Write. Anywhere. Anytime.

Minggu, 04 Desember 2016

The Unforgotten

Hampir semua orang memiliki doanya masing-masing sebelum memulai aktivitas mereka. Sebagian mungkin ada yang berdoa supaya cuaca selalu bersahabat; lekas bertemu jodoh; pulang ke rumah tepat waktu; atau barangkali berharap adanya hujan uang dari langit. Tapi, aku nyaris tidak pernah memanjatkan doa-doa seperti itu. Bagiku, itu terlalu ketinggian. Orang harus bersikap realistis sesekali.
Alih-alih berkeinginan yang kurang masuk akal, setiap harinya aku justru berdoa supaya bisa bertemu Oby dan teman-temannya di tempat biasa. Aku selalu berdoa supaya ia tidak kabur ke mana-mana, supaya tidak dilempari batu oleh anak-anak usil, supaya tidak ada yang menyuapinya dengan racun tikus, dan supaya dia masih sudi menungguku di tempat itu.
Kau akan tertawa jika aku berterus-terang mengenai identitas Oby yang sesungguhnya.
Jadi, Oby adalah seekor kucing kampung yang kutemui ketika pindah ke rusun Bidaracina. Dialah satu-satunya makhluk hidup yang hadir di mulut gang itu, memelototi kemunculan seorang pria berkemeja flanel yang tergopoh-gopoh membawa kardus di pundaknya. Aku jadi teringat bagaimana dia bersuara sewaktu aku melintas di hadapannya dan serta-merta membuntutiku sampai ke bangunan rusun.
Tidak ada filosofi khusus atas nama yang kuberikan padanya. Nama itu muncul begitu saja ketika aku mengusap dagunya dan menasihati untuk tidak mengikutiku sampai ke lantai atas. Dan, sejak saat itulah pertemanan kami berawal.
Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi Oby di mulut gang. Tempat di mana ia, Lastri, Bisma, dan Arga asyik nongkrong di sebelah gerobak bubur ayam yang kian hari kian sepi pelanggan. Tanpa perlu kuberi penjelasan pun, kurasa kalian sudah bisa menebak bahwa nama-nama yang kusebut barusan adalah makhluk hidup yang sama seperti Oby.
Belum genap langkahku berada di sekitar tempat itu, dari kejauhan tampak seseorang tengah mengusik aktivitas mereka. Aku tak tahu persis apa yang dia lakukan di sana, jadi kurasa tak ada salahnya untuk bertanya.
“Saya perlu memberi kucing-kucing ini sarapan, kalau Anda tidak keberatan.”
Orang itu menengadah, mengangkat wajahnya yang sejak tadi tersembunyi di balik tudung sweater abu-abu. Ada beberapa bulir peluh yang mengalir di pelipisnya.
“Kamu pemilik kucing-kucing ini, ya?” Kontan, ia beranjak dan membuka tudung sweater itu. Membiarkan rambut hitamnya yang dikuncir menyambut matahari pagi. “Maaf, aku pikir mereka semua kucing liar.”
Lidahku terasa kelu, sendi mendadak kaku. Bukan karena ia yang baru saja mengungkapkan identitasnya sebagai perempuan—bukan. Ia memang seorang perempuan. Tapi, ia memiliki kulit cokelat yang menarik, senyuman mematikan dengan satu gigi gingsul di sebelah kiri. Fakta bahwa celana training abu-abu yang ia kenakan pun tak sanggup menutup pesona yang ia miliki. Sepertinya, ia baru saja selesai berolahraga.
Di bawah sana, suara Oby dan ketiga kerabatnya terus mengusik fantasiku. Mataku mengerjap beberapa saat sebelum akhirnya berjongkok dan membagi-bagikan potongan roti isi cokelat kepada mereka.
“Masing-masing kucing ini tentu punya nama, kan?”
Aku mengangguk. “Yang bulunya belang tiga itu Arga. Cara mengenalinya gampang, dia yang paling ramping. Bisma yang hidungnya hitam. Satu-satunya yang betina, namanya Lastri. Sepertinya dia lagi hamil. Dan yang ini—“ aku menggapai kucing berperut buncit dengan bulu berwarna kuning dan putih. “—ini favorit saya, namanya Oby, the one who always asking for his extra-meals.
What a cute name!” Kedua sudut bibirnya tertarik hingga matanya tampak hanya segaris. Sambil menggosok leher Oby, dia menyapa, “Hai, Oby.”
“Anda sendiri?”
Ia memandangku sekilas, lalu berkata, “Luna.”
“Setahu saya, Luna itu dalam bahasa Italia artinya bulan.” Tapi, sebagian pikiranku justru terbayang sosok kucing hitam bernama Luna di kartun animasi Sailor Moon.
“Ibuku pernah cerita, selama dia hamil, dia selalu suka memandang bulan. Ditemani secangkir teh kayu manis dan irisan buah pir. My father was there, too. Dan waktu melahirkan aku, bertepatan banget dengan 15 hari bulan.”
Aku merogoh sepotong roti dari dalam jaketku yang khusus kusiapkan untuk Oby. Mengangsurkannya diam-diam tanpa sepengetahuan Lastri dan kawan-kawan.
“Dulu waktu masih SD, aku dijuluki anak aneh sama temen-temen.” Detik berikutnya, kudengar Luna mulai bertutur tanpa kuminta. “Mereka tahu ibu aku suka pelihara kucing. Kalau nggak salah, dulu jumlahnya sekitar 18 ekor gitu. Sebagian berasal dari keturunan yang sama, sebagian lagi aku pungut dari jalan, pasar.”
“Sepertinya nggak ada yang aneh dengan semua itu.”
“Mungkin mereka berpikir, memungut kucing liar sama dengan menculik, atau salah satu bentuk tindak kejahatan,” sahutnya. “But I never really care what they said about that.
“Sudah seharusnya begitu.”
“Kamu penyuka kucing juga?”
“Terobsesi untuk punya satu atau dua, tapi nggak pernah tercapai sampai sekarang.”
Oby baru saja menandaskan roti terakhirnya. Kemudian, kudengar Luna bertanya ‘kenapa’.
“Saya tinggal di rusun yang tidak memperbolehkan para penghuninya membawa hewan peliharaan,” jawabku. “Jadi, satu-satunya yang saya lakukan buat membayar rasa ingin tersebut ya—dengan ketemu mereka di sini setiap pagi. Sengaja bawa isi roti, ngobrol kayak orang gila.”
Luna membalas kisahku dengan tawa yang renyah, dan seperti biasa—kedua mata yang menyerupai garis itu ketika ia tergelak. Dan aku tahu, semua ini hanya masalah waktu saja sampai aku telanjur mengaguminya lebih jauh.
Aku lekas berdiri dari hadapannya. “Saya harus pamit sekarang, mau kejar setoran.”
Luna mengernyit, mungkin kesulitan memahami ucapanku. Namun, aku mengacungkan jempolku pada gitar tua yang bertengger di punggungku. Dia pun mengangguk paham.
Di ujung sana, sebuah metromini berjalan agak lamban dengan teriakan kondektur yang bergelayutan pada pintu belakang. Aku baru mau menyusulnya ketika terdengar sebuah suara dari mulut gang itu. Kepalaku tertoleh ke belakang.
“Nama kamu siapa?”
“Panggil aja Bayu.”
Usai jawaban itu, aku pun melompat ke dalam metromini yang kini berjarak hanya 1 meter dari hadapanku.
*

There is no such thing as coincidence in this world.
Setidaknya, begitulah yang diutarakan Luna seusai berpapasan denganku di depan kafe Rolling Stones malam itu. Aku baru saja selesai perform ketika sosok familier itu muncul di tengah keramaian. Celana jins biru dan sneaker putih membungkus kedua tungkainya yang jenjang. Rambut hitam yang senantiasa dikuncir kuda itu tampak sedikit basah oleh air hujan.
Cukup lama aku mengamatinya dari kejauhan; berkutat dengan DSLR seri terbaru, memotret lalu lintas dan hiruk-pikuk para pejalan kaki, sampai ia menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan.
God doesn’t play dice with the universe.”
“Einstein’s!” balasku.
Kami menepi ke sebuah halte dan menanyakan kabar satu sama lain. Kujelaskan padanya bahwa Oby belum terbiasa dengan menu martabak wijen, Lastri yang sedang hamil besar—dan siapa ayah dari calon bayi-bayi itu. Selanjutnya, Luna bertanya lagu apa saja yang kumainkan selama sesi akustik tadi.
“Yellow, Hotel California, Layla.”
“Eric Clapton?” Ia membelalak seolah tak percaya. “Coba, mainin satu lagu selain Layla dan Wonderful Tonight.”
Aku ragu suara gitarku bisa dinikmati olehnya. Di sekitar kami terlalu banyak distraksi. Beberapa di antaranya berasal dari percakapan pedestrian yang lalu-lalang di hadapan kami, ditambah lagi dengung knalpot yang bising. Kusetem gitarku terlebih dahulu, sebelum akhirnya memetik satu per satu senar gitar.

Would you hold my hand, if I saw you in heaven?
Would you help me stand,if I saw you in heaven?

Di tengah riuh suasana malam, aku terus bernyanyi. Beberapa orang sempat berhenti untuk menyaksikan permainan gitarku. Sementara itu, dari sudut mataku, Luna tampak serius membidikku lewat kameranya. Tanpa lampu kilat, yang terdengar hanyalah bunyi shutter beberapa kali. Hal itu tidak membuatku serta-merta bertindak defensif. Aku percaya ia tidak memiliki maksud jahat terhadap foto itu.
Usai menyanyikan Tears In Heaven, ia bertanya, “Kamu punya Facebook? Kalau punya, nanti ku-tag foto-foto ini ke kamu.”
“Saya nggak punya akun sosial media. Nggak pernah main begituan.” Aku terkekeh, lantas mengeluarkan ponselku dari dalam saku. Itu adalah Sony Ericsson T100. “Ini hape saya, jadul.”
“Setidaknya masih bisa dipake buat teleponan.”
“Nggak bisa juga, speaker-nya rusak. Cuma bisa SMS­-an.”
Well, can I have your number?
Aku mengangsurkan ponsel itu ke tangannya. Jemari Luna memencet tombol numerik dengan sangat teliti, lalu mengembalikan benda berwarna hitam itu kepadaku.
I’ll text you later, Bayu.” Dia berangkat dari duduk. Melambaikan tangannya, lalu berjalan menerobos sisa hujan.
*

“Waktu itu kamu bilang handphone kamu nggak bisa dipake buat teleponan?
“Udah saya perbaiki, di konter di pinggir jalan. Murah, cuma 20 ribuan.”
Aku memandangi langit-langit kamarku, tampak jelas sarang laba-laba yang bergelayut di sana. Rasanya sudah lama sekali aku tidak membersihkan kamar ini. Di waktu yang sama, aku membayangkan Luna sedang berbaring dengan rambut hitamnya tergerai, aroma sabun mandi yang segar, tubuh sintalnya yang terbungkus piyama putih kebesaran.
“Kamu nggak ketemu Oby pagi tadi?”
“Aku lebih tertarik buat ketemu kamu,” jawabnya di seberang sana.
Just come, then.”
Ia tergelak sebelum akhirnya menjawab, “Oke. Tunggu di depan gang, ya.”
Terkadang, kau tak bisa melawan apa yang diinginkan nalurimu. Tak peduli seberapa keras kau berusaha mencoba, kau akan menyadari betapa kau sangat menginginkan hal itu. Dan aku sulit memercayai fakta bahwa Luna benar-benar menepati janjinya.
Ia tiba di mulut gang tepat 30 menit setelah telepon kami berakhir. Penampilannya masih seperti biasa, celana jins panjang, sepatu kets, dan kemeja tartan cokelat. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa pada kemeja itu. Tiga kancing teratas sepertinya dibiarkan terbuka, sehingga aku bisa melihat jelas tanktop hitam di baliknya. Seolah bisa membaca pikiranku, Luna pun menggeraikan rambut panjangnya malam itu.
Untuk pertama kalinya, aku menyaksikan rambutnya bebas dari ikatan.
Aku masih berdiri sana, mematut dirinya cukup lama. Luna tersenyum semringah menyaksikan tingkahku yang tak keruan. Fenomena seperti ini seringkali dialami oleh mereka yang sedang jatuh cinta. Semua ini hanya masalah waktu saja sampai ia menyadari apa yang sebenarnya kurasakan.
Gelap tak lagi menjadi musuh. Di atas sana, bulan tampak penuh. Cahayanya jatuh ke muka bumi, tempat kami berada saat ini. Tak ada lagi jarak. Kugenggam telapak tangannya agar ia tak kedinginan, lalu bibir kami menyatu, bertautan seolah tak ingin lepas. Oby, Lastri, dan konco-konconya menyaksikan adegan itu. Pada akhirnya, Luna memberi gagasan bahwa malam itu akan berakhir sempurna apabila ia bermalam di tempat tinggalku.
Aku mengangguk setuju.
*

            Hari-hari setelah pertemuan kami di malam itu, semua masih baik-baik saja. Luna masih sering menghubungiku via telepon dan mengirim kata-kata mesra di SMS. Sesekali, ia juga menyempatkan diri untuk datang setiap kali ada sesi akustik di kafe Rolling Stones. Namun, seminggu setelahnya, Luna tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
            Berkali-kali aku mencoba meneleponnya, namun yang kuterima hanya suara operator yang berkata bahwa nomor tersebut sedang berada di luar jangkauan. Sempat aku menerka, barangkali ponselnya hilang, atau mendadak rusak.
            Satu hal yang sulit kupahami, kenapa aku sangat mengkhawatirkannya?
            Aku bahkan bukan siapa-siapa di kehidupannya.
            Aku ini cuma orang asing.
            Aku seharusnya merasa bersalah terhadap Oby, Lastri, Arga, dan Bisma yang akhir-akhir ini seringkali kuabaikan. Hari-hari bersama Luna membuatku lupa untuk mengunjungi mereka di mulut gang itu. Bagaimana kabar mereka? Apakah perut Oby masih segemuk dulu? Apakah Lastri sudah punya momongan dan hendak kawin lagi? Apakah Bisma masih suka jaim setiap kali aku menyuapinya roti?
            Yang kutahu, saat ini aku ingin menemui mereka. Segera saja kusambar celana jinsku dan sekantung plastik berisi roti cokelat murahan. Satu porsi ekstra telah kuselipkan ke dalam saku. Itu khusus Oby. Mudah-mudahan saja ia tidak marah atas ketidakacuhanku belakangan ini.
            Langkahku tergesa-gesa. Aku bergegas keluar, dan seketika terhenti oleh kehadiran sesuatu di depan pintu. Seonggok kardus yang bertengger persis di atas keset kaki. Tanpa alamat, tanpa nama tercantum. Kotak itu tidak terlalu besar, hanya seukuran dua telapak tangan.
            Kudekatkan kotak itu ke telinga dan mengguncangnya beberapa kali. Tidak ada yang aneh. Mungkin isinya hanya permen, atau sampo kemasan sachet. Tapi, aku cukup tercengang sewaktu mendapati setumpuk foto berukuran 4R di dalam kotak tersebut. Sebagian gambar itu tampak tidak asing; dengan latar belakang yang sangat kukenal. Itu adalah foto ketika aku memainkan gitar di bawah halte usai perform di Rolling Stones. Foto sepatu Converse-ku yang kumal, foto jari-jariku yang menekan chord C major. Ada pula potret Oby, Lastri, Arga, Bisma—dan keempatnya yang saling berdekatan.
            Hanya memandangnya pun, aku sudah bisa menebak siapa pengirimnya.
            Seolah kurang lengkap, ia juga melampirkan sehelai kertas scrapbook di antara foto-foto itu. Sepucuk surat. Mataku mulai menjelajah tulisan pada kertas tersebut dengan saksama.

            Gagasan ini sebenarnya muncul tiga hari yang lalu. Waktu itu, aku dengar orangtuaku membahas tentang bisnis batik dan kerajinan kayu mereka mengalami kemerosotan. Permintaan pelanggan berkurang, sementara stok barang di gudang masih menumpuk. Ibuku berpikir, daripada jatuh bangkrut, mungkin akan lebih baik jika bisnis di Jakarta ditutup saja. Ide itu disetujui ayahku. Dan mau tidak mau, aku mendukung keinginan mereka.
            Aku tahu, kamu nggak bakalan memaafkan aku setelah membaca ini, Bayu. Mungkin kamu bakal bertanya, kenapa nggak jujur dari awal?
            Aku terpikir untuk menyampaikannya, tapi aku tahu semua itu pasti sulit untuk diterima. Nggak peduli semenarik apa pun alasannya, kalau sudah menyangkut urusan perpisahan, tetap saja menyakitkan.
            Percaya atau nggak, aku bahagia bisa berkenalan dengan kamu. Aku mengagumi setiap lagu yang kamu mainkan lewat gitar itu. Dan, aku harus berterima kasih karena kamu telah menjadi teman yang baik selama beberapa minggu kemarin. Terima kasih pula karena telah menjadi sosok yang sangat menyenangkan. Lain waktu, jika ada kesempatan, berkunjunglah ke Bali. Akan aku tunjukkan kucing-kucing yang kami bawa pindah dari Jakarta. Jumlahnya semakin banyak!

                                                                                                With love,
                                                                                                Luna.
           
PS: Aku jatuh cinta pada Oby sejak pertama. Jadi, aku juga membawanya ke Bali. Kamu nggak perlu khawatir, I’ll be the one who always giving him an extra-meal. Sebisa mungkin aku bawal merawat Oby supaya dia nggak jatuh sakit atau kelaparan. Tadinya aku kepikiran buat ngajak Arga, Lastri, dan Bisma. Tapi aku nggak mau dicap sebagai orang serakah, Bay. Jadi, kuharap kamu nggak menyimpan dendam.

            Surat itu kutuntaskan dengan satu senyuman kecut. Tak ada tangis, tak ada luapan amarah. Semuanya masih baik-baik saja—setidaknya untuk saat ini. Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, selama membaca kalimat yang terurai di sana, hampir sepanjang waktu kurasakan napasku tercekat. Pikirku pun ikut melayang ke sejumlah adegan di mana segalanya berawal, setiap detik yang pernah terlewati bersama Luna, lagu yang kumainkan untuknya, percakapan sebelum tidur—di telepon maupun di dalam kamarku.
            Dan Oby.
            Sikapnya pernah membuatku terganggu pada saat pertama. Suara-suara bising yang kerap ia timbulkan setiap kali aku lupa membawakan porsi ekstra; tanda bahwa dia marah. Terlepas dari semua hal yang menyebalkan itu, ialah satu-satunya sahabat yang kumiliki sejak tiba di sini. Satu-satunya yang sudi menyisihkan waktunya untuk menunggu, mendengkur di pelukanku, meskipun hanya sekejap.
            Kulipat kembali kertas di genggamanku, dan memasukkannya ke tempat semula. Mungkin tak ada lagi yang perlu ditangisi. Karena sampai kapan pun, manusia akan terus dihadapi dengan aneka kejutan, salah satunya perpisahan. Dan tak banyak orang yang sanggup mengatasi rasa kehilangan itu.
            Namun, suatu hari kau akan mengerti, merelakan kepergian bukanlah proses melupakan. Ia akan selalu ada di sana, menjadi satu cerita lama yang tak mungkin bisa untuk dihidupkan kembali.

-fin-
           

Be First to Post Comment !
Posting Komentar