Write. Anywhere. Anytime.

Minggu, 21 Desember 2014

Mengulang Masa Lalu (Tentang Kado yang Datang Terlambat)

Hal pertama yang terlintas di benak saya ketika mendengar nama dia adalah sesuatu yang berwarna cerah. Merah seperti sebutir ceri di dalam gelas mojito, kuning seperti langit pagi yang merekah, jingga seperti senja yang tumpah.

Warna-warna itu kerap berseliweran setiap kali saya teringat seorang sahabat Hermi Yustina.

Saya pernah mengunggah satu tulisan tentang dia sebelumya. Sesuatu yang mengisahkan kilas balik persahabatan kami. Dua tahun lalu, saat tulisan saya masih belum sempurna dan apa adanya. Dua tahun lalu, pada tanggal yang sama dan momentum yang sama pula.

Setiap orang pasti memiliki angka favoritnya masing-masing. Begitu pula dengan sahabatku yang satu itu. Angka 17 mungkin angka kegemarannya. Pun angka bersejarah dalam hidupnya. Hari di mana dia pertama kali membuka mata dan menyapa dunia.

Dan pada tanggal 17 Desember, dia akan merayakan kebahagiaannya bersama orang-orang tercinta – dengan caranya sendiri.

Itu adalah hari pertama saya bertemu dengan Hermi Yustina. Dalam balutan seragam kerja berwarna hijau, kerudung hitam yang dilipat sederhana, dan celana jins biru gelap. Saya tidak pernah menyangka jika pertemuan itu akan membawa kami ke sebuah jalinan pertemanan yang lebih erat. Karena terus terang, dia tidak terlihat seperti gadis pada umumnya. Cenderung pemalu, tidak banyak bicara, tertawa pun seadanya. Beda sekali dengan salah satu rekan kerjanya yang bernama Sari – cewek selebor, pecicilan, dan selalu melawak di setiap kondisi.

But, her speaks louder than words.

Dia tahu bagaimana membuat saya terkesan dengan sejumlah kisah tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang hal favoritnya, tentang warna kesukaannya. Ada banyak kesamaan yang bikin saya menaruh kepercayaan dan bisa menganggapnya sebagai seorang sahabat. Dan semua itu tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama sejak pertemuan kami yang pertama.

Saya bahkan masih ingat saat kami menjelajahi Blok M Square untuk sekadar cuci mata. Barangkali ada sesuatu yang lucu di sana. Tapi percuma. Kami pulang dengan tangan hampa dan lebih memilih berbelanja di atas jembatan penyeberangan. Saya juga pernah menculiknya ke restoran Klenger Burger di saat jam istirahat. Duduk di hadapan saya sambil membahas Taylor Swift, penyanyi country kesukaan kami.

Kapan itu, kami pernah tersesat di daerah Menteng saat hendak mencari restoran Ocha & Bella. Baik saya maupun dia sangat gemar berburu kuliner. Dimulai dari sekadar makanan angkringan sampai kafe-kafe populer sekalipun. Dan setibanya di Ocha & Bella, kami kembali mengulang satu kebiasaan yang rasanya sulit sekali dihilangkan. Berbicara dari hati ke hati tentang karier, tentang masalah percintaan. Well, saya selalu gagal setiap kali menjalin hubungan asmara dengan seseorang.

Saya juga pernah membangunkannya tengah malam lewat telepon untuk menyampaikan kegelisahan saya. Dia tidak hanya bersedia mendengar, tapi juga memberi solusi. Dia tahu sahabatnya sedang tidak bisa tidur, dan dia sama sekali tidak merasa keberatan.

Dia adalah pendengar yang baik.

Dia selalu hadir ketika saya butuh seseorang untuk mendengarkan apa yang hendak saya sampaikan. Tak hanya itu, dia juga mengerti bagaimana caranya memberi timbal balik yang baik. Mungkin karena dia terlahir sebagai orang Sagitarius. Biasanya orang Sagitarius dianugerahi sifat solidaritas yang tinggi.

Ah... Kalau saja saya punya mesin waktu, saya ingin sekali memutar seluruh momen itu dan mengabadikannya dengan kamera. Selama ini saya terlalu sibuk menceritakan masalah saya sendiri. Jarang sekali saya teringat untuk mengajaknya foto berdua.

Semoga di lain waktu, kami masih diberi kesempatan untuk bertemu dan tersenyum bersama di hadapan kamera.

Semoga di lain waktu, saya bisa berperan lebih banyak sebagai seorang sahabat.

Hanya tulisan sederhana ini yang bisa saya persembahkan sebagai kado ulang tahun. Saya tidak bisa menjanjikan kejutan seperti cupcake, buket bunga ataupun sepatu lucu yang sering dia pakai.

Hanya tulisan yang bisa membuktikan bahwa saya tidak pernah lupa dengan hari ulang tahunnya.

Selamat ulang tahun, Hermi Yustina.
Tetaplah berpijar seperti warna merah, kuning dan jingga
Terus belajar dan selalu diberi kesehatan untuk menggapai mimpi.
Semoga selalu merasa cukup.


Sahabatmu,
Joy Agustian.
Senin, 01 Desember 2014

The Test (Part 2)



Untuk kedua kalinya, aku mendatangi rumah sakit dengan alasan yang sama. Masih ingat dengan jelas, dua belas bulan yang lalu, aku berjalan menelusuri koridor rumah sakit hanya untuk mencari tahu di mana letak Poli Melati. Ruangan itu biasanya digunakan untuk konseling sekaligus tes darah. Dan selama melakukan pencarian, aku memandang ke arah taman yang ditumbuhi rumput liar dan pohon-pohon ketapang. Pohon-pohon itu kerap mengantarkan aroma mistik saat aku pertama kali berada di sana.

Aku tersadar bahwa aku sudah berada di kota yang berbeda.

Menapakkan kaki di Rumah Sakit SB (*disamarkan) ini seperti melempar saya ke zaman dahulu. Sebagian bangunannya adalah karya arsitektur Belanda yang masih dipertahankan sampai saat ini. Pilar-pilar megah di pintu utama, daun jendela kuno yang terbuat dari kayu jati, seperti ada kisah lama yang tak boleh dilupakan di rumah sakit ini.

Awan kelabu yang bergelayut mulai menumpahkan rintik hujan. Udara dingin berembus pulan, tapi terasa menusuk hingga ke tulang. Di sekitarku ada seorang suster berbaju putih yang tengah mendorong kereta makan siang. Lelah menghiasi wajahnya. Mengalihkan pandangan ke arah halaman yang ditumbuhi pohon-pohon cemara menjulang tinggi. Sebuah pohon pinang sedang bertahan menantang angin. Salah satu pelepahnya tampak layu dan putus asa. Bahkan, sebatang pohon pun bisa menunjukkan rasa jenuh pada kehidupan.

Hujan turun semakin deras. Aku tiba di depan ruangan yang kelihatan sepi dari arah luar. Daun pintunya menganga lebar. Melangkah ke dalam seusai mengetuk pintu dan disambut oleh seorang dokter yang telah membuat janji denganku sebelumnya. Dokter Hendrik namanya. Aku sempat berpikir dokter ini sudah berumur dan punya uban di kepalanya. Tapi aku salah. Dokter Hendrik masih kelihatan muda, meskipun aku tidak tahu persis berapa umurnya.

Kami saling bersalaman sebelum menjatuhkan diri di atas sofa. Menanyakan kabar masing-masing seolah-olah hal itu tidak boleh dilewatkan. Aku sudah sering mendengar basa-basi seperti itu dari beberapa dokter sebelumnya. Tidak butuh waktu lama sampai Dokter Hendrik menyerahkan satu lembar kuesioner dipenuhi kolom yang harus aku isi. Menekuninya dengan saksama sambil menyimak satu demi satu pertanyaan yang  mulai dilontarkan cepat.

Barangkali dokter ini termasuk orang multitasking yang sering melakukan dua hal dalam waktu bersamaan.

Aku sudah pernah melakukan VCT setahun sebeleumnya di Bangka. Dan pada waktu itu, hasil tes yang kuterima adalah negatif. Dokter Hendrik kembali meluncurkan aneka pertanyaan seperti; mengapa aku tergerak menjalani tes, apakah belakangan ini sempat terjadi sesuatu yang membahayakan kesehatanku, dan kapan peristiwa itu terjadi. Perutku menegang hebat ketika merangkai sebuah kalimat yang tepat. Tapi beruntung, jawabanku tidak serta-merta membuat dokter pusing kepala.

Begitu sesi wawancara selesai, dokter meminta kuesioner yang telah kuisi dan berpesan sesuatu kepadaku. Dia berkata, sebaiknya aku bergegas menuju laboratorium untuk pengambilan darah. Ada seorang perawatnya yang telah menungguku di sana. Dalam hati aku mengujar, inilah yang kutunggu-tunggu!

Jadi, aku keluar ruangan dan berlari menuju laboratorium. Otakku berputar mengingat petunjuk yang diberikan Dokter Hendrik tadi. Sejumlah anak tangga kulewati. Sekelompok pembesuk menatapku aneh ketuka aku melintas cepat di hadapan mereka.

Setibanya di lantai 2, aku dengan mudah menemukan ruang laboratorium. Dokter Hendrik benar. Ada seorang perawat yang sedang duduk di dalam sana. Aku lupa namanya siapa. Tapi yang pasti, perawat itu mengenakan kerudung hijau muda dan masker yang menutupi separuh wajahnya. Aku mengambil posisi duduk di hadapannya. Dan seakan tahu maksud kedatanganku, perawat itu mengambil sesuatu dari dalam laci meja.

Sebuah suntik yang masih disegel!

Semuanya berlangsung begitu cepat sewaktu aku menyerahkan lengan kiriku. Jemarinya sibuk mencari titik pembuluh darah. Kemudian, dia membuka bungkusan suntik. Tali pengikat sudah dikenakan. Aku menunduk dalam-dalam lantaran ngeri menyaksikan jarum itu menusuk ke dalam kulitku. Perih sejenak, tapi tidak berlangsung lama. Aku hanya terenyuh sewaktu dia membubuhi kapas beralkohol untuk menutupi bekas suntikan.

Seperti ada sesuatu yang ketegangan itu jadi semakin berlipat-lipat.

Kini, suntik yang tergeletak di atas meja itu sudah terisi darahku dan siap dibawa ke laboratorium untuk segera diperiksa.

Aku diminta menunggu di luar.

Harap-harap cemas menanti hasil lab yang akan keluar dalam waktu 30 menit.

***

Tiga puluh menit berlalu dalam keheningan. Berkali-kali aku menengok ke dalam ruang pemeriksaan hanya untuk memastika tes laboratorium sudah ada atau belum. Tapi, ruang kecil yang bersebelahan dengan laboratorium itu masih tampak kosong. Tak ada siapa-siapa yang duduk di belakang meja itu.

Beginilah yang kurasakan setahun lalu. Duduk menanti kabar dari laboratorium sambil mencari cara untuk mengusir kegelisahan. Pada waktu itu, aku mengutak-atik sejumlah games di Tablet-ku demi menghibur diri. Dan kali ini, aku berkutat di hadapan Blackberry Messenger yang menampilkan window percakapan antara aku dan sahabatku, Janna.

Derai hujan di luar sana masih belum berhenti. Mendung terlihat semakin tebal. Aku langsung berpikir bagaimana caranya pulang ke kantor seusai menerima hasil dari pihak laboratorium. Aku bisa singgah di rumah sakit pun karena memanfaatkan jam makan siang.

Tepat ketika aku mendengar denting notifikasi Blackberry Messenger, seorang perawat memanggil namaku dari dalam ruangan itu. Dia hendak menyampaikan sesuatu. Jantungku seperti bunyi gendang yang ditabuh. Kedua telapak tanganku mendadak dibanjiri keringat.

Perawat itu memintaku untuk tetap tenang. Karena setelah mendengar kabar yang dia sampaikan, aku pasti bisa merasa sedikit lega – sekalipun kabar buruk. Dan ternyata, benar saja. Jawabannya serta-merta membuatku terperangah dan tak sanggup meneteskan air mata.

Aku masih dinyatakan NEGATIF!
Itu berarti, aku masih baik-baik saja.

Rasanya seperti diguyur air hujan. Aku bahkan tidak tahu bagaimana mengekspresikan kegembiraanku saat ini. Hanya melonjak kegirangan, tersenyum sumringah, lantas bersalaman dengan si perawat dan mengucapkan terima kasih. Tak lupa bersyukur kepada doa yang kupanjatkan kepada Tuhan.

Aku berlari menuruni sejumlah anak tangga, menuju ke lantai bawah. Bahagia sekaligus segenap emosi yang meletup-letup membuat langkahku semakin bersemangat. Tak peduli pada petugas kebersihan dan resepsionis yang menatapku heran, aku masih tersenyum gembira. Meninggalkan gedung rumah sakit dan segera melompat ke dalam angkutan umum.

Langit memang sedang bersedih pada hari ini.
Tapi aku percaya, hujan tidak selamanya menyimpan kesedihan.
Hujan akan berhenti, dan berubah menjadi pelangi.