Write. Anywhere. Anytime.

Selasa, 06 Oktober 2015

Confession #2

Dari awal harusnya saya menyadari kalau hal seperti ini akan terjadi. Hal-hal kecil kerapkali mengacaukan seluruh rencana yang telah kita susun matang-matang. Tanpa pernah kita duga dari mana datangnya. Meskipun begitu, saya tidak pernah belajar dari pengalaman. Saya terbiasa menaruh ekspektasi yang ketinggian, impian yang jauh sekali rasanya untuk dicapai. Padahal saya selalu  menasihati orang bahwa, expectation leads us to disappointment. I noted that. 

Dan kali ini, saya harus membuat satu pengakuan.
 
Saya rasa, orang-orang perlu mengetahui semuanya. Kebenaran yang selama ini bersembunyi di balik senyuman dan tawa palsu saya.

Orang-orang tahu, saya sudah kapok berurusan dengan sesuatu yang dinamakan cinta. Saya beranggapan, cinta, atau menjalin hubungan dengan seseorang hanya akan mengacaukan segalanya. Karier, passion, studi, bahkan ketangguhan seseorang, dapat diruntuhkan dengan mudah oleh lima huruf sederhana itu. Makanya saya pernah berjanji untuk berhenti mengincar seseorang, dilarang membuka pintu hati kepada siapa pun, dan menutup semua kemungkinan dari rayuan orang-orang asing.

Setidaknya itulah yang selalu saya ucapkan kepada mereka.

Namun, ada kalanya saya menjadi luluh tak berdaya. Penyebab utamanya, ya, karena cinta.

Saya melanggar semua larangan yang telah saya toreh di dalam memori. Saya mendadak lupa dengan tujuan utama, dan kebahagiaan saya yang sesungguhnya. Saya pun tidak ingin menoleh ke sekitar lantaran saya yakin, hanya mencinta dan dicinta yang bisa membuat saya bahagia.

Bah! Omong kosong dengan cinta.
 
Ia justru memperlakukan saya seperti budak dungu. Membutakan penglihatan saya dengan aneka impian semu. Dan bodohnya lagi, giliran saya menyadari semua kebodohan itu, saya akan selalu mengulanginya dalam fase yang sama. Bodoh bukan?

Mereka mengenal saya sebagai sosok yang tangguh, anti-peluru, dan keras seperti baja. Mereka beranggapan, selama ini saya cuma fokus pada mimpi dan cita-cita. Sepanjang hari bekerja keras mencari uang, sepulang kerja saya menuju ke pusat kebugaran untuk berolahraga, aktivitas malam akan diisi dengan revisi naskah sampai pukul sembilan. Tidur malam tidak pernah lewat dari pukul sepuluh. Siklus itu akan terus berulang di hari esok, lusa, dan seterusnya.

Biar saya perjelas, rutinitas demikian berhasil menyeimbangkan diri saya. Siapa pun pasti merasa puas saat mereka menjadi orang yang produktif. Sampai pada suatu hari, satu demi satu orang bermunculan dalam kehidupan saya, masuk melewati celah terkecil, menyihir saya dengan satu pesona sederhana namun istimewa, kemudian pergi begitu saya.

Butuh waktu yang cukup lama untuk bangkit dan menyadari kebodohan yang saya perbuat. Saya mulai bertingkah irasional, sulit mengendalikan emosi, dan mendadak kehilangan rasa percaya diri. Berhari-hari saya akan bersikap aneh, murung, kemudian menyumpah-serapah siapa pun yang menjadi penyebab peristiwa ini, termasuk menyalahkan diri saya sendiri.

Tidak pernah menyangka bahwa saya telah berjalan melewati batas, meninggalkan salah satu bagian terkecil dalam diri saya -- sosok yang patuh, yang bijaksana, yang mengerti bagaimana caranya menikmati kesepian.
Barangkali, inilah yang dinamakan dengan proses pendewasaan diri. Semakin banyak kesalahan yang kamu perbuat, kamu akan belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Melangkah dengan bebas, namun sangat hati-hati. Karena kamu tahu, kamu selalu merasa cukup dalam segala hal. Dan itu saja sudah cukup membuatmu bahagia.