“Sebenarnya itu
cuma akal-akalan pihak marketing-nya aja. Embel-embel halal atau go-green di suatu produk segmentasinya lebih ke konsumen
yang secara kebetulan menganut konsep yang sama. Contohnya nih, lotion Vaseline kan ada berbagai varian;
night untuk penggunaan malam hari, insta-white untuk kulit yang cerah
seketika. Terus mereka menghadirkan inovasi baru, katakanlah Vaseline Muslimah,
yang komposisinya bebas dari minyak atau lemak babi, atau mungkin mercury. Menurut mereka, sebagian cewek cenderung concerned sama masalah begituan, padahal
pada intinya sama. Konsep itu dipakai cuma untuk menarik pelanggan aja.”
Di bawah
gemerlap lampu jalan dan langit malam kota Jakarta, saya terhanyut oleh segenap
penjelasan yang dia sampaikan. Perbincangan itu berawal ketika saya memaparkan
cuplikan iklan yang saya temui di bioskop tadi; deterjen halal yang entah bagaimana bisa mengubah gaya hidup seorang
perempuan, termasuk sikapnya kepada sang ayah.
Menakjubkan
ketika topik lucu seperti itu bisa menjadi pembahasan yang ilmiah dan sangat
berarti. Tadinya saya justru mengira dia akan merespons kisah saya dengan tawa
garing atau ledekan yang ujung-ujungnya akan merembet ke topik lain. Namun,
untuk pertama kalinya dalam hidup saya, seseorang bersedia membicarakan satu
masalah sampai tuntas.
Pembicaraan kami
terus mengalir selagi motor yang dikendarainya melaju di tengah jalan kota
Jakarta yang lengang. Kami membahas Kalijodo, membahas sekumpulan orang berpakaian
serba putih yang kabarnya bebas dari segala dosa, lalu kami menjelek-jelekkan
mereka. Di antara percakapan yang tanpa akhir itu, sesekali saya menatap
sejumlah gedung pencakar langit yang berjejer di setiap ruas jalan. Saya mulai
menyadari satu hal—setelah hari ini, segalanya tak akan pernah sama lagi.
Setidaknya bukan
untuk saya saja; tapi, untuk dia juga.
Kami
menghabiskan sekurang-kurangnya dua jam di dalam Starbucks Metropole sambil membahas
linguistik, hal-hal ringan seperti film Totoro yang baru saja saya saksikan
seorang diri—meskipun saya memiliki dua tiket. Dan dia sangat menyayangkan hal
tersebut. Berkata, seandainya saja dia bisa menemani saya alih-alih tiba di
Plaza Indonesia dan menghabiskan satu jam di sana dengan memakan es krim.
Saya percaya dia
bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dan itu bukanlah sesuatu yang patut
disesali. Karena setidaknya, dia memperlihatkan keinginannya untuk menemui
saya, bercengkerama ditemani cangkir styrofoam
berisi mint-blend tea. Cangkir berukuran Venti dengan dua tea-bag milik saya, sementara dia
memilih size Grande tanpa membubuhkan
gula bubuk di dalamnya. Barangkali dia sedang menjalani diet gula; setidaknya
itulah yang saya pikirkan kala itu.
Lantas, dia
bertanya satu hal kepada saya tentang dua kantung teh yang tenggelam di dalam
cangkir styrofoam milik saya. Pertanyaan itu muncul tepat ketika saya beranjak
dari konter untuk mengambil gula putih bubuk dalam kemasan. Dengan penuh percaya
diri, saya menjawab, “The more tea bag, the better taste you will get. Ini kan
air di dalam cangkirnya agak penuh, kalau cuma dikasih satu tea-bag rasanya bakalan hambar.”
“Itu artinya,
kadar kafeinnya semakin tinggi.”
Saya sepenuhnya
yakin bahwa dia akan mulai menguliahi saya mengenai pro dan kontra konsumsi
kafein yang berlebihan. Jadi, saya memilih bungkam. Lagi pula suasana di dalam
Starbucks mulai tampak sepi, tak lebih dari 4 bangku yang dihuni pengunjung.
“By the way, thank you buat bukunya.
Nggak nyangka bisa dikasih langsung sama penulisnya.”
“Mudah-mudahan
bisa bikin kamu bercucuran air mata pas di dalam pesawat.”
Dalam hitungan
detik, tawanya bergemirincing di udara. Tawa yang membuat pipinya terlihat
penuh, dan sepasang matanya menyerupai lengkung bulan sabit. Meskipun demikian,
saya tidak pernah menginginkan respons seperti itu. Saya justru berharap dia
bertanya – “apa yang patut saya tangisi
ketika membaca buku ini?”
Kala itu saya
tergerak untuk memaparkan kisah yang selengkap-lengkapnya; kalau perlu,
membujuk dia agar mengerti bahwa saya membenci suatu pertemuan apabila pada
akhirnya harus berhadapan dengan suatu perpisahan. Namun, tak ada kalimat
deskriptif yang benar-benar terucap dari mulut saya. Tak ada nasihat ataupun
pesan-pesan. Hingga suatu hari kelak, saya akhirnya punya keberanian untuk membiarkan
dia tahu apa yang telah saya rasakan semenjak malam itu.
Manusia, pada
situasi apa pun, kerap dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Pergi atau tinggal,
lepas atau ambil, jujur atau bohong, hitam atau putih. Mereka yang menghindari
suatu pertemuan biasanya memiliki alasannya masing-masing. Senyum dan tawa,
kisah yang telah dibagi satu sama lain, sampai kapan pun akan selalu terkenang.
They’ve gotten used to spending a lot of
time together, and saying goodbye is never easy.
Hari demi hari
saya jalani dengan menyibukkan diri. Lagu-lagu yang mengingatkan saya kepada
dia mulai saya hapus dari ponsel. Kendati saya yakin, kesemua lagu itu akan muncul
sewaktu-waktu dan mulai mengusik memori saya. Setidaknya itulah yang terjadi
ketika saya menuntaskan tulisan ini, di dalam transportasi online, di mana Gen FM tengah menyenandungkan lagu yang sempat
menjadi favorit kami berdua.
Telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku untukmu
Betapa kala itu
saya sangat membenci diri saya sendiri. Saya benci menengok tanggal pada almanak
yang mengingatkan saya pada tanggal keberangkatannya. Saya benci karena malam
itu saya tidak sanggup mengatur ego di dalam diri saya. Seandainya saja saya
sanggup menolak ajakannya untuk bertemu, seandainya saya tidak memintanya untuk
tetap tinggal; mungkin segalanya akan baik-baik saja. Mungkin segalanya tidak
akan serumit ini.
Namun, tak
peduli seberapa keras saya berusaha, pada akhirnya akan terasa percuma. Siap
atau tidak, dia akan tetap pergi. Bahkan ketika tulisan ini berhasil saya
selesaikan, saya masih belum bisa menemukan kata yang tepat untuk sebuah
perpisahan. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan hanyalah menunggu – selama
365 hari ke depan.