Write. Anywhere. Anytime.

Jumat, 18 Juli 2014

Prelude

PRELUDE

“Windy... I want you to be mine. Will you?”

Aku tercenung. Alat perekam itu masih berada di genggamanku. Jantungku selalu bergetar cepat setiap kali aku mendengar rekaman suara yang tidak lebih dari tujuh detik itu. Tak pernah bosan memainkannya berulang-ulang sampai-sampai aku hafal akan intonasi suara dan bunyi napas yang kerap muncul di pertengahan kalimat.

Sebuah suara yang selalu membuatku rindu pada keteduhan di kedua bola matanya, segaris senyum yang menenangkan, dan gelak tawanya yang renyah. Bahkan segala sesuatu tentangnya masih terasa nyata di ingatanku.

Hanya saja, satu hal yang menjadi masalah saat ini adalah; aku tidak menemukan jawaban yang tepat untuk membalas pertanyaannya. Aku telah kehabisan kata-kata. Dan pikiranku pun seolah tidak mau diajak bekerjasama.

Ibu jariku berada pada tombol record yang berwarna merah. Aku hendak menguraikan satu alasan panjang saat terdengar sebuah ketukan di pintu kamarku.

“Windy...”

Itu suara Papa.

Alat suara itu tak lagi kupedulikan.

Aku bergegas turun dari tempat tidur. Menghirup napas dalam-dalam sambil merapikan rambutku, sebelum menyambut seseorang di balik pintu itu.

“Iya, Pa,”

Papa membetulkan letak kacamatanya dan berkata, “Udah ditungguin di bawah tuh.”

Aku menengok ke arah jam bundar yang menempel di dinding kamarku. Pukul empat lebih sepuluh menit. Itu berarti, aku telah membuang waktu enam ratus detik tanpa melakukan apa-apa.

Segera saja aku bertanya, “Aku harus kasih jawaban seperti apa, Pa?”

Papa tersenyum. Garis kerutan di wajahnya terlihat semakin jelas. “Hanya kamu yang tahu jawabannya, Win. Ini masalah kejujuran hati.”

“Dan, gimana kalau jawaban dari aku malah bikin dia kecewa?” tukasku gelisah.

Papa meletakkan kedua telapak tangannya di bahuku, meremasnya lembut sambil berkata, “Papa yakin dia bisa terima apa pun keputusan kamu.” Dia tersenyum lagi. “Sekarang, temui dia di bawah, ya.”

Aku menggigit bibir bawahku, meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mulai menuruni sejumlah anak tangga dengan amat hati-hati. Tangan kananku mencengkeram erat pegangan tangga, khawatir kalau aku akan terpeleset atau jatuh sewaktu-waktu.

Dan ketika kakiku menapaki anak tangga yang terakhir, aku dapat melihat kehadirannya dengan sangat jelas. Duduk di atas sofa ruang tamu. Dalam balutan kemeja cokelat dan celana jins berwarna gelap; satu setelan khas dirinya. Pandangannya tertancap ke lantai. Meskipun begitu, aku dapat merasakan segunduk kecemasan yang bergejolak di sepasang bola matanya. Kecemasan yang bercampur dengan secuil harapan.

Sadar akan sosokku yang tengah mengamatinya dari jauh, dia pun menyapa, “Hei.”

Aku menyeret kedua kakiku ke arahnya dan lekas mengambil posisi duduk di atas sofa. “Maaf agak lama. Tadi abis – beresin kamar sebentar,” ujarku terpaksa berbohong.

“Tadinya aku sempat mikir kalau kamu nggak bakalan turun, lho.”

Aku membalas penuturannya dengan senyuman kecil, tahu dia sedang berbasa-basi untuk menghindari kecanggungan. Dan sejak awal aku sudah menebak, berada di dekatnya sudah pasti akan membuatku gugup. Saking gugupnya, aku bahkan tidak tahu bagaimana memulai sebuah pembicaraan.

Tapi, kecanggungan itu berangsur hilang ketika kudengar dia bersuara, “Tentang pertanyaan aku waktu itu, kamu udah punya jawabannya?”

“Aku – sejujurnya aku belum tahu harus ngambil keputusan seperti apa.”

Hening selama beberapa saat.

Aku yakin, pernyataanku barusan sudah cukup mematahkan separuh dari harapannya. Semua itu tergambar jelas dari wajahnya yang seolah-olah tak ada lagi keinginan untuk berada di sini lebih lama.

Tapi, sebelum terjadi kesalahpahaman di antara kami, aku segera menambahkan, “Aku sama sekali nggak bermaksud narik-ulur hati kamu, Bay. Aku cuma – belum yakin aja.” Lanjutku, “Aku takut kalau ada penyesalan yang harus dibayar oleh salah satu di antara kita suatu hari nanti.”

“Aku ngerti. Dari awal harusnya aku nggak perlu mendesak kamu untuk nerima cinta aku, Win. Aku juga belum tentu siap kalau harus mendengar satu penolakan dari kamu.” Dia menyeringai pasrah, berusaha menghibur diri sendiri dengan kalimat itu. “Tapi nggak apa-apa. Just take your time.”

Di satuan waktu selanjutnya, aku menyadari dia telah beranjak dari sofa. Berancang-ancang mengambil langkah menuju pintu utama. Dan aku tahu, aku tidak punya banyak waktu untuk melakukan sesuatu jika aku hendak menahan kepergiannya.

“Bayu!” panggilku setengah berteriak. “Kamu masih bersedia nunggu?”

Cukup lama dia menatapku dari balik kacamata minus itu sampai kudengar dia mengujar, “I will.”

Okay, stay right here! Aku permisi ke kamar dulu.”

Dengan segenap kekuatan yang aku punya, aku segera berlari ke lantai atas. Jantungku terasa berdengap saat aku tiba di kamar.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ini. Selama dua menit, aku habiskan dalam diam sambil mematut bayang diriku di depan cermin. Semenit lagi kuhabiskan untuk mondar-mandir tanpa berbuat apa-apa. Semenit berikutnya, aku sudah menutup pintu kamar dan kembali menemui Bayu yang masih berdiri di ambang pintu rumahku.

“Aku udah ngambil keputusan. Dan kamu bisa dengerin jawabannya ketika kamu sampai di rumah,” ujarku di sela-sela napas yang tak keruan. Tanganku mengulurkan sesuatu berwarna silver kepadanya.

Bayu menerima pemberianku. Memandangi benda itu dengan tatapan bingung bercampur penasaran. “Kamu yakin sama semua ini?” Dia bertanya sambil menimang-nimang alat perekam suara itu.

“Sepenuhnya yakin,” jawabku dengan kepala terangguk.

Be First to Post Comment !
Posting Komentar