Aku udah di rumah nih. Sorry ya enggak bilang2
Mendengus kesal begitu mendapat
pesan itu terpampang jelas di layar gadget. Aku bergegas membuka aplikasi LINE,
mengintip window chat, dan mulai mengetik kalimat balasan yang tak kalah
menyedihkan.
Emm.. Ok.
Sesingkat itulah pesan yang
kukirim kepadanya, tanpa melampirkan nasihat atau kalimat basa-basi busuk
lainnya. Entah setan apa yang merasuk pikiranku pada saat itu, aku pun tidak
tahu. Yang kurasakan hanyalah dongkol, kesal, jengkel, sebal, tapi juga rindu.
Barangkali rindu untuk memarahinya.
Ya. Itulah hal berikut yang aku
lakukan ketika segalanya bertambah rumit.
Dia mencoba memberi penjelasan,
menguraikan satu demi satu peristiwa dengan kalimat yang amat sederhana.
Alih-alih menyimak seluruh pernyataan yang dia berikan, aku justru menanggapinya
dengan satu kalimat tanya. Mencari tahu, apa yang hendak dia lakukan dengan
pernyataan itu? Ingin meyakinkanku atau sekadar memberi alasan palsu?
Namun, pada saat itu yang
kuterima hanyalah ketidakacuhan. Barangkali dia sudah bisa menebak ke mana
percakapan ini akan berakhir. Dengan bodohnya, aku kembali bertanya dengan
kejam, what if i dont want to hear?
Terkadang, kalimat itu memang
sangat ampuh jika dilontarkan kepada gerombolan Jerky Boys di luar sana. Sekadar membuat mereka malu dan tahu rasa.
Aku pernah mencobanya satu kali kepada seseorang yang sempat mengintimidasiku
lewat cibirannya. Dan itu berhasil.
Di lain waktu, barulah aku
menyadari betapa tajamnya kalimat itu ketika kuarahkan kepada seseorang yang
tidak bersalah.
Tidak butuh waktu yang lama
sampai kami berdua saling beradu argumen dan menyalahkan satu sama lain. Aku
belum mau menyerah. Terus mengoceh segala kekhawatiran dengan penuh kesabaran.
Tapi, lawan bicaraku pun tak mau mengalah. Perang baru saja dimulai. Satu hal
yang aku yakin, hal-hal seperti ini pasti berlangsung lama dan berujung petaka.
Sesekali emosiku menjadi sulit
terkendali. Aku mendadak terpancing emosi. Aku memejamkan
mata, menarik napas dalam-dalam. Inhale
– Exhale. Aku sering melakukan hal seperti ini untuk menjaga keseimbangan
diri. Sampai pada akhirnya, aku memutuskan untuk memasang bendera putih. Aku
menjelaskan betapa lelahnya diri kami sehingga menjadi sangat kacau seperti
tadi. Melontarkan kekurangan sama lain, merasa yang paling benar, mencurigai
tanpa alasan. Hal-hal sepele seperti itu terkadang bisa menjadi penyebab
rusaknya suatu hubungan.
Menasihati lagi agar semuanya
dibicarakan di keesokan hari. Karena aku berpikir, semuanya tidak akan membaik
jika diteruskan dengan penuh emosi. Mengistirahatkan pikiran adalah
satu-satunya jalan. Tak lupa, aku pun menyertai permintaan maaf dan ucapan
selamat tidur. Aku hanya berharap agar dia dapat memaklumi.
Tapi, semua itu masih jauh dari selesai.
Ada banyak hal yang masih hendak
dia ungkapkan. Tentang bagaimana dia bisa mengeluarkan caci-maki, bagaimana dia
yang selama ini sudah terlalu sabar dalam memahamiku, bagaimana dia yang selalu
menunjukkan perhatiannya meskipun dengan cara yang berbeda. Dan yang terakhir, dia
juga menyampaikan satu kalimat penyesalan atas apa yang telah dia lakukan. Satu
kalimat permohonan maaf yang tulus.
Kalau tahu semuanya bakal kayak gini, mungkin aku enggak akan cerita
yang tadi itu ke kamu. Mungkin aku bakal cerita aja ke orangtua aku, yang siap
untuk ngasih dukungan ke aku sewaktu-waktu.
Pengakuan yang dia sampaikan
seketika membuatku terenyuh.
Aku mendadak malu betapa
irasionalnya tindakanku beberapa menit yang lalu. Menuduhnya macam-macam,
mengatasnamakan cinta untuk segala bentuk kekhawatiran. Aku juga menyadari
bahwa aku telah bersikap insecure dan
berlebihan.
He was right, and I was wrong.
Tebersit lagi di benakku akan
sebuah pertanyaan yang pernah aku ucapkan dahulu. Kenapa rasanya terlalu sulit untuk mendapatkan seseorang yang bersedia
mencintai dan dicintai?
Kini, mungkin aku telah menemukan
jawabannya. Satu-satunya jawaban mengapa aku sulit menjalin hubungan
percintaan, karena aku terlalu rumit. Aku selalu mengalami kesulitan dalam
menghadapi ketakutan yang aku ciptakan sendiri. Aku ini ganjil. Aku ini
berbahaya.
Aku pernah begitu dekat dengan
seseorang yang tepat. Meyakini di dalam hati bahwa dialah satu-satunya sejak
awal pertama. Melakukan apa saja yang aku bisa untuk mempertahankan keutuhan
kami. Tapi pada akhirnya, aku malah menyia-nyiakan kehadirannya dengan segala
spekulasi negatif tak beralasan.
Kembali ke percakapan kami...
Dia masih mengutarakan segenap
kalimat permintaan maaf. Membujukku agar mengerti bahwa dialah yang bersalah
dalam kasus ini. Aku berusaha menepis pernyataannya. Lantaran aku menyadari,
bukan dia yang berdosa. Dia tidak pernah salah.
Akulah yang sepatutnya meminta
maaf.
Dan dia masih bersedia memberikan
sebuah pengampunan.
Dia terlalu baik untuk mengampuni
seseorang seperti aku.
Satu hal yang aku yakini...
Meskipun pintu maaf itu akan selalu terbuka, aku tidak yakin apakah kesempatan
itu masih ada. Aku baru saja menorehkan luka sekaligus membuatnya kecewa. Dan
untuk saat ini, aku masih ragu apakah aku pantas untuk mencinta dan dicinta.