Write. Anywhere. Anytime.

Tampilkan postingan dengan label kamu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kamu. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 01 Agustus 2015

Pelbagai Kenangan Tentang Mimpi dan Perjalanan

Fakta bahwa semua orang pernah bertindak impulsif meskipun hanya satu kali dalam seumur hidup. Tak peduli apa yang jadi alasan utamanya, tetap saja hal tersebut memberi kesan mengasyikkan. Sesuatu yang addicted. Tapi setelah direnungkan berulang-ulang, terkadang menjadi seorang impulsif sangat konyol dan kekanakan.

Aku tidak berhasil mengingat tanggal dan bulan berapa persisnya peristiwa itu. Mungkin sekitar sembilan tahun yang lalu, saat aku masih duduk di kelas sebelas.

Bel sekolah berdering lebih cepat dari perkiraanku. Awalnya aku mengira, aku bisa tiba di sekolah tepat waktu. Setidaknya satu menit sebelum guru muncul di dalam kelas. Tapi, ada beberapa hal di dunia ini yang bisa terjadi begitu saja dalam satu kedipan mata, tanpa mampu kita cegah. Sekalipun kita telah menyusun rencana serapi mungkin.

Seperti yang kualami di pagi hari yang terik itu.

Pintu gerbang sekolah terkunci rapat. Satpam sekolah yang berdiri di dalam sana memelototi kami dengan tatapan mengancam, seakan-akan hendak memberi hukuman. Aku ditemani puluhan murid lain yang sama-sama terlambat. Salah satu di antara mereka adalah Texas Nejrabi, siswa kelas XI IPS 2.

Kami pernah berbincang di perpustakaan sebelumnya. Peristiwa itu sudah cukup lama. Aku juga sering dengar orang-orang memanggilnya si Arab Nyasar. Julukan itu dia dapatkan dari para senior sewaktu masih jadi murid baru.

Aku kerap memperhatikan Texas diam-diam; memata-matai setiap kali dia bersama teman-temannya;  sesekali melempar senyum setiap kali berpapasan di kantin. Dan selama berbulan-bulan, aku terus berpura-pura di hadapan Texas. Aku tidak ingin dia mengetahui orientasi seksualku yang sebenarnya. Bertingkah seakan-akan aku ini cowok sungguhan – cowok normal yang suka cewek, bukan dengan cowok.

Kerumunan orang di sekelilingku mulai menipis. Sebagian besar masih berdiri di sana lantaran tak punya banyak pilihan, sisanya justru minggat ke suatu tempat. Aku mulai sadar satu hal; saatnya aku mengambil keputusan. Maka, aku pun pergi menjauh. Lebih baik kabur daripada menunggu kedatangan Kepala Sekolah atau guru piket untuk menghadiahi sanksi.

Aku melangkah ke sebuah warung kecil yang terletak di seberang jalan, letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah kami. Gerobak makanan bertuliskan ‘mi goreng, mi rebus, bubur kacang, gorengan’ itu belum sepenuhnya terisi. Pemiliknya bernama Pak Komar. Dia sedang meracik adonan tahu isi sewaktu aku masuk dan mencomot teh botol dari dalam kulkasnya.

Cuaca pagi itu ternyata tidak bisa diajak kompromi. Peluh menbanjiri pelipisku. Aku menyekanya berkali-kali, tapi ia seakan tak mau berhenti. Tepat ketika aku hendak membanjiri tenggorokanku dengan minuman dingin, seseorang tiba-tiba muncul dan mengurungkan niatku.

Seseorang yang biasanya kukagumi dari kejauhan.

Seseorang dengan rahang yang kokoh, tulang pipi yang tegas, sepasang bola mata cokelat cerah, dan bertubuh atletis.

Dia berjalan menuju meja panjang yang menempel ke dinding warung. Di tangannya ada sebotol air mineral ukuran sedang. Beberapa tegukan saja sampai air di dalam botol itu habis tak bersisa.

“Kamu yang anak IPA itu, kan?” Telunjuknya teracung ke arahku.

Aku mengangguk spontan, kemudian memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya. “Dan kamu Texas, anak IPS yang terkenal karena julukan itu.”

Kepalanya berguncang ke belakang. Itulah kali pertama aku melihat Texas tertawa lepas. Tawa yang begitu memabukkan, tanpa secuil kepalsuan.

“Bangun kesiangan?” Aku melempar tanya.

Dia menjawab dengan kepala terangguk. Kemudian mengeluarkan sebuah novel fenomenal yang berjudul To Kill A Mockingbird dari dalam ranselnya. Aku tidak tahu seperti apa alur cerita buku tersebut. Tapi suatu hari kelak, aku akan menyadari bahwa novel itu berkaitan dengan passion yang dia miliki.

Orangtua Texas tidak tinggal bersamanya di Jakarta. Keduanya berada di Pakistan, sesekali mampir ke Indonesia sebelum bertolak ke Sydney untuk mengurus bisnis Real Estate milik ayahnya. Seperti itulah yang dia ungkapkan sebelum percakapan kami bergulir semakin jauh.

“Biasanya kalau lagi boring, kamu pergi ke mana?”

Aku segera menjawab tanpa pertimbangan, “Nggak ke mana-mana, lebih sering di kamar aja. Mentok-mentok ya – jalan kaki keliling komplek perumahan.”

“Kelihatan, sih. Kamu tipe anak rumahan banget. Kulit putih, bersih, kalem.” Texas mulai menekuniku dari atas ke bawah, seakan-akan ada yang salah dengan penampilanku. Baru pertama kali aku mendengar seseorang mendeskripsikan diriku secara gamblang.

“Aku tahu,” jawabku. “Kalau kamu?”

“Pasar! Di Jakarta banyak pasar loak. Selain berburu barang murah, bisa berburu buku obral juga.” Texas menutur, “Aku senang membaca. Aku bisa duduk di perpustakaan satu hari penuh, tanpa makan dan minum.”

“Nggak heran aku sering lihat kamu di perpustakaan sekolah.”

“Ternyata kamu sering memperhatikan aku, ya?”

Aku semakin kehabisan perbendaharaan kata. Niat awal ingin menceletuk, justru diserang balik. Agak gugup aku membalasnya, “Itu kebetulan aja, kok.”

That’s okay. I don’t mind at all.” Dia tersenyum, seakan-akan tidak merasa keberatan. “Oh ya, habis ini mau ke mana?”

 “Mustahil untuk masuk ke kelas. Gerbang udah ditutup. Jam pelajaran pertama pun udah dimulai.” Aku mengedikkan bahu. “Lagian aku nggak suka berurusan sama Pak Ikbal. Kamu juga pasti sependapat sama aku!”

Pak Ikbal itu satpam sekolah kami. Orangnya rese, sering ikut campur urusan orang, sok berkuasa, mata keranjang.

Texas tergelak lagi. Kali ini lebih pelan. Cukup pelan hingga menyisakan satu keheningan.

Dan di tengah-tengah keheningan yang canggung itu, kudengar dia bicara, “Ikut aku, yuk.”

Dahiku mengernyit. “Ke mana?”

Texas beranjak dari kursi. Senyumnya terkembang sempurna. Ada sesuatu yang aneh di balik senyuman itu. Tapi aku tidak sanggup menerka. Dia hanya menjawab, “Somewhere only we know. Ayo!”

Bagaimana aku sanggup membuat satu penolakan ketika aku sama sekali tidak punya pilihan? Texas menggapai tanganku. Kami keluar dari warung Pak Komar, berlarian ke jalanan sampai akhirnya melompat ke dalam bus Patas 76 jurusan Pasar Senen. Aku sepenuhnya sadar bahwa tindakanku sangat gila. Tapi aku tak dapat memungkiri; aku menyukainya.

Apa pun terasa lebih menyenangkan selama aku bersama Texas.

Alih-alih singgah ke Plaza Atrium untuk nonton atau sekadar cuci mata, kami justru melipir ke Pasar Senen. Texas kerap mengunjungi tempat itu karena keunikannya. Siapa yang menyangka, kawasan itu dipenuhi sejumlah seniman dan kumpulan mahakaryanya. Pemain musik, pengrajin kayu, pelukis, pembuat puisi. Aku bahkan baru tahu kalau Chairil Anwar termasuk salah satu di antara Seniman Senen pada zamannya.

Perjalanan belum berhenti sampai di situ. Aku dan Texas melipir ke salah satu lapak PKL yang menjual tas dan koper bermerek dengan harga murah. Belakangan aku baru tahu, ternyata tidak sedikit selebriti tanah air yang doyan belanja di sana. Pedagang itu bilang, mereka lebih suka belanja barang bekas berkualitas ketimbang barang mahal. Agak mengejutkan memang.

Selama berjam-jam kami menjelajahi Pasar Senen tanpa rasa lelah. Tepat pukul 12, aku dan Texas memutuskan keluar dari pasar lantaran merasa lapar. Matahari membakar kepalaku. Kami sepakat menuju pedagang mie ayam yang berjualan di depan Stasiun Senen.

Ada sekelompok siswa SMA yang mendekati kami pada waktu itu. Mereka sepertinya berasal dari SMA swasta. Seragamnya bermotif batik kebiruan. Salah satu di antara mereka meminta rokok kepada kami secara paksa. Aku enggan menggubris, begitu pula dengan Texas. Kami berdua tahu, tidak ada pilihan selain berdamai atau balas menggertak. Tapi, membuat keributan di tempat umum sangat tidak dianjurkan.

Apalagi saat masih mengenakan seragam sekolah.

Jadi, aku merogoh selembar uang pecahan sepuluh ribu dari dalam saku seragam dan menaruhnya di bawah mangkuk mie ayamku. Diam-diam menyenggol Texas supaya bergegas kabur dari hadapan mereka. Kami melesat cepat seperti anak panah. Sebisa mungkin melarikan diri dari bahaya. Orang-orang itu terus-menerus meneriakkan sumpah-serapah, menyamakan kami dengan para penghuni kebun binatang. Terlalu nyaring sehingga aku dapat mendengarnya begitu jelas.

Aku terlalu sibuk untuk menoleh ke belakang. Fokusku terpecah antara jalanan dan jemari Texas yang senantiasa kugenggam. Napasku memburu. Perutku berguncang hebat. Seporsi mie ayam yang kusantap bisa saja melompat keluar dari mulutku sewaktu-waktu.

“Naik ke angkot!” perintah Texas dari belakang.

Ada sebuah kendaraan umum berjenis angkot yang berada beberapa meter di hadapan kami. Angkot itu baru mau mempercepat lajunya ketika aku dan Texas melompat masuk, dan menimbulkan bunyi gradak-gruduk yang berisik. Hanya ada empat orang penumpang yang berada di dalam. Seorang ibu dengan bayi di gendongannya menatap aneh ke arah kami.

Tapi kami sama sekali tak peduli.

Selama beberapa saat, aku dan Texas masih cekikikan sambil membahas apa yang baru saja terjadi. Mobil mulai memasuki kawasan Senen Raya yang ramai, kemudian berbelok ke Jalan Pejambon. Macet di mana-mana. Pada jam makan siang, lalu lintas akan berubah dua kali lebih sibuk. Aku baru sadar ke mana arah dan tujuan kendaraan ini ketika Texas bertanya pada salah seorang penumpang yang duduk di sebelahnya.

“Permisi, Pak, angkot ini berhentinya di mana, ya?”

Pria berkumis tebal itu menjawab dengan logat betawi yang sangat kental, “Di depan sono noh, Stasiun Gambir.”

Tak ada kalimat apa pun yang keluar dari mulut Texas. Dia hanya melirikku sekilas, menantiku bereaksi.
Pada saat itu, aku tak sanggup berkata apa-apa. Lututku mendadak lemas. Pikiran-pikiran buruk merasuki seisi kepala. Aku mulai menebak-nebak apa yang kami lakukan setelah ini? Kami bahkan sama sekali tidak punya rencana.

Satu hal yang kutahu, kejadian selanjutnya berlangsung begitu cepat.

***

Aku tidak pernah menyangka hari itu akan menjadi satu perjalanan yang sangat panjang.
Cukup lama kami berdiri di depan pintu masuk Stasiun Gambir tanpa berbuat apa-apa. Texas menatapku lama, kepala dimiringkan ke sisi, sepasang alis tebalnya terangkat; satu pertanda bahwa dia telah membuat keputusan. Aku bergeming, keheningan mulai melebur di antara kami. Namun sebelum aku menemukan alasan yang didasari keraguan, aku melihat Texas membongkar ranselnya dan mengeluarkan sesuatu ke hadapanku.

Sehelai kaus abu-abu dengan logo Crocodile berukuran kecil di bagian belakang. Warna kaus itu agak kusam, seperti telah dicuci ribuan kali. Dan aku langsung menarik kesimpulan, baju itu dia dapatkan di Pasar Senen tadi. Setali tiga uang dengan kaus hitam bergambar Rolling Stone yang kemudian berada di genggamannya.

Kita butuh ini.

Dan entah bagaimana, aku tersihir begitu saja oleh ucapannya;

Melangkah ke dalam Stasiun Gambir tanpa rasa keberatan, menuju toilet untuk mengganti seragam sekolah kami dengan kaus di tangan masing-masing.

Texas sama sekali tidak menunjukkan rasa malu ketika harus membuka seragamnya di hadapanku. Aku dapat melihat rambut-rambut halus yang tumbuh di sekitar pusarnya. Beberapa tahun kemudian, aku semakin sering menyaksikan pemandangan itu. Dengan beberapa perubahan yang membuktikan bahwa hormon selalu berpengaruh dalam masa pertumbuhan.

Sebagian dari diriku tak berhenti berpikir, bagaimana aku bisa secepat itu merasa nyaman dengan seseorang? Seseorang yang selama ini hanya sanggup kukagumi diam-diam. Anehnya lagi, aku terus berharap rasa nyaman itu tak segera pergi.

“Dam, cita-cita kamu apa?”

Texas bertanya dengan suara lirih. Dia berbaring terlentang di atas rumput-rumput yang tumbuh seadanya. Langit malam di atas kami tampak seperti selendang hitam yang dihiasi manik-manik.

Jadi, di sinilah kami berada. Setelah dirundung perasaan cemas bercampur bahagia, menempuh perjalanan berjam-jam dari Stasiun Gambir menggunakan kereta Argo Parahyangan, kemudian mengayuhkan sepasang kaki sampai tumit melepuh, aku dan Texas akhirnya tiba di Bukit Bintang.

Walau dinamakan demikian, sebenarnya tempat ini tidak memiliki unsur perbukitan sama sekali. Hanya ada hamparan tanah dan bebatuan yang tidak rata, ditumbuhi ilalang kecil di mana-mana, serta-merta terdapat beberapa warung kecil yang menyediakan jajanan ala kadarnya. Di malam hari, semua orang dapat menyaksikan kerlap-kerlip lampu yang menyala di sepanjang kota Bandung.

“Belum tahu.” Aku berada di belakangnya, duduk dengan kaki terlipat dan kedua tangan mencengkeram rumput. “Tapi kalau yang kamu maksud ini cita-cita yang sering ditanyakan orangtua sama anak mereka sewaktu kecil, aku punya jawabannya.”

“Jadi dokter? Atau pilot?” Texas terkekeh.

“Selalu bahagia dalam kesederhanaan. Simple as that.” Mataku menerawang jauh, menembus kilau lampu di bawah sana.

Texas beranjak, kemudian mengambil posisi duduk di sebelahku. “Sebenarnya, itu lebih mengacu ke impian, sih.” Mengalirlah filosofi sederhana tentang mimpi dan cita-cita versi Texas. Sebagian orang beranggapan bahwa cita-cita adalah goal terbesar dalam hidup mereka, sesuatu yang patut dipertahankan dengan harga mati. Namun, semua itu tak akan terwujud tanpa kehadiran mimpi. The dream is an energy that propels us to move forward. Mimpi membuat seseorang percaya bahwa segalanya terasa mungkin.

Anything could happen.

“Lulus nanti, aku mau kuliah jurusan Hukum. Terus lanjut magang di kantor pengacara ternama, terus menangani banyak kasus dan berurusan dengan klien.” Texas tidak peduli orang-orang beranggapan profesi itu sangat berkelas sekaligus kejam. Dia tidak peduli berapa banyak pendapatan yang akan diperoleh dalam satu bulan, satu tahun, lima tahun. Bukan uang yang dia cari.

Satu-satunya alasan mengapa Texas begitu berambisi menjadi seorang pengacara; karena dia tahu betapa banyak orang-orang lemah di luar sana yang membutuhkan perlindungan hukum.

Dan untuk kali pertama, aku terkagum-kagum mendengar pengakuannya.

“Tapi aku punya impian seperti itu juga.”

Aku mengernyit dan bertanya, “Seperti apa?”

Jeda sejenak. Kedua bola mata kami saling beradu. Dan selama jeda yang singkat itu, ada desir hangat yang membanjiri aliran darahku. Sesuatu yang membuatku ingin merasakannya lagi, lagi, dan lagi. Sekalipun perasaan itu sungguh tidak tepat.

“Like you said before.” Texas mengujar, kemudian merebahkan tubuhnya lagi di atas rumput.

Dari kejauhan, terdengar sekelompok mahasiswa sedang mendendangkan sebuah lagu. Bunyi dawai gitar yang dipetik; rangkaian chords sederhana. Disusul siul-siulan panjang yang bertransformasi menjadi sebuah melodi.

Shed a tear ‘cause I am missing you
I’m still alright to smile
Girl, I think about you everyday now
Was a time when I wasn’t sure
But you set my mind at ease
There is no doubt; you’re in my heart now

Patience yang dibawakan orang-orang itu masih mengalun di udara. Angin malam berembus pelan. Bukan dingin yang kurasakan, namun kehangatan yang begitu  kentara. Pikiranku melayang jauh bersama lagu.

Begitu jauh hingga aku tersadar bahwa Texas tak lagi berada di dekatku saat ini.

Di masa kini.
Kamis, 30 Juli 2015

Chapter 8 - Making Plans

“Masih belum kelar kerjaan lo?”  Fino menduduki kursi kosong di hadapanku. Secangkir Green Tea Frappuccino pesananku berada di genggamannya. Itu adalah cangkir kelima setelah aku menghabiskan dua jam di Starbucks tanpa melakukan apa-apa.

 “Dari tadi gue bolak-balik majalah, tapi belum ada satu pun ide yang nyangkut.”

“Jangan terlalu dipaksain. Istirahat dulu, deh.”

Aku menanggalkan kacamata minus-ku, mengempas lembar demi lembar kertas HVS yang berisi coretan kacau ke atas meja. Bolpoin-ku terguling ke sudut meja. Fino menahannya sebelum ia sempat jatuh di lantai.

Dia meraih majalah Vogue Spanyol yang tertutup lembaran sketsa berengsek itu dan mulai menjelajahi halamannya satu per satu. Mulutnya terkunci rapat. Sosok Constance Jablonski yang menghiasi sampul depannya seolah-olah tampak sedang mengejekku.

“Ini mesti diserahkan 5 hari lagi, Fin. Astaga!” Aku memijit pelipisku dan memejamkan mata erat-erat. Kepalaku mendadak terasa sangat nyeri, seperti dipukul lusinan palu. “Gue mesti gimana abis iniiiiiii?”

“Lo maunya bikin konsep kayak gimana, sih?”

“Yang jelas nggak pasaran dan sesuai sama permintaan mereka!” ucapku setengah menyerah. “Lo lihat aja, nih – “ Menarik satu rangkap kertas yang sejak tadi teronggok di salah satu kursi dan menyodorkannya ke hadapan Fino. “Gara-gara konsep sialan itu, orang-orang pasti berpikir gue nggak becus kerja, nggak profesional. Karier gue bakal ikut terancam kalau kayak gini terus!”

“Tega banget mereka nolak konsep kayak gini.”

Agak gengsi memang ketika aku harus memaparkan pengakuan Uki waktu itu. Tapi, Fino pantas mengetahuinya; konsep foto di pinggir pantai sudah ketinggalan zaman dan terlalu melenceng dari trademark kami selama ini.

Fino hanya diam. Memelototi gambar yang tertoreh pada kertas itu dengan saksama sampai kudengar dia berseru pelan, “Ambil notebook lo, gue punya jalan keluarnya!”

Bagaikan dihipnotis, aku langsung menyambar buku bersampul kulit dari dalam messenger bag-ku. Menuju kertas paling belakang di mana halaman itu dipenuhi oleh guratan pensil warna dan catatan yang tidak terlalu penting. Bolpoin berada dalam posisi siaga. Telingaku mulai menyimak apa yang disampaikan Fino. Tapi, gagasan itu belum sepenuhnya terangkum kala aku memilih untuk berhenti menulis.

Ada sesuatu yang salah.

 “Tunggu...” Aku melepaskan bolpoin dari genggaman. “Lo bermaksud iseng ke gue atau gimana?”

“Kenapa emang?” Dahi Fino mengernyit.

“Kebun Raya Bogor, latar pepohonan, gadis bergaun putih. Lo bercanda?” ulasku dengan napas terengah-engah. “Tema photoshoot­-nya urban vintageFin. Bukan yang spooky mirip majalah misteri gitu.”

 “Kalau lo berpikir konsep yang gue bilang barusan agak horor, berarti lo salah.” Fino membela diri. “Foto gothic-spooky lagi tren, tahu.”

“Oke, gue hargai pendapat lo. Cuma, yang harus ditonjolkan pada sebuah foto adalah konsepnya. Harmonisasi antara kostum, dandanan, dan pemilihan tempat.” Secara harfiah, ada pesan yang bisa tersampaikan lewat foto tersebut.

 “Coba lo googling, deh. Atau lo bisa cari di Pinterest. Di sana banyak banget fotografer lokal yang udah bikin portfolio mereka sendiri.”

 Perdebatan ini tidak akan kunjung usai. Jadi, lebih baik aku membungkam mulutku rapat-rapat. Sisa hujan masih beririsan di luar sana. Sejumlah kendaraan memadati jalan Melawai, menanti pergantian traffic light. Gumpalan asap knalpot Metromini membuat segalanya tampak lebih pekat.

Dan... Kotor.

Fino benar. Terkadang referensi itu memang sangat diperlukan. Bukan bermaksud menjiplak, tapi sekadar membandingkan gagasan kita dengan milik orang lain. Selain itu, referensi juga dapat membantu dalam evaluasi diri. Supaya kita tahu, apa saja yang perlu dikembangkan atau diperbaiki.
Namun, brainstorming dengan Fino sama sekali tidak ada gunanya. Dia mungkin mengerti masalah fashion. Fino tahu bagaimana menata penampilannya agar terlihat maskulin dan classy. Tapi, tidak semua individu dapat menciptakan ide. Gagasan out-of-the-box adalah sesuatu yang kubutuhkan saat ini.

Seorang pelayan berkaus hitam dan celemek hijau melintas di sebelah meja kami. Pada saat yang sama, iPhone-ku tiba-tiba berdering. Menatap sejenak empat huruf yang muncul di layar itu sebelum benar-benar menggapainya. Empat huruf yang membuatku yakin bahwa dia adalah orang yang tepat untuk diajak bicara.

Halo...” Telapak tanganku sedingin es. Fino mulai heran terhadap tingkahku yang mendadak tak keruan.

“Lagi di mana, Dam?” balas Heru di seberang sana. Samar terdengar bunyi klakson kendaraan. Dugaanku, Heru sedang berada dalam perjalanan menuju suatu tempat.

“Lagi di Starbucks Melawai, Her. Bareng temen gue, cewek.” Entah kenapa, statement yang terakhir itu terdengar kurang penting.

“Eh, kebetulan banget. Gue lagi on the way Taman Langsat nih, tapi masih di Sudirman, sih. Lo nyusul dong!”

Aku mengernyitkan dahi dan bertanya, “Gerimis gini ke Taman Langsat mau ngapain?”

“Ada kerjaan,” ucapnya santai. “Udah, ke sini aja. Apa mau gue jemput?”

Fino bertanya tanpa suara, ingin tahu dengan siapa aku bicara. Namun aku hanya memberinya isyarat untuk hening sesaat. Menengok arlojiku sebelum membuat keputusan, “Bentar lagi gue ke sana, deh.”

“Sip! Gue tunggu, ya.”


Aku mengakhiri panggilan. Berusaha menyembunyikan letupan rasa bahagia di dalam hati. Sementara, Fino masih menatapku dengan senyuman aneh; tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan semua ini.
Kamis, 23 Juli 2015

Chapter 7 - Bimbang

One day, I will have a child of my own
How will I tell him?
Oh...
This world – this world it is a good place?


Nerina Pallot berhasil menyulap rangkaian kalimat itu menjadi sebuah lagu yang menakjubkan. Denting piano dan vokal yang mengalun mesra, merupakan perpaduan sempurna yang sanggup memanjakan telinga. Pada saat tertentu, lagu itu seolah mendiktator ingatanku sehingga aku terseret ke dalam lembah masa lalu.

Potongan kejadian tentang Texas mulai berkelabat di kepala. Terkenang bagaimana kami kerap berangan-angan untuk memiliki seorang anak adopsi. Pada sore hari yang gerimis, di tengah suasana temaram apartemennya, History Boys bersenandung di telingaku untuk pertama kali. Praktis saja menjadikannya sebagai lagu favorit kami.

Sebagaimana peran sebuah lagu, ia akan membuat kita terkoneksi dengan masa lalu. Memonopoli pikiran kita sendiri dengan potongan lirik atau sepatah melodi.

Selagi lagu itu melantun lewat earphone-ku, seseorang tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang. Aku membalikkan badan dan segera mengetahui bahwa orang itu adalah Bunda. Merasa beruntung karena selang air yang kugenggam sejak tadi tidak tersembur ke arahnya.

“Ada teman kamu, tuh,” ujar Bunda seusai melihat aku mencopoti salah satu earbud dari telingaku.

Aku mengernyitkan kening dan bertanya, “Siapa, Bun?”

Bunda mengedikkan bahu. “Cowok. Orangnya lagi nungguin di depan. Padahal udah Bunda tawari masuk.”

Bergegas meraih ember yang berisi busa sabun pencuci mobil, lalu menjatuhkan kepala selang di dalam sana. Terrgerak untuk mencari tahu siapa tamu yang dimaksud Bunda. Aku segera menuju pintu pagar sambil mengelap sisa-sisa peluh di leherku.

Sebuah Yaris merah terparkir di undakan jalan di depan rumahku. Sementara, si pemilik mobil sedang berdiri di depan moncong mobil dan tampak asyik memelototi  layar ponselnya.

“Tumben pagi-pagi udah muncul di sini,” aku menyeru dan menghampiri dirinya yang berpenampilan amat necis. Berlawanan sekali dengan orang di hadapannya saat ini. Kaus lengan buntung, urak-urakan, ditambah lagi celana pendek basah yang sudah sepatutnya diganti.

Heru mendongakkan kepala dan segera menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. “Sengaja, kagak ada kerjaan di rumah.” Matanya sesekali memperhatikan sesuatu yang tercetak jelas di balik celana pendek merahku. “Jalan, yuk!”

“Duh!” Spontan saja, aku menepuk dahi. “Sori banget, Her. Kalau hari ini gue beneran nggak bisa. 
Gue udah janji mau jalan bareng David soalnya.”

Terus terang saja, semua ini di luar perkiraanku. Tadinya aku pikir dapat menghabiskan hari Minggu di rumah. Sekadar beristirahat sambil mencari ide untuk project kemarin, atau pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. Sayangnya, semua rencana itu tak berjalan sempurna saat David memberitahuku tentang agenda bermain bersama teman-teman sekelasnya.

Aku sempat terpikir untuk menolak permintaannya. David bisa saja pergi bersama Bunda. Toh kalau aku yang menemani David, aku tidak akan mungkin bergabung dengan orangtua yang lain. Tapi, David sama sekali tak peduli. Dia tetap bersikeras bahwa akulah yang harus ikut ke acara itu.

“David?” Heru menatapku heran dengan kedua alis yang bertautan.

Aku mendadak sadar, Heru belum pernah bertemu David sebelumnya. Dia pasti berasumsi aku hendak pergi kencan dengan pria lain. Dan sewaktu aku hendak memberi penjelasan atas pertanyaannya barusan, sosok David hadir di sebelahku.

“Kak Adam mau pergi jam berapa? Udah jam sepuluh, nih. Nanti kita telat!” gerutu David seraya mengamati jam tangan kesayangannya.

“Ini David...” Aku mengajak David berdiri lebih dekat sehingga kami tampak saling menempel.

“Adik lo?” Kepalaku terangguk mengiyakan pertanyaan Heru, meskipun sebetulnya tak perlu karena Heru langsung berjongkok di hadapan David dan mengajaknya berkenalan, “Hei, Ganteng. Sekolah kelas berapa sekarang?”

Alih-alih menjawab, David justru memandangku heran dan bersuara, “Ini siapa, Kak?”

“Kenalin, Kakak temannya Kak Adam,” Heru menyela sebelum aku sempat berbicara. “Nama Kakak – Heru.”

Tenggorokanku panas dan praktis tercekat seusai mendengar ucapan Heru. Terbayang lagi di benakku pada pertemuan Texas dan David untuk yang pertama. Telingaku dipenuhi gelak tawa mereka. Aku masih ingat, waktu itu David sama sekali tidak segan saat berbincang dengan Texas. Begitu pula sebaliknya. Dan entah bagaimana, tidak butuh waktu yang lama bagi Texas untuk membuat David akrab dengan dirinya.

“Kenapa bukan Kak Texas aja sih yang ke sini?”

Lamunan tentang Texas yang berceceran di koridor memoriku sekonyong-konyong musnah tak bersisa. Satu pertanyaan baru telah dilontarkan. Buruknya lagi, pertanyaan itu didengar langsung oleh Heru.

“Texas?” tanya Heru dengan mata memicing. “Texas siapa, Dam?”

“Dia – “

“Kak Texas itu temennya Kak Adam!” David tiba-tiba angkat bicara. “Orangnya pintar, jago main harmonika, pokoknya hebat deh! Dia juga pernah ajak aku jalan-jalan.”

Aku merapatkan bibirku dari segala jenis argumentasi. Sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Heru yang kini sedang mengamatiku lekat-lekat. Sadar bahwa dirinya hendak menagih penjelasan tanpa melewatkan satu bagian terkecil sekalipun.

Sebersit penjelasan mulai terbentuk di kepalaku. Baru mau menyuarakannya sewaktu Bunda menyeru dari teras rumah, “Temannya diajak masuk, Dam. Di luar panas.” 

“David udah cek apa aja yang mau dibawa nanti?” Aku bertanya pada David. Sengaja mengulur-ulur waktu untuk mengalihkan topik pembicaraan. Hanya butuh beberapa detik sampai David undur diri dari hadapan kami dan berlari ke dalam rumah.

Tapi, semua itu belum benar-benar selesai.

“Lo belum jawab pertanyaan gue barusan.” Air muka Heru berubah serius. Ekspresi seperti itu belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.

“Yang mana?” Suaraku parau, jantungku kembang-kempis tak beraturan sampai rasanya mau meletup – pertanda jelas bahwa aku tak sanggup mengendalikan diri.

“Siapa Texas?”

Pandanganku kosong. Aku bahkan tak tahu harus memulai penjelasan dari mana. Lidahku terasa kelu. Dan dari sekian banyak frasa yang membombardir seisi kepala, aku lebih memilih bertanya, “Lo mau tunggu di sini atau di ruang tamu aja. Gue mau ganti baju soalnya.”

Basa-basi yang busuk, memang!

“Jawab gue, Dam!” Dia menyambar lenganku dan mencengkeramnya erat-erat. Begitu keras sehingga aku yakin ia pasti meninggalkan bekas pada kulitku. “Lo berusaha menutupi sesuatu dari gue, kan??!!”

Sebagian dari diriku mendesak, “Katakan saja yang sejujurnya! Biar dia berhenti mencari tahu. Biar dia kapok.”

Sementara itu, bagian lain justru bersikeras, “Ada waktunya bagi kamu untuk terbuka, Dam. Bayangkan bagaimana perasaan seseorang setelah mengetahui semua itu.”

Aku menarik napas dalam-dalam, memercayai dalam hati bahwa pilihanku tidak salah. Menatap sepasang bola mata hitam milik Heru dan mengujar, “Lebih baik kita bicara di dalam aja. Nyokap gue udah manggil.”

Heru perlahan melonggarkan cengkeramannya.
Rabu, 06 Agustus 2014

Last Night

“Menurut kamu, nanti kita bakal ketemu lagi nggak, sih?”

Pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja ketika kami saling bertatapan dalam waktu yang lama. Benar saja. Aku menganggap kalimat itu sebagai pertanyaan bodoh karena aku tidak terlalu yakin dengan apa yang kuucapkan. Tidak terlalu yakin juga apakah dia memahami maksud dari pertanyaanku.

Malam semakin larut ketika nyanyian jangkrik di luar sana terdengar mengganggu telinga. Jarum jam yang berada di angka dua belas seolah-olah mengingatkan kami bahwa tanggal telah berganti. Tapi kami tak sedikit pun hendak memejamkan mata dan lekas tersesat di alam mimpi. Masih ingin seperti ini – saling merengkuh satu sama lain di bawah selimut – untuk waktu yang cukup lama.

“Aku boleh tahu alasan kenapa kamu masih mau ketemu aku?” Dia memandangku dengan satu alis terangkat. “Kamu sama sekali nggak nyesel kenal sama orang kayak aku, gitu?”

Aku menggeleng yakin. “Karena kamu orang yang menyenangkan. Dan terus terang, aku ngerasa nyaman sama kamu.” Aku sadar, sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa menjadi orang verbal. Aku selalu gagal menyampaikan jawaban kepada seseorang dengan kalimat yang cukup tepat.

Dia menarik selimut hingga menutupi dadanya dan menatapku lekat-lekat. Bibirnya terkunci rapat selagi aku merasakan jemarinya di setiap riak rambutku. Membelai lembut kepalaku sambil tersenyum saat aku mengernyit heran ke arahnya.

“Kenapa?”

“Kamu lucu,” ucapnya seakan-akan sedang berhadapan dengan pendongeng favoritnya.

“Nyebelin!” cibirku sembari mencubit hidungnya.

Satu hal yang aku tahu selanjutnya, dia mengenyahkan diri dari selimut dan mengambil posisi di atasku. Mengusap pipiku sebelum kedua bibir kami saling berpagutan dalam irama pelan. Aku dapat merasakan sensasi hangat yang menjalar di sepanjang aliran darahku, mendesakku untuk tidak berhenti melumat bibirnya, menggerilya lidahnya dengan satu gigitan kecil.

Tepat ketika tangannya berada di dadaku, memoriku mendadak terlempar pada satu masa di mana semua ini berawal.

Aku sedang mengunjungi sebuah situs pertemanan yang berinisial J ketika sebuah pesan baru masuk di inbox-ku. Sebuah pesan dari seseorang tak dikenal. Awalnya aku tidak berminat memeriksa apalagi menanggapi pesan itu. Tapi sewaktu aku mengetahui ada ketulusan yang tersirat pada sapaannya, aku jadi tergerak untuk mengetik pesan balasan. Kami sepakat untuk bertukar foto di kesempatan selanjutnya. Saling bertukar cerita sampai kami memutuskan agar percakapan kami dilanjutkan di messenger yang lebih serius.

Aku berinisiatif menyapanya di Whatsapp lebih dulu. Mengajaknya bercakap-cakap tentang hal-hal kecil seperti; apa kesibukannya, tinggal di mana, dan berbagai topik wajar lainnya. Kemudian, aku merasakan ada satu dorongan yang berasal nuraniku untuk merencanakan sebuah pertemuan. Dan aku sempat tak percaya saat dia menyetujui ajakanku, meskipun aku sadar akan satu hal; entah kapan dan di mana pertemuan itu akan berlangsung.

Dia hanya berpesan, just let me know if you’re ready enough to meet me.

Dan selanjutnya, peristiwa itu benar-benar terjadi.

Selasa siang, pukul dua lebih tiga puluh lima menit, aku berlari keluar dari gedung Nav Karaoke dan segera menuju tempat yang dia maksud. Ragu-ragu aku berjalan mendekati seseorang dengan sweter putih yang tengah menilik gadget di atas motor besarnya. Dia yang pertama kali menyapa dan mengulurkan jabat tangan perkenalan itu. Untuk sejenak aku sempat merasakan ada sesuatu aneh yang muncul saat telapak tangan kami saling bersentuhan.
Sesuatu yang membuatku terenyuh dan ingin menikmatinya lagi dan lagi.

Dan aku tidak sedikit pun menghiraukannya.

Kami tetap berbincang beberapa patah kata sebelum akhirnya dia memilih untuk pergi sejenak lantaran ada urusan yang harus dia selesaikan. Itu saja yang terjadi pada pertemuan singkat kami.

Satu hal yang masih dan akan terus kuingat adalah ketika kami bertemu di kesempatan selanjutnya. Pertemuan itu berlangsung di hari yang sama, namun di jam yang berbeda. Aku baru saja bertolak dari rumah temanku yang jaraknya tidak terlalu jauh jika dijangkau dengan berjalan kaki.  Sekitar pukul setengah sepuluh, dia hadir dengan sebuah kendaraan yang terlihat berbeda dengan tadi sore. Di atas skuter matic yang dikendarainya, dia membuat pengakuan bahwa kondisi kesehatannya tidak terlalu baik. Terbatuk-batuk di tengah pembicaraan kami yang membaur dengan angin malam.

Aku mungkin tidak mengerti bagaimana caranya agar dia merasa lebih baik. Tapi aku tidak ingin tinggal diam. Segera melingkarkan lenganku di pinggangnya, dan sesekali mengusap dadanya jika batuk itu kumat kembali. Hanya itu yang bisa kulakukan.

“Babe...” panggilnya lirih. Terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, “Kamu udah ngantuk?”

No. My mind was filled with your memory. And I dont know why i cant stop thinking about it, even just for a while. I guess, I have fell in love with someone – someone with his bright eyes, his dark skin, his tall body, and for every single thing he got. And the only one I think about is you, Baby.

That’s you...

“Kamu mau tidur?” aku balik bertanya sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu halus.

“Aku bakal tidur kalau kamu juga tidur.” Begitu katanya.

My heartbeat suddenly quickened. I dont know. It was soft and seductive. I remembered seeing him in blue sweater on his motorcycle and he smiled at me. Then my world was stop spinning. I could feel the warmth coming off from him and could smell his perfume and sweet like a wine.

And i wondered if he could hear my heart beating so fast.

Aku menjawab pertanyaannya dengan sebuah anggukan. Setuju bahwa inilah saat yang tepat untuk segera beristirahat dan pergi ke alam mimpi. Barangkali kami diberi kesempatan untuk berada bersama di sana juga?

Dia mengambil posisi tidur yang benar, lalu memberi tempat bagiku untuk berbaring di sebelahnya. Menarik kembali selimut yang melesak jauh dari kasur sembari berkata, “Kamu tahu, aku yakin kita pasti bakal ketemu lagi.”

Aku dapat merasakan sebuah ketulusan di dalam kalimatnya. Dan aku sepenuhnya percaya.

Sebelum kami benar-benar memejamkan mata, dia sempat menghujaniku dengan kecupan di kening, kemudian membimbingku ke dalam pelukannya.

Sabtu, 26 Juli 2014

Restart

Hujan baru saja usai ketika aku melangkah keluar dari sebuah kedai kopi di Old Town Square. Lampu-lampu jalan yang berpijar terang sama sekali tidak memberikan rasa hangat. Udara musim gugur rasanya menusuk hingga ke tulangku. Kuhirup lagi secangkir cappuccino yang rasanya agak tawar di lidah, semata-mata agar aku tidak kedinginan.

Aku masih ingat, itu adalah malam terakhirku di Prague.

Malam di mana aku angkat kaki dari apartemen Karin dan memilih untuk berjalan seorang diri sampai dini hari. Terus berjalan tanpa punya arah tujuan sama sekali. Tapi satu hal yang aku tahu, pada saat itu aku berhenti di Charles Bridge. Berdiri di sana selama beberapa jam sambil melamun hal-hal yang tidak penting.

Aku melihat bayang diriku sedang berdiri di bawah patung St. John Nepomuk. Bersama Bram yang hadir di sebelahku. Segalanya terasa manis pada saat itu. Menikmati langit sore kota Prague yang berwarna jingga, ditemani sepotong es krim yang berada di tangan masing-masing. Dia terus menceritakan tentang sejarah 30 patung di Charles Bridge yang kini terdengar seperti omong kosong bagiku.

Salah satu cerita yang masih kuingat adalah tentang patung itu.

“Sebagian besar orang percaya kalau patung St. John ini bisa membawa keberuntungan bagi siapa pun yang menyentuhnya.” Dia tahu aku penasaran dengan ceritanya. Oleh karena itu, dia melanjutkan, “Suatu hari nanti, orang itu pasti akan kembali lagi ke kota ini.”

Aku mulai berargumen, “Kata siapa?”

“Aku nggak tahu. Kisahnya menyebar dari mulut ke mulut.” Dia mengedikkan bahu. “Kalau kamu mau lihat salah satu contohnya, ya aku.”

Selanjutnya, Bram mulai bercerita bagaimana dia bersama ibunya naik kereta dari Berlin dan tiba di sini pada pukul satu siang. Itu adalah siang yang cerah yang di musim panas. Begitu yang dia ceritakan kepadaku. Bram mengambil foto dengan berbagai pose di bawah patung St. John dan sempat menyentuhnya beberapa kali. Ibunya pun melakukan hal yang serupa.

Dia mengakhiri cerita itu dengan satu kalimat pendek, “Aku sayang kamu, Win...”

Dan itu adalah hal berikutnya yang tidak ingin kuingat.

Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak punya punya alasan mengapa aku teramat benci dengan kalimat sederhana itu. Barangkali karena aku telah menyadari bahwa aku sama sekali tidak istimewa baginya.

Satu hal yang kutahu, pada waktu itu aku hanya bergeming. Aku dapat merasakan jantungku berdegup kencang seakan hendak melompat dari dadaku. Es krim cokelat yang kupegang pun mendadak terlepas dari genggaman.  Seolah-olah, aku baru saja mendengarkan hal yang paling membahagiakan di hidupku.

Tapi saat ini, aku tidak ingin mengingatnya lagi. Aku sudah telanjur muak dengan dirinya yang terlalu licik. Dan aku pun benci kepada diriku yang terlalu picik. Entah kenapa aku bisa dibodohi oleh cinta dengan mudahnya, dengan tiga kata sederhana yang sama sekali tidak memiliki makna.

Aku memandangi lagi ke layar ponselku. Jam sudah menunjukkan pukul empat subuh. Kabut tipis mulai memenuhi pemandangan di hadapanku. Tapi matahari belum muncul sama sekali. Aku mulai berpikir, sudah saatnya kepedihan ini berakhir. Sudah tak ada gunanya bertahan di sini untuk mempertahankan segala sesuatu yang tidak pasti.

Dengan kata lain, sudah saatnya aku berjalan dan melangkah pulang.

Pulang untuk mencari arti kebahagiaan yang sesungguhnya.

Jumat, 18 Juli 2014

Prelude

PRELUDE

“Windy... I want you to be mine. Will you?”

Aku tercenung. Alat perekam itu masih berada di genggamanku. Jantungku selalu bergetar cepat setiap kali aku mendengar rekaman suara yang tidak lebih dari tujuh detik itu. Tak pernah bosan memainkannya berulang-ulang sampai-sampai aku hafal akan intonasi suara dan bunyi napas yang kerap muncul di pertengahan kalimat.

Sebuah suara yang selalu membuatku rindu pada keteduhan di kedua bola matanya, segaris senyum yang menenangkan, dan gelak tawanya yang renyah. Bahkan segala sesuatu tentangnya masih terasa nyata di ingatanku.

Hanya saja, satu hal yang menjadi masalah saat ini adalah; aku tidak menemukan jawaban yang tepat untuk membalas pertanyaannya. Aku telah kehabisan kata-kata. Dan pikiranku pun seolah tidak mau diajak bekerjasama.

Ibu jariku berada pada tombol record yang berwarna merah. Aku hendak menguraikan satu alasan panjang saat terdengar sebuah ketukan di pintu kamarku.

“Windy...”

Itu suara Papa.

Alat suara itu tak lagi kupedulikan.

Aku bergegas turun dari tempat tidur. Menghirup napas dalam-dalam sambil merapikan rambutku, sebelum menyambut seseorang di balik pintu itu.

“Iya, Pa,”

Papa membetulkan letak kacamatanya dan berkata, “Udah ditungguin di bawah tuh.”

Aku menengok ke arah jam bundar yang menempel di dinding kamarku. Pukul empat lebih sepuluh menit. Itu berarti, aku telah membuang waktu enam ratus detik tanpa melakukan apa-apa.

Segera saja aku bertanya, “Aku harus kasih jawaban seperti apa, Pa?”

Papa tersenyum. Garis kerutan di wajahnya terlihat semakin jelas. “Hanya kamu yang tahu jawabannya, Win. Ini masalah kejujuran hati.”

“Dan, gimana kalau jawaban dari aku malah bikin dia kecewa?” tukasku gelisah.

Papa meletakkan kedua telapak tangannya di bahuku, meremasnya lembut sambil berkata, “Papa yakin dia bisa terima apa pun keputusan kamu.” Dia tersenyum lagi. “Sekarang, temui dia di bawah, ya.”

Aku menggigit bibir bawahku, meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mulai menuruni sejumlah anak tangga dengan amat hati-hati. Tangan kananku mencengkeram erat pegangan tangga, khawatir kalau aku akan terpeleset atau jatuh sewaktu-waktu.

Dan ketika kakiku menapaki anak tangga yang terakhir, aku dapat melihat kehadirannya dengan sangat jelas. Duduk di atas sofa ruang tamu. Dalam balutan kemeja cokelat dan celana jins berwarna gelap; satu setelan khas dirinya. Pandangannya tertancap ke lantai. Meskipun begitu, aku dapat merasakan segunduk kecemasan yang bergejolak di sepasang bola matanya. Kecemasan yang bercampur dengan secuil harapan.

Sadar akan sosokku yang tengah mengamatinya dari jauh, dia pun menyapa, “Hei.”

Aku menyeret kedua kakiku ke arahnya dan lekas mengambil posisi duduk di atas sofa. “Maaf agak lama. Tadi abis – beresin kamar sebentar,” ujarku terpaksa berbohong.

“Tadinya aku sempat mikir kalau kamu nggak bakalan turun, lho.”

Aku membalas penuturannya dengan senyuman kecil, tahu dia sedang berbasa-basi untuk menghindari kecanggungan. Dan sejak awal aku sudah menebak, berada di dekatnya sudah pasti akan membuatku gugup. Saking gugupnya, aku bahkan tidak tahu bagaimana memulai sebuah pembicaraan.

Tapi, kecanggungan itu berangsur hilang ketika kudengar dia bersuara, “Tentang pertanyaan aku waktu itu, kamu udah punya jawabannya?”

“Aku – sejujurnya aku belum tahu harus ngambil keputusan seperti apa.”

Hening selama beberapa saat.

Aku yakin, pernyataanku barusan sudah cukup mematahkan separuh dari harapannya. Semua itu tergambar jelas dari wajahnya yang seolah-olah tak ada lagi keinginan untuk berada di sini lebih lama.

Tapi, sebelum terjadi kesalahpahaman di antara kami, aku segera menambahkan, “Aku sama sekali nggak bermaksud narik-ulur hati kamu, Bay. Aku cuma – belum yakin aja.” Lanjutku, “Aku takut kalau ada penyesalan yang harus dibayar oleh salah satu di antara kita suatu hari nanti.”

“Aku ngerti. Dari awal harusnya aku nggak perlu mendesak kamu untuk nerima cinta aku, Win. Aku juga belum tentu siap kalau harus mendengar satu penolakan dari kamu.” Dia menyeringai pasrah, berusaha menghibur diri sendiri dengan kalimat itu. “Tapi nggak apa-apa. Just take your time.”

Di satuan waktu selanjutnya, aku menyadari dia telah beranjak dari sofa. Berancang-ancang mengambil langkah menuju pintu utama. Dan aku tahu, aku tidak punya banyak waktu untuk melakukan sesuatu jika aku hendak menahan kepergiannya.

“Bayu!” panggilku setengah berteriak. “Kamu masih bersedia nunggu?”

Cukup lama dia menatapku dari balik kacamata minus itu sampai kudengar dia mengujar, “I will.”

Okay, stay right here! Aku permisi ke kamar dulu.”

Dengan segenap kekuatan yang aku punya, aku segera berlari ke lantai atas. Jantungku terasa berdengap saat aku tiba di kamar.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ini. Selama dua menit, aku habiskan dalam diam sambil mematut bayang diriku di depan cermin. Semenit lagi kuhabiskan untuk mondar-mandir tanpa berbuat apa-apa. Semenit berikutnya, aku sudah menutup pintu kamar dan kembali menemui Bayu yang masih berdiri di ambang pintu rumahku.

“Aku udah ngambil keputusan. Dan kamu bisa dengerin jawabannya ketika kamu sampai di rumah,” ujarku di sela-sela napas yang tak keruan. Tanganku mengulurkan sesuatu berwarna silver kepadanya.

Bayu menerima pemberianku. Memandangi benda itu dengan tatapan bingung bercampur penasaran. “Kamu yakin sama semua ini?” Dia bertanya sambil menimang-nimang alat perekam suara itu.

“Sepenuhnya yakin,” jawabku dengan kepala terangguk.

Jumat, 20 Juni 2014

Regret and Forgiveness

Aku udah di rumah nih. Sorry ya enggak bilang2

Mendengus kesal begitu mendapat pesan itu terpampang jelas di layar gadget. Aku bergegas membuka aplikasi LINE, mengintip window chat, dan mulai mengetik kalimat balasan yang tak kalah menyedihkan. 

Emm.. Ok.

Sesingkat itulah pesan yang kukirim kepadanya, tanpa melampirkan nasihat atau kalimat basa-basi busuk lainnya. Entah setan apa yang merasuk pikiranku pada saat itu, aku pun tidak tahu. Yang kurasakan hanyalah dongkol, kesal, jengkel, sebal, tapi juga rindu. Barangkali rindu untuk memarahinya.

Ya. Itulah hal berikut yang aku lakukan ketika segalanya bertambah rumit.

Dia mencoba memberi penjelasan, menguraikan satu demi satu peristiwa dengan kalimat yang amat sederhana. Alih-alih menyimak seluruh pernyataan yang dia berikan, aku justru menanggapinya dengan satu kalimat tanya. Mencari tahu, apa yang hendak dia lakukan dengan pernyataan itu? Ingin meyakinkanku atau sekadar memberi alasan palsu?

Namun, pada saat itu yang kuterima hanyalah ketidakacuhan. Barangkali dia sudah bisa menebak ke mana percakapan ini akan berakhir. Dengan bodohnya, aku kembali bertanya dengan kejam, what if i dont want to hear?

Terkadang, kalimat itu memang sangat ampuh jika dilontarkan kepada gerombolan Jerky Boys di luar sana. Sekadar membuat mereka malu dan tahu rasa. Aku pernah mencobanya satu kali kepada seseorang yang sempat mengintimidasiku lewat cibirannya. Dan itu berhasil.

Di lain waktu, barulah aku menyadari betapa tajamnya kalimat itu ketika kuarahkan kepada seseorang yang tidak bersalah.

Tidak butuh waktu yang lama sampai kami berdua saling beradu argumen dan menyalahkan satu sama lain. Aku belum mau menyerah. Terus mengoceh segala kekhawatiran dengan penuh kesabaran. Tapi, lawan bicaraku pun tak mau mengalah. Perang baru saja dimulai. Satu hal yang aku yakin, hal-hal seperti ini pasti berlangsung lama dan berujung petaka.

Sesekali emosiku menjadi sulit terkendali. Aku mendadak terpancing emosi. Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Inhale – Exhale. Aku sering melakukan hal seperti ini untuk menjaga keseimbangan diri. Sampai pada akhirnya, aku memutuskan untuk memasang bendera putih. Aku menjelaskan betapa lelahnya diri kami sehingga menjadi sangat kacau seperti tadi. Melontarkan kekurangan sama lain, merasa yang paling benar, mencurigai tanpa alasan. Hal-hal sepele seperti itu terkadang bisa menjadi penyebab rusaknya suatu hubungan.

Menasihati lagi agar semuanya dibicarakan di keesokan hari. Karena aku berpikir, semuanya tidak akan membaik jika diteruskan dengan penuh emosi. Mengistirahatkan pikiran adalah satu-satunya jalan. Tak lupa, aku pun menyertai permintaan maaf dan ucapan selamat tidur. Aku hanya berharap agar dia dapat memaklumi.

Tapi, semua itu masih jauh dari selesai.

Ada banyak hal yang masih hendak dia ungkapkan. Tentang bagaimana dia bisa mengeluarkan caci-maki, bagaimana dia yang selama ini sudah terlalu sabar dalam memahamiku, bagaimana dia yang selalu menunjukkan perhatiannya meskipun dengan cara yang berbeda. Dan yang terakhir, dia juga menyampaikan satu kalimat penyesalan atas apa yang telah dia lakukan. Satu kalimat permohonan maaf yang tulus.

Kalau tahu semuanya bakal kayak gini, mungkin aku enggak akan cerita yang tadi itu ke kamu. Mungkin aku bakal cerita aja ke orangtua aku, yang siap untuk ngasih dukungan ke aku sewaktu-waktu.

Pengakuan yang dia sampaikan seketika membuatku terenyuh.

Aku mendadak malu betapa irasionalnya tindakanku beberapa menit yang lalu. Menuduhnya macam-macam, mengatasnamakan cinta untuk segala bentuk kekhawatiran. Aku juga menyadari bahwa aku telah bersikap insecure dan berlebihan.

He was right, and I was wrong.


Tebersit lagi di benakku akan sebuah pertanyaan yang pernah aku ucapkan dahulu. Kenapa rasanya terlalu sulit untuk mendapatkan seseorang yang bersedia mencintai dan dicintai?

Kini, mungkin aku telah menemukan jawabannya. Satu-satunya jawaban mengapa aku sulit menjalin hubungan percintaan, karena aku terlalu rumit. Aku selalu mengalami kesulitan dalam menghadapi ketakutan yang aku ciptakan sendiri. Aku ini ganjil. Aku ini berbahaya.

Aku pernah begitu dekat dengan seseorang yang tepat. Meyakini di dalam hati bahwa dialah satu-satunya sejak awal pertama. Melakukan apa saja yang aku bisa untuk mempertahankan keutuhan kami. Tapi pada akhirnya, aku malah menyia-nyiakan kehadirannya dengan segala spekulasi negatif tak beralasan.

Kembali ke percakapan kami...

Dia masih mengutarakan segenap kalimat permintaan maaf. Membujukku agar mengerti bahwa dialah yang bersalah dalam kasus ini. Aku berusaha menepis pernyataannya. Lantaran aku menyadari, bukan dia yang berdosa. Dia tidak pernah salah.

Akulah yang sepatutnya meminta maaf.

Dan dia masih bersedia memberikan sebuah pengampunan.

Dia terlalu baik untuk mengampuni seseorang seperti aku.

Satu hal yang aku yakini... Meskipun pintu maaf itu akan selalu terbuka, aku tidak yakin apakah kesempatan itu masih ada. Aku baru saja menorehkan luka sekaligus membuatnya kecewa. Dan untuk saat ini, aku masih ragu apakah aku pantas untuk mencinta dan dicinta.
Selasa, 17 Juni 2014

Pulang

“Kepada seluruh penumpang yang terhormat, sesaat lagi pesawat ini akan mengudara dengan ketinggian tiga ribu kaki di atas permukaan laut. Harap kencangkan sabuk pengaman dan bla bla bla....”

Pramugari itu masih mengumandangkan pemberitahuan lewat pengeras suara, kemudian mengganti isi pesan itu dengan bahasa asing yang terdengar sangat membosankan. Aku menempelkan kening ke arah jendela, memandangi landasan pacu dan sepetak rumput hijau di sekitarnya. Matahari berpijar terik di luar sana. Sementara, sejumlah mobil pengangkut bagasi mulai bertolak ke tempat semula.

Pada saat yang sama, pikiranku tiba-tiba terlempar pada sederet kejadian yang terjadi beberapa jam sebelumnya. Aku teringat bagaimana aku berpamitan dengan temanku, Ebbi, yang masih tertidur pulas. Meninggalkan kamarnya dengan perasaan tak keruan, kemudian memanjat pintu pagarnya yang terkunci rapat. Berjalan melewati jalan Karnolong sampai akhirnya aku menemukan sebuah taksi berwarna biru.

Jalan raya di Jakarta tampak begitu sepi pada pukul enam pagi. Masih sedikit sekali kendaraan pribadi yang berkeliaran di saat-saat seperti ini. Lampu jalan pun masih banyak yang menyala. Dan setibanya di stasiun Gambir, aku langsung bergegas mencari Bus Damri tujuan Bandara.
Meletakkan koperku pada bagasi yang telah disediakan, lantas melangkah masuk ke dalam bus berwarna abu-abu itu. Lebih memilih duduk di pinggir jendela agar aku dapat memandangi situasi jalanan di pagi hari. Aku senang melakukannya setiap kali hendak bepergian. Dan beruntungnya, tidak ada satu orang pun yang duduk di sebelahku.

Bus mulai berjalan, melewati sederet gedung yang menjulang tinggi di sana-sini. Aku bersiap menyumbat telingaku dengan earphone, menikmati playlist yang berisi lagu-lagu Air Supply, Maroon 5, ABBA, The Fray, dan sebagainya. Berpikir mereka dapat menenangkan perasaanku yang tengah kacau-balau. Tapi aku salah. Lagu-lagu itu justru menyeretku ke lembah masa lalu.

Aku kembali terpikir bagaimana pertama kali aku tiba di kota ini dengan wajah sumringah dan semangat membara. Satu-satunya hal yang kuinginkan saat itu adalah; kebahagiaan. Begitu yakin 1000% bahwa aku telah mengambil keputusan yang tepat. Jakarta atau Bandung, aku siap mengejar mimpi. Aku pun sempat berjanji pada semua orang – termasuk diri sendiri – untuk memulai hidup yang lebih baik lagi. Namun pada akhirnya, semuanya berubah tanpa sanggup kuprediksi.

Seseorang pernah bertanya padaku, “sampai kapan kamu mau menetap di sini?”
Aku terdiam selama beberapa saat.
Saat itu, kami baru saja menuntaskan wisata kecil kami di Braga. Berjalan di bawah jembatan penyeberangan dan hendak menuju halte bus Mesjid Alun-Alun Kota Bandung. Hari sudah pukul lima sore. Tapi, langit yang berwarna gelap keabu-abuan membuat kami ingin segera pulang.
Pulang, satu frasa yang memiliki banyak makna.
Dia bertanya lagi dengan suaranya yang lirih, “Kamu enggak mungkin stay di Bandung dengan pekerjaan yang itu-itu aja, kan?”
“Maksudnya?” tanggapku, menatapnya dengan mata memicing.
“Aku tahu passion kamu, Joy. Kamu yakin mau berkarier di sana selama-lamanya?”
Alih-alih memberi jawaban diplomatis, aku malah mengedikkan bahu; tanda bahwa aku sama sekali tidak mengerti bagaimana menanggapi pertanyaannya. Aku sempat berpikir bahwa aku memang tidak akan bisa bertahan lama pada pekerjaanku. Bukan karena aku tidak bersyukur atas apa yang telah aku terima, tapi karena aku tidak punya passion sedikit pun di bidang itu.
“Kalau seandainya aku bilang, aku bakal stay di Bandung untuk waktu yang lama, apa kamu bakalan percaya?” balasku.
“Percaya,” dia mengangguk. “Tapi aku yakin, suatu hari nanti pasti kamu bakalan pergi, entah ke mana tujuannya.”

Selanjutnya, percakapan itu menggantung tanpa menemukan titik terang. Baik aku ataupun dia, kami berdua lebih memilih bungkam dan tak banyak bicara. Percuma saja berkelakar. Toh aku tidak memiliki alasan yang tepat untuk merangkai sebuah penyangkalan

Sampai pada suatu hari, aku menemukan kebenaran pada kalimatnya.

Aku memilih untuk pulang; untuk mengistirahatkan diri dari segala beban dan tekanan, untuk mencari ketenangan, untuk menemukan lagi arti dari kebebasan. Dan aku rasa, aku telah menentukan pilihan yang tepat.

Seketika, terdengar sebuah denging yang memekakkan telinga. Lamunanku mendadak terpecah-belah. Aku baru menyadari kalau sejak tadi aku menitikkan air mata. Pantas saja pipiku terasa basah. Tapi aku tak peduli. Karena tangis yang baru saja tumpah bukanlah tangis penyesalan. Ini tangis bahagia dari sebuah kemenangan.
Tak lama, pesawatku pun mulai mengudara.