Hujan baru saja usai ketika aku melangkah keluar dari sebuah kedai kopi di Old Town Square. Lampu-lampu jalan yang berpijar terang sama sekali tidak memberikan rasa hangat. Udara musim gugur rasanya menusuk hingga ke tulangku. Kuhirup lagi secangkir cappuccino yang rasanya agak tawar di lidah, semata-mata agar aku tidak kedinginan.
Aku masih ingat, itu adalah malam terakhirku di Prague.
Malam di mana aku angkat kaki dari apartemen Karin dan memilih untuk berjalan seorang diri sampai dini hari. Terus berjalan tanpa punya arah tujuan sama sekali. Tapi satu hal yang aku tahu, pada saat itu aku berhenti di Charles Bridge. Berdiri di sana selama beberapa jam sambil melamun hal-hal yang tidak penting.
Aku melihat bayang diriku sedang berdiri di bawah patung St. John Nepomuk. Bersama Bram yang hadir di sebelahku. Segalanya terasa manis pada saat itu. Menikmati langit sore kota Prague yang berwarna jingga, ditemani sepotong es krim yang berada di tangan masing-masing. Dia terus menceritakan tentang sejarah 30 patung di Charles Bridge yang kini terdengar seperti omong kosong bagiku.
Salah satu cerita yang masih kuingat adalah tentang patung itu.
“Sebagian besar orang percaya kalau patung St. John ini bisa membawa keberuntungan bagi siapa pun yang menyentuhnya.” Dia tahu aku penasaran dengan ceritanya. Oleh karena itu, dia melanjutkan, “Suatu hari nanti, orang itu pasti akan kembali lagi ke kota ini.”
Aku mulai berargumen, “Kata siapa?”
“Aku nggak tahu. Kisahnya menyebar dari mulut ke mulut.” Dia mengedikkan bahu. “Kalau kamu mau lihat salah satu contohnya, ya aku.”
Selanjutnya, Bram mulai bercerita bagaimana dia bersama ibunya naik kereta dari Berlin dan tiba di sini pada pukul satu siang. Itu adalah siang yang cerah yang di musim panas. Begitu yang dia ceritakan kepadaku. Bram mengambil foto dengan berbagai pose di bawah patung St. John dan sempat menyentuhnya beberapa kali. Ibunya pun melakukan hal yang serupa.
Dia mengakhiri cerita itu dengan satu kalimat pendek, “Aku sayang kamu, Win...”
Dan itu adalah hal berikutnya yang tidak ingin kuingat.
Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak punya punya alasan mengapa aku teramat benci dengan kalimat sederhana itu. Barangkali karena aku telah menyadari bahwa aku sama sekali tidak istimewa baginya.
Satu hal yang kutahu, pada waktu itu aku hanya bergeming. Aku dapat merasakan jantungku berdegup kencang seakan hendak melompat dari dadaku. Es krim cokelat yang kupegang pun mendadak terlepas dari genggaman. Seolah-olah, aku baru saja mendengarkan hal yang paling membahagiakan di hidupku.
Tapi saat ini, aku tidak ingin mengingatnya lagi. Aku sudah telanjur muak dengan dirinya yang terlalu licik. Dan aku pun benci kepada diriku yang terlalu picik. Entah kenapa aku bisa dibodohi oleh cinta dengan mudahnya, dengan tiga kata sederhana yang sama sekali tidak memiliki makna.
Aku memandangi lagi ke layar ponselku. Jam sudah menunjukkan pukul empat subuh. Kabut tipis mulai memenuhi pemandangan di hadapanku. Tapi matahari belum muncul sama sekali. Aku mulai berpikir, sudah saatnya kepedihan ini berakhir. Sudah tak ada gunanya bertahan di sini untuk mempertahankan segala sesuatu yang tidak pasti.
Dengan kata lain, sudah saatnya aku berjalan dan melangkah pulang.
Pulang untuk mencari arti kebahagiaan yang sesungguhnya.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar