Write. Anywhere. Anytime.

Jumat, 13 Desember 2013

Fragile Heart


Setahun yang lalu, segalanya masih belum serumit ini. Aku masih dapat menikmati gejolak perasaan menyenangkan setiap hari, tersenyum di depan cermin seorang diri, bahkan menulis kata-kata indah di setiap halaman buku binder-ku. Semuanya terasa indah pada saat itu.

Aku mengenalnya sudah cukup lama. Lewat cara konvensional di social media - Twitter - aku dan dirinya sering bertutur sapa. Sekadar bersinggungan mengenai twit-twit yang lucu, berperang sajak, bahkan tak jarang kami berbincang di Direct Message. Dan ya, aku amat bahagia dapat berkenalan dengannya. Aku sudah menganggap dirinya sebagai kembaranku sendiri.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan tak terasa kami berjumpa dengan bulan April. Ketika itulah segalanya mulai berubah secara perlahan. Aku mulai sering mengiriminya ucapan selamat pagi, mengucapkan selamat tidur sebelum kami bermimpi, dan tentu - aku sering menuliskannya puisi. Aku bahkan tak ragu-ragu meminta nomor ponselnya pada waktu itu.

Bertukar nomor ponsel seolah menjadi jembatan bagi kami berdua. Kami sering terjebak dalam pesan singkat yang berisi lelucon konyol dan ledekan garing. Aku juga kerap mengabarkannya setiap kali aku menulis. Entah mengapa aku mau melakukannya, aku sendiri tidak tahu. Yang kutahu, setiap kali berbicara dengannya, darahku berdesir hangat seolah dialiri gelombang semangat tak tanpa batas. Dan aku amat menikmatinya.

Tapi sayangnya, waktu bergulir begitu cepat bagai desingan peluru. Semakin banyak biaya yang kami habiskan untuk percakapan di dunia maya, semakin besar pula bahagia itu tercipta. Dan secara tidak langsung, aku tersadar bahwa aku telah jatuh cinta. Lebih tepatnya, aku telanjur suka. Teramat suka pada sosoknya yang menyenangkan, yang tenang, yang selalu membuatku kangen setiap waktu.

Aku menikmati setiap bulir kebahagiaan itu mengisi kepalaku sepanjang hari. Dan selagi aku terjebak dalam lembah yang dipenuhi warna-warni cinta, aku juga sering dihujani rasa cemburu yang tak beralasan. Aku sering menangis karena rindu terhadap dirinya yang sering menghilang. Bahkan, aku pernah merasakan hal-hal seperti itu selama berbulan-bulan sampai aku tak dapat lagi berpikir secara normal. Akal sehatku seolah-olah mendadak lumpuh.

Hingga pada hari ini, sesuatu yang tak pernah kuharapkan benar-benar terjadi.

Aku tidak tahu apa penyebab sebenarnya. Karena sejak dua hari kemarin, semuanya masih terlihat baik-baik saja. Aku masih menjalin komunikasi dengannya via pesan singkat. Mengiriminya puisi dan bercakap-cakap barang sejenak. Tapi entah kenapa, sewaktu aku hendak membuka akun Twitter-ku, aku melihat satu keganjilan yang membuatku berpikir; ada yang tidak beres dengan jumlah followers-ku.

Aku tahu, ini masalah yang sepele dan sangat wajar. Namun yang tak kumengerti adalah, seseorang yang tidak berada di sana adalah namanya. Selama sejenak, perutku terasa mulas selagi jantungku berdegup kencang. Kepalaku mulai dihujani sejumlah tanda tanya dan spekulasi burukmyang tak kuketahui dari mana datangnya.

Meraih ponselku, dan mencoba menghubunginya. Sekadar bertanya mengenai alasan atau penjelasan singkat sehingga dia melakukan hal seperti itu. Setelah cukup lama menunggu, dia pun menanggapinya dengan satu kalimat yang berisi kata 'maaf'. Aku tidak mengerti kenapa dia harus minta maaf. Karena bagiku, followers are just a number. Aku bahkan tidak peduli seberapa banyak jumlah followers di akun Twitter-ku.

Sampai pada akhirnya, dia menjelaskan alasannya serinci mungkin. Ada sesuatu yang membuatnya harus menjauh, haris menjaga jarak dariku. Dan langkah kecil itu tentu saja dimulai dari social media. Aku berpikir, kenapa sih harus ada drama follow-unfollow-block-unblock di social media? Kenapa??? Itu semua terlalu kekanak-kanakkan!

Dia juga berkata padaku tentang sesuatu yang sulit sekali untuk kuterima. Maksudku, aku sudah berjanji untuk memaklumi apa pun alasannya. Tapi apa yang dia ucapkan begitu -- begitu ganjil dan tidak masuk akal. Aku tidak mengerti. Yang pasti, pada saat itu aku mengungkapkan apa yang telah kusimpan selama ini terhadapnya. Biar saja! Biar dia menyadari semuanya.

Tapi kemudian, tampaknya aku harus menelan kecewa. Semua upayaku tak membawa perubahan. Dia lebih memilih untuk pergi, sementara aku tidak berhak untuk menahannya. Karena akan lebih sakit jika kubiarkan dia bertahan lebih lama. Jadi, mau tidak mau aku mengikhlaskan pilihannya.

Aku sadar, semua orang memang berhak memilih siapa yang hendak dia jadikan sebagai sahabat ataupun teman hidup. Seperti apa pun keputusannya, tidak seorang pun yang pantas untuk melarang.

Saat menulis kisah ini, aku memang merasakan sakit hati yang teramat dalam. Kecewa sekaligus bercampur putus asa. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menanam benci, sekalipun dia berkata bahwa aku pantas untuk membencinya. Aku tidak mau. Kebencian tidak akan membuahkan apa pun selain kebencian itu sendiri.

Dan jika suatu hari nanti kamu membaca tulisan ini, aku ingin kamu tahu bahwa aku masih tetap sama. Sedikit pun tak akan pernah lupa pada seluruh masa lalu kita - meskipun kini ia telah berakhir.

*teruntuk inisial H.A

Be First to Post Comment !
Posting Komentar