Semuanya masih terasa sama ketika seulas kata itu terucap dari mulutku.
Bunda hanya bergeming, sedikit pun tak ingin memberi komentar mengenai kalimat yang kusampaikan barusan. Pandangannya kosong, melesat jauh ke arah pepohonan jambu air di halaman rumahku. Angin di luar sana menyapu beberapa helai rambutnya. Tapi dia tak hiraukan. Dia lebih memilih untuk mengunci bibirnya rapat-rapat sambil menahan air mata.
Sesaat kemudian, aku merasa bersalah. Aku benar-benar berdosa karena telah membuatnya terluka. Bahkan, aku selalu mengecewakannya dengan cara seperti ini. Mengungkapkan sesuatu yang tidak ingin dia dengar, hanya untuk melihatnya menjatuhkan air mata.
Peristiwa seperti ini mengingatkanku lagi pada satu tahun yang lalu. Aku baru saja resign dari pekerjaanku waktu itu. Mengundurkan diri lantaran lelah bekerja di bawah tekanan. Dan setelah itu, aku terpikir untuk pergi, berniat melanjutkan hidup dengan cara yang lebih baik lagi. Aku sudah bertekad meninggalkan kota ini.
Tapi saat itu, aku tak menerima apa-apa selain penolakan. Baik Papa maupun Bunda sama-sama tidak memberi izin. Mereka berpikir, akan lebih baik jika aku tetap tinggal di sini sampai tua nanti. Tidak perlu pergi ke mana-mana kalau memang ingin melanjutkan hidup.
Aku memberontak, menyangkal pendapat Papa dengan sejumlah alasan yang meyakinkan. Aku terus berkelakar mengenai apa yang akan kuterima di sana nanti. Sampai pada akhirnya, Bunda mengambil jalan tengah dan mengakhiri perdebatan di antara kami. Dia menangis. Dan satu-satunya orang yang membuatnya menangis adalah aku.
Bunda memang selalu seperti itu. Dari luar, dia tampak begitu tegar. Tapi dia begitu sensitif untuk urusan yang menyangkut perpisahan. Dia tidak pernah sanggup membiarkan satu pun dari kami pergi meninggalkannya. Pernah waktu itu dia menangis sepanjang malam karena tidak sampai hati melepas kepergian Kakakku ke Yogyakarta. Dia masih dapat tersenyum, meskipun matanya terlihat keruh.
Dan hari ini, semuanya terjadi lagi. Aku kembali membuatnya terluka dengan cara yang sama, dengan tujuan yang sama. Bunda tetap tak mau bicara ataupun memberi keputusan. Sama halnya dengan Papa. Mereka masih bungkam, seolah-olah tak mau memberiku kesempatam untuk bahagia.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar