Untuk kedua kalinya, aku mendatangi
rumah sakit dengan alasan yang sama. Masih ingat dengan jelas, dua belas bulan
yang lalu, aku berjalan menelusuri koridor rumah sakit hanya untuk mencari tahu
di mana letak Poli Melati. Ruangan itu biasanya digunakan untuk konseling
sekaligus tes darah. Dan selama melakukan pencarian, aku memandang ke arah
taman yang ditumbuhi rumput liar dan pohon-pohon ketapang. Pohon-pohon itu
kerap mengantarkan aroma mistik saat aku pertama kali berada di sana.
Aku tersadar bahwa aku sudah berada
di kota yang berbeda.
Menapakkan kaki di Rumah Sakit SB
(*disamarkan) ini seperti melempar saya ke zaman dahulu. Sebagian bangunannya
adalah karya arsitektur Belanda yang masih dipertahankan sampai saat ini.
Pilar-pilar megah di pintu utama, daun jendela kuno yang terbuat dari kayu
jati, seperti ada kisah lama yang tak boleh dilupakan di rumah sakit ini.
Awan kelabu yang bergelayut mulai
menumpahkan rintik hujan. Udara dingin berembus pulan, tapi terasa menusuk
hingga ke tulang. Di sekitarku ada seorang suster berbaju putih yang tengah
mendorong kereta makan siang. Lelah menghiasi wajahnya. Mengalihkan pandangan
ke arah halaman yang ditumbuhi pohon-pohon cemara menjulang tinggi. Sebuah
pohon pinang sedang bertahan menantang angin. Salah satu pelepahnya tampak layu
dan putus asa. Bahkan, sebatang pohon pun bisa menunjukkan rasa jenuh pada
kehidupan.
Hujan turun semakin deras. Aku tiba
di depan ruangan yang kelihatan sepi dari arah luar. Daun pintunya menganga
lebar. Melangkah ke dalam seusai mengetuk pintu dan disambut oleh seorang
dokter yang telah membuat janji denganku sebelumnya. Dokter Hendrik namanya.
Aku sempat berpikir dokter ini sudah berumur dan punya uban di kepalanya. Tapi
aku salah. Dokter Hendrik masih kelihatan muda, meskipun aku tidak tahu persis
berapa umurnya.
Kami saling bersalaman sebelum
menjatuhkan diri di atas sofa. Menanyakan kabar masing-masing seolah-olah hal
itu tidak boleh dilewatkan. Aku sudah sering mendengar basa-basi seperti itu
dari beberapa dokter sebelumnya. Tidak butuh waktu lama sampai Dokter Hendrik
menyerahkan satu lembar kuesioner dipenuhi kolom yang harus aku isi.
Menekuninya dengan saksama sambil menyimak satu demi satu pertanyaan yang mulai dilontarkan cepat.
Barangkali dokter ini termasuk orang multitasking yang
sering melakukan dua hal dalam waktu bersamaan.
Aku sudah pernah melakukan VCT
setahun sebeleumnya di Bangka. Dan pada waktu itu, hasil tes yang kuterima
adalah negatif. Dokter Hendrik
kembali meluncurkan aneka pertanyaan seperti; mengapa aku tergerak menjalani
tes, apakah belakangan ini sempat terjadi sesuatu yang membahayakan
kesehatanku, dan kapan peristiwa itu terjadi. Perutku menegang hebat ketika
merangkai sebuah kalimat yang tepat. Tapi beruntung, jawabanku tidak
serta-merta membuat dokter pusing kepala.
Begitu sesi wawancara selesai, dokter
meminta kuesioner yang telah kuisi dan berpesan sesuatu kepadaku. Dia berkata,
sebaiknya aku bergegas menuju laboratorium untuk pengambilan darah. Ada seorang
perawatnya yang telah menungguku di sana. Dalam hati aku mengujar, inilah yang kutunggu-tunggu!
Jadi, aku keluar ruangan dan berlari
menuju laboratorium. Otakku berputar mengingat petunjuk yang diberikan Dokter
Hendrik tadi. Sejumlah anak tangga kulewati. Sekelompok pembesuk menatapku aneh
ketuka aku melintas cepat di hadapan mereka.
Setibanya di lantai 2, aku dengan
mudah menemukan ruang laboratorium. Dokter Hendrik benar. Ada seorang perawat
yang sedang duduk di dalam sana. Aku lupa namanya siapa. Tapi yang pasti,
perawat itu mengenakan kerudung hijau muda dan masker yang menutupi separuh
wajahnya. Aku mengambil posisi duduk di hadapannya. Dan seakan tahu maksud kedatanganku,
perawat itu mengambil sesuatu dari dalam laci meja.
Sebuah suntik yang masih disegel!
Semuanya berlangsung begitu cepat
sewaktu aku menyerahkan lengan kiriku. Jemarinya sibuk mencari titik pembuluh
darah. Kemudian, dia membuka bungkusan suntik. Tali pengikat sudah dikenakan.
Aku menunduk dalam-dalam lantaran ngeri menyaksikan jarum itu menusuk ke dalam
kulitku. Perih sejenak, tapi tidak berlangsung lama. Aku hanya terenyuh sewaktu
dia membubuhi kapas beralkohol untuk menutupi bekas suntikan.
Seperti ada sesuatu yang ketegangan
itu jadi semakin berlipat-lipat.
Kini, suntik yang tergeletak di atas
meja itu sudah terisi darahku dan siap dibawa ke laboratorium untuk segera
diperiksa.
Aku diminta menunggu di luar.
Harap-harap cemas menanti hasil lab
yang akan keluar dalam waktu 30 menit.
***
Tiga puluh menit berlalu dalam
keheningan. Berkali-kali aku menengok ke dalam ruang pemeriksaan hanya untuk
memastika tes laboratorium sudah ada atau belum. Tapi, ruang kecil yang
bersebelahan dengan laboratorium itu masih tampak kosong. Tak ada siapa-siapa
yang duduk di belakang meja itu.
Beginilah yang kurasakan setahun
lalu. Duduk menanti kabar dari laboratorium sambil mencari cara untuk mengusir
kegelisahan. Pada waktu itu, aku mengutak-atik sejumlah games di Tablet-ku demi menghibur diri. Dan kali ini, aku berkutat
di hadapan Blackberry Messenger yang menampilkan window percakapan antara aku dan sahabatku, Janna.
Derai hujan di luar sana masih belum
berhenti. Mendung terlihat semakin tebal. Aku langsung berpikir bagaimana
caranya pulang ke kantor seusai menerima hasil dari pihak laboratorium. Aku
bisa singgah di rumah sakit pun karena memanfaatkan jam makan siang.
Tepat ketika aku mendengar denting
notifikasi Blackberry Messenger, seorang perawat memanggil namaku dari dalam
ruangan itu. Dia hendak menyampaikan sesuatu. Jantungku seperti bunyi gendang
yang ditabuh. Kedua telapak tanganku mendadak dibanjiri keringat.
Perawat itu memintaku untuk tetap
tenang. Karena setelah mendengar kabar yang dia sampaikan, aku pasti bisa
merasa sedikit lega – sekalipun kabar buruk. Dan ternyata, benar saja. Jawabannya
serta-merta membuatku terperangah dan tak sanggup meneteskan air mata.
Aku masih dinyatakan NEGATIF!
Itu berarti, aku masih baik-baik
saja.
Rasanya seperti diguyur air hujan.
Aku bahkan tidak tahu bagaimana mengekspresikan kegembiraanku saat ini. Hanya
melonjak kegirangan, tersenyum sumringah, lantas bersalaman dengan si perawat
dan mengucapkan terima kasih. Tak lupa bersyukur kepada doa yang kupanjatkan
kepada Tuhan.
Aku berlari menuruni sejumlah anak
tangga, menuju ke lantai bawah. Bahagia sekaligus segenap emosi yang
meletup-letup membuat langkahku semakin bersemangat. Tak peduli pada petugas
kebersihan dan resepsionis yang menatapku heran, aku masih tersenyum gembira.
Meninggalkan gedung rumah sakit dan segera melompat ke dalam angkutan umum.
Langit memang sedang bersedih pada
hari ini.
Tapi aku percaya, hujan tidak
selamanya menyimpan kesedihan.
Hujan akan berhenti, dan berubah
menjadi pelangi.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar