“Awas,
ada kereta Muggle mau lewat!” ujarnya, tepat ketika sebuah Avanza hitam
melintas di hadapan saya dengan kecepatan sedang.
Saya
merespons ucapannya dengan alis mengernyit, dalam hati mendengus — ternyata masih belum selesai saja kegilaan
kami ini. Kalau kau bertanya apa yang telah terjadi sebelumnya, maka kau
akan segera mengetahui segalanya sesaat lagi. Namun, izinkan saya tertawa
sejenak. Kenapa tertawa? Karena hanya itu yang sanggup keluar dari mulut saya
setiap kali dia melontarkan hal-hal konyol yang sering kali mengocok perut.
Di
seberang sana, terparkir sejumlah mobil beraneka warna yang mayoritas berplat
B. Itu adalah Sabtu sore yang mendung di kota Bandung. Awan gelap bergelantung
diiringi lirih angin dari arah selatan. Saya sedang berusaha menerka-nerka ke
mana arah tujuan kami ketika saya secara tak sengaja melihat sebuah pintu putih
dengan papan bertuliskan Warkop Modjok di atasnya.
“Kamu
lihat sendiri kan, aku mana pernah bohong sama kamu, sih.” Dia menyeringai,
seketika mematahkan keyakinan saya bahwa dia suka usil dan kalimatnya tidak
bisa dipercaya.
Saya
bergeming sambil memindai pandangan ke sekitar tempat itu — meja-meja berpayung
dan rimbun pepohonan di latar belakang. Tampak dari luar, para pengunjung
berduyun-duyun memasuki rumah mungil bercat biru muda. Rumah itu berada tepat
di tengah halaman yang ditumbuhi sejumlah bunga dan tanaman hias. Cahaya lampu
yang menyeruak dari dalam sana tampak hangat. Saya semakin penasaran untuk
mencari tahu lebih banyak tentang Warkop Modjok ini.
“Jadi,
mau masuk?” Dia berhenti, tepat di depan pagar putih yang mengelilingi halaman
rumah berwarna biru itu.
Kepala
saya terangguk, tak bisa mengucapkan tidak. Maka, kami pun berjalan menuju
sebuah meja berpayung yang letaknya tak terlalu jauh dari toilet. Gemerisik
pohon bambu menjadi bunyi penyambut saat kami hendak menduduki bangku
masing-masing. Saya meletakkan tas di atas meja dan kembali mendengar suara
dari hadapan saya.
“Kamu
lihat toilet itu, Joy?” Dia mengedikkan bahunya ke arah bilik toilet, dua buah
pintu tertutup rapat. “Itu tuh Diagon Alley-nya di sini. Jadi, kalau kamu masuk
ke sana dan nyiram air ke dalam lubang kloset, kamu bakal terisap ke dimensi
lain dan nggak bakal muncul ke sini lagi.”
Untuk
kesekian kali, leluconnya berhasil membuat saya tergelak. Saya mengenal pria
ini sudah cukup lama, sekitar empat tahun lalu. Akan tetapi, saya lupa bahwa selain
mahir dalam berimajinasi, dia juga gemar melawak.
Dia
menambahkan, “Eh, beneran! Tadi aku lihat cewek masuk ke sana sendirian, tapi
sampe sekarang belum keluar-keluar aja coba. Coba bayangin, ke mana mereka
perginya?”
“Kamu
mau tahu mereka pergi ke mana? Tuh — “ Telunjuk saya teracung pada sebuah rumah
beratap tinggi yang berada persis di sebelah warkop ini. “Itu rumah Luna
Lovegood, mereka ke sana buat ngambil sovenir buah plum.”
Dia
ikut terpingkal-pingkal usai mendengar dongeng ngalor-ngidul yang saya
karyakan. Entah di mana letak lucunya. Namun, ada beberapa hal yang membuat dia
tampak menarik saat sedang tertawa: sepasang matanya membentuk garis dan dia
kerap melingkarkan lengan di perutnya.
Sejenak
setelah tawanya berakhir, saya berkata padanya, “Kita nggak usah makan
berat-berat, ya. Aku cuma haus aja gara-gara perjalanan tadi.”
Dia
mengangguk setuju.
Kami
berjalan lewat pintu samping dan berpapasan dengan seonggok buket mawar putih
di atas meja kasir. Tangkai-tangkai mawar itu tampak hijau dan keras, begitu
pula dengan kelopak-kelopaknya yang masih segar, seolah-olah mereka baru saja
dipetik dari kebun. Saya menyadari dia mengamati hal yang sama. Maka, saya
iseng bertanya apakah bunga tersebut bisa bicara, atau barangkali ia sanggup
membaca pikiran orang? Dan dia membalas pertanyaan saya dengan jawaban yang tak
kalah konyol: “nggak ada magis di sekitar sini, kalau di dapur iya,
peralatannya bisa gerak sendiri,” demikian
ucapnya.
Saat
itu, saya kembali teringat dengan sejumlah cerita yang dia tuturkan sebelum
kami tiba di sini. Kilas balik kehidupan Beretty Willem dan kematiannya yang
masih menjadi misteri, tentang pemugaran komplek permukiman di sekitar Curug
Sigay, dan ambisinya menjadi rektorat UPI agar rasa penasarannya terhadap Villa
Isolla bisa terbayarkan.
“Aku
yakin ada lorong bawah tanah di dalam gedung itu, Joy. Panjangnya berkisar
belasan kilometer yang nantinya nyambung ke Goa Belanda. Lorong itu cuma bisa
dipake dalam keadaan darurat, dan para petinggi UPI udah pasti punya akses buat
sampai di sana.”
“Kamu
mulai beranggapan gedung rektorat UPI kayak White House, ya?” tanya saya
skeptis.
Dia
mulai berkisah lagi dengan cara yang sangat saya kagumi. “Kalau diamati dari
segi eksterior, bagian taman dan balkonnya simetris banget. Terus pintu utama
juga searah sama kolam kecil yang di bawah. Yang jadi pertanyaannya, dari
halaman utama ke kolam itu kenapa mesti ada semacam undakan?” Tak butuh waktu
lama sampai pertanyaan itu dijawab oleh dirinya sendiri, “Itu karena konstruksi
di bawah taman itu ada lorong, Joy.”
Untuk
beberapa alasan, saya lebih baik menyerah alih-alih berdebat dengannya. Bukan
karena saya tidak memiliki argumen yang kuat untuk mengalahkan opininya, tapi
karena saya menyukai caranya berbicara. Pada setiap gestur yang dia gunakan, pada
sepasang lesung pipinya, pada jambang-jambang subur itu, dan pada dua garis
horizontal halus yang membentang di atas alisnya.
Di
meja yang sedang kami huni, topik obrolan bisa berganti dalam sekejap.
“Minuman
yang kamu pesan rasanya aneh,” dia mengomentari gelas berisi cairan hijau yang
katanya adalah Green Tea Frosted. “Kayak campuran lumut sama Cip**dent!”
“Kamu
sebelumnya pernah nyobain lumut diblender?” Saya bertanya sambil menahan tawa.
“Tapi, pisang gorengnya gurih, lho. Mungkin karena ditabur gula merah kali, ya?”
“Kamu
mau coba pisang yang lain nggak?”
ASDMSDVAVSNHYQTSN&@$Fk#$!!!!!!!!
~
Mungkin
benar yang dikatakan sebagian orang: Cute
boys make you blush, hot boys make you droll, cool boys make you daydream, but
funny boys make you fall in love without even realizing it. Dan dia
termasuk dalam kategori terakhir. Kenapa? Karena dia memiliki tawa yang renyah
dan begitu menular. Dia juga piawai dalam memainkan intonasi setiap kali
mengungkapkan sesuatu.
Akan
tetapi, ada beberapa hal pada dirinya yang kerap mengingatkan saya pada
seseorang di masa lalu; salah satu teman terbaik saya, yang kini telah
beristirahat dengan tenang. Baik dia maupun sahabat saya sangat menggemari
jajanan gerobak seperti basreng, cilok, cilor, apa pun itu namanya. Dia bahkan
mengklaim, tak peduli semahal dan senikmat apa pun hidangan di restoran fine and dine, tak akan ada yang bisa menandingi aroma cilor yang digoreng
di atas minyak daur ulang.
Kemiripan
selanjutnya, dua orang ini senang berangan sesuatu yang menakjubkan. Kiki
memercayai saya sebagai wadah mimpi-mimpi besarnya. Dahulu dia selalu datang
kepada saya untuk meminta solusi, atau sekadar bercerita mengenai kariernya.
Sama halnya dengan pria ini. Tak akan cukup satu hari untuk menyimak rencana
besar yang akan dicapainya suatu hari kelak. Barangkali sejumlah persamaan itu
yang membuat saya merasa nyaman berada di dekatnya. Rasanya seperti
bernostalgia bersama sahabat lama.
Dari
balik gumpalan awan kelabu, matahari perlahan merangkak turun. Langit kian
menghitam. Kami melewati lagi rute yang sama seperti sebelumnya — pagar kawat,
hutan terlarang, barisan pohon pinus, hutan rahasia, rumah fiktif di siang
hari, gymnasium UPI, pintu pengukur obesitas, permukiman Sigay, Villa Isola —
sampai akhirnya kami tiba di depan Kedai Utama, tempat di mana motor hitamnya
terparkir.
“Kamu
kok kelihatan beda pas aku pake kacamata?” dia bertanya sambil membetulkan
letak kacamatanya.
“Bedanya
gimana?”
“Jadi
kelihatan cakep aja.” Dia mengencangkan tali helm dengan benar, lalu tersenyum
dengan cara yang sangat menyebalkan.
“Bukan
gitu kali,” saya hendak membalas komentarnya. “Pas nggak pake kacamata,
nyangkanya Yesus, pas udah pake kacamata langsung kelihatan kayak Beyonce.”
Tanpa
perlu saya tulis pun, kau pasti tahu seperti apa reaksinya. Betul sekali! Dia
berusaha agar tidak terbahak, terus mengubah posisi motor, walaupun saya tahu
usahanya sia-sia. Satu hal yang pasti, ujung pipinya tertarik ke sudut, membuat
kedua lesung pipi itu tampak semakin jelas.
Sesaat
lagi, malam akan merambat naik. Tak ada gunanya membuang waktu, karena kami
yakin — semakin malam lalu lintas Bandung akan semakin buruk. Ditambah lagi
satu fakta bahwa kami masih memiliki agenda yang lain setelah ini. Walaupun
begitu, dia sama sekali tak keberatan diajak mengitari kawasan Pasar Baru,
Kebon Kalapa, agar saya bisa menemukan kendaraan umum untuk pulang.
“Kamu
kalau mau pulang duluan, nggak apa-apa. Kamu bukannya ada acara di rumah teman
kamu pukul 7 nanti?”
“Nyantai
aja, dari sini ke Soreang mah nggak nyampe sejam.” Suaranya membaur dengan
ribut kendaraan. “Sampai ketemu Damri aja, ya.”
“Nanti
berhenti di halte aja, biar aku nunggu sendirian di sana. Aku nggak enak banget
merepotkan kamu gini.” Saya bersikukuh, “Kalau nggak ada Damri, toh bisa pake
gojek.”
Pada
akhirnya, dia mengabulkan permintaan saya. Tanpa bantahan maupun paksaan.
Saya
menyaksikan sosok berjaket merah itu menghilang ditelan jalanan dengan perasaan
campur aduk. Sebersit pilu, rindu, kehilangan — entahlah. Kendati demikian, saya
tak ingin mengabaikan rasa bahagia yang hadir setelah perjalanan kami. Setengah
hari yang terasa panjang. Setengah hari yang menakjubkan. Setengah hari yang
berhasil mengubah semuanya.
Sore
itu saya mempelajari satu hal: perpisahan mungkin kerap menyakitkan, namun tak
selamanya perpisahan merupakan suatu akhir. An
end is not always the end, it just means that something else is about to begin.