Write. Anywhere. Anytime.

Senin, 15 Februari 2016

Menuju Pagi

Malam semakin patuh pada gelap
Melodi lirih yang senyap
Satu demi satu jiwa mulai luluh
Kerlap-kerlip lampu jalan mengintip patuh

Di antara frasa yang tak terlontar
Hanya peluk dan harum tubuhmu
Sepasang kaki dan tangan saling melingkar
Resah tak lagi menjadi ratu

Mata kita bersitatap
Menumpahkan kisah yang sulit terucap
Lukisan kedamaian ini ingin kurengkuh utuh
Bukan hanya sekali, namun selamanya
Karena aku telanjur jatuh
Pada setiap keistimewaan yang kau punya

Atau kau ingin aku tetap diam?
Biarkan malam berganti pagi
Dan kita akan semakin tenggelam
Mengukir lagi satu kenangan untuk dibawa mati.
Selasa, 09 Februari 2016

See You Again, Kiki

Bagaimana mungkin rasa memiliki yang kuat bisa begitu dekat dengan kehilangan?
Dulu saya selalu meyakini bahwa, selalu ada kebaikan dalam setiap perpisahan. Seperti kata pepatah, there will be good in goodbye. Di kemudian hari, saya baruu menyadari satu hal. Apakah setiap individu di muka bumi ini diciptakan untuk kehilangan satu sama lain? Kalau memang ada perpisahan, mengapa harus ada pertemuan?
Di suatu sore yang ingar di bumi Parahyangan, langit ditutupi awan kelabu. Genderang suara musik pengiring Barongsai yang riuh bergema di seluruh penjuru tempat. Gerimis tidak menghentikan kemeriahan imlek sama sekali. Tidak pula mengurungkan niat saya untuk bepergian. Sepasang kaki masih terus melangkah menapaki jalan Braga, trotoar yang basah oleh sisa hujan, atau melangkahi genangan air di setiap jalan-jalan berlubang. Saya sudah menunggu sekian lama untuk datangnya momen ini.
Tubuh jangkung dengan bahu yang sedikit bungkuk di hadapan saya senantiasa diam seribu bahasa. Dia pun masih terus melangkah, menuntun saya ke sebuah persimpangan, tempat di mana sebuah angkot berwarna merah jurusan Elang-Cicadas berhenti di hadapan kami. Saya masuk ke angkot itu dengan perasaan kalut. Terus terang saya tidak sepenuhnya siap dengan perjalanan ini. Jauh di dasar hati saya yang paling dalam, saya beranggapan bahwa momen ini sekadar bercanda. Berkeliling kota Bandung menggunakan angkot, kemudian tiba di tempat tujuan dan tidak mendapatkan apa-apa. Saya ingin memercayai itu semua.
Namun ketika kami tiba di bibir jalan, tempat di mana gapura besi itu tertempel di aspal, serta-merta saya disergap perasaan iba. Enggan memercayai bahwa inilah tempat yang hendak kami tuju, tempat di mana semua pertanyaan saya selama ini akan terjawab. Seolah ada ribuan tangan yang menarik saya ke dalam, menyusuri jalan beraspal yang dihuni aneka batu nisan dan sejumlah nama-nama asing.
Seorang pemuda pincang melangkah tertatih-tatih di hadapan kami. Telunjuknya teracung ke satu tempat di mana sebuah pohon kurus berdaun lebat berada. Dia berbincang-bincang dengan pria yang berjalan di sebelahnya dalam bahasa Sunda yang sopan. Perbincangan dua arah dan melibatkan dua audiens di belakang mereka. Saya mendahului keduanya. Dengan wajah tertunduk, saya lantas mengenakan kacamata hitam. Entah untuk apa. Padahal saya tahu, ini bukan hari yang terik. Matahari bahkan tidak muncul sama sekali.
Tak ada suasana mistik ataupun perasaan ngeri sewaktu melewati undakan pusara itu. Satu-satunya hal yang saya rasakan hanyalah kedukaan yang mendalam. Menyadari betapa kematian begitu dekat dengan diri kita. Sedekat urat nadi kita sendiri. Saya melihat seorang penjual nasi uduk yang berdagang di bawah terpal biru. Beberapa anak tangga, kemudian makam yang saling berhimpitan dengan makam lainnya. Ujung sepatu saya menginjak pinggiran sebuah makam sebelum kami berhenti di depan hamparan tanah yang terletak paling pojok.
Saya masih sulit memercayai bahwa inilah yang kami cari sejak tadi. Sepasang papan kecil yang menjadikan identitas pemilik ‘rumah’ ini tampak pudar. Beberapa waktu lalu saya sempat dikirimi foto ini oleh adiknya. Kala itu, tulisan yang tercetak di papan itu masih tampak jelas. Hitam dan kontras dengan warna asli papannya. Kini, apa yang tertulis di sana berubah pudar. Seolah-olah sudah usang di makan waktu. Satu-satunya penanda yang tersisa hanyalah tanggal lahirnya...
03-05-1992
Betapa saya ingin menahan air mata agar tidak jatuh, namun saya tak mampu. Tak peduli seberapa keras saya berusaha, ia terus tumpah membasahi perbukitan wajah saya. Meninggalkan sengguk yang tak berkesudahan. Di bawah langit Bandung yang muram, saya meratapi batu nisan itu. Jemari saya bergerak kemudian di atas rumahnya, mencabuti sejumlah rumput yang tumbuh liar di sekitarnya. Sungguhpun ingin menata, membersihkan, membangun ulang makam itu untuk dirinya.
Bagaimana kabarmu, Kiki? Seperti apa rasanya berada di dalam sana, rumah untuk semua jiwa yang telah pergi. Saya mengunjungimu dengan tangis, bukan dengan senyum, bukan dengan sukacita, bukan dengan cerita yang biasanya kita rangkai bersama. Ini tidak adil ketika mereka memperlakukan kamu terimpit di bawah sana, gelap, tanpa udara sama sekali. Kita nyaris tidak pernah membicarakan masalah ini, Ki. Tapi saya merasa kamu telah berbuat curang terhadap saya, terhadap semua orang. Mengapa orang sebaik kamu bisa pergi secepat ini?
Sebuah burung besi melintas di atas kepala saya. Dengung mesinnya masih terdengar sekalipun ia telah pergi menjauh. Apakah hidup memang seperti itu? Segala sesuatu yang pergi senantiasa meninggalkan histori. Selalu ada cara untuk mengingatnya, namun kita tak akan pernah bisa menghidupkannya lagi. Kenangan itu sifatnya abadi.
Saya menerima pemberian adiknya, kantung plastik berisi kembang aneka rupa. Warna-warni bunga itu tampak kontras dengan suasana yang kelabu. Saya masih sulit menerima kenyataan bahwa sebentar lagi, bunga ini akan berada di atas rumahnya.
Apa kamu menyaksikannya? Bunga yang saya genggam perlahan jatuh di tempatmu bermukim. Segenap doa dan tangis menyertainya. Saya merasa malu lantaran tidak bisa menghadiahimu bacaan-bacaan yang ada di kitab suci. Saya bukan orang yang terlalu religius, Ki. Kamu tahu itu. Saya cuma mampu merindukanmu, membasahi rumahmu dengan sebotol air yang akan membuat tanahnya semakin gembur. Saya tidak yakin apakah kamu membutuhkan semua ini.
Memori saya melayang jauh pada lagu yang dulu sering dia putar di kos saya.  Itu adalah No Air milik Chris Brown. Sesekali dia akan bersenandung, kemudian melengkingkan suaranya di nada tertinggi. Saya sering meledek suaranya yang cempreng, it doesnt suit on you, kataku dulu. Tapi dia tak pernah peduli. Dia akan terus menyanyi. Dan semua lagu favoritnya tersimpan khusus di playlist ponsel saya. Seandainya saja waktu bisa kita putar kembali...
Saya menyeka tangis dan berusaha menyudahi sedu-sedan. Menghirup napas berkali-kali demi menenangkan diri sendiri. Kata orang, tidak baik menangisi kepergian seseorang, apalagi tepat di depan pusaranya. Itu semakin memperjelas bahwa kita masih belum bisa menerima kenyataan. Dan itu memang benar. Saya masih sulit memercayai bahwa dia telah pergi. Entah bagaimana seseorang bisa begitu tabah terhadap rasa kehilangan.
Orang yang mati nggak akan pernah bisa hidup lagi, Joy.
Kalimat itu tiba-tiba berdesis di kepala saya. Tidak tahu dari mana datangnya. Tapi saya yakin, ia berhasil menegakkan kepala saya yang sejak tadi tertunduk. Fakta bahwa selalu ada yang datang dan pergi di dalam hidup kita. Perjalanan membuat saya yakin, kesedihan akan berjalan seiring dengan kebahagiaan. Segala sesuatu di dunia ini diciptakan untuk berpasang-pasangan.
Langit terasa satu jam lebih gelap. Saya sudah memutuskan untuk pergi. Dipandu oleh adiknya Kiki, saya meninggalkan kawasan TPU Sirnaraga. Gerimis turun lagi dari atas sana. Dan pada saat yang sama, saya menoleh ke belakang, mengirimkan sesuatu untuk Kiki.
Semoga makammu selalu wangi.
Semoga istirahatmu tenang di alam sana.
Dan semoga suatu hari kelak, kita akan bertemu lagi. Saya akan melihatmu tersenyum, dan kita akan berkenalan lagi seperti kali pertama.


Ubud, February 10th 2016