Write. Anywhere. Anytime.

Jumat, 23 Mei 2014

Selamat Ulang Tahun, Teman


Wednesday, May 22nd 2013
Cafe Divan, A La Renaissance, Naturalia, Rue de La Roquete, Clinique de Mesnil...
Tunggu! Aku nulis apaan, sih? Harusnya saat ini aku sedang menyiapkan dialog antara Agnes Karenina dan Fabian. Bukannya mendata satu demi satu nama tempat yang masih simpang-siur lokasinya.
Jadi, aku menutup jendela Search Engine; Google Chrome dan langsung menyambar selembar kertas scrap beserta alat tulis. Berancang-ancang untuk memulai satu kalimat percakapan yang akan dilontarkan oleh Agnes, tokoh utama dalam naskah terbaruku.
Benar! Aku tengah menulis satu cerita terbaru yang ber-setting tempat di Paris. Dan rencananya, naskah ini hendak kuikutsertakan dalam kompetisi menulis Seven Deadly Sins. Aku sengaja memilih tema Lust karena tokoh utamaku kali ini benar-benar penuh ambisi. Seolah-olah, tidak ada satu orang pun di dunia yang sanggup menghentikan jalan hidupnya.
Aku baru mau menulis satu kata kerja ketika kusaksikan Blackberry-ku menyala. Menampilkan sejumlah pengingat ulang tahun teman-temanku. Setiap pukul 9 pagi, reminder yang terintegrasi langsung dengan media sosial Facebook itu akan memunculkan notifikasi secara otomatis.
Meraih handheld berwarna putih itu dan menilik siapa saja yang berulang tahun hari ini. Hanya satu orang. Sepehr Rahmani, namanya. Dia orang Iran yang kini bermukim di London. Usianya baru 23. Tapi entah kenapa, perawakannya lebih menyerupai orang yang sudah berusia 30.
Well, lupakan Sepehr Rahmani dan seperti apa karakteristik wajahnya. Karena yang ingin kubahas saat ini adalah; ulang tahun sahabatku. Janna -- I called his Jane, sometimes. Dan kenapa aku mendadak teringat dirinya? Karena dia berulang tahun kemarin, sementara aku belum memberi bingkisan ataupun ucapan ulang tahun yang berisi harapan. Jangankan ucapan, terakhir kali menghubunginya pun aku sudah lupa kapan.
Sahabat macam apa aku ini? Tak tahu diri!
Tapi, aku tak ingin berlama-lama meratapi rasa bersalah. Aku harus melakukan sesuatu agar semuanya jadi membaik.
Aku bergegas menuju kamar. Kertas scrap beserta pulpen pun kubiarkan tergeletak di atas meja ruang tamu. Mengambil tablet-ku dan membuka aplikasi Whatsapp yang terpampang nyata di homescreen-nya. Semata-mata bertujuan mengirim pesan kepada sahabatku. Tapi, alih-alih mengetik kalimat puitis dan ucapan yang sangat klise, aku justru mengiriminya sebuah voice notes singkat yang lumayan nyeleneh.
"I dont know about you, but I'm feeling twenty-two..." Aku bersenandung kecil. Kemudian dilanjutkan dengan sejumlah kalimat yang malah terdengar seperti teriakan.
And I must confess, i'm not a verbal person. Aku tidak cukup pandai untuk berbicara langsung kepada siapa pun.
Mendengar voice notes-ku yang tidak lebih dari semenit, Janna pun menanggapinya dengan satu kalimat seruan yang dihujani sejuta tanda seru!
Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuk!!!!!!!!! Thought you forget my birthday.
Dan entah mengapa, frasa yang tertulis begitu sederhana itu seolah mampu membuat mataku berkaca-kaca. Aku tidak tahu. Mungkin saja, selama ini kami sudah seperti dua bersaudara. Atau barangkali, karena kami tak pernah berjumpa setelah sekian lama.
Hanya semesta yang mengetahui betapa aku merindukanmu, Teman...
Satu hal yang kuketahui berikutnya, kami langsung terjebak dalam percakapan panjang. Membicarakan masalah cinta, kehidupan pribadi, sampai naskah terbaru yang sedang kugarap.
Dia begitu tertarik untuk membaca cerita itu secara keseluruhan. Tapi aku menolaknya. Aku bilang, ini masih rahasia. Akan ada waktu di mana naskah itu menjadi sebuah buku yang siap untuk dibaca.
Dan aku tahu, sejak saat itu dia selalu memercayaiku.
***
Wed, 21st May 2014
"Today is my cake day. Thank you for the biggest surprise."
Sejujurnya, ada kegetiran yang muncul ketika kubaca caption foto itu. Dia diapit oleh dua orang dengan sebuah kue di tangan masing-masing. Senyum yang terkembang seolah-olah menjadi bukti valid akan kebahagiaan mereka.
But I wasnt there.
Aku berada di suatu tempat berbeda ketika dia sibuk merayakan hari ulang tahunnya.
Sahabat macam apa aku ini?
Menepuk tombol 'loves' sebelum benar-benar keluar dari beranda Instagram-ku.
***

Friday, May 23rd 2014

Kepada teman lama yang tidak perlu kusebut namanya siapa;
Ini aku lagi, hendak mempersembahkan sebuah tulisan sederhana
Sebenarnya ini bukan apa-apa, karena aku tahu -- kamu pernah membaca sesuatu yang lebih sempurna
Tapi aku juga tahu, tulisan seperti ini akan selalu membuatmu rindu
Sekaligus percaya
Kita punya mimpi bersama
Mewujudkan segalanya menjadi nyata, apa pun bentuknya
Entah kapan, kita tidak pernah tahu
Tapi tidak ada salahnya untuk percaya
Sekaligus berusaha

Kepada teman lama di mana pun kamu berada...
Waktu berlalu begitu cepat
Dan aku tak ingin semuanya jadi terlambat
Aku rasa, inilah waktu yang tepat untuk menyampaikan doa dan harapan
Selamat bertambah umur.
Jangan pernah takut dengan ketiadaan
Karena ketiadaan itu meluaskan
"Age is just a number, but maturity is a choice." - Anonymous
Selasa, 20 Mei 2014

Pertemuan Kedua (Selamat Ulang Tahun)

"
"Nah, orang-orang seperti mereka tuh disebut Jamaah Tabligh. Mereka merantau dari rumah, singgah dari mesjid ke mesjid untuk menyebar agama Islam." Tatapannya terarah pada segerombol manusia yang mengenakan baju koko dan peci di kepalanya. Orang-orang itu tampak sedang bercengkerama satu sama lain di teras mesjid Alun-Alun. Saling bersalaman ketika satu atau dua di antara mereka hendak beranjak pergi.

Aku bertanya sembari mengunyah baso tahu di dalam mulutku. "Kira-kira, berapa lama mereka pergi dari rumah?"

"Tergantung. Ada yang cuma beberapa hari, ada yang satu minggu, ada juga yang sampai satu bulan."

"Oh gitu?" tanggapku polos, sama sekali tidak pernah mendengar tentang hal itu sebelumnya. Menyadari tidak punya alasan untuk memungkiri segala pengetahuan dan kecerdasan yang dia miliki.

Dia menyeruput habis es kelapa muda di hadapannya, kemudian berkata, "Kayaknya sebentar lagi bakal turun hujan deh."
Aku menatap ke arah luar, gerimis mulai turun perlahan. Beberapa pedagang keliling yang sejak tadi hilir mudik di lapangan alun-alun pun sudah melipir ke bawah tenda abu-abu.
"Abis ini kita mau ke mana lagi?" Dia bertanya penuh semangat.
"Gimana kalau ke Braga?" ucapku spontan.
"Mau ngapain?"
"Nggak tau. Kita jalan aja, cari sesuatu yang menarik. Apa pun bentuknya..."
Suasana berubah hening. Yang terdengar hanyalah deru bising kendaraan di jalan raya dan suara para pedagang yang sibuk bergosip ria.
Sementara itu, aku masih menunggu sebuah jawaban.

***

Dia masih berada di sebelahku. Mengayunkan kedua kaki rampingnya dengan langkah yang amat tegas, namun tetap terkesan santai. Pandangannya masih lurus tertuju ke depan. Tak sedetik pun bersedia menengok atau melirik ke sekelilingnya.

Aku berusaha menyamakan kecepatan langkahku dengan langkahnya. Dalam hati berbisik, aku harus menciptakan satu keadaan yang lebih baik daripada sekarang ini. Entah bagaimanapun caranya. Maka, aku memberanikan diri untuk memulai percakapan baru.

"Lihat lukisan ini, deh!" ucapku, sekonyong-konyong berhenti tepat di hadapan salah satu lukisan yang berjejer di trotoar di sepanjanh jalan Braga.
Dia membalikkan badannya, memusatkan perhatian pada sebuah pemandangan sungai jingga yang dihuni sejumlah perahu beraneka warna. Kuduga, gambar itu mengacu pada situasi senja di Venice.
"Kapan ya aku bisa beli lukisan kayak gini?" timpalnya, menganugrahiku segurat senyum yang jail.
Aku terkekeh pelan. "Masalahnya, lukisan sebagus dan segede ini mau ditaruh di mana? Di dinding kamar?"
Dia melepaskan tawa yang begitu renyah, tawa yang kerap menimbulkan candu tersendiri untukku.
Tak lama, dia kembali melanjutkan langkahnya dengan kecepatan yang sama. Sementara aku, masih sibuk mengisi keheningan dengan menekuni jalanan ber-paving hitam yang dilintasi pengendara sepeda motor. Sesekali melirik seisi kafe Braga Huis, lalu memandang kue-kue cantik dan rainbow cake yang terpajang di etalase Sugar Rush.
Kudengar dia bersuara, "Aku baru sadar kalau hari ini hari Sabtu."
Ucapannya barusan membuatku teringat pada sebuah event mingguan yang kerap diselenggarakan di sini. Braga Culinary Night namanya. Dan pada saat yang sama, aku pun tersadar akan satu hal, tonight is Saturday Night -- malam yang amat dinantikan bagi mereka yang sudah punya pasangan (ya, kecuali aku).
"Jadi, mau malem Mingguan di sini aja atau gimana?" Aku berusaha menanggapi sewajar mungkin, tapi entah kenapa pertanyaanku barusan terdengar sangat mengecewakan.
"Nggak terlalu yakin juga, sih." Dia mengedikkan bahu sambil terus berjalan.

Kerongkonganku terasa kering. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku katakan. Karena saat ini, pikiranku pun seolah berhenti berputar. Dan aku tak punya pilihan selain terus berjalan mengikutinya dari belakang.

***

Masih membekas di ingatanku sewaktu aku berada di dalam toko Bread Life beberapa menit yang lalu. Berdiri mengamati seisi etalase yang dihuni segala rupa kue cantik berwarna-warni. Kesemuanya terlihat amat menggoda sehingga aku sempat kesulitan dalam menentukan pilihan.

Tapi, tak butuh waktu yang cukup lama sampai aku berhasil mendapatkan sesuatu yang kuinginkan. Sebuah kue kecil -- sejenis cupcake -- bertabur gula halus dengan tambahan ceri merah di atasnya. Begitu sederhana, namun tergolong istimewa.

Aku berjalan mendekati dia yang masih berdiri di depan restoran Wendy's. Berusaha menyembunyikan kantung belanjaanku saat berkata, "Buat kamu nih," menyerahkan es krim cone dengan topping Green Tea kepadanya.
Dia menolehkan kepala, lalu terkekeh pelan.
"Udah, ambil aja," aku menegaskan. "Topping-nya rada mencair gara-gara kelamaan ngantre di kasir."
"Kamu kayak anak SMA aja," dia masih sempat menimpal sebelum akhirnya menerima pemberianku.
Sadar ada sesuatu yang harus kuberikan lagi, aku pun lekas menambahkan, "And -- this one's for you too."
"Apa ini?" Sepasang alis tebalnya bertautan.
"Cek aja," tukasku seadanya, tidak sanggup menerjemahkannya ke dalam kalimat yang lebih efektif.
Menarik lengan kemeja denimnya, lalu mengintip sesuatu yang berada di dalam kantung oranye itu. Tersenyum ketika mengetahui isinya. "Joy..." Dia menatapku dalam-dalam, seolah ingin mengutarakan sesuatu yang sulit untuk diutarakan. "You don't need to do this."
"No! You really deserve it." Aku mengangguk mantap. "Ya -- meskipun aku tahu, terlalu cepet untuk ngucapin ulang tahun."
"That's okay. Lebih baik dikasih sekarang daripada ditunda-ditunda. Karena, belum tentu kamu bisa ketemu aku hari Senin nanti." Dia menganggukkan kepala, memaklumi alasan yang kusampaikan. "Anyway, thank you so much."
Senyumku terkembang sempurna ketika tahu pemberianku tidak berakhir sia-sia. Setidaknya, tanpa sebuah kalimat penolakan.
"Jadi, ke mana rute kita selanjutnya?"
Aku berpikir sejenak, berharap ada satu tempat tujuan yang bisa kami kunjungi setelah ini. Tapi, tak ada satu pun yang muncul di kepalaku. Langit sudah mulai gelap. Sebentar lagi sore akan turun. Kami tidak boleh sampai ketinggalan Bus Damri.
"Atau -- masih mau muter-muter keliling Braga lagi?" Dia memberi pilihan, sembari menungguku melontarkan jawaban.
"Sebaiknya kita pulang aja," putusku lirih.
Dia menghela napas dalamm sadar bahwa kami sudah berada di pengujung pertemuan.
Hal selanjutnya yang kuketahui, kami berdua kembali menapakkan kaki, menuju arah jalan pulang.

***

Selama perjalanan pulang, di dalam Bus Damri jurusan Kalapa-Cibiru, tak henti-hentinya saya memanjatkan rasa syukur. Sejumlah momen berharga ketika kami melintasi Jalan Dewi Sartika, singgah di mesjid Alun-Alun Bandung sambil berbagi cerita, kemudian berakhir di jalan Braga.

Segalanya terasa menyenangkan, meskipun hanya sementara. Dan saya sangat berterima kasih pada semesta yang masih mengizinkan saya bertualang dengan seorang pejalan kaki hari ini.

Selamat ulang tahun yang ke-21, kamu..

Bandung, 25 April 2014