bahagia itu sangat sederhana. Kau tidak perlu keliling dunia kalau ada hal kecil di sekitarmu yang bisa membuatmu tersenyum.
|
source: pexels.com |
“Lempar ke sini atuh, Bray!”
Lengkingan suara yang cukup nyaring
itu membuatku spontan menoleh ke belakang. Menyaksikan seorang anak
kecil berambut cepak yang tengah menanti kehadiran bola dari temannya. Benda
bundar berwarna putih itu melambung cukup tinggi sampai akhirnya mendarat
dengan selamat. Dia berlari ke sana kemari hanya untuk mencetak gol di gawang
lawan.
“Goooool!!!!” Bocah lelaki yang
mengenakan kaus Madrid itu berteriak kegirangan selagi tangannya teracung di
udara. Ketiga anak yang satu tim dengannya ikut merayakan kemenangan.
Aku jadi teringat seseorang yang
pernah berkata bahwa bahagia itu sangat
sederhana. Kau tidak perlu keliling dunia kalau ada hal kecil di sekitarmu yang
bisa membuatmu tersenyum.
Angin berembus pelan meniup
wajahku. Arloji yang melilit di pergelangan tanganku menunjukkan pukul empat
lebih tiga puluh menit. Hari sudah semakin petang, dan tempat ini masih
terlihat ramai. Sebagian orang ada yang tengah duduk di Monumen Perjuangan,
sebagian lagi lebih memilih jogging di
area taman.
Seekor anjing Golden Retriever melintas di depanku
bersama pemiliknya. Mereka singgah di salah satu sudut yang ditumbuhi aneka
bunga berwarna-warni. Kilau matahari sore menyeruak di antara celah-celah
pelepah pohon pinang. Aku lekas menenggelamkan buku The Street Lawyer ke dalam
ransel dan beranjak bangkit dari kursi besi yang kududuki. Sepasang kakiku
mulai melangkah menuju pintu keluar.
Di seberang sana Lapangan Gasibu.
Namun jalanan tampak padat oleh sejumlah kendaraan yang sibuk berlalu lalang.
Jam-jam seperti ini adalah jam di mana bunyi klakson saling beradu dengan caci
maki para pengguna lainnya.
Aku tidak pernah mahir dalam urusan
menyeberang jalan. Keramaian dan lalu lintas yang rumit selalu membuat
ketakutanku semakin parah. Dan sewaktu aku hinggap di sebuah pembatas jalan
yang memisah dua ruas jalan, satu pesan baru muncul di layar ponselku.
Kamu
di mana? Aku udah di
Lapangan Gasibu.
Dadaku seakan bergemuruh. Aku
mendadak diserang rasa takut dan bahagia secara bersamaan. Dan selama beberapa
saat, aku masih berdiri di sana mengamati lalu lintas.
***
Kami pertama kali berkenalan di
sebuah komunitas menulis online. Setiap anggota diberi akses
untuk mengunggah tulisan mereka, memberi komentar pada post anggota yang lain, sekaligus menambah teman ke dalam friendlist.
Itu terjadi sekitar dua tahun yang
lalu.
Aku lupa tanggal berapa tepatnya.
Tapi seingatku, itu adalah pertengahan bulan Juni. Aku baru saja mengunggah
tulisanku yang berjudul City Of Tears. Cerpen itu bercerita tentang seorang perempuan
yang berjuang mencari cinta sejatinya di kota Paris, tetapi
pencariannya
berakhir dengan air mata. Terdengar tragis memang.
Komentar pertama datang dari
seorang pemilik akun yang tak kukenal sebelumnya. Dia terpukau oleh alur
ceritaku yang unpredictable. Dia juga
mengaku bahwa tulisanku tidak melankolis sama sekali, meskipun kisahnya sangat
menyentuh.
Orang itu bernama Awan, mahasiswa
tingkat pertama di sebuah Universitas Islam di Bandung. Awalnya aku menduga dia
satu tahun di atasku, atau barangkali kami seumuran. Tapi justru dia lebih muda
setahun.
Aku dan Awan menjaga komunikasi
lewat Yahoo Messenger dan e-mail.
Sekadar bercerita mengenai sajak yang sedang ditulisnya, saling berbagi ide dan
advice satu sama lain, bahkan tak
jarang dia memberiku semangat untuk lekas menuntaskan naskah novelku. Semua itu
terus berjalan sampai suatu ketika — Awan menuliskan nomor ponselnya di
sebuah surel tanpa subjek.
Setiap sajak yang ditulisnya
selalu kukagumi
dengan caraku sendiri. Hingga suatu hari, kekaguman itu terus berkembang
menjadi rasa suka yang tak biasa.
***
Kalau
ketemu orang pake jaket jins bawa ransel hijau tua, tegur aja.
Pesan itu telah terkirim sejak aku
tiba di Lapangan Gasibu. Mengedarkan pandangan ke sekitar sambil menempelkan
ponsel di telingaku. Nomornya mendadak tidak aktif, sementara kakiku terus
terayun di atas halaman ber-paving. Sesekali menoleh ke sana kemari hanya
untuk memastikan dia benar-benar berada di sini.
“Rayna!”
Terdengar seseorang memanggil
namaku dari arah belakang. Sebuah suara yang belum pernah kukenal sebelumnya.
Aku praktis membalikkan badan.
Mematung sejenak saat aku berhasil menemukan si pemilik suara itu.
Dia benar-benar berada di sana.
Duduk seorang diri di atas bangku semen. Kemeja cokelat membungkus tubuh
tegapnya. Tersenyum ke arahku seakan-akan memanggilku untuk segera mendekat.
Aku menuju bangku itu dengan
perasaan tak keruan. Mengambil posisi duduk di sebelahnya sambil mengulurkan
jabat tangan. Dan sewaktu kulit kami bersentuhan, aku dapat merasakan rasa geli
dan sensasi aneh yang menjalar di sekujur tubuhku.
“Kamu kebingungan banget tadi,”
gumamnya tiba-tiba.
“Aku nggak tahu kalau kamu duduk di
sini. Padahal tadinya aku mau jalan sampai ke ujung,” ujarku sambil
menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Dia melepaskan derai tawa di udara.
Tawa yang begitu renyah sehingga aku terpikir untuk mengabadikannya dengan
kamera.
Usai tawa itu, suasana di sekitar
kami berubah canggung. Aku terpikir untuk membuka satu percakapan, tapi tidak
tahu harus memulai dari mana.
Kudengar dia bertanya, “Kemarin
lancar ketemu sama editor-nya?”
Aku menganggukkan kepala dan
bercerita mengenai perjalananku dari mulai duduk di dalam gerbong KRL menuju
Stasiun Lenteng Agung, sampai keluar dari kantor penerbit.
“Editor-nya bahkan kasih tantangan
tiga puluh hari menulis. Kami udah brainstorming
kemarin,” ulasku bersemangat. “Aku ambil setting
tempatnya di Bangka dan pertama-tama aku harus riset tentang
suku apa aja yang ada di sana, gimana mereka mempertahankan tradisi mereka.”
“Kamu asli sana, harusnya itu nggak
bakal bikin kamu kesulitan.” Dia menatapku lekat-lekat. Sepasang bola matanya
berwarna cokelat cerah. “Aku selalu dukung yang terbaik untuk kamu.”
“Terima kasih, Awan.”
Kepalaku tertunduk dalam, menyadari
bahwa dia tidak perlu mengucapkan hal itu kepadaku. Karena pada akhirnya, semua
itu tak berarti apa-apa. Kebaikan yang dia miliki sudah tercurah sepenuhnya
untuk orang lain.
Dan orang lain itu bukan aku.
Aku sudah tahu begitu banyak tanpa
harus mendengar kisah apa pun dari dia. Semua sajak yang dia tulis selalu
dipersembahkan untuk orang yang mencintainya sejak lama. Seseorang yang sudi
berkorban untuk dia dalam kondisi tersulit sekalipun.
Keheningan yang menggantung di
antara kami seketika buyar saat kudengar ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk
dari seseorang.
Awan memandang layar ponselnya
tanpa berkedip. Isi pesan itu berhasil menyedot hampir seluruh perhatiannya.
Namun, dia tak menunjukkan tanda-tanda untuk mengirim sebuah pesan balasan.
Ragu-ragu aku bertanya, “Siapa,
Wan?”
“Linda,” ujarnya lirih. “Aku harus
pulang sekarang, Ray.”
Seharusnya aku tidak perlu bertanya
sesuatu yang terdengar bodoh seperti pertanyaanku barusan.
Seharusnya aku sudah tahu dari
awal, pengirim pesan itu adalah kekasihnya. Seorang pacar akan senantiasa membuat
ponsel kita berdering 24 jam dalam sehari – 7 kali dalam seminggu.
Aku mendongakkan kepala sewaktu dia
mulai beranjak dari duduknya. Menyampirkan ranselnya di bahu tanpa mau
melirikku sedikit pun.
“Aku pulang, ya.”
“Hati-hati,” balasku dengan suara
bergetar.
Awan perlahan melangkahkan kakinya.
Punggungnya terlihat semakin menjauh.
Menaiki sejumlah anak tangga dan menghampiri seseorang yang sedang menantinya di
bibir jalan.
Seorang
perempuan yang
menjadi tempatnya untuk berpulang.
Langit kota Bandung ditumpahi warna
jingga. Senja kini semakin tua. Kekagumanku terhadap dirinya pun terasa
sia-sia.
***
Dear
Awan...
You
– you alone will have the stars as no one else has them
In
one of the stars I shall be living
In
one of them I shall be laughing
And
so it will be as if all the stars were laughing, when you look at the sky at
the night
You
– only you – will have stars that can laugh.
Sincerely,
Rayna