Write. Anywhere. Anytime.

Senin, 26 Agustus 2013

Hates Me Not

Sore itu, ponsel saya berdenting tepat setelah saya keluar dari kamar mandi. Saya sangat hapal dengan notifikasi itu. Dengan bergairah, saya segera merampas benda mungil yang tergeletak di atas ranjang saya, lantas membuka aplikasi Whatsapp dalam hitungan detik.

Satu pesan baru.

Awalnya saya berharap pesan itu dikirim dari seseorang yang saya tunggu-tunggu. Ternyata bukan. Saya harus menelan kecewa ketika saya mengetahui  identitas si pengirim pesan adalah teman saya sendiri. Well, sebut saja namanya Mike. Kami mengenal satu sama lain sudah cukup lama. Sekitar tiga tahun yang lalu, waktu itu saya baru lulus SMA. Dan memang, bagi saya tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Sudah banyak hal yang saya dapatkan dalam kurun waktu tersebut.

Salah satunya, Mike yang akan saya ceritakan sesaat lagi.

Semangat saya sudah lama surut. Jadi, mau tidak mau akhirnya saya membuka sejumlah pesan yang dikirimi oleh Mike.

Hei, Joy.
Apa kabar? Where have you been?
Sombong banget ya sekarang! >.<

Ya... Kurang lebih begitulah isi pesan yang tertampil di layar ekstra-lebar ponsel saya. Sesaat setelah sederet kalimat itu saya tuntaskan, saya melenguh. Membuang napas panjang-panjang dan terdiam sampai saya sendiri tidak tahu berapa lama saya melamun.

Kalau boleh berkata, saya sudah sering menerima pesan yang berbunyi demikian. Dibilang sombong, cuek, belagu, bahkan lupa sama temen. Jadi yang seperti itu bukan hal baru lagi buat saya pribadi. Tapi, saya nggak menanggapinya dengan hal yang jahat. Saya berusaha seramah mungkin agar mereka sadar bahwa saya tidak sombong, belagu, whatever-you-called-it. Karena pada dasarnya, saya bukan tipe orang yang suka memulai sebuah permusuhan.

Agak lama saya membatu, akhirnya saya mengetik beberapa patah kalimat sebagai pesan balasan. Nggak mau banget kalau dia berpikir saya sombong gara-gara hanya membaca pesannya saja. Begini balasan saya;

Alhamdulillah gue baik, kok. Everything’s fine here.
Duh... Jangan bilang gue sombong, dong. :p

Tak beberapa lama kemudian, dia merespons.

Emang elu sombong kali! Di twitter jarang mensyen, di path juga jarang nyapa.
Di whatsapp apalagi!!!

Saya terkesiap ketika saya mendapati tiga butir tanda seru yang berada di akhir kalimatnya. Secara tiba-tiba saja rasanya kepala saya seperti dihujani jutaan tanda tanya. Tapi dalam waktu yang bersamaan, saya pengin ketawa. Terus bertanya dalam hati, emangnya saya sombong, ya? Letak kesombongan saya di mana, sih? Saya kan cuma ciptaan Tuhan yang nggak ada bedanya sama manusia yang lain...

Merasa gerah dengan tudingan yang tidak sesuai kenyataan, akhirnya saya menginjakkan jemari saya secepat mungkin di atas touchscreen dan membalas seperti ini;

Sori, bukannya sombong.
Waktu itu gue udah nyapa di twitter,guma gue nggak dapet tanggapan apa-apa.
Gue liat di timeline, lo juga kayaknya lagi sibuk sama temen-temen lo yang baru J

Selang beberapa lama, dia menanggapi pesan saya.

Itu mah geng rumpi gue, Joy. Anaknya asik-asik, kok.. Hahaha

Menurut saya, kalimat itu sudah sangat jelas menunjukkan bahwa Mike merasa lebih nyaman dengan teman-temannya yang sekarang. Dengan kata lain, saya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan mereka.

Saya menghela napas dalam-dalam, menetralkan amarah saya yang meluap-luap di kepala. Dan beruntungnya, saya bukan tipe orang yang temperamental dan lumayan sanggup mengendalikan emosi saya (untuk hal-hal tertentu) sehingga saya tidak perlu membanting ponsel saya detik itu juga. Jadi, saya hanya diam dan tersenyum. Mengambil tindakan dengan menghapus chat history saya dengan Mike dan mematikan ponsel saya agar tidak ada lagi gangguan-gangguan berikutnya.

Sepanjang malam – sebelum saya terpejam – saya merenung kembali saat-saat di mana saya dan Mike biasanya bercakap-cakap di Whatsapp, atau bahkan bergosip via telepon hingga dini hari.  Kami sering membicarakan topik yang jenisnya beraneka ragam. Dimulai dari menasihati kelakuan saya yang suka berharap terlalu tinggi kepada seseorang yang belum tentu menyukai saya, kemudian giliran saya yang memberinya wejangan-wejangan sederhana supaya tidak kelewat naif terhadap orang yang dia taksir. Selalu ada timbal balik yang wajar setiap kali kami menumpahkan isi kepala.

Saya rindu momen-momen manis seperti itu.

Namun percakapan bersama Mike tadi sore membuat saya bernala-nala, bagaimana dia bisa berkata demikian? Bagaimana dia bisa menilai saya sebagai orang yang sombong sementara kami sudah bersahabat sejak lama? Dan padahal, selama ini saya selalu menjaga komunikasi dan hubungan pertemanan kami sebaik mungkin. Bahkan saya tidak pernah sekali pun mencoba memulai satu permusuhan.

Apakah hanya saya satu-satunya objek yang patut dijuluki sebagai sahabat yang sombong?

Kenapa dia sendiri tidak bisa menyadari kalau sebagian masalah ini juga berasal dari kesalahannya?

Hingga pada satu waktu, saya menyadari bahwa waktu selalu membuat sebuah perubahan. Mike telah memiliki satu lingkaran pertemanan yang baru di saat intensitas percakapan kami tidak sesering dulu. Belakangan ini saya memang kerap menyibukkan diri dengan menulis. Mike sendiri tahu mengenai kesibukan saya, dan barangkali dia berupaya menjaga jarak agar tidak terlalu mengganggu saya. Mungkin itulah salah satu faktor yang membuat dua di antara kami seperti saling bersisian.

Dalam kasus ini, saya tidak tahu siapa yang benar-benar egois. Selama ini saya telah mencoba bersikap seadil mungkin. Saya juga memiliki teman-teman yang lain. Tapi saya tidak pernah melupakan Mike. Sekalipun saya tidak ingin belajar membenci seseorang hanya karena sebuah kesalahpahaman. Namun, jika sahabat saya itu lebih memilih untuk bergabung bersama teman-temannya yang baru, saya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Semua keputusan itu sepenuhnya berada di tangan sahabat saya.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar