Write. Anywhere. Anytime.

Rabu, 16 Oktober 2013

Buyung yang Malang

Siang itu, hujan datang tanpa diundang. Langit berubah gelap diselimuti kubangan awan mendung. Padahal, sejak tadi pagi matahari bersinar cerah. Hal itu seolah meyakinkan bahwa sepanjang hari tidak akan turun hujan.

Buyung sedang berada di ruang tengah. Berkutat di hadapan buku dan alat tulis sambil mengerjakan PR. Matematika menjadi satu-satunya pelajaran yang ia takutkan. Ia tak pernah menyukai rumus atau teka-teki yang terdapat pada soal cerita. Ia lebih baik membaca, menghafal, atau bahkan menulis karangan sebanyak dua halaman.

Dan sejak naik ke kelas empat, Buyung sudah terbiasa mengerjakan segalanya sendirian. Ayahnya bekerja sebagai petani. Ibunya hanya seorang buruh cuci. Ia juga tak pernah meminta bantuan pada kedua kakaknya karena ia tak ingin merepotkan mereka. Mengerjakan PR saat sepulang sekolah, istirahat di kala siang, mengulangi pelajarannya di kala malam. Begitulah aktivitas Buyung sehari-hari.

Mendengar deru hujan yang menimpa atap rumah mereka, ibu Buyung yang sedang berada di kamar mandi bergegas berlari untuk mengangkat jemuran. Cuciannya ditinggalkan sementara. Buyung yang sejak tadi sibuk menghitung pun ikut berlari. Ia menyusul ibunya keluar dan hendak memberikan bantuan. Saat itu, Buyung masih berusia sembilan tahun. Badannya ceking, tangannya pun agak ringkih. Jadi, wajar saja kalau ia tidak bisa segesit ibunya dalam bergerak.

"Duh!! Kalau kayak gini kan jadi memperlambat kerjaan Ibu!" Ibunya menggertak saat melihat pakaian-pakaian setengah basah itu terlepas dari pelukan si Buyung.
Buyung mencoba berkata, "Tapi, Bu - "
"Sudah, kamu masuk ke dalam! Bukannya membantu malah bikin repot!" Ibunya marah-marah.

Alih-alih bersikeras untuk membantu, Buyung yang merasa patah hati pun segera berganjak pergi dan masuk ke dalam rumah. Kakinya yang penuh debu tak menghalangi niatnya untuk segera naik ke atas dipan rongsok.

Buyung membenamkan wajahnya pada bantal yang bersarung kain batik lusuh itu. Menjatuhkan air mata sambil menahan sesenggukan yang bercampur dengan aroma tengik dari bantalnya. Ia tak peduli. Ia sudah telanjur sakit hati. Sebagai seorang anak, ia merasa begitu kerdil dan tak berguna di hadapan orangtuanya.

Pernah suatu hari, saat sepulang sekolah, Buyung menyaksikan sesuatu yang begitu mengiris-iris pembuluh nadinya. Dia melihat teman sekelasnya, sedang duduk di atas motor bebek bersama ayahnya. Menyantap es lilin dengan lahap karena terik matahari yang amat menyengat. Sementara, Bayu yang berjalan sendirian hanya dapat menikmati pemandangan itu dengan tatapan nanar. Debu yang beterbangan membuat pikirannya terlempar pada ayah dan ibu di rumah. Dia bergeming di dalam hati, jangankan untuk makan es lilin, pulang bersama orangtua pun aku tak pernah.

Buyung tahu, kedua orangtuanya sibuk bekerja. Sepanjang hari selalu dihabiskan untuk mencari uang. Pontang-panting tak kenal waktu, baik siang maupun malam. Buyung sadar kondisi keuangan yang dialami keluarganya. Oleh karena itulah, Buyung tak pernah merengek untuk membeli makanan. Paling banter, Buyung hanya meminta sebuah sepatu lantaran sepatu yang lama sudah jebol akibat tak pernah diganti sejak duduk di kelas satu. Itu pun karena Buyung memakai sepatu bekas milik kakaknya yang masih layak.

Buyung selalu menyayangi kedua orangtuanya sekalipun ia berada dalam keluarga yang serbasederhana. Terutama pada ibunya yang semakin hari semakin tua. Kadang, Buyung selalu mendapati ibunya jatuh sakit. Ia tahu, ibunya menderita TBC. Dan gejala yang demikian selalu muncul kalau kondisi tubuh seseorang terlalu lelah. Oleh sebab itulah, Bayu merasa wajib melindungi ibunya dalam situasi macam apa pun.

Sewaktu tangis itu mulai berangsur reda, Bayu berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Kalau bisa, aku rela memberikan nyawaku untuk ibu. Agar ia dapat melanjutkan hidup tanpa perlu terbebani oleh penyakitnya."

Be First to Post Comment !
Posting Komentar