Write. Anywhere. Anytime.

Jumat, 25 Oktober 2013

Why I Don't Wanna Be an Employee


Siang itu, orangtua saya kedatangan seorang tamu dari jauh. Saya tidak tahu siapa orang itu. Yang saya tahu, mereka terus berbincang-bincang di ruang tamu. Dimulai dari menanyakan kabar satu sama lain, bagaimana kondisi anak-anak, sampai yang menyangkut kehidupan pribadi anak-cucu masing-masing. Saya sendiri sempat mendengar dia menanyakan bagaimana kabar saya. Dan orangtua saya hanya bilang kalau saya jobless dan nggak punya kesibukan apa-apa.

Sontak saya terenyuh. Terkejut sekaligus tidak mengerti bagaimana kalimat itu bisa meluncur dari mulut kedua orangtua saya.

Di dalam kamar, saya masih terdiam. Saya duduk termenung di hadapan laptop yang menampilkan revisi naskah saya sambil merenungi kalimat barusan. Mata saya terasa memanas. Saya pengin menitikkan air mata. Tapi saya tidak mau menunjukkan kesedihan. Saya sudah berjanji untuk tidak menangisi hal-hal yang terdengar sepele.

Namun, saya masih nggak pernah mengerti mengapa orang-orang selalu menganggap sebuah pekerjaan adalah keharusan. Sesuatu yang dinilai komersil dan memiliki nilai jual. Mereka bilang, nggak punya pekerjaan nggak akan bisa hidup. Jujur, saya sendiri pernah berpikir demikian. Tapi itu dulu banget. Saat saya masih memiliki ambisi untuk meneruskan hidup dengan cara yang normal.

Tapi kenyataannya, saya hidup di dunia yang tidak normal. And I’m not normal actually...

Sejauh ini saya justru merasa nyaman dengan kesibukan saya sebagai seorang tenaga pengajar lepas dan seorang penulis – sekalipun itu belum mendapat pengakuan secara luas. Tapi, apakah sebuah pengakuan menjadi nilai tolak ukur yang mutlak? Dan, apakah uang menjadi satu-satunya simbol bahwa orang tersebut memiliki pekerjaan?

Saya tekankan sekali lagi bahwa itu tidak benar. Saya sendiri tidak beranggapan demikian. Bagi saya, pekerjaan adalah sesuatu yang harus dikerjakan berdasarkan sebuah tuntutan. Sementara, profesi adalah sesuatu yang telah dipilih oleh seseorang dengan alasan kecintaan dan keikhlasan. Begitu pula anggapan saya terhadap kesibukan yang saya tekuni sampai pada saat ini. Terus terang, uang adalah urusan yang kesekian. Yang terpenting adalah selama saya cinta terhadap apa yang lakukan, itulah profesi saya yang sesungguhnya.

Saya sudah pernah merasa hidup di bawah tekanan sebuah institusi yang mengharuskan saya bangun pukul tujuh pagi, bersiap-siap kerja dari jam sembilan sampai pukul sepuluh. Dua belas jam dalam sehari, tujuh puluh dua jam dalam seminggu. Terkadang lembur saat akhir pekan. Bayangkan  ketika saya melakukan aktivitas yang hanya itu-itu saja di dalam lingkaran yang teramat membosankan. Sedikit membuat kekeliruan, surat peringatan pun melayang. Begitu menjenuhkan hingga akhirnya saya mengambil keputusan untuk resign dan kembali untuk menulis.

Di pekerjaan saya yang sekarang, memang masih ada sistem yang seperti saya bilang barusan. Bangun pagi, mandi, mengajar dari jam sekian sampai jam sekian, menulis dari jam sekian sampai jam sekian. Tapi terus terang, siklus tersebut diciptakan oleh saya sendiri. Andaipun saya melanggarnya, saya harus menerima konsekuensi dari saya pribadi. Bukan dari orang lain.

Dan saya merasa nyaman dengan aktivitas tersebut.

Yang saya tidak habis pikir, entah kenapa kalimat seperti itu tercetus dari mulut orangtua saya? Saya pernah berangan-angan, suatu hari nanti mereka bersedua menuturkan sesuatu di hadapan teman-temannya bahwa saya seorang penulis, dengan bangganya pula menyatakan bahwa saya tidak bekerja pada suatu perusahaan ternama yang memberi saya upah per bulan. 

Saya pun sangat berharap orang-orang dapat memahami maksud dan tujuan kehidupan saya. Saya sengaja berkarya karena ingin berbagi, bukan untuk mencari uang. Dan saya senang dengan apa yang saya lakukan sekarang.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar