Write. Anywhere. Anytime.

Selasa, 20 Agustus 2013

Life Goes On

Pagi itu, aku bangun lebih awal. Aku beringsut turun dari ranjang dan keluar dari kamar sesaat setelah aku dihadiahi spektrum ilusi yang membuatku teramat merindu. Beberapa di antaranya adalah sejumlah suara semu yang tidak kuketahui dari mana mereka berasal.


Aku melangkah gontai ke ambang pintu rumahku, duduk bergeming di sana sembari menengadahkan kepala. Menyaksikan selendang biru yang membentang luas di sepanjang cakrawala beserta riak-riak awan putih yang sedang berdansa di sekitarnya. Angin bertiup kencang tanpa perhitungan sekalipun bola api di atas sana berpijar terik tak terkira. Satu demi satu dedaunan pohon jambu di halaman rumahku mengelupas dari rantingnya yang tampak telah menua.


Dalam diam aku membatin, ini tidak terasa seperti biasanya.


Aku tidak tahu apa yang sedang kualami. Bahkan, aku tidak mengerti mengapa aku memilih untuk duduk di sini. Biasanya, aku akan hanyut dalam damai setiap kali aku berada dalam ketenangan yang demikian. Hanya saja semuanya telah berbeda. Ada semacam perasaan gelisah yang membuatku takut dan tiba-tiba ingin meneteskan air mata.


Aku menoleh ke belakangku untuk sejenak. Menyaksikan sebuah ruangan yang senyap tanpa penghuni selain barang-barang pajangan dan aneka benda mati. Tidak ada siapa pun di sekitar sana. Tidak ada suara, maupun sosok yang tenangkan jiwa. Yang ada hanya sepi.


Pikiranku kembali terlempar pada sederet kenangan yang kulalui beberapa hari kemarin. Masa di mana segalanya terasa begitu hangat. Ada gelak tawa, ada sukacita, dan ada cerita yang senantiasa menjadi bukti kebersamaanku dengan seluruh penghuni di rumah ini. Dan biasanya, semua bentuk keceriaan itu akan kutemui di saat-saat seperti sekarang.


Aku juga masih mengingat dengan jelas saat bocah-bocah kecil itu berteriak dengan suaranya yang sumbang pada suatu pagi, kemudian diselingi dengan nyanyian yang terus berlanjut tanpa tahu kapan mereka akan mengakhiri. Atau momen di mana mereka berteriak menangisi sesuatu yang seharusnya mereka miliki. Dan tak ayal, tangis itu pun akan segera berhenti saat salah satu dari penghuni rumah ini mencoba menenangkan keadaan dengan caranya sendiri.


Selama beberapa saat, aku hanya terdiam sembari menyeka bulir tangis yang tertahan di ekor mataku. Aku membayangkan bila seandainya sukacita seperti itu tidak lagi tercipta dengan esensi tawa yang seutuhnya. In bottom line, tanpa suatu kebersamaan dalam keluarga, atau setelah terjadi sebuah perpisahan.


Aku beranjak dari dudukku, tahu bahwa semua kenyataan ini harus kuhadapi. Karena pada suatu waktu, aku menyadari bahwa fase inilah yang disebut fase pendewasaan. Siap atau tidak, hidup akan terus berjalan – dengan atau tanpa perencanaan.



Bangka, 20 Agustus 2013

Teras rumah...
Be First to Post Comment !
Posting Komentar