Sebelum memulai
tulisan ini, saya sudah membayangkan seperti apa respons dan konsekuensi yang
akan saya terima. Sebagian di antara kalian mungkin beranggapan apa yang saya
beritahukan di sini bukanlah sesuatu yang penting; atau barangkali, sebagian
sudah menanti-nanti apa yang terjadi pada saya selama satu bulan terakhir.
Tepat sekali. Semua
yang ingin saya sampaikan sebenarnya berkaitan dengan alasan saya menonaktifkan
sejumlah akun sosial media untuk sementara waktu.
Akhir-akhir ini,
saya harus bilang bahwa sosial media membawa dampak begitu besar di dalam
kehidupan saya sehari-hari. Begitu pula dengan seluruh konten yang – tak bisa
kita pungkiri – terkadang bisa sangat bermanfaat atau justru mendistraksi
segala keteraturan sehingga aktivitas kita menjadi sangat tidak produktif.
Sebut saja sejumlah kasus politik yang belakangan ini menyerupai letupan
kembang api yang saling bersahut-sahutan. Satu konflik baru muncul ke
permukaan, kemudian tak butuh satu hari sampai semua orang berbondong-bondong
membicarakan kasus tersebut. Tak jarang, satu kubu akan menyerang kubu yang
lain sehingga mengakibatkan satu pertikaian karena keduanya saling beradu
pendapat atau salah satu tidak cukup dewasa dalam menerima satu kekalahan.
Kendati
demikian, beberapa orang justru menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang
sangat wajar di dalam ekosistem sosial media. Bahkan ada yang berpendapat, “bikin
onar adalah cara terbaik untuk meraih satu popularitas.” Ironis ketika orang-orang
di luar sana bersusah-payah menciptakan sejumlah prestasi, sementara masih ada
yang tak keberatan mempermalukan diri sendiri.
Twitter dan
Facebook adalah dua platform sosial
yang cukup sering saya gunakan sejauh ini. Saya menggunakan keduanya untuk
mempermudah saya dalam berinteraksi dengan orang-orang yang saya kenal, promosi
buku atau project yang sedang saya
kerjakan, mengunggah foto-foto dari smartphone
saya, atau sekadar membagi tautan yang di-posting oleh salah satu akun resmi. Namun, entah bagaimana keduanya
seolah berubah menjadi medan perang di mana semua orang berlomba-lomba mencapai
puncak dunia.
Tak jarang saya
terdorong untuk menyampaikan isi kepala saya dan bertanya-tanya apakah ada yang
salah dengan mereka? Untuk sesaat, saya berpikir bahwa yang saya lakukan adalah
tindakan yang tepat. Toh tidak ada yang membatasi kebebasanmu dalam beraspirasi
di sosial media. Tapi, kemudian rasa sesal menghinggapi diri saya. Serta-merta
saya berpikir, apa bedanya saya dengan mereka di luar sana? Berusaha mendapat
pengakuan dengan bersikap sarkastik. Bukankah akan lebih baik apabila mereka
tak perlu mengetahui kemarahanmu?
Pertanyaan
itulah yang menghantui saya selama berhari-hari sampai saya tergerak untuk
menjauhi Twitter dan Facebook selama beberapa saat. Menonaktifkan keduanya bukanlah
sebuah tantangan besar. Saya sering melakukannya setiap kali saya butuh waktu
untuk berkonsentrasi terhadap satu hal, atau pada beberapa alasan yang tidak
bisa saya jelaskan secara spesifik. Selain itu, saya sengaja melakukannya
karena bertepatan dengan momen Ramadan. Saya tidak ingin jari-jari saya
mengetik kalimat sarkasme yang justru akan merusak ibadah puasa yang saya
jalani. Sebisa mungkin menjauhi mata saya dari segala sesuatu yang tidak ingin
saya lihat. Pun saya tidak ingin seseorang memancing emosi saya yang kelak akan
berujung pada perdebatan.
Maka, pada 26
Mei lalu, saya harus menekan tombol ‘deactivate’
dan mulai membiarkan diri saya hidup dalam dunia nyata. Sebisa mungkin
berhenti mengakses sosial media, meskipun saya kerap muncul di Instagram dan
sesekali mengunggah foto. Hari-hari tanpa Twitter dan Facebook lebih sering saya habiskan dengan membaca buku dan menyelesaikan naskah yang sedang saya tulis. Saya juga menyisihkan 10 menit dalam satu hari untuk bermeditasi di tengah malam.
Kini, setelah
sebulan berlalu, atau lebih tepatnya setelah 28 hari di bulan Ramadan, saya
mulai mengaktifkan akun Twitter dan Facebook saya kembali. Tentu segalanya terasa
berbeda seperti terakhir kali saya meninggalkannya. Sedikit demi sedikit saya
harus terbiasa dengan segenap informasi yang sempat saya jauhi beberapa waktu
kemarin. Satu hal yang pasti, saya merasa sedikit lebih bijaksana dalam
menggunakan sosial media. Tidak perlu memeriksa smartphone untuk hal-hal yang kurang penting, tidak menjadikan
Twitter dan Facebook sebagai candu karena saya memiliki sejumlah prioritas di
kehidupan nyata. Lagi pula saya percaya, tak selamanya teknologi memiliki nilai
yang istimewa. Pada akhirnya ia justru membuat manusia lekas merasa jenuh.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar