Write. Anywhere. Anytime.

Sabtu, 25 April 2015

This is How Goodbye Feels Like

Sebagian orang berpendapat, ketika hujan turun, itu artinya ada seseorang di tempat yang jauh sedang menangis. Entah menangis karena sedih, atau mungkin karena terharu. Keduanya sama-sama menitikkan air mata.

Mendongakkan kepala selagi kedua kakiku menyambangi jalanan yang terasa lengang daripada biasanya. Awan kelabu membentuk gumpalan tebal di atas sana. Tampak sebuah kilatan kecil yang menyala-nyala di kejauhan. Dalam hati aku membatin, sebentar lagi pasti akan turun hujan.

Aku menengok lagi ke arah belakang. Sebuah bangunan berlantai tiga dengan pintu pagar yang menganga di depannya. Selama beberapa saat, aku masih berdiri di sana sambil mengamati tempat itu baik-baik. Membayangkan sepuluh bulan terakhir yang kulewati dengan tawa dan air mata. Sepuluh bulan yang telah menorehkan banyak sekali peristiwa.

Itu adalah hari di mana aku sedang meringkuk di dalam selimut dengan kondisi setengah terpejam. Beberapa menit yang lalu, aku sudah terbangun dari tidur. Namun udara dingin dan sisa hujan di luar sana membuatku enggan untuk beranjak turun. Mom tiba-tiba muncul di ambang pintu kamarku. Napasnya putus-putus. Menyampaikan sesuatu yang – terus terang saja – belum ingin kuketahui.

Mataku membelalak seusai mendengar berita terlontar dari mulut Mom. Di satu sisi, aku tidak dapat membendung rasa bahagia. Sebagian yang lain justru merasakan gejolak aneh yang membuat perutku seperti dipelintir. Pukul sepuluh pagi, tanpa persiapan apa-apa, aku langsung disuruh bekerja.

Aku mungkin sedang bermimpi.

Entah dari mana datangnya kekuatan itu, aku menuruni tempat tidur dan segera menuju kamar mandi. Sekadar membasahi tubuhku tanpa sempat menyentuh sabun maupun secuil shampo ke kepalaku. Sementara mulutku terus merutuk kesal lantaran tidurku jadi terganggu. Egois memang jika aku masih memikirkan waktu tidurku. Namun suatu hari kelak, aku akhirnya menyadari bahwa itu bukanlah waktu tidur, melainkan waktu bermalas-malasan.

Aku membetulkan kardus yang kupeluk sejak tadi. Aneka kertas dan buku kosong, sejumlah alat tulis yang tersimpan dalam kotak pensil, rasanya masih seperti mimpi. Aku bahkan masih sulit memercayai bahwa ini akan jadi hari terakhirku.

Terbayang lagi saat aku melangkah ke dalam ruangan dan duduk berhadapan dengan atasanku. Jantungku berdegup sepuluh kali lebih cepat. Telapak tanganku mulai basah oleh keringat. Satu demi satu kalimat telah terucap. Napasku kian memburu. Aku sama sekali tidak mengerti bagaimana cara untuk mengendalikannya.

Lima belas menit berlalu dalam keheningan. Bunyi jarum jam sanggup mengalahkan suaraku yang terlalu lirih. Sampai semuanya telah tersampaikan pun, aku belum dapat bernapas dengan baik. Rasanya seperti habis berlari 1000 kilometer.

Hal itu juga sepertinya dirasakan oleh orang yang berhadapan denganku. Aku dapat melihat mata lelahnya berkaca-kaca. Artikulasi kalimat yang dia ucapkan terdengar kurang jelas. Mungkin aku salah. Tapi, mungkin aku juga benar. Bahwa dia pun merasakan kehilangan.

Semua orang tentu merasakan kehilangan.

Memang tidak dapat kupungkiri, banyak sekali yang kupelajari selama aku berada di sini. Seluruh hal yang tidak pernah kuketahui sebelumnya, berbagai istilah yang asing di telinga, menjadi pengalaman yang bisa kugunakan di masa depan. Pengalaman adalah guru yang paling baik, bukan?

Hujan turun perlahan. Mataku terasa perih. Bangunan yang berdiri tegak di hadapanku kini justru terlihat seperti tempat yang istimewa. Sebuah tempat yang menawarkan segalanya. Sebuah tempat yang akan membuatku rindu dan ingin kembali.

Mungkin kembali, suatu hari nanti.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar