin tindakan seperti itu terdengar sangat sepele untuk
dirinya. Tetapi di mata saya, secuil afeksi darinya seketika menggetarkan lubuk
hati yang saya terdalam.
“Saya minta maaf.”
“Bukan sepenuhnya salah kamu. Saya juga salah, Joy.”
Dalam keheningan yang menyelimuti kami berdua, saya merapal
kembali beragam kenangan yang pernah kami lewati dalam tiga bulan terakhir itu.
Tidak. Bahkan lebih dari tiga bulan, saya rasa. Semua itu berawal dari
pertemuan kami yang kacau-balau, tangis dan tawa yang datang silih-berganti,
segenggam rahasia yang saling kami bagi…
Alangkah manisnya fragmen-fragmen kisah itu jika saya mengingatnya
di masa kini.
Ke mana perginya mereka sekarang?
***
“Alasan saya bicara seperti ini bukan karena saya berniat
menyakiti kamu atau saya sudah punya pasangan baru, kalau kamu mau tahu.”
Saya sudah lupa sampai di mana perbincangan kami tadi lantaran
pikiran saya sempat mengembara terlalu jauh. Yang saya tahu, kami masih duduk
bersisian di ruangan yang sama sambil menanti waktu yang tepat untuk suatu
perpisahan.
“Tadinya saya berpikir harapan untuk memperbaiki hubungan ini masih ada.” Saya mengucapkannya dengan kepala tertunduk. “Bercermin dari perlakuan kamu
ke saya beberapa jam lalu, dari ajakan kamu untuk jalan bersama saya Jumat
malam kemarin…”
“Terus terang saya sama sekali nggak punya niat buruk ketika
melakukan semua itu, Joy.”
Barangkali dia mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Namun satu
hal yang saya tahu, halaman buku itu benar-benar telah berbeda. Dia sudah menuntaskan
halaman terakhir, sementara saya masih terseok-seok menghabiskan satu bagian di
mana saya seperti tersesat — apakah saya harus kembali ke awal cerita atau
melanjutkan segalanya dengan rasa perih?
“Kamu juga pasti nggak mau, kan, kalau saya meminta kamu untuk
balikan tapi semua itu didasari keterpaksaan?” Dia kembali meneruskan, “Saya
sayang kamu, Joy. Sungguh. Tapi saya juga nggak mau menyakiti diri saya
sendiri. Dengan terus-menerus kita memaksakan diri untuk bersama, itu sama saja
seperti mengkhianati hikmah yang seharusnya kita pelajari.”
Kalau saja saya bisa
setangguh kamu, Kid. Kalau saja ada alasan sempurna bagi saya untuk melupakan
kamu. Mungkin segalanya tak akan serumit ini. Tetapi rasanya semua itu tak
mungkin. Kamu telah lama berada di sana, tak pernah beranjak terlalu jauh. Dan entah
bagaimana, semesta selalu saja membawa saya kepada kamu.
Semoga saja selalu ada
jalan untuk menemukanmu, Kid.
“Saya boleh minta satu permintaan?”
“Jangan minta yang mahal-mahal, saya nggak akan mampu memenuhinya.”
Masih saja sempat dia bercanda — dengan senyum semringah yang memamerkan
sebaris gigi putihnya, dan sepasang matanya yang berwarna cokelat kopi. Tak
bisakah saya memiliki semua itu?
Lalu, saya pun berkata, “Ketika sopirnya datang, sebelum saya
masuk ke mobil… can you give me a hug?”
Dia mengangguk. “Sure.”
“So — “ Kalimat itu saya biarkan menggantung
sejenak. Sembari mengulurkan telapak tangan, saya pun bertanya, “we are friends, aren’t we?”
“We’re more than friends,”
ucapnya, kali ini disertai lengkung bibir yang lebih tulus. “Hanya karena
hubungan kita sudah selesai, bukan berarti kamu langsung menjadi orang asing di
kehidupan saya, Joy.”
Mendengar ucapannya, hati saya seketika diliputi perasaan hangat.
Perut saya menggelepar, seolah-olah ada jutaan kupu-kupu yang tengah berdansa
di dalam sana. Bukan karena kalimat barusan mengandung harap yang membuat saya ingin
bermimpi terlalu tinggi, tapi semata-mata karena saya lega — mengetahui bahwa kandasnya
suatu hubungan bukanlah akhir dari segalanya.
Ponsel saya berdenting. Itu adalah pesan baru dari sopir taksi
yang akan membawa saya ke bandara sesaat lagi. Perpisahan sudah di depan mata.
Kali ini saya menatapnya lekat-lekat, mereguk sosoknya lebih lama
sebelum kami benar-benar terpisah di antara jarak sejauh 400 kilometer itu.
“Isn’t it the last goodbye?”
tanya saya.
Penuh keyakinan dia mengujar, “Don’t
even say goodbye. I am sure we will meet again. Someday.”
Pada
kalimat itu, saya menanamkan satu keyakinan yang sama — bahwa kelak, kami akan
bertemu lagi. Suatu hari nanti.