Write. Anywhere. Anytime.

Kamis, 23 Juli 2015

Chapter 7 - Bimbang

One day, I will have a child of my own
How will I tell him?
Oh...
This world – this world it is a good place?


Nerina Pallot berhasil menyulap rangkaian kalimat itu menjadi sebuah lagu yang menakjubkan. Denting piano dan vokal yang mengalun mesra, merupakan perpaduan sempurna yang sanggup memanjakan telinga. Pada saat tertentu, lagu itu seolah mendiktator ingatanku sehingga aku terseret ke dalam lembah masa lalu.

Potongan kejadian tentang Texas mulai berkelabat di kepala. Terkenang bagaimana kami kerap berangan-angan untuk memiliki seorang anak adopsi. Pada sore hari yang gerimis, di tengah suasana temaram apartemennya, History Boys bersenandung di telingaku untuk pertama kali. Praktis saja menjadikannya sebagai lagu favorit kami.

Sebagaimana peran sebuah lagu, ia akan membuat kita terkoneksi dengan masa lalu. Memonopoli pikiran kita sendiri dengan potongan lirik atau sepatah melodi.

Selagi lagu itu melantun lewat earphone-ku, seseorang tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang. Aku membalikkan badan dan segera mengetahui bahwa orang itu adalah Bunda. Merasa beruntung karena selang air yang kugenggam sejak tadi tidak tersembur ke arahnya.

“Ada teman kamu, tuh,” ujar Bunda seusai melihat aku mencopoti salah satu earbud dari telingaku.

Aku mengernyitkan kening dan bertanya, “Siapa, Bun?”

Bunda mengedikkan bahu. “Cowok. Orangnya lagi nungguin di depan. Padahal udah Bunda tawari masuk.”

Bergegas meraih ember yang berisi busa sabun pencuci mobil, lalu menjatuhkan kepala selang di dalam sana. Terrgerak untuk mencari tahu siapa tamu yang dimaksud Bunda. Aku segera menuju pintu pagar sambil mengelap sisa-sisa peluh di leherku.

Sebuah Yaris merah terparkir di undakan jalan di depan rumahku. Sementara, si pemilik mobil sedang berdiri di depan moncong mobil dan tampak asyik memelototi  layar ponselnya.

“Tumben pagi-pagi udah muncul di sini,” aku menyeru dan menghampiri dirinya yang berpenampilan amat necis. Berlawanan sekali dengan orang di hadapannya saat ini. Kaus lengan buntung, urak-urakan, ditambah lagi celana pendek basah yang sudah sepatutnya diganti.

Heru mendongakkan kepala dan segera menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. “Sengaja, kagak ada kerjaan di rumah.” Matanya sesekali memperhatikan sesuatu yang tercetak jelas di balik celana pendek merahku. “Jalan, yuk!”

“Duh!” Spontan saja, aku menepuk dahi. “Sori banget, Her. Kalau hari ini gue beneran nggak bisa. 
Gue udah janji mau jalan bareng David soalnya.”

Terus terang saja, semua ini di luar perkiraanku. Tadinya aku pikir dapat menghabiskan hari Minggu di rumah. Sekadar beristirahat sambil mencari ide untuk project kemarin, atau pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. Sayangnya, semua rencana itu tak berjalan sempurna saat David memberitahuku tentang agenda bermain bersama teman-teman sekelasnya.

Aku sempat terpikir untuk menolak permintaannya. David bisa saja pergi bersama Bunda. Toh kalau aku yang menemani David, aku tidak akan mungkin bergabung dengan orangtua yang lain. Tapi, David sama sekali tak peduli. Dia tetap bersikeras bahwa akulah yang harus ikut ke acara itu.

“David?” Heru menatapku heran dengan kedua alis yang bertautan.

Aku mendadak sadar, Heru belum pernah bertemu David sebelumnya. Dia pasti berasumsi aku hendak pergi kencan dengan pria lain. Dan sewaktu aku hendak memberi penjelasan atas pertanyaannya barusan, sosok David hadir di sebelahku.

“Kak Adam mau pergi jam berapa? Udah jam sepuluh, nih. Nanti kita telat!” gerutu David seraya mengamati jam tangan kesayangannya.

“Ini David...” Aku mengajak David berdiri lebih dekat sehingga kami tampak saling menempel.

“Adik lo?” Kepalaku terangguk mengiyakan pertanyaan Heru, meskipun sebetulnya tak perlu karena Heru langsung berjongkok di hadapan David dan mengajaknya berkenalan, “Hei, Ganteng. Sekolah kelas berapa sekarang?”

Alih-alih menjawab, David justru memandangku heran dan bersuara, “Ini siapa, Kak?”

“Kenalin, Kakak temannya Kak Adam,” Heru menyela sebelum aku sempat berbicara. “Nama Kakak – Heru.”

Tenggorokanku panas dan praktis tercekat seusai mendengar ucapan Heru. Terbayang lagi di benakku pada pertemuan Texas dan David untuk yang pertama. Telingaku dipenuhi gelak tawa mereka. Aku masih ingat, waktu itu David sama sekali tidak segan saat berbincang dengan Texas. Begitu pula sebaliknya. Dan entah bagaimana, tidak butuh waktu yang lama bagi Texas untuk membuat David akrab dengan dirinya.

“Kenapa bukan Kak Texas aja sih yang ke sini?”

Lamunan tentang Texas yang berceceran di koridor memoriku sekonyong-konyong musnah tak bersisa. Satu pertanyaan baru telah dilontarkan. Buruknya lagi, pertanyaan itu didengar langsung oleh Heru.

“Texas?” tanya Heru dengan mata memicing. “Texas siapa, Dam?”

“Dia – “

“Kak Texas itu temennya Kak Adam!” David tiba-tiba angkat bicara. “Orangnya pintar, jago main harmonika, pokoknya hebat deh! Dia juga pernah ajak aku jalan-jalan.”

Aku merapatkan bibirku dari segala jenis argumentasi. Sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Heru yang kini sedang mengamatiku lekat-lekat. Sadar bahwa dirinya hendak menagih penjelasan tanpa melewatkan satu bagian terkecil sekalipun.

Sebersit penjelasan mulai terbentuk di kepalaku. Baru mau menyuarakannya sewaktu Bunda menyeru dari teras rumah, “Temannya diajak masuk, Dam. Di luar panas.” 

“David udah cek apa aja yang mau dibawa nanti?” Aku bertanya pada David. Sengaja mengulur-ulur waktu untuk mengalihkan topik pembicaraan. Hanya butuh beberapa detik sampai David undur diri dari hadapan kami dan berlari ke dalam rumah.

Tapi, semua itu belum benar-benar selesai.

“Lo belum jawab pertanyaan gue barusan.” Air muka Heru berubah serius. Ekspresi seperti itu belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.

“Yang mana?” Suaraku parau, jantungku kembang-kempis tak beraturan sampai rasanya mau meletup – pertanda jelas bahwa aku tak sanggup mengendalikan diri.

“Siapa Texas?”

Pandanganku kosong. Aku bahkan tak tahu harus memulai penjelasan dari mana. Lidahku terasa kelu. Dan dari sekian banyak frasa yang membombardir seisi kepala, aku lebih memilih bertanya, “Lo mau tunggu di sini atau di ruang tamu aja. Gue mau ganti baju soalnya.”

Basa-basi yang busuk, memang!

“Jawab gue, Dam!” Dia menyambar lenganku dan mencengkeramnya erat-erat. Begitu keras sehingga aku yakin ia pasti meninggalkan bekas pada kulitku. “Lo berusaha menutupi sesuatu dari gue, kan??!!”

Sebagian dari diriku mendesak, “Katakan saja yang sejujurnya! Biar dia berhenti mencari tahu. Biar dia kapok.”

Sementara itu, bagian lain justru bersikeras, “Ada waktunya bagi kamu untuk terbuka, Dam. Bayangkan bagaimana perasaan seseorang setelah mengetahui semua itu.”

Aku menarik napas dalam-dalam, memercayai dalam hati bahwa pilihanku tidak salah. Menatap sepasang bola mata hitam milik Heru dan mengujar, “Lebih baik kita bicara di dalam aja. Nyokap gue udah manggil.”

Heru perlahan melonggarkan cengkeramannya.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar