Write. Anywhere. Anytime.

Selasa, 01 Januari 2019

Maafkan Saya yang Telah Merusak Kencan Pertama Kita

Orang tak semestinya berjanji jika pada akhirnya tak sanggup menepati.



Sebuah kencan pada umumnya sering dikaitkan dengan sesuatu yang manis dan berkesan. Terlebih-lebih jika itu adalah kencan pertama. Orang pasti akan menyiapkan apa-apa yang terbaik dari diri mereka; penampilan, topik perbincangan, sampai sederet detail terkecil yang mungkin tak terlalu penting. Ada pun sebagian orang menganggap kencan pertama seperti panggilan wawancara kerja dari salah satu perusahaan favorit mereka.

Saya mengenal orang ini sudah cukup lama. Sekitar satu tahun, kurang lebih. Dimulai dari perbincangan kecil di jejaring sosial Twitter, saling bertukar nomor telepon, dan sebagainya.

Ada banyak kesan yang saya terima dalam rentang waktu sebulan perkenalan kami. Dia ramah, pandai membangun obrolan yang seru, menyenangkan, dan saban waktu terlihat agak misterius. Seperti ada bagian dari dirinya yang tak sudi dia bagi kepada siapa pun. Barangkali karena dia lahir di bawah konstelasi bintang Scorpio, saya rasa.

Dan selama sebulan itu, saya dengan polosnya membayangkan ke mana hubungan pertemanan kami akan berlanjut. Maka tak tanggung-tanggung saya mengajak dirinya untuk berlibur bersama ke Bandung pada bulan September mendatang. Ide itu tercipta begitu saja usai menerima kabar dari salah seorang sahabat yang hendak melangsungkan pernikahannya di bulan itu.

Tak biasanya saya bertindak impulsif. Orang-orang lebih mengenal saya sebagai pribadi yang independen, tak takut sepi, dan gemar bertualang sendiri. Namun, pada kala itu saya optimis bahwa hubungan kami akan berlanjut ke arah yang baru. Terlalu optimis sehingga saya tak mempertimbangkan segala kemungkinan yang mungkin saya terima — penolakan.

Padahal, sekadar bertatap muka atau menghabiskan waktu satu-dua jam bersama pun kami belum pernah. Lalu saya dengan percaya diri mengundang dirinya untuk berlibur bersama.

Hanya berselang satu minggu setelah menerima tawaran saya, dia pun memberi jawaban yang saya tunggu-tunggu. Lengkap dengan kejutan yang tak pernah saya harapkan sebelumnya. Sekadar mengetahui dia tak menyanggupi ajakan saya mungkin masih bisa dimaklumi. Saya terbiasa dengan fake promises maupun clear rejections. Namun yang membuat saya hancur adalah fakta bahwa dirinya telah dimiliki orang lain.

Lalu bagaimana dengan pelbagai janji dan lusinan agenda yang telah kami rancang bersama? Apa yang terjadi dengan rayuan, ucapan selamat tidur, menit-menit yang bergulir lewat perbincangan di telepon sepanjang malam? Seperti apa nasib mereka semua?

Entahlah. Yang saya ingat, ketika itu saya ingin mengubur semuanya dalam-dalam dan bergegas melangkah ke depan.

Barangkali, orang tak semestinya berjanji jika pada akhirnya tak sanggup memenuhi. Atau barangkali semua ini merupakan kesalahan terbesar saya yang telanjur berekspektasi ketinggian.


*


Pengujung bulan Juni 2018 lalu, dia muncul lagi di kehidupan saya. Saling bertanya kabar dan kesibukan, bertukar emoji senyum yang menandakan kecanggungan, dan tak lupa dia meminta maaf atas apa yang telah terjadi di antara kami. Betapa dia tak ingin hubungan pertemanan ini putus begitu saja.

Sejujurnya saya tak pernah berpikir dia akan kembali dan menghubungi saya layaknya seorang teman lama. Mungkin beberapa kali terlintas di benak saya seperti apa kabar dirinya, apakah dia baik-baik saja; tetapi hal itu tak berlangsung lama. Saya pun kala itu sempat percaya bahwa dia telah bahagia sehingga dia tak pernah berusaha menghubungi saya sama sekali.

Dan saya menganggap kedatangannya tak lebih dari sekadar angin lalu. Sebab, bisa saja dia menghilang lagi, atau mengecewakan saya untuk kesekian kali. Maka dengan sewajar mungkin saya menyambut kabar itu, berusaha keras bersikap dingin semata-mata supaya dia sadar bahwa saya sedang sibuk menata dunia saya sendiri.

Namun, kau tak akan pernah tahu cara kerja semesta bukan? Ia sanggup membolak-balikkan hati setiap orang tanpa alasan yang bisa kaupelajari dengan logika.

Itulah ketika dinding pertahanan saya runtuh secara perlahan.

Janji untuk pertemuan itu saya penuhi, waktu dan tempat telah kami sepakati, dan semua itu hanya masalah waktu saja untuk mengetahui pihak mana yang akan tersakiti.

Saya masih ingat dengan jelas — itu adalah Jumat sore yang rusuh di bulan Juli. Tugas di meja saya sedang penuh-penuhnya, jadwal rapat yang mungkin akan berlangsung sampai lewat jam makan malam, batere ponsel yang lupa diisi ulang, janji mengambil kamera di bilangan Jakarta Barat, belum lagi pengambilan cucian yang harus dikerjakan pada Sabtu pagi.

Sementara itu, ponsel saya tak henti-hentinya menghadiahi notifikasi pesan WhatsApp. Sesekali dia bergetar karena saya tak ingin deringnya menganggu orang-orang di ruang rapat. Dan kesemua pesan itu berasal dari orang yang sama.

Tentu saya masih ingat dengan janji bertemu itu. Saya bahkan sengaja membuat pengingat khusus di ponsel beserta itinerary-nya sekaligus. Semua itu saya lakukan agar saya tahu apa-apa saja yang harus saya lakukan.

Akan tetapi, kau akan tahu warna aura seseorang ketika dia sedang berada di bawah tekanan.

Saya mencoba bersikap tenang saat kalimat-kalimatnya diselubungi kekesalan. Saya berusaha melunak ketika dirinya nyaris kehilangan kendali. Meskipun tak dimungkiri, sesekali saya terpaksa menghindar sebentar lantaran tak kuat menerima cacian darinya yang menyerupai teror.

And in the end, I couldn’t really make it.

Beberapa menit lewat tengah malam, saya baru tiba di Kemang Timur. Satu demi satu penerangan mulai padam. Sebagian rumah tampak redup. Lampu jalanan mengantar cahaya temaram yang tak bersahabat di penglihatan. Hiruk pikuk kendaraan tak seperti biasanya. The Reading Room telah tutup satu jam yang lalu.

Itu artinya, saya terlambat lima jam dari waktu yang telah kami janjikan.

Dan saya sama sekali tak memiliki ide ke mana pergi dirinya pada saat itu. Mungkin dia sedang dalam perjalanan menuju rumahnya di Lebak Bulus, mungkin dia masih setia menunggu di dalam kafe itu sampai saya benar-benar muncul (saya pun tak tahu dari mana keyakinan ini muncul), atau mungkin dia sengaja menunggu saya di Kalibata City sebagai alternatif.

Yang saya ingat, saya masih mematung di depan The Reading Room sambil celingak-celinguk ke sekitar. Sesekali saya menghubungi nomor teleponnya, tetapi sia-sia saja. Tiga kali saya mencoba dan nomor itu mendadak tak bisa dihubungi.

Seandainya peristiwa seperti ini terjadi pada sebuah panggilan kerja, sudah pasti saya akan dibenci oleh sang pewawancara dan tak mungkin mendapat kesempatan bekerja di perusahaan itu.

Lalu, tanpa pernah saya prediksi sebelumnya, telinga saya menangkap sebuah suara yang berasal dari seberang jalan. Suaranya menyerupai seruan yang singkat, tegas, tetapi tidak terlalu keras. Kehadirannya diiringi deru mesin motor yang tampaknya sengaja tidak dimatikan.

Sebagian wajahnya tertutup oleh masker dan helm. Kabel earphone berwarna merah menjuntai keluar lewat jaketnya. Selama sejenak pandangan kami bertabrakan, dan selama beberapa detik itu saya sempat ragu apakah saya harus mendekat atau justru melarikan diri. Sebab, saya temukan kilau benci di sepasang mata itu.

Akan tetapi, logika saya kalah oleh rasa ingin tahu yang teramat besar. Saya berjalan mendekati dirinya, memberanikan diri untuk setiap risiko yang akan saya terima selanjutnya.

Sisa malam itu lebih banyak kami habiskan dalam diam. Di sepanjang perjalanan, hanya beberapa patah kata saja yang terlontar dari mulutnya. Itu pun dia tujukan kepada salah seorang pengendara sepeda motor yang jaketnya menutupi lampu sign dan lampu rem di belakangnya. Selebihnya, dia lebih banyak bungkam dalam hening yang dia ciptakan sendiri.

Saya pikir, kebisuan itu akan berakhir ketika kami berada di dalam kamar. Saya melempar tanya sesekali, dan semua yang saya terima hanyalah raut muram sekaligus jawaban singkat.

Malam mulai beranjak tua. Saya berusaha memejamkan mata dalam gelap yang pekat. Wajah saya menghadap dinding, berpura-pura tidur meskipun saya masih sanggup mendengar napasnya yang lirih. Segala yang terjadi pada hari itu sudah pasti membuatnya lelah. Wajar saja jika dirinya terlelap lebih awal.

Pada awalnya saya mengira dia telah tersesat di alam mimpi. Oleh sebab itu saya berani memulai sentuhan-sentuhan itu secara diam-diam; mengusap punggungnya yang masih berbalut kaus hitam, memainkan jemari saya menelusuri riak rambutnya — yang tanpa saya sadari membuat dia tersadar dan menarik saya ke dalam pelukannya.

Terang yang nihil, kau yang tunggal.
Riak airmu menyesatkan.
Sedang aku adalah tanah yang patuh atas titah dan marahmu.
Tetaplah dekat, dekap aku lebih lama.

Terendus oleh saya aroma tembakau yang melekat pada kaus yang dia kenakan. Membaur bersama wangi vanila yang menguar dari dalam tubuhnya. Saya ingin merengkuhnya. Saya ingin berada di dada itu lebih lama.

Dan untuk pertama kalinya, sunyi menjadi saksi abadi atas terciptanya lumpur malam itu.


*


Jika ada satu tempat yang bisa menjadi pelarian saya saat ini, mungkin jawabannya adalah The Reading Room.

Tempat-tempat umum seperti mal, pusat perbelanjaan, kelab malam, bukanlah tempat yang tepat untuk orang seperti saya. Kafe The Reading Room adalah pengecualian, saat saya hendak minum sambil menulis ataupun membaca buku. Selebihnya, waktu senggang yang saya miliki lebih banyak saya habiskan di dalam kamar seorang diri.

Secangkir teh chamomile hangat dan buku For Nadira milik Leila S. Chudori menjadi teman saya pada Sabtu sore ini. Samar-samar terdengar lagu Golden Slumber milik The Beatles dari pengeras suara.

Betapa lagu itu mengingatkan saya pada percakapan kami pada Minggu siang pada 15 Juli silam.

Saya baru saja bertolak dari Taman Suropati seusai mewawancarai salah satu narasumber untuk buku yang sedang saya tulis. Narasumber ini adalah pendiri orchestra musik yang sering hadir setiap Minggu pagi di Taman Suropati. Dan saya sempat bercanda bahwa wajah narasumber ketika sedang tersenyum sangat mirip dengan dirinya.

Mungkin benar yang mereka katakan tentang jatuh cinta. Seluruh elemen Semesta ini secara tidak langsung akan menyerupai orang yang sedang kau cintai, kapan pun wajah orang tersebut selalu melekat di kepalamu.

Dan memang benar, dia telah membuat saya terjatuh begitu keras sejak pertemuan kami.

Selagi percakapan kami di WhatsApp itu berlangsung semakin jauh, telinga saya menangkap lagu Golden Slumber dan Carry The Weight bersenandung di TV. Stasiun TV HBO kebetulan sedang menayangkan film SING!, dan sebentar saja saya sanggup mengenal bahwa Jennifer Hudson-lah yang menyanyikan lagu itu.

Ke arah luar saya melabuhkan pandangan, menatap jalan Kemang Timur dengan keramaiannya yang khas. Sejumlah kendaraan di lot parkir. Papan plang The Reading Room. Langit sore yang redup. Saya tak sanggup menghitung berapa kali hujan bulan Desember mengguyur kota Jakarta akhir-akhir ini.

Saya masih ingat beberapa kisah yang kami bagi pada Sabtu sore itu. Tentang dirinya yang gemar menceracau bukan-bukan saat sedang terlelap. Pernah satu kali ibunya mengungkit salah satu ocehannya.

Ungkapnya, “Aku pernah ngigau lagi beli rujak, terus pas bangun Mama langsung nanya, ‘itu kamu abis ngigau apaan? Bilang sambel rujaknya jangan pedes, terus mangganya dibanyakin’.”

Saya menyimak cerita itu sambil tertawa. “Tapi kamu sadar kalau lagi mimpi rujak?”

“Rada lupa, sih. Yang jelas aku di mimpi itu lagi pesen rujak. Cuma aku nggak yakin kalau aku sambil ngomong juga,” jawabnya sambil cengar-cengir. “Makanya tadi aku tanya ke kamu, pas aku tidur sempat ngigau atau nggak.”

“Nggak ada. Ngorok pun nggak,” jawab saya.

“Biasanya aku kalau lagi capek banget pasti tidurnya ngorok.” Dia tergelak, sehingga saya bisa melihat barisan giginya yang rapi. “Kalau ngorok, kira-kira kamu bakal ngapain?”

“Tutup hidung kamu sampai nggak ngorok lagi. Itu efektif, lho.”

Mendengar ucapan itu, lekas-lekas dia mencubit hidung saya dengan teramat keras.

Terkadang saya berterima kasih lantaran kencan kami tak berjalan seperti orang-orang pada umumnya. Andai saja saya tiba di The Reading Room tepat waktu dan menghabiskan waktu di sana sampai tempat itu tutup, mungkin kami berdua tak akan seintim ini. Tak mungkin sedekat ini.

Dia pun pernah bercerita tentang tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga. Saya bangga karena dia sanggup menghidupi keluarga sekaligus adik-adiknya yang masih kecil. Semua itu bahkan telah dia lakukan sejak kecil. Dibandingkan dirinya, saya tak ada apa-apanya.

“Aku mah kerja apa aja ayo. Yang penting halal, nggak bikin malu keluarga.”

“Coba aku tebak,” saya menyela, “kalau kamu jadi orang tua, pasti kamu tuh tipikal orang yang keras dan disiplin sama anak kamu!”

Dia menjawab dengan kepala terangguk. “Nggak cuma itu, aku juga bakal nasihati mereka supaya masa lalu aku nggak perlu dijadikan contoh. Karakter anak-anak itu bisa dibentuk dengan baik kalau cara mendidiknya pun baik.”

“Kamu nanti nikah sama siapa?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut saya.

Dia menatap saya lekat-lekat sebelum akhirnya menjawab, “Belum mikirin itu. Emang kenapa? Kamu mau ngajak aku nikah?”

Hal berikutnya yang saya lakukan adalah mengecup bibirnya, melumatnya habis-habis sambil menerima perlakuannya yang tak kalah buas, yang membuat saya ingin mengulang apa yang terjadi semalam.

Seketika, ingatan saya kembali terlempar di masa kini di mana saya sedang duduk menekuri secangkir teh yang kian mendingin. Bangku di hadapan saya pun senantiasa kosong. Tak ada dirinya di sini yang bisa saya ajak sebagai teman bicara.

Langit semakin gelap. Dan seiring dengan turunnya hujan dari langit, saya berharap akan datang satu waktu di mana saya berkesempatan untuk menebus segalanya, meminta maaf atas keterlambatan yang membuatnya marah seperti pada saat kencan pertama. Dan saat itu pun saya berdoa, masih ada ruang di hatinya untuk menyimpan nama saya.