Apa pun akan saya lakukan jika usaha saya pada nantinya dapat mengembalikan keadaan seperti semula.
Sudah genap
seminggu sejak kami terlibat dalam perdebatan panjang pada malam hari itu.
Malam di mana ketakutan saya semakin memuncak, dan malam di mana kemarahannya
telah melampaui batas. Padahal jika dilihat lagi ke belakang, komunikasi kami
terbilang lancar dan masih dalam tahap wajar. Bahkan bisa dibilang hubungan
kami berlangsung baik-baik saja.
Saya
masih ingat, beberapa jam sebelum pertikaian itu dimulai, kami masih sempat
membahas film di Netflix yang belum sempat kami saksikan bersama, membicarakan
kondisi Mama yang pada hari itu sedang tidak enak badan, serta bertukar
pendapat mengenai masalah personal yang saya alami dalam beberapa pekan
terakhir.
Barangkali
di sanalah segalanya berawal.
Saya
terlalu banyak membaginya kisah pribadi saya, terlalu sering memintanya untuk
mendengar sekaligus meminta solusi, terlalu jauh menariknya ke dalam lubang
masalah yang saya buat sehingga dia kesulitan untuk kembali ke permukaan.
Sementara di sisi lain, dia pun terlalu jenuh dengan cerita yang isinya
begitu-begitu saja, yang tak jauh dari kubangan kesedihan dan hidup saya yang teramat
merana.
Tak
banyak yang saya minta pada dirinya selain meluangkan waktu untuk mendengar
kisah saya dengan saksama. Setidaknya mengesampingkan sederet aktivitas yang
terkesan kurang penting—seperti memeriksa notifikasi sosial media dan mengetahui
apa saja yang sedang terjadi di sana.
Sejenak
saja.
Saya
pun tak meminta respons yang segera. Tak juga mengharapkan dia datang dengan sekantong
petuah yang mungkin saja bisa membuat saya pusing kepala. Toh saya pun akan
jauh lebih legowo apabila dia meminta izin terlebih dahulu sebelum menanggapi
curhatan dari saya. Yang mana pada saat bersamaan, saya mendapati dirinya
sedang asyik berselancar di akun Instagram.
Entah
saya yang kelewat demanding, atau mungkin saya yang terlalu letih (secara
harfiah), saya menganggap diri saya seakan dicurangi. Eksistensi saya di matanya
seolah-olah tak lebih dari kenihilan.
Jadi, apa gunanya bercerita panjang-lebar jika pada akhirnya suaramu tak dipedulikan?
Saya
pikir, sudah tak penting lagi membeberkan kisah-kisah itu di sana. Oleh sebab
itulah saya lekas-lekas menghapus pesan yang telah terkirim kepadanya; semata-mata
agar semuanya terlupakan, tak perlu terbaca lagi di kemudian hari. Akan tetapi, tak
selamanya tindakan saya jauh dari kesalahan. Tak sedikit pun saya terpikir bahwa
hal tersebut justru menjadi pemicu kekacauan di antara kami.
Dia
mendesak saya untuk bicara, terus memaksa sehingga saya tak punya pilihan untuk
berterus-terang. Padahal, bisa saja saya mengarang cerita dan berpura-pura
bahwa apa yang saya utarakan di sana tak pantas untuk dibaca di kemudian hari. Dengan
demikian, dia tak perlu merasa khawatir terhadap masalah yang sedang saya
hadapi, dan hubungan kami pun akan baik-baik saja pada akhirnya.
Faktanya, penyesalan itu selalu datang terlambat bukan?
Saya sempat
berasumsi bahwa dengan berkata jujur, tak akan ada hal buruk yang terjadi di
antara kami. Toh kami sudah pernah menghadapi yang lebih buruk daripada ini. Terlebih
masalah yang kami hadapi kala itu merupakan salah satu yang sepele. Seratus
persen saya percaya bahwa dia tak sungkan-sungkan memberi penjelasan sehingga
saya sepenuhnya memaklumi.
Ternyata
saya salah.
Yang
saya terima selanjutnya adalah kemarahan yang tak terbendung. Segala macam
kekesalannya tumpah-ruah pada ruang obrolan WhatsApp yang sampai saat ini masih
sering saya baca di waktu senggang. Dan saya nyaris tak memiliki kendali untuk menghentikannya kala itu. Sekadar menarik
diri dari pertikaian barang sesaat, atau paling tidak diam saja, ketimbang harus melawan emosinya yang meledak-meledak.
It
should have been easy for me to keep my mouth shut, right, De?
Namun,
saya tak mampu menahan diri saya untuk terus menangkis serangannya. Seolah-olah
saya memiliki tanggung jawab untuk meyakinkannya; bahwa semua ini hanya salah paham, bahwa pendapat sayalah yang valid di sana dan dapat diterima oleh akal sehat.
Kenyataannya, baik saya maupun dirinya tak benar-benar waras pada malam itu. Ego
kami terlalu tinggi. Tak ada yang sanggup mengalahkan ke-aku-an kami, sehingga
meminta maaf pun rasanya akan menjadi sesuatu yang paling mahal.
Meskipun
pada akhirnya, sayalah yang melayangkan bendera putih. Semata-mata agar kami
lekas mengabaikan peristiwa itu, di samping fakta bahwa saya tak ingin terpisah
dari dirinya. Sebab, apa pun akan saya lakukan jika usaha saya pada nantinya
dapat mengembalikan kami seperti semula.
*
Bercermin
pada dua minggu sebelum hari ini, segalanya tampak manis dan menyenangkan.
Layaknya film favorit yang tak bosan saya tonton di akhir pekan yang panjang.
Saya ingat dengan jelas, itu adalah Minggu malam yang sama seperti malam ini di
kota saya. Langit tak berbintang, udaranya dingin lantaran turun gerimis sejak
sore. Di tempatnya juga begitu, seingat saya. Kami membahas sederet nama kartun
favorit kami di masa kecil; Fairy Odd Parents, Blues Clues, Cat and Dog, Chalkzone,
Hey Arnold, dan masih banyak lagi.
Apa
kamu masih ingat apa saja yang kita bicarakan Minggu malam itu, De?
Well, I
do.
Malam
itu kita menertawakan patung mannequin aneh di Pejaten Village. Kita juga berjanji
akan mengunjungi lagi salah satu mini-resto sushi termurah di sana. Kita pernah
berfoto sembari menunggu pesanan kita tiba di meja. Dan senyummu semringah.
Mungkin foto-foto pada hari itu sudah tak tersisa lagi di ponselmu. Namun sampai
sekarang saya masih menjaganya. Bagaimanapun saya tak ingin kehilangan mereka
semua, karena hanya itu yang saya punya.
Usai percakapan
itu, kita saling mengucapkan selamat tidur kepada satu sama lain.
Lucu
ketika saya masih berpikir bahwa saat ini kamu sengaja tak menghubungi saya. Beranggapan
kalau internetmu sedang non-aktif, atau kamu terlelap lebih awal sehingga lupa
memberi kabar lewat WhatsApp. Di keesokan harinya, barulah saya akan menerima
pesanmu yang bertuliskan ‘selamat pagi’ dan aneka semangat yang biasanya kamu
lampirkan dengan emoji peluk. Salah satu emoji andalanmu.
Ada
kalanya saya berpikir bahwa kamu pun merasa kesepian seperti yang saya rasakan,
De. Hampir sepanjang malam. Diam-diam merasa terusik karena sebagian dari
dirimu tergerak untuk menghubungi saya—siapa yang tahu? Kemudian kamu akan mengisi
waktu kosongmu itu dengan menyaksikan salah satu series di Netflix hingga larut
malam.
Barangkali
dugaan saya salah. Barangkali saya yang terlalu berharap. Dan barangkali, selama
ini kami tidak terlalu cerdas dalam membedakan perasaan cinta dan benci.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar