Sore itu, ponsel saya berdenting tepat
setelah saya keluar dari kamar mandi. Saya sangat hapal dengan notifikasi itu.
Dengan bergairah, saya segera merampas benda mungil yang tergeletak di atas
ranjang saya, lantas membuka aplikasi Whatsapp dalam hitungan detik.
Satu pesan baru.
Awalnya saya berharap pesan itu dikirim
dari seseorang yang saya tunggu-tunggu. Ternyata bukan. Saya harus menelan
kecewa ketika saya mengetahui identitas
si pengirim pesan adalah teman saya sendiri. Well, sebut saja namanya Mike. Kami mengenal satu sama lain sudah
cukup lama. Sekitar tiga tahun yang lalu, waktu itu saya baru lulus SMA. Dan
memang, bagi saya tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Sudah banyak hal yang
saya dapatkan dalam kurun waktu tersebut.
Salah satunya, Mike yang akan saya
ceritakan sesaat lagi.
Semangat saya sudah lama surut. Jadi, mau
tidak mau akhirnya saya membuka sejumlah pesan yang dikirimi oleh Mike.
Hei,
Joy.
Apa
kabar? Where have you been?
Sombong
banget ya sekarang! >.<
Ya... Kurang lebih begitulah isi pesan yang
tertampil di layar ekstra-lebar ponsel saya. Sesaat setelah sederet kalimat itu
saya tuntaskan, saya melenguh. Membuang napas panjang-panjang dan terdiam
sampai saya sendiri tidak tahu berapa lama saya melamun.
Kalau boleh berkata, saya sudah sering menerima
pesan yang berbunyi demikian. Dibilang sombong, cuek, belagu, bahkan lupa sama
temen. Jadi yang seperti itu bukan hal baru lagi buat saya pribadi. Tapi, saya
nggak menanggapinya dengan hal yang jahat. Saya berusaha seramah mungkin agar
mereka sadar bahwa saya tidak sombong, belagu, whatever-you-called-it. Karena pada dasarnya, saya bukan tipe orang
yang suka memulai sebuah permusuhan.
Agak lama saya membatu, akhirnya saya
mengetik beberapa patah kalimat sebagai pesan balasan. Nggak mau banget kalau
dia berpikir saya sombong gara-gara hanya membaca pesannya saja. Begini balasan
saya;
Alhamdulillah
gue baik, kok. Everything’s fine here.
Duh...
Jangan bilang gue sombong, dong. :p
Tak beberapa lama kemudian, dia merespons.
Emang
elu sombong kali! Di twitter jarang mensyen, di path juga jarang nyapa.
Di
whatsapp apalagi!!!
Saya terkesiap ketika saya mendapati tiga
butir tanda seru yang berada di akhir kalimatnya. Secara tiba-tiba saja rasanya
kepala saya seperti dihujani jutaan tanda tanya. Tapi dalam waktu yang
bersamaan, saya pengin ketawa. Terus bertanya dalam hati, emangnya saya sombong, ya? Letak kesombongan saya di mana, sih? Saya
kan cuma ciptaan Tuhan yang nggak ada bedanya sama manusia yang lain...
Merasa gerah dengan tudingan yang tidak
sesuai kenyataan, akhirnya saya menginjakkan jemari saya secepat mungkin di
atas touchscreen dan membalas seperti
ini;
Sori,
bukannya sombong.
Waktu
itu gue udah nyapa di twitter,guma gue nggak dapet tanggapan apa-apa.
Gue
liat di timeline, lo juga kayaknya lagi sibuk sama temen-temen lo yang baru J
Selang beberapa lama, dia menanggapi pesan
saya.
Itu
mah geng rumpi gue, Joy. Anaknya asik-asik, kok.. Hahaha
Menurut saya, kalimat itu sudah sangat
jelas menunjukkan bahwa Mike merasa lebih nyaman dengan teman-temannya yang
sekarang. Dengan kata lain, saya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan
mereka.
Saya menghela napas dalam-dalam,
menetralkan amarah saya yang meluap-luap di kepala. Dan beruntungnya, saya
bukan tipe orang yang temperamental dan lumayan sanggup mengendalikan emosi
saya (untuk hal-hal tertentu) sehingga saya tidak perlu membanting ponsel saya
detik itu juga. Jadi, saya hanya diam dan tersenyum. Mengambil tindakan dengan
menghapus chat history saya dengan
Mike dan mematikan ponsel saya agar tidak ada lagi gangguan-gangguan berikutnya.
Sepanjang malam – sebelum saya terpejam –
saya merenung kembali saat-saat di mana saya dan Mike biasanya bercakap-cakap
di Whatsapp, atau bahkan bergosip via telepon hingga dini hari. Kami sering membicarakan topik yang jenisnya
beraneka ragam. Dimulai dari menasihati kelakuan saya yang suka berharap
terlalu tinggi kepada seseorang yang belum tentu menyukai saya, kemudian
giliran saya yang memberinya wejangan-wejangan sederhana supaya tidak kelewat
naif terhadap orang yang dia taksir. Selalu ada timbal balik yang wajar setiap
kali kami menumpahkan isi kepala.
Saya rindu momen-momen manis seperti itu.
Namun percakapan bersama Mike tadi sore
membuat saya bernala-nala, bagaimana dia bisa berkata demikian? Bagaimana dia
bisa menilai saya sebagai orang yang sombong sementara kami sudah bersahabat
sejak lama? Dan padahal, selama ini saya selalu menjaga komunikasi dan hubungan
pertemanan kami sebaik mungkin. Bahkan saya tidak pernah sekali pun mencoba
memulai satu permusuhan.
Apakah hanya saya satu-satunya objek yang patut
dijuluki sebagai sahabat yang sombong?
Kenapa dia sendiri tidak bisa menyadari
kalau sebagian masalah ini juga berasal dari kesalahannya?
Hingga pada satu waktu, saya menyadari
bahwa waktu selalu membuat sebuah perubahan. Mike telah memiliki satu lingkaran
pertemanan yang baru di saat intensitas percakapan kami tidak sesering dulu. Belakangan
ini saya memang kerap menyibukkan diri dengan menulis. Mike sendiri tahu
mengenai kesibukan saya, dan barangkali dia berupaya menjaga jarak agar tidak terlalu
mengganggu saya. Mungkin itulah salah satu faktor yang membuat dua di antara
kami seperti saling bersisian.
Dalam kasus ini, saya tidak tahu siapa yang
benar-benar egois. Selama ini saya telah mencoba bersikap seadil mungkin. Saya
juga memiliki teman-teman yang lain. Tapi saya tidak pernah melupakan Mike. Sekalipun
saya tidak ingin belajar membenci seseorang hanya karena sebuah kesalahpahaman.
Namun, jika sahabat saya itu lebih memilih untuk bergabung bersama
teman-temannya yang baru, saya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Semua
keputusan itu sepenuhnya berada di tangan sahabat saya.