I’m still alright to smile
Girl, I think about you everyday now
Was a time when I wasn’t sure
But you set my mind at ease
There is no doubt; you’re in my heart now
“Menurut kamu, nanti kita bakal ketemu lagi nggak, sih?”
Pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja ketika kami saling bertatapan dalam waktu yang lama. Benar saja. Aku menganggap kalimat itu sebagai pertanyaan bodoh karena aku tidak terlalu yakin dengan apa yang kuucapkan. Tidak terlalu yakin juga apakah dia memahami maksud dari pertanyaanku.
Malam semakin larut ketika nyanyian jangkrik di luar sana terdengar mengganggu telinga. Jarum jam yang berada di angka dua belas seolah-olah mengingatkan kami bahwa tanggal telah berganti. Tapi kami tak sedikit pun hendak memejamkan mata dan lekas tersesat di alam mimpi. Masih ingin seperti ini – saling merengkuh satu sama lain di bawah selimut – untuk waktu yang cukup lama.
“Aku boleh tahu alasan kenapa kamu masih mau ketemu aku?” Dia memandangku dengan satu alis terangkat. “Kamu sama sekali nggak nyesel kenal sama orang kayak aku, gitu?”
Aku menggeleng yakin. “Karena kamu orang yang menyenangkan. Dan terus terang, aku ngerasa nyaman sama kamu.” Aku sadar, sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa menjadi orang verbal. Aku selalu gagal menyampaikan jawaban kepada seseorang dengan kalimat yang cukup tepat.
Dia menarik selimut hingga menutupi dadanya dan menatapku lekat-lekat. Bibirnya terkunci rapat selagi aku merasakan jemarinya di setiap riak rambutku. Membelai lembut kepalaku sambil tersenyum saat aku mengernyit heran ke arahnya.
“Kenapa?”
“Kamu lucu,” ucapnya seakan-akan sedang berhadapan dengan pendongeng favoritnya.
“Nyebelin!” cibirku sembari mencubit hidungnya.
Satu hal yang aku tahu selanjutnya, dia mengenyahkan diri dari selimut dan mengambil posisi di atasku. Mengusap pipiku sebelum kedua bibir kami saling berpagutan dalam irama pelan. Aku dapat merasakan sensasi hangat yang menjalar di sepanjang aliran darahku, mendesakku untuk tidak berhenti melumat bibirnya, menggerilya lidahnya dengan satu gigitan kecil.
Tepat ketika tangannya berada di dadaku, memoriku mendadak terlempar pada satu masa di mana semua ini berawal.
Aku sedang mengunjungi sebuah situs pertemanan yang berinisial J ketika sebuah pesan baru masuk di inbox-ku. Sebuah pesan dari seseorang tak dikenal. Awalnya aku tidak berminat memeriksa apalagi menanggapi pesan itu. Tapi sewaktu aku mengetahui ada ketulusan yang tersirat pada sapaannya, aku jadi tergerak untuk mengetik pesan balasan. Kami sepakat untuk bertukar foto di kesempatan selanjutnya. Saling bertukar cerita sampai kami memutuskan agar percakapan kami dilanjutkan di messenger yang lebih serius.
Aku berinisiatif menyapanya di Whatsapp lebih dulu. Mengajaknya bercakap-cakap tentang hal-hal kecil seperti; apa kesibukannya, tinggal di mana, dan berbagai topik wajar lainnya. Kemudian, aku merasakan ada satu dorongan yang berasal nuraniku untuk merencanakan sebuah pertemuan. Dan aku sempat tak percaya saat dia menyetujui ajakanku, meskipun aku sadar akan satu hal; entah kapan dan di mana pertemuan itu akan berlangsung.
Dia hanya berpesan, just let me know if you’re ready enough to meet me.
Dan selanjutnya, peristiwa itu benar-benar terjadi.
Selasa siang, pukul dua lebih tiga puluh lima menit, aku berlari keluar dari gedung Nav Karaoke dan segera menuju tempat yang dia maksud. Ragu-ragu aku berjalan mendekati seseorang dengan sweter putih yang tengah menilik gadget di atas motor besarnya. Dia yang pertama kali menyapa dan mengulurkan jabat tangan perkenalan itu. Untuk sejenak aku sempat merasakan ada sesuatu aneh yang muncul saat telapak tangan kami saling bersentuhan.
Sesuatu yang membuatku terenyuh dan ingin menikmatinya lagi dan lagi.
Dan aku tidak sedikit pun menghiraukannya.
Kami tetap berbincang beberapa patah kata sebelum akhirnya dia memilih untuk pergi sejenak lantaran ada urusan yang harus dia selesaikan. Itu saja yang terjadi pada pertemuan singkat kami.
Satu hal yang masih dan akan terus kuingat adalah ketika kami bertemu di kesempatan selanjutnya. Pertemuan itu berlangsung di hari yang sama, namun di jam yang berbeda. Aku baru saja bertolak dari rumah temanku yang jaraknya tidak terlalu jauh jika dijangkau dengan berjalan kaki. Sekitar pukul setengah sepuluh, dia hadir dengan sebuah kendaraan yang terlihat berbeda dengan tadi sore. Di atas skuter matic yang dikendarainya, dia membuat pengakuan bahwa kondisi kesehatannya tidak terlalu baik. Terbatuk-batuk di tengah pembicaraan kami yang membaur dengan angin malam.
Aku mungkin tidak mengerti bagaimana caranya agar dia merasa lebih baik. Tapi aku tidak ingin tinggal diam. Segera melingkarkan lenganku di pinggangnya, dan sesekali mengusap dadanya jika batuk itu kumat kembali. Hanya itu yang bisa kulakukan.
“Babe...” panggilnya lirih. Terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, “Kamu udah ngantuk?”
No. My mind was filled with your memory. And I dont know why i cant stop thinking about it, even just for a while. I guess, I have fell in love with someone – someone with his bright eyes, his dark skin, his tall body, and for every single thing he got. And the only one I think about is you, Baby.
That’s you...
“Kamu mau tidur?” aku balik bertanya sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
“Aku bakal tidur kalau kamu juga tidur.” Begitu katanya.
My heartbeat suddenly quickened. I dont know. It was soft and seductive. I remembered seeing him in blue sweater on his motorcycle and he smiled at me. Then my world was stop spinning. I could feel the warmth coming off from him and could smell his perfume and sweet like a wine.
And i wondered if he could hear my heart beating so fast.
Aku menjawab pertanyaannya dengan sebuah anggukan. Setuju bahwa inilah saat yang tepat untuk segera beristirahat dan pergi ke alam mimpi. Barangkali kami diberi kesempatan untuk berada bersama di sana juga?
Dia mengambil posisi tidur yang benar, lalu memberi tempat bagiku untuk berbaring di sebelahnya. Menarik kembali selimut yang melesak jauh dari kasur sembari berkata, “Kamu tahu, aku yakin kita pasti bakal ketemu lagi.”
Aku dapat merasakan sebuah ketulusan di dalam kalimatnya. Dan aku sepenuhnya percaya.
Sebelum kami benar-benar memejamkan mata, dia sempat menghujaniku dengan kecupan di kening, kemudian membimbingku ke dalam pelukannya.
Hujan baru saja usai ketika aku melangkah keluar dari sebuah kedai kopi di Old Town Square. Lampu-lampu jalan yang berpijar terang sama sekali tidak memberikan rasa hangat. Udara musim gugur rasanya menusuk hingga ke tulangku. Kuhirup lagi secangkir cappuccino yang rasanya agak tawar di lidah, semata-mata agar aku tidak kedinginan.
Aku masih ingat, itu adalah malam terakhirku di Prague.
Malam di mana aku angkat kaki dari apartemen Karin dan memilih untuk berjalan seorang diri sampai dini hari. Terus berjalan tanpa punya arah tujuan sama sekali. Tapi satu hal yang aku tahu, pada saat itu aku berhenti di Charles Bridge. Berdiri di sana selama beberapa jam sambil melamun hal-hal yang tidak penting.
Aku melihat bayang diriku sedang berdiri di bawah patung St. John Nepomuk. Bersama Bram yang hadir di sebelahku. Segalanya terasa manis pada saat itu. Menikmati langit sore kota Prague yang berwarna jingga, ditemani sepotong es krim yang berada di tangan masing-masing. Dia terus menceritakan tentang sejarah 30 patung di Charles Bridge yang kini terdengar seperti omong kosong bagiku.
Salah satu cerita yang masih kuingat adalah tentang patung itu.
“Sebagian besar orang percaya kalau patung St. John ini bisa membawa keberuntungan bagi siapa pun yang menyentuhnya.” Dia tahu aku penasaran dengan ceritanya. Oleh karena itu, dia melanjutkan, “Suatu hari nanti, orang itu pasti akan kembali lagi ke kota ini.”
Aku mulai berargumen, “Kata siapa?”
“Aku nggak tahu. Kisahnya menyebar dari mulut ke mulut.” Dia mengedikkan bahu. “Kalau kamu mau lihat salah satu contohnya, ya aku.”
Selanjutnya, Bram mulai bercerita bagaimana dia bersama ibunya naik kereta dari Berlin dan tiba di sini pada pukul satu siang. Itu adalah siang yang cerah yang di musim panas. Begitu yang dia ceritakan kepadaku. Bram mengambil foto dengan berbagai pose di bawah patung St. John dan sempat menyentuhnya beberapa kali. Ibunya pun melakukan hal yang serupa.
Dia mengakhiri cerita itu dengan satu kalimat pendek, “Aku sayang kamu, Win...”
Dan itu adalah hal berikutnya yang tidak ingin kuingat.
Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak punya punya alasan mengapa aku teramat benci dengan kalimat sederhana itu. Barangkali karena aku telah menyadari bahwa aku sama sekali tidak istimewa baginya.
Satu hal yang kutahu, pada waktu itu aku hanya bergeming. Aku dapat merasakan jantungku berdegup kencang seakan hendak melompat dari dadaku. Es krim cokelat yang kupegang pun mendadak terlepas dari genggaman. Seolah-olah, aku baru saja mendengarkan hal yang paling membahagiakan di hidupku.
Tapi saat ini, aku tidak ingin mengingatnya lagi. Aku sudah telanjur muak dengan dirinya yang terlalu licik. Dan aku pun benci kepada diriku yang terlalu picik. Entah kenapa aku bisa dibodohi oleh cinta dengan mudahnya, dengan tiga kata sederhana yang sama sekali tidak memiliki makna.
Aku memandangi lagi ke layar ponselku. Jam sudah menunjukkan pukul empat subuh. Kabut tipis mulai memenuhi pemandangan di hadapanku. Tapi matahari belum muncul sama sekali. Aku mulai berpikir, sudah saatnya kepedihan ini berakhir. Sudah tak ada gunanya bertahan di sini untuk mempertahankan segala sesuatu yang tidak pasti.
Dengan kata lain, sudah saatnya aku berjalan dan melangkah pulang.
Pulang untuk mencari arti kebahagiaan yang sesungguhnya.
PRELUDE
“Windy... I want you to be mine. Will you?”
Aku tercenung. Alat perekam itu masih berada di genggamanku. Jantungku selalu bergetar cepat setiap kali aku mendengar rekaman suara yang tidak lebih dari tujuh detik itu. Tak pernah bosan memainkannya berulang-ulang sampai-sampai aku hafal akan intonasi suara dan bunyi napas yang kerap muncul di pertengahan kalimat.
Sebuah suara yang selalu membuatku rindu pada keteduhan di kedua bola matanya, segaris senyum yang menenangkan, dan gelak tawanya yang renyah. Bahkan segala sesuatu tentangnya masih terasa nyata di ingatanku.
Hanya saja, satu hal yang menjadi masalah saat ini adalah; aku tidak menemukan jawaban yang tepat untuk membalas pertanyaannya. Aku telah kehabisan kata-kata. Dan pikiranku pun seolah tidak mau diajak bekerjasama.
Ibu jariku berada pada tombol record yang berwarna merah. Aku hendak menguraikan satu alasan panjang saat terdengar sebuah ketukan di pintu kamarku.
“Windy...”
Itu suara Papa.
Alat suara itu tak lagi kupedulikan.
Aku bergegas turun dari tempat tidur. Menghirup napas dalam-dalam sambil merapikan rambutku, sebelum menyambut seseorang di balik pintu itu.
“Iya, Pa,”
Papa membetulkan letak kacamatanya dan berkata, “Udah ditungguin di bawah tuh.”
Aku menengok ke arah jam bundar yang menempel di dinding kamarku. Pukul empat lebih sepuluh menit. Itu berarti, aku telah membuang waktu enam ratus detik tanpa melakukan apa-apa.
Segera saja aku bertanya, “Aku harus kasih jawaban seperti apa, Pa?”
Papa tersenyum. Garis kerutan di wajahnya terlihat semakin jelas. “Hanya kamu yang tahu jawabannya, Win. Ini masalah kejujuran hati.”
“Dan, gimana kalau jawaban dari aku malah bikin dia kecewa?” tukasku gelisah.
Papa meletakkan kedua telapak tangannya di bahuku, meremasnya lembut sambil berkata, “Papa yakin dia bisa terima apa pun keputusan kamu.” Dia tersenyum lagi. “Sekarang, temui dia di bawah, ya.”
Aku menggigit bibir bawahku, meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mulai menuruni sejumlah anak tangga dengan amat hati-hati. Tangan kananku mencengkeram erat pegangan tangga, khawatir kalau aku akan terpeleset atau jatuh sewaktu-waktu.
Dan ketika kakiku menapaki anak tangga yang terakhir, aku dapat melihat kehadirannya dengan sangat jelas. Duduk di atas sofa ruang tamu. Dalam balutan kemeja cokelat dan celana jins berwarna gelap; satu setelan khas dirinya. Pandangannya tertancap ke lantai. Meskipun begitu, aku dapat merasakan segunduk kecemasan yang bergejolak di sepasang bola matanya. Kecemasan yang bercampur dengan secuil harapan.
Sadar akan sosokku yang tengah mengamatinya dari jauh, dia pun menyapa, “Hei.”
Aku menyeret kedua kakiku ke arahnya dan lekas mengambil posisi duduk di atas sofa. “Maaf agak lama. Tadi abis – beresin kamar sebentar,” ujarku terpaksa berbohong.
“Tadinya aku sempat mikir kalau kamu nggak bakalan turun, lho.”
Aku membalas penuturannya dengan senyuman kecil, tahu dia sedang berbasa-basi untuk menghindari kecanggungan. Dan sejak awal aku sudah menebak, berada di dekatnya sudah pasti akan membuatku gugup. Saking gugupnya, aku bahkan tidak tahu bagaimana memulai sebuah pembicaraan.
Tapi, kecanggungan itu berangsur hilang ketika kudengar dia bersuara, “Tentang pertanyaan aku waktu itu, kamu udah punya jawabannya?”
“Aku – sejujurnya aku belum tahu harus ngambil keputusan seperti apa.”
Hening selama beberapa saat.
Aku yakin, pernyataanku barusan sudah cukup mematahkan separuh dari harapannya. Semua itu tergambar jelas dari wajahnya yang seolah-olah tak ada lagi keinginan untuk berada di sini lebih lama.
Tapi, sebelum terjadi kesalahpahaman di antara kami, aku segera menambahkan, “Aku sama sekali nggak bermaksud narik-ulur hati kamu, Bay. Aku cuma – belum yakin aja.” Lanjutku, “Aku takut kalau ada penyesalan yang harus dibayar oleh salah satu di antara kita suatu hari nanti.”
“Aku ngerti. Dari awal harusnya aku nggak perlu mendesak kamu untuk nerima cinta aku, Win. Aku juga belum tentu siap kalau harus mendengar satu penolakan dari kamu.” Dia menyeringai pasrah, berusaha menghibur diri sendiri dengan kalimat itu. “Tapi nggak apa-apa. Just take your time.”
Di satuan waktu selanjutnya, aku menyadari dia telah beranjak dari sofa. Berancang-ancang mengambil langkah menuju pintu utama. Dan aku tahu, aku tidak punya banyak waktu untuk melakukan sesuatu jika aku hendak menahan kepergiannya.
“Bayu!” panggilku setengah berteriak. “Kamu masih bersedia nunggu?”
Cukup lama dia menatapku dari balik kacamata minus itu sampai kudengar dia mengujar, “I will.”
“Okay, stay right here! Aku permisi ke kamar dulu.”
Dengan segenap kekuatan yang aku punya, aku segera berlari ke lantai atas. Jantungku terasa berdengap saat aku tiba di kamar.
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ini. Selama dua menit, aku habiskan dalam diam sambil mematut bayang diriku di depan cermin. Semenit lagi kuhabiskan untuk mondar-mandir tanpa berbuat apa-apa. Semenit berikutnya, aku sudah menutup pintu kamar dan kembali menemui Bayu yang masih berdiri di ambang pintu rumahku.
“Aku udah ngambil keputusan. Dan kamu bisa dengerin jawabannya ketika kamu sampai di rumah,” ujarku di sela-sela napas yang tak keruan. Tanganku mengulurkan sesuatu berwarna silver kepadanya.
Bayu menerima pemberianku. Memandangi benda itu dengan tatapan bingung bercampur penasaran. “Kamu yakin sama semua ini?” Dia bertanya sambil menimang-nimang alat perekam suara itu.
“Sepenuhnya yakin,” jawabku dengan kepala terangguk.