Write. Anywhere. Anytime.

Sabtu, 24 Juni 2017

The Reason

Sebelum memulai tulisan ini, saya sudah membayangkan seperti apa respons dan konsekuensi yang akan saya terima. Sebagian di antara kalian mungkin beranggapan apa yang saya beritahukan di sini bukanlah sesuatu yang penting; atau barangkali, sebagian sudah menanti-nanti apa yang terjadi pada saya selama satu bulan terakhir.

Tepat sekali. Semua yang ingin saya sampaikan sebenarnya berkaitan dengan alasan saya menonaktifkan sejumlah akun sosial media untuk sementara waktu.

Akhir-akhir ini, saya harus bilang bahwa sosial media membawa dampak begitu besar di dalam kehidupan saya sehari-hari. Begitu pula dengan seluruh konten yang – tak bisa kita pungkiri – terkadang bisa sangat bermanfaat atau justru mendistraksi segala keteraturan sehingga aktivitas kita menjadi sangat tidak produktif. Sebut saja sejumlah kasus politik yang belakangan ini menyerupai letupan kembang api yang saling bersahut-sahutan. Satu konflik baru muncul ke permukaan, kemudian tak butuh satu hari sampai semua orang berbondong-bondong membicarakan kasus tersebut. Tak jarang, satu kubu akan menyerang kubu yang lain sehingga mengakibatkan satu pertikaian karena keduanya saling beradu pendapat atau salah satu tidak cukup dewasa dalam menerima satu kekalahan.

Kendati demikian, beberapa orang justru menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat wajar di dalam ekosistem sosial media. Bahkan ada yang berpendapat, “bikin onar adalah cara terbaik untuk meraih satu popularitas.” Ironis ketika orang-orang di luar sana bersusah-payah menciptakan sejumlah prestasi, sementara masih ada yang tak keberatan mempermalukan diri sendiri.

Twitter dan Facebook adalah dua platform sosial yang cukup sering saya gunakan sejauh ini. Saya menggunakan keduanya untuk mempermudah saya dalam berinteraksi dengan orang-orang yang saya kenal, promosi buku atau project yang sedang saya kerjakan, mengunggah foto-foto dari smartphone saya, atau sekadar membagi tautan yang di-posting oleh salah satu akun resmi. Namun, entah bagaimana keduanya seolah berubah menjadi medan perang di mana semua orang berlomba-lomba mencapai puncak dunia.

Tak jarang saya terdorong untuk menyampaikan isi kepala saya dan bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan mereka? Untuk sesaat, saya berpikir bahwa yang saya lakukan adalah tindakan yang tepat. Toh tidak ada yang membatasi kebebasanmu dalam beraspirasi di sosial media. Tapi, kemudian rasa sesal menghinggapi diri saya. Serta-merta saya berpikir, apa bedanya saya dengan mereka di luar sana? Berusaha mendapat pengakuan dengan bersikap sarkastik. Bukankah akan lebih baik apabila mereka tak perlu mengetahui kemarahanmu?

Pertanyaan itulah yang menghantui saya selama berhari-hari sampai saya tergerak untuk menjauhi Twitter dan Facebook selama beberapa saat. Menonaktifkan keduanya bukanlah sebuah tantangan besar. Saya sering melakukannya setiap kali saya butuh waktu untuk berkonsentrasi terhadap satu hal, atau pada beberapa alasan yang tidak bisa saya jelaskan secara spesifik. Selain itu, saya sengaja melakukannya karena bertepatan dengan momen Ramadan. Saya tidak ingin jari-jari saya mengetik kalimat sarkasme yang justru akan merusak ibadah puasa yang saya jalani. Sebisa mungkin menjauhi mata saya dari segala sesuatu yang tidak ingin saya lihat. Pun saya tidak ingin seseorang memancing emosi saya yang kelak akan berujung pada perdebatan.

Maka, pada 26 Mei lalu, saya harus menekan tombol ‘deactivate’ dan mulai membiarkan diri saya hidup dalam dunia nyata. Sebisa mungkin berhenti mengakses sosial media, meskipun saya kerap muncul di Instagram dan sesekali mengunggah foto. Hari-hari tanpa Twitter dan Facebook lebih sering saya habiskan dengan membaca buku dan menyelesaikan naskah yang sedang saya tulis. Saya juga menyisihkan 10 menit dalam satu hari untuk bermeditasi di tengah malam. 


Kini, setelah sebulan berlalu, atau lebih tepatnya setelah 28 hari di bulan Ramadan, saya mulai mengaktifkan akun Twitter dan Facebook saya kembali. Tentu segalanya terasa berbeda seperti terakhir kali saya meninggalkannya. Sedikit demi sedikit saya harus terbiasa dengan segenap informasi yang sempat saya jauhi beberapa waktu kemarin. Satu hal yang pasti, saya merasa sedikit lebih bijaksana dalam menggunakan sosial media. Tidak perlu memeriksa smartphone untuk hal-hal yang kurang penting, tidak menjadikan Twitter dan Facebook sebagai candu karena saya memiliki sejumlah prioritas di kehidupan nyata. Lagi pula saya percaya, tak selamanya teknologi memiliki nilai yang istimewa. Pada akhirnya ia justru membuat manusia lekas merasa jenuh.  
Jumat, 21 April 2017

Sayonara, Mewko - Tentang Pertemuan dan Kehilangan

Apa yang pertama kali terlintas di pikiranmu ketika mendengar bulan April? Langit biru dan matahari yang berpijar cerah? Warna-warni bunga yang bersemi? Atau justru hujan yang sesekali datang dan tak ingin pergi?

Bagi saya, April tak ayalnya seperti hari-hari yang penuh kejutan. Ada-ada saja peristiwa yang terjadi di luar ekspektasi. Dan anehnya, beberapa peristiwa itu identik dengan awan kelabu, hujan air mata, mendung dan hujan yang sesungguhnya.

Saya masih ingat dengan jelas rangkaian peristiwa pada Sabtu di siang yang dipenuhi rintik gerimis itu. Bau asap kendaraan dan aroma aspal yang basah, kardus-kardus terbengkalai, dan seekor anak kucing yang bersembunyi di balik ember kosong. Di bawah payung merah yang melindungi kepala saya dari sisa hujan, saya memperhatikan sosoknya yang mungil. Dia menatap saya iba. Saya mengajaknya berbicara dengan bahasa yang (mungkin) tidak dia mengerti, membujuknya agar tetap tenang; namun semua usaha itu tak mampu membuat isak tangisnya terhenti.

Anak kucing itu terlihat seperti kucing-kucing kecil pada umumnya. Keempat kaki yang ringkih, sepasang bola mata abu-abu dan bibir yang mungil. Dia memiliki tubuh dengan bulu putih yang sangat dominan, juga ekor panjang yang hampir sama seperti ukuran tubuhnya. Satu hal yang membuat dia tampak istimewa, ada sebuah tanda berwarna hitam di atas mata kanannya.

Hal itu serta-merta membuat saya ingin memilikinya.

Maka, tanpa memikirkan risiko yang akan saya terima, saya mengambil keputusan untuk mengadopsinya. Tangisnya berhenti setelah itu. Yang terdengar hanyalah suara dengkuran yang menandakan bahwa dia nyaman berada di dekat saya.

Empat hari berlalu dengan sejumlah kegiatan yang kami lalui bersama. Dan selama empat hari, saya belum menemukan satu nama yang tepat untuk dirinya. Saya kerap memanggilnya manis, dan dia akan membalas panggilan saya dengan suara yang ceria, Suara yang masih sama seperti pertama kali saya mendengarnya. Dia selalu berlari ke mana pun kaki saya melangkah, merengek setiap kali saya lupa memberinya makan.

Untuk beberapa saat, saya memahami seperti apa rasanya menjadi orang tua. Saya jadi terbiasa meninabobokannya sebelum dia terlelap; terbangun di malam buta hanya untuk menemaninya buang air besar; menerima cakarannya setiap kali saya mengabaikan kehadirannya di sebelah saya. Dan tidak jarang saya menjadi pengganggu di saat dia sedang terlelap; menggelitik perut buncitnya, memelintir telinganya yang lebar, sampai akhirnya dia terpaksa menyudahi tidur dan kembali bermain bersama saya.

Empat hari yang terasa manis sebelum kecelakaan itu menimpa dirinya.

Sore itu, tingkah lakunya tampak aneh dan tak bersahabat. Saya tidak yakin apa yang telah terjadi karena sebelumnya dia masih baik-baik saja. Pagi hari dia masih makan seperti biasa. Dia masih sempat berlarian sebelum saya akhirnya berangkat kerja. Setelah saya berusaha mengumpulkan fakta dan bertanya ke sana kemari, akhirnya saya tahu—tenggorokannya tercekik tulang yang membuat suaranya parau dan napasnya tersengal-sengal. Dan yang paling membuat saya ikut terluka, saya tidak tahu bagaimana menyelamatkannya selain membawanya ke dokter hewan.

Betapa saya bertekad menyelamatkan hidupnya saat itu juga. Ingin dia tetap sehat, ingin melihatnya tumbuh besar dan bermain bersama saya dalam beberapa hari ke depan. Dan saya rela melakukan apa saja asalkan dia bisa tertolong dari penderitaannya.

Di hadapan dokter hewan yang tengah menangani kucing saya, tak henti-hentinya saya membuang muka karena saya tak tega mendengar rintihannya yang memilukan; tak sampai melihat hati melihat ekspresi wajahnya yang menegang, matanya yang nyaris keluar, dan aneka gestur yang menunjukkan bahwa dia tidak nyaman diperlakukan demikian. Tapi, hanya itu satu-satunya jalan. Mengambil langkah operasi dengan cara memberi obat bius sama saja seperti membunuhnya perlahan. Tulang itu mungkin bisa ditarik keluar dari tenggorokannya, namun nyawanya tak akan mungkin terselamatkan.

Susah payah saya menelan kenyataan tersebut. Meskipun proses penyembuhannya hanya berlangsung tidak lebih dari 30 menit, tetap saja saya merasa khawatir terhadap dirinya. Apakah dia akan baik-baik saja dalam beberapa hari ke depan? Akankah dia benar-benar sehat? Mungkinkah dia kembali ceria setelah ini?

Tuhan tahu saya telah berusaha.

Dan saya akan terus berusaha untuk menjaga dirinya semampu saya.

Sepulangnya dari dokter hewan, saya langsung menamainya Mewko. Saya tidak tahu dari mana gagasan itu berasal, tapi yang pasti—ia terdengar lucu untuk seekor kucing betina. Dia pun sama sekali tak keberatan dengan nama itu.

Hari setelah kunjungan ke dokter hewan itu, saya masih sering dihantui perasaan khawatir dan cemas yang tak beralasan. Saya bukan tipikal orang yang bisa percaya dengan mudah terhadap satu hal. Saya tipikal orang yang analisis dalam segala aspek. Dan saya mulai penasaran, kapan Mewko bisa mengeluarkan suara seperti sediakala? Kenapa Mewko masih tampak lesu setiap kali saya mengajaknya bermain?

Apakah suara Mewko akan hilang secara permanen setelah penyembuhan itu?
Apakah mungkin dia tidak bisa bertahan lama?
Apakah dia baik-baik saja?


Sekalipun saya bertanya kepada Mewko, saya tidak akan pernah tahu jawabannya. Dia tidak mengerti apa yang saya ucapkan. Dia juga tidak bisa bicara menggunakan bahasa yang saya gunakan. Jadi, perlahan-lahan saya mengusir aneka hipotesis tersebut dari kepala saya. Berusaha meyakinkan diri saya bahwa Mewko akan baik-baik saja.

Namun, kamu tak akan pernah tahu kapan harus memadamkan harapanmu.

Seseorang menelepon saya dan memberi tahu keadaan Mewko yang sesungguhnya. Saya sempat tidak percaya pada apa yang disampaikan orang tersebut. Lagi pula, saya ingat dengan baik, beberapa jam sebelum berangkat kerja, saya masih sempat memberinya makan dan menyuapinya susu—meskipun dia harus memuntahkan dari mulutnya.

Karena ingin membuktikan kabar tersebut, saya memberanikan diri pulang pada jam makan siang dan mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Dan kalimat klise itu kembali saya senandungkan di dalam kepala saya—everything will be alright, Joy. Anehnya, it didn’t work properly. Di saat-saat demikian, logika kerapkali mengalahkan perasaan. Itulah yang mereka namakan accepting reality.
Setibanya saya di muka rumah, saya terperangah bukan kepalang dengan apa yang saya lihat.
Mewko, dengan bulu putihnya yang bersih, terkapar tak berdaya di atas seonggok kardus. Sepasang matanya terpejam meskipun tak tertutup erat. Saya menghampirinya dengan langkah pelan, dan berusaha mengucapkan kalimat klise tadi berulang-ulang. Tapi faktanya, tidak ada yang baik-baik saja; ini adalah sesuatu yang tidak saya inginkan.

Saya meraba bantalan tangannya yang pucat. Dingin. Menggelitik perutnya beberapa kali, berharap tindakan saya bisa membangunkan tidurnya. Tapi tidak ada reaksi sama sekali yang saya terima. Mewko bungkam dalam kedamaian yang dia miliki. Atau barangkali, saya terlalu tuli untuk mendengar suaranya yang lirih. Saya tidak sadar apakah dia sempat menjawab panggilan saya dan meminta saya untuk merengkuh tubuhnya.

Mewko, saya harap kamu memaafkan saya karena saya mengabaikan permintaanmu.
Segenap fragmen itu kembali berputar di koridor memori saya. Hari di mana saya menatapnya untuk pertama kali; seorang pria di bawah lindungan payung merah, jatuh cinta kepada sepasang mata abu-abu dan tanda hitam di atas mata kanan yang dimiliki seekor kucing kecil.

Saya akan selalu ingat malam di mana kamu merengek minta ditemani buang air di dalam kamar mandi. 
Saya akan selalu ingat saat kamu dengan gemasnya mencakar setiap anggota saya karena saya tidak kunjung bangun.
Saya akan selalu ingat pada lengking suaramu yang menyerupai chord A major.
Saya akan selalu jatuh cinta pada setiap kenakalan dan keempat kakimu yang ringkih.
Dan saya tidak akan pernah lupa air matamu sewaktu dokter itu berusaha menyembuhkanmu.


Sekali lagi, maaf yang sedalam-dalamnya.
Maaf karena saya belum bisa menjadi majikan yang baik.
Maaf karena sering menelantarkan kamu selama saya bekerja.
Maaf apabila rengekan kamu seringkali tidak mampu saya sanggupi.
Maaf untuk fasilitas di kamar yang seadanya.
Maaf karena sering mengusik waktu tidurmu,
Maaf karena saya terlalu lalai sehingga kamu tiba-tiba hendak pergi.
Maaf apabila kepergianmu masih belum saya ikhlaskan.


Dan, terima kasih karena sudah bersedia dibawa pulang di hari Sabtu yang rintik itu. Terima kasih atas enam hari yang menyenangkan dan tak terlupakan bersama kamu. Things come and go, but memories about you will still remain, Mewko. Berisitarahatlah dengan tenang.
Rabu, 08 Februari 2017

Sepekan Bercinta Dalam Cinta Akhir Pekan


Rasanya baru kemarin saat saya dan Dadan Erlangga duduk di meja yang sama. Secangkir Earl Grey Tea hangat, perbincangan yang mengalir dari topik ke topik, dan alunan musik dari sound system di restoran Giggle Box. Saya masih ingat lagu yang diputar pada siang hari yang mendung itu—Star In Your Eyes milik Mocca.

Dan saya akan selalu ingat bahwa setahun lalu, tepat hari ini, adalah pertemuan pertama kami.
Gagasan itu terbentuk ketika saya sedang menghabiskan malam terakhir saya di kota Bandung. Usai berkunjung ke Gramedia Merdeka, saya membawa pulang aneka buku dengan harga murah. Satu di antaranya terdapat karya milik Dadan Erlangga. Ialah Dongeng Patah Hati, omnibook sejumlah penulis yang diterbitkan Gagas Media. 

(Jelaga, sebuah cerpen yang ditulis Dadan Erlangga dalam buku Dongeng Patah Hati)

Saya tak perlu membuang waktu untuk sekadar bertanya apakah beliau bersedia bertemu esok hari?
Dadan Erlangga, dengan segala kemurahan hatinya, menyanggupi permintaan saya. Senin adalah hari di mana kamu bisa menculiknya seharian penuh. Dan atas jawaban itu, kami sepakat untuk bertemu di Giggle Box Braga City Walk.

(Sesi booksigning bersama Dadan Erlangga)


Beragam kisah yang dia bagikan siang itu berhasil menambah pengetahuan saya. Dia baru saja selesai menandatangani buku Dongeng Patah Hati persis di halaman yang saya minta. Namun, semua itu masih jauh dari kata selesai. Dia menghadiahi saya sesuatu setelah saya membahas buku terbarunya yang berjudul Cinta Akhir Pekan. Sebuah amplop Par Avion yang dibubuhi stempel berinisial namanya.



“Ini apa, Kak?” tanya saya.

“Sebenarnya itu bonus dari buku Cinta Akhir Pekan. Cuma orang-orang yang beli via pre-order aja yang bisa dapat itu.”

“Aku penasaran sama isinya.”

“Jangan dibuka dulu!” cegahnya. “Baru boleh dibuka kalau udah selesai baca bukunya. Tapi, biar nggak penasaran, aku kasih clue deh. Ini semacam extension part dari bukunya, kayak mid-credit di film-film gitu.”

Saya semakin dihujani rasa penasaran. Betapa saya ingin melanggar nasihatnya kala itu; betapa saya ingin segera pulang ke rumah untuk mengambil buku Cinta Akhir Pekan dan melahapnya di Bali kelak. Dan betapa satu tahun terasa sangat cepat ketika saya berhasil menuntaskan Cinta Akhir Pekan dengan sisa tangis yang membasahi mata saya.

Nyaris kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan isi buku tersebut. Kamu akan merasa jengkel, bahagia, terharu, sedih, kesal, dan terpukau secara bersamaan. Dan satu fakta bahwa penulis yang hebat adalah mereka yang sanggup mengguncang emosimu.

Chandra yang polos, namun penuh kejujuran dan pemberani.

Arlin yang ceroboh, namun lovable.

Dita yang misterius.

Dan kamu tak akan pernah menebak bahwa di balik sosok yang tampak sempurna, selalu ada sejuta keburukan yang tersimpan rapat.




Terus terang, membaca Cinta Akhir Pekan rasanya tak cukup sekali. Saya berharap Dadan Erlangga menghadiahi saya mesin waktu alih-alih sebuah amplop. Seandainya saja saya bisa memutar waktu dan mengubah takdir yang menimpa Arlin; seandainya saja dia tidak terlalu bodoh; seandainya saja dia menyadari perasaan pria yang mencintainya meski diam-diam; seandainya saja Chandra berani berterus terang sedari awal.

Tapi, saya bukanlah author kisah ini.

Dadan-lah yang memegang kendali. Dia telah berusaha semampunya melahirkan Cinta Akhir Pekan. Melewati ratusan hari dengan cangkir kopi dan pinggang yang nyaris copot. Dan saya rasa, sebagai seorang pembaca, saya patut memberi sebuah apresiasi.

Dadan Erlangga menulis dengan cara yang sangat manis. Dia seperti vanila pada secangkir teh yang kamu sesap. Kamu tak akan pernah tahu kapan kalimat puitisnya akan berakhir, dan tanpa kamu sadari segalanya berubah getir. Tulisannya begitu rapi dan magical. Jarang sekali ada seorang penulis selembut dirinya.

Untuk melengkapi review ini, saya anugerahi empat buah bintang kepada Cinta Akhir Pekan.


 Empat bintang tersebut mewakili beberapa poin sebagai berikut:
1.       Karena keunikan karakter yang dia ciptakan
2.       Twist dan jalan cerita yang mirip roller-coaster
3.       Pemilihan diksi
4.       Minim typo (meskipun saya sempat menemukan satu atau dua)

Siapa pun yang mendambakan kisah cinta yang ringan, manis, namun tetap asyik, bisa membaca buku ini. Saya bisa menjamin Cinta Akhir Pekan bisa membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama.