Write. Anywhere. Anytime.

Jumat, 20 Juni 2014

Regret and Forgiveness

Aku udah di rumah nih. Sorry ya enggak bilang2

Mendengus kesal begitu mendapat pesan itu terpampang jelas di layar gadget. Aku bergegas membuka aplikasi LINE, mengintip window chat, dan mulai mengetik kalimat balasan yang tak kalah menyedihkan. 

Emm.. Ok.

Sesingkat itulah pesan yang kukirim kepadanya, tanpa melampirkan nasihat atau kalimat basa-basi busuk lainnya. Entah setan apa yang merasuk pikiranku pada saat itu, aku pun tidak tahu. Yang kurasakan hanyalah dongkol, kesal, jengkel, sebal, tapi juga rindu. Barangkali rindu untuk memarahinya.

Ya. Itulah hal berikut yang aku lakukan ketika segalanya bertambah rumit.

Dia mencoba memberi penjelasan, menguraikan satu demi satu peristiwa dengan kalimat yang amat sederhana. Alih-alih menyimak seluruh pernyataan yang dia berikan, aku justru menanggapinya dengan satu kalimat tanya. Mencari tahu, apa yang hendak dia lakukan dengan pernyataan itu? Ingin meyakinkanku atau sekadar memberi alasan palsu?

Namun, pada saat itu yang kuterima hanyalah ketidakacuhan. Barangkali dia sudah bisa menebak ke mana percakapan ini akan berakhir. Dengan bodohnya, aku kembali bertanya dengan kejam, what if i dont want to hear?

Terkadang, kalimat itu memang sangat ampuh jika dilontarkan kepada gerombolan Jerky Boys di luar sana. Sekadar membuat mereka malu dan tahu rasa. Aku pernah mencobanya satu kali kepada seseorang yang sempat mengintimidasiku lewat cibirannya. Dan itu berhasil.

Di lain waktu, barulah aku menyadari betapa tajamnya kalimat itu ketika kuarahkan kepada seseorang yang tidak bersalah.

Tidak butuh waktu yang lama sampai kami berdua saling beradu argumen dan menyalahkan satu sama lain. Aku belum mau menyerah. Terus mengoceh segala kekhawatiran dengan penuh kesabaran. Tapi, lawan bicaraku pun tak mau mengalah. Perang baru saja dimulai. Satu hal yang aku yakin, hal-hal seperti ini pasti berlangsung lama dan berujung petaka.

Sesekali emosiku menjadi sulit terkendali. Aku mendadak terpancing emosi. Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Inhale – Exhale. Aku sering melakukan hal seperti ini untuk menjaga keseimbangan diri. Sampai pada akhirnya, aku memutuskan untuk memasang bendera putih. Aku menjelaskan betapa lelahnya diri kami sehingga menjadi sangat kacau seperti tadi. Melontarkan kekurangan sama lain, merasa yang paling benar, mencurigai tanpa alasan. Hal-hal sepele seperti itu terkadang bisa menjadi penyebab rusaknya suatu hubungan.

Menasihati lagi agar semuanya dibicarakan di keesokan hari. Karena aku berpikir, semuanya tidak akan membaik jika diteruskan dengan penuh emosi. Mengistirahatkan pikiran adalah satu-satunya jalan. Tak lupa, aku pun menyertai permintaan maaf dan ucapan selamat tidur. Aku hanya berharap agar dia dapat memaklumi.

Tapi, semua itu masih jauh dari selesai.

Ada banyak hal yang masih hendak dia ungkapkan. Tentang bagaimana dia bisa mengeluarkan caci-maki, bagaimana dia yang selama ini sudah terlalu sabar dalam memahamiku, bagaimana dia yang selalu menunjukkan perhatiannya meskipun dengan cara yang berbeda. Dan yang terakhir, dia juga menyampaikan satu kalimat penyesalan atas apa yang telah dia lakukan. Satu kalimat permohonan maaf yang tulus.

Kalau tahu semuanya bakal kayak gini, mungkin aku enggak akan cerita yang tadi itu ke kamu. Mungkin aku bakal cerita aja ke orangtua aku, yang siap untuk ngasih dukungan ke aku sewaktu-waktu.

Pengakuan yang dia sampaikan seketika membuatku terenyuh.

Aku mendadak malu betapa irasionalnya tindakanku beberapa menit yang lalu. Menuduhnya macam-macam, mengatasnamakan cinta untuk segala bentuk kekhawatiran. Aku juga menyadari bahwa aku telah bersikap insecure dan berlebihan.

He was right, and I was wrong.


Tebersit lagi di benakku akan sebuah pertanyaan yang pernah aku ucapkan dahulu. Kenapa rasanya terlalu sulit untuk mendapatkan seseorang yang bersedia mencintai dan dicintai?

Kini, mungkin aku telah menemukan jawabannya. Satu-satunya jawaban mengapa aku sulit menjalin hubungan percintaan, karena aku terlalu rumit. Aku selalu mengalami kesulitan dalam menghadapi ketakutan yang aku ciptakan sendiri. Aku ini ganjil. Aku ini berbahaya.

Aku pernah begitu dekat dengan seseorang yang tepat. Meyakini di dalam hati bahwa dialah satu-satunya sejak awal pertama. Melakukan apa saja yang aku bisa untuk mempertahankan keutuhan kami. Tapi pada akhirnya, aku malah menyia-nyiakan kehadirannya dengan segala spekulasi negatif tak beralasan.

Kembali ke percakapan kami...

Dia masih mengutarakan segenap kalimat permintaan maaf. Membujukku agar mengerti bahwa dialah yang bersalah dalam kasus ini. Aku berusaha menepis pernyataannya. Lantaran aku menyadari, bukan dia yang berdosa. Dia tidak pernah salah.

Akulah yang sepatutnya meminta maaf.

Dan dia masih bersedia memberikan sebuah pengampunan.

Dia terlalu baik untuk mengampuni seseorang seperti aku.

Satu hal yang aku yakini... Meskipun pintu maaf itu akan selalu terbuka, aku tidak yakin apakah kesempatan itu masih ada. Aku baru saja menorehkan luka sekaligus membuatnya kecewa. Dan untuk saat ini, aku masih ragu apakah aku pantas untuk mencinta dan dicinta.
Selasa, 17 Juni 2014

Pulang

“Kepada seluruh penumpang yang terhormat, sesaat lagi pesawat ini akan mengudara dengan ketinggian tiga ribu kaki di atas permukaan laut. Harap kencangkan sabuk pengaman dan bla bla bla....”

Pramugari itu masih mengumandangkan pemberitahuan lewat pengeras suara, kemudian mengganti isi pesan itu dengan bahasa asing yang terdengar sangat membosankan. Aku menempelkan kening ke arah jendela, memandangi landasan pacu dan sepetak rumput hijau di sekitarnya. Matahari berpijar terik di luar sana. Sementara, sejumlah mobil pengangkut bagasi mulai bertolak ke tempat semula.

Pada saat yang sama, pikiranku tiba-tiba terlempar pada sederet kejadian yang terjadi beberapa jam sebelumnya. Aku teringat bagaimana aku berpamitan dengan temanku, Ebbi, yang masih tertidur pulas. Meninggalkan kamarnya dengan perasaan tak keruan, kemudian memanjat pintu pagarnya yang terkunci rapat. Berjalan melewati jalan Karnolong sampai akhirnya aku menemukan sebuah taksi berwarna biru.

Jalan raya di Jakarta tampak begitu sepi pada pukul enam pagi. Masih sedikit sekali kendaraan pribadi yang berkeliaran di saat-saat seperti ini. Lampu jalan pun masih banyak yang menyala. Dan setibanya di stasiun Gambir, aku langsung bergegas mencari Bus Damri tujuan Bandara.
Meletakkan koperku pada bagasi yang telah disediakan, lantas melangkah masuk ke dalam bus berwarna abu-abu itu. Lebih memilih duduk di pinggir jendela agar aku dapat memandangi situasi jalanan di pagi hari. Aku senang melakukannya setiap kali hendak bepergian. Dan beruntungnya, tidak ada satu orang pun yang duduk di sebelahku.

Bus mulai berjalan, melewati sederet gedung yang menjulang tinggi di sana-sini. Aku bersiap menyumbat telingaku dengan earphone, menikmati playlist yang berisi lagu-lagu Air Supply, Maroon 5, ABBA, The Fray, dan sebagainya. Berpikir mereka dapat menenangkan perasaanku yang tengah kacau-balau. Tapi aku salah. Lagu-lagu itu justru menyeretku ke lembah masa lalu.

Aku kembali terpikir bagaimana pertama kali aku tiba di kota ini dengan wajah sumringah dan semangat membara. Satu-satunya hal yang kuinginkan saat itu adalah; kebahagiaan. Begitu yakin 1000% bahwa aku telah mengambil keputusan yang tepat. Jakarta atau Bandung, aku siap mengejar mimpi. Aku pun sempat berjanji pada semua orang – termasuk diri sendiri – untuk memulai hidup yang lebih baik lagi. Namun pada akhirnya, semuanya berubah tanpa sanggup kuprediksi.

Seseorang pernah bertanya padaku, “sampai kapan kamu mau menetap di sini?”
Aku terdiam selama beberapa saat.
Saat itu, kami baru saja menuntaskan wisata kecil kami di Braga. Berjalan di bawah jembatan penyeberangan dan hendak menuju halte bus Mesjid Alun-Alun Kota Bandung. Hari sudah pukul lima sore. Tapi, langit yang berwarna gelap keabu-abuan membuat kami ingin segera pulang.
Pulang, satu frasa yang memiliki banyak makna.
Dia bertanya lagi dengan suaranya yang lirih, “Kamu enggak mungkin stay di Bandung dengan pekerjaan yang itu-itu aja, kan?”
“Maksudnya?” tanggapku, menatapnya dengan mata memicing.
“Aku tahu passion kamu, Joy. Kamu yakin mau berkarier di sana selama-lamanya?”
Alih-alih memberi jawaban diplomatis, aku malah mengedikkan bahu; tanda bahwa aku sama sekali tidak mengerti bagaimana menanggapi pertanyaannya. Aku sempat berpikir bahwa aku memang tidak akan bisa bertahan lama pada pekerjaanku. Bukan karena aku tidak bersyukur atas apa yang telah aku terima, tapi karena aku tidak punya passion sedikit pun di bidang itu.
“Kalau seandainya aku bilang, aku bakal stay di Bandung untuk waktu yang lama, apa kamu bakalan percaya?” balasku.
“Percaya,” dia mengangguk. “Tapi aku yakin, suatu hari nanti pasti kamu bakalan pergi, entah ke mana tujuannya.”

Selanjutnya, percakapan itu menggantung tanpa menemukan titik terang. Baik aku ataupun dia, kami berdua lebih memilih bungkam dan tak banyak bicara. Percuma saja berkelakar. Toh aku tidak memiliki alasan yang tepat untuk merangkai sebuah penyangkalan

Sampai pada suatu hari, aku menemukan kebenaran pada kalimatnya.

Aku memilih untuk pulang; untuk mengistirahatkan diri dari segala beban dan tekanan, untuk mencari ketenangan, untuk menemukan lagi arti dari kebebasan. Dan aku rasa, aku telah menentukan pilihan yang tepat.

Seketika, terdengar sebuah denging yang memekakkan telinga. Lamunanku mendadak terpecah-belah. Aku baru menyadari kalau sejak tadi aku menitikkan air mata. Pantas saja pipiku terasa basah. Tapi aku tak peduli. Karena tangis yang baru saja tumpah bukanlah tangis penyesalan. Ini tangis bahagia dari sebuah kemenangan.
Tak lama, pesawatku pun mulai mengudara.