Write. Anywhere. Anytime.

Tampilkan postingan dengan label ambition. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ambition. Tampilkan semua postingan
Rabu, 10 Mei 2017

Satu Kata yang Tepat Untuk Perpisahan

“Sebenarnya itu cuma akal-akalan pihak marketing-nya aja. Embel-embel halal atau go-green di suatu produk segmentasinya lebih ke konsumen yang secara kebetulan menganut konsep yang sama. Contohnya nih, lotion Vaseline kan ada berbagai varian; night untuk penggunaan malam hari, insta-white untuk kulit yang cerah seketika. Terus mereka menghadirkan inovasi baru, katakanlah Vaseline Muslimah, yang komposisinya bebas dari minyak atau lemak babi,  atau mungkin mercury. Menurut mereka, sebagian cewek cenderung concerned sama masalah begituan, padahal pada intinya sama. Konsep itu dipakai cuma untuk menarik pelanggan aja.”

Di bawah gemerlap lampu jalan dan langit malam kota Jakarta, saya terhanyut oleh segenap penjelasan yang dia sampaikan. Perbincangan itu berawal ketika saya memaparkan cuplikan iklan yang saya temui di bioskop tadi; deterjen halal yang entah bagaimana bisa mengubah gaya hidup seorang perempuan, termasuk sikapnya kepada sang ayah.

Menakjubkan ketika topik lucu seperti itu bisa menjadi pembahasan yang ilmiah dan sangat berarti. Tadinya saya justru mengira dia akan merespons kisah saya dengan tawa garing atau ledekan yang ujung-ujungnya akan merembet ke topik lain. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, seseorang bersedia membicarakan satu masalah sampai tuntas.

Pembicaraan kami terus mengalir selagi motor yang dikendarainya melaju di tengah jalan kota Jakarta yang lengang. Kami membahas Kalijodo, membahas sekumpulan orang berpakaian serba putih yang kabarnya bebas dari segala dosa, lalu kami menjelek-jelekkan mereka. Di antara percakapan yang tanpa akhir itu, sesekali saya menatap sejumlah gedung pencakar langit yang berjejer di setiap ruas jalan. Saya mulai menyadari satu hal—setelah hari ini, segalanya tak akan pernah sama lagi.

Setidaknya bukan untuk saya saja; tapi, untuk dia juga.

Kami menghabiskan sekurang-kurangnya dua jam di dalam Starbucks Metropole sambil membahas linguistik, hal-hal ringan seperti film Totoro yang baru saja saya saksikan seorang diri—meskipun saya memiliki dua tiket. Dan dia sangat menyayangkan hal tersebut. Berkata, seandainya saja dia bisa menemani saya alih-alih tiba di Plaza Indonesia dan menghabiskan satu jam di sana dengan memakan es krim.

Saya percaya dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dan itu bukanlah sesuatu yang patut disesali. Karena setidaknya, dia memperlihatkan keinginannya untuk menemui saya, bercengkerama ditemani cangkir styrofoam berisi mint-blend tea. Cangkir berukuran Venti dengan dua tea-bag milik saya, sementara dia memilih size Grande tanpa membubuhkan gula bubuk di dalamnya. Barangkali dia sedang menjalani diet gula; setidaknya itulah yang saya pikirkan kala itu.

Lantas, dia bertanya satu hal kepada saya tentang dua kantung teh yang tenggelam di dalam cangkir styrofoam milik saya. Pertanyaan itu muncul tepat ketika saya beranjak dari konter untuk mengambil gula putih bubuk dalam kemasan. Dengan penuh percaya diri, saya menjawab, “The more tea bag, the better taste you will get. Ini kan air di dalam cangkirnya agak penuh, kalau cuma dikasih satu tea-bag rasanya bakalan hambar.”

“Itu artinya, kadar kafeinnya semakin tinggi.”

Saya sepenuhnya yakin bahwa dia akan mulai menguliahi saya mengenai pro dan kontra konsumsi kafein yang berlebihan. Jadi, saya memilih bungkam. Lagi pula suasana di dalam Starbucks mulai tampak sepi, tak lebih dari 4 bangku yang dihuni pengunjung.

By the way, thank you buat bukunya. Nggak nyangka bisa dikasih langsung sama penulisnya.”

“Mudah-mudahan bisa bikin kamu bercucuran air mata pas di dalam pesawat.”

Dalam hitungan detik, tawanya bergemirincing di udara. Tawa yang membuat pipinya terlihat penuh, dan sepasang matanya menyerupai lengkung bulan sabit. Meskipun demikian, saya tidak pernah menginginkan respons seperti itu. Saya justru berharap dia bertanya – “apa yang patut saya tangisi ketika membaca buku ini?”

Kala itu saya tergerak untuk memaparkan kisah yang selengkap-lengkapnya; kalau perlu, membujuk dia agar mengerti bahwa saya membenci suatu pertemuan apabila pada akhirnya harus berhadapan dengan suatu perpisahan. Namun, tak ada kalimat deskriptif yang benar-benar terucap dari mulut saya. Tak ada nasihat ataupun pesan-pesan. Hingga suatu hari kelak, saya akhirnya punya keberanian untuk membiarkan dia tahu apa yang telah saya rasakan semenjak malam itu.

Manusia, pada situasi apa pun, kerap dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Pergi atau tinggal, lepas atau ambil, jujur atau bohong, hitam atau putih. Mereka yang menghindari suatu pertemuan biasanya memiliki alasannya masing-masing. Senyum dan tawa, kisah yang telah dibagi satu sama lain, sampai kapan pun akan selalu terkenang. They’ve gotten used to spending a lot of time together, and saying goodbye is never easy.

Hari demi hari saya jalani dengan menyibukkan diri. Lagu-lagu yang mengingatkan saya kepada dia mulai saya hapus dari ponsel. Kendati saya yakin, kesemua lagu itu akan muncul sewaktu-waktu dan mulai mengusik memori saya. Setidaknya itulah yang terjadi ketika saya menuntaskan tulisan ini, di dalam transportasi online, di mana Gen FM tengah menyenandungkan lagu yang sempat menjadi favorit kami berdua.


Telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan sisa cintaku untukmu

Betapa kala itu saya sangat membenci diri saya sendiri. Saya benci menengok tanggal pada almanak yang mengingatkan saya pada tanggal keberangkatannya. Saya benci karena malam itu saya tidak sanggup mengatur ego di dalam diri saya. Seandainya saja saya sanggup menolak ajakannya untuk bertemu, seandainya saya tidak memintanya untuk tetap tinggal; mungkin segalanya akan baik-baik saja. Mungkin segalanya tidak akan serumit ini.


Namun, tak peduli seberapa keras saya berusaha, pada akhirnya akan terasa percuma. Siap atau tidak, dia akan tetap pergi. Bahkan ketika tulisan ini berhasil saya selesaikan, saya masih belum bisa menemukan kata yang tepat untuk sebuah perpisahan. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan hanyalah menunggu – selama 365 hari ke depan.
Sabtu, 25 April 2015

This is How Goodbye Feels Like

Sebagian orang berpendapat, ketika hujan turun, itu artinya ada seseorang di tempat yang jauh sedang menangis. Entah menangis karena sedih, atau mungkin karena terharu. Keduanya sama-sama menitikkan air mata.

Mendongakkan kepala selagi kedua kakiku menyambangi jalanan yang terasa lengang daripada biasanya. Awan kelabu membentuk gumpalan tebal di atas sana. Tampak sebuah kilatan kecil yang menyala-nyala di kejauhan. Dalam hati aku membatin, sebentar lagi pasti akan turun hujan.

Aku menengok lagi ke arah belakang. Sebuah bangunan berlantai tiga dengan pintu pagar yang menganga di depannya. Selama beberapa saat, aku masih berdiri di sana sambil mengamati tempat itu baik-baik. Membayangkan sepuluh bulan terakhir yang kulewati dengan tawa dan air mata. Sepuluh bulan yang telah menorehkan banyak sekali peristiwa.

Itu adalah hari di mana aku sedang meringkuk di dalam selimut dengan kondisi setengah terpejam. Beberapa menit yang lalu, aku sudah terbangun dari tidur. Namun udara dingin dan sisa hujan di luar sana membuatku enggan untuk beranjak turun. Mom tiba-tiba muncul di ambang pintu kamarku. Napasnya putus-putus. Menyampaikan sesuatu yang – terus terang saja – belum ingin kuketahui.

Mataku membelalak seusai mendengar berita terlontar dari mulut Mom. Di satu sisi, aku tidak dapat membendung rasa bahagia. Sebagian yang lain justru merasakan gejolak aneh yang membuat perutku seperti dipelintir. Pukul sepuluh pagi, tanpa persiapan apa-apa, aku langsung disuruh bekerja.

Aku mungkin sedang bermimpi.

Entah dari mana datangnya kekuatan itu, aku menuruni tempat tidur dan segera menuju kamar mandi. Sekadar membasahi tubuhku tanpa sempat menyentuh sabun maupun secuil shampo ke kepalaku. Sementara mulutku terus merutuk kesal lantaran tidurku jadi terganggu. Egois memang jika aku masih memikirkan waktu tidurku. Namun suatu hari kelak, aku akhirnya menyadari bahwa itu bukanlah waktu tidur, melainkan waktu bermalas-malasan.

Aku membetulkan kardus yang kupeluk sejak tadi. Aneka kertas dan buku kosong, sejumlah alat tulis yang tersimpan dalam kotak pensil, rasanya masih seperti mimpi. Aku bahkan masih sulit memercayai bahwa ini akan jadi hari terakhirku.

Terbayang lagi saat aku melangkah ke dalam ruangan dan duduk berhadapan dengan atasanku. Jantungku berdegup sepuluh kali lebih cepat. Telapak tanganku mulai basah oleh keringat. Satu demi satu kalimat telah terucap. Napasku kian memburu. Aku sama sekali tidak mengerti bagaimana cara untuk mengendalikannya.

Lima belas menit berlalu dalam keheningan. Bunyi jarum jam sanggup mengalahkan suaraku yang terlalu lirih. Sampai semuanya telah tersampaikan pun, aku belum dapat bernapas dengan baik. Rasanya seperti habis berlari 1000 kilometer.

Hal itu juga sepertinya dirasakan oleh orang yang berhadapan denganku. Aku dapat melihat mata lelahnya berkaca-kaca. Artikulasi kalimat yang dia ucapkan terdengar kurang jelas. Mungkin aku salah. Tapi, mungkin aku juga benar. Bahwa dia pun merasakan kehilangan.

Semua orang tentu merasakan kehilangan.

Memang tidak dapat kupungkiri, banyak sekali yang kupelajari selama aku berada di sini. Seluruh hal yang tidak pernah kuketahui sebelumnya, berbagai istilah yang asing di telinga, menjadi pengalaman yang bisa kugunakan di masa depan. Pengalaman adalah guru yang paling baik, bukan?

Hujan turun perlahan. Mataku terasa perih. Bangunan yang berdiri tegak di hadapanku kini justru terlihat seperti tempat yang istimewa. Sebuah tempat yang menawarkan segalanya. Sebuah tempat yang akan membuatku rindu dan ingin kembali.

Mungkin kembali, suatu hari nanti.
Jumat, 25 Oktober 2013

Why I Don't Wanna Be an Employee


Siang itu, orangtua saya kedatangan seorang tamu dari jauh. Saya tidak tahu siapa orang itu. Yang saya tahu, mereka terus berbincang-bincang di ruang tamu. Dimulai dari menanyakan kabar satu sama lain, bagaimana kondisi anak-anak, sampai yang menyangkut kehidupan pribadi anak-cucu masing-masing. Saya sendiri sempat mendengar dia menanyakan bagaimana kabar saya. Dan orangtua saya hanya bilang kalau saya jobless dan nggak punya kesibukan apa-apa.

Sontak saya terenyuh. Terkejut sekaligus tidak mengerti bagaimana kalimat itu bisa meluncur dari mulut kedua orangtua saya.

Di dalam kamar, saya masih terdiam. Saya duduk termenung di hadapan laptop yang menampilkan revisi naskah saya sambil merenungi kalimat barusan. Mata saya terasa memanas. Saya pengin menitikkan air mata. Tapi saya tidak mau menunjukkan kesedihan. Saya sudah berjanji untuk tidak menangisi hal-hal yang terdengar sepele.

Namun, saya masih nggak pernah mengerti mengapa orang-orang selalu menganggap sebuah pekerjaan adalah keharusan. Sesuatu yang dinilai komersil dan memiliki nilai jual. Mereka bilang, nggak punya pekerjaan nggak akan bisa hidup. Jujur, saya sendiri pernah berpikir demikian. Tapi itu dulu banget. Saat saya masih memiliki ambisi untuk meneruskan hidup dengan cara yang normal.

Tapi kenyataannya, saya hidup di dunia yang tidak normal. And I’m not normal actually...

Sejauh ini saya justru merasa nyaman dengan kesibukan saya sebagai seorang tenaga pengajar lepas dan seorang penulis – sekalipun itu belum mendapat pengakuan secara luas. Tapi, apakah sebuah pengakuan menjadi nilai tolak ukur yang mutlak? Dan, apakah uang menjadi satu-satunya simbol bahwa orang tersebut memiliki pekerjaan?

Saya tekankan sekali lagi bahwa itu tidak benar. Saya sendiri tidak beranggapan demikian. Bagi saya, pekerjaan adalah sesuatu yang harus dikerjakan berdasarkan sebuah tuntutan. Sementara, profesi adalah sesuatu yang telah dipilih oleh seseorang dengan alasan kecintaan dan keikhlasan. Begitu pula anggapan saya terhadap kesibukan yang saya tekuni sampai pada saat ini. Terus terang, uang adalah urusan yang kesekian. Yang terpenting adalah selama saya cinta terhadap apa yang lakukan, itulah profesi saya yang sesungguhnya.

Saya sudah pernah merasa hidup di bawah tekanan sebuah institusi yang mengharuskan saya bangun pukul tujuh pagi, bersiap-siap kerja dari jam sembilan sampai pukul sepuluh. Dua belas jam dalam sehari, tujuh puluh dua jam dalam seminggu. Terkadang lembur saat akhir pekan. Bayangkan  ketika saya melakukan aktivitas yang hanya itu-itu saja di dalam lingkaran yang teramat membosankan. Sedikit membuat kekeliruan, surat peringatan pun melayang. Begitu menjenuhkan hingga akhirnya saya mengambil keputusan untuk resign dan kembali untuk menulis.

Di pekerjaan saya yang sekarang, memang masih ada sistem yang seperti saya bilang barusan. Bangun pagi, mandi, mengajar dari jam sekian sampai jam sekian, menulis dari jam sekian sampai jam sekian. Tapi terus terang, siklus tersebut diciptakan oleh saya sendiri. Andaipun saya melanggarnya, saya harus menerima konsekuensi dari saya pribadi. Bukan dari orang lain.

Dan saya merasa nyaman dengan aktivitas tersebut.

Yang saya tidak habis pikir, entah kenapa kalimat seperti itu tercetus dari mulut orangtua saya? Saya pernah berangan-angan, suatu hari nanti mereka bersedua menuturkan sesuatu di hadapan teman-temannya bahwa saya seorang penulis, dengan bangganya pula menyatakan bahwa saya tidak bekerja pada suatu perusahaan ternama yang memberi saya upah per bulan. 

Saya pun sangat berharap orang-orang dapat memahami maksud dan tujuan kehidupan saya. Saya sengaja berkarya karena ingin berbagi, bukan untuk mencari uang. Dan saya senang dengan apa yang saya lakukan sekarang.
Jumat, 11 Oktober 2013

Suara Hati




Aku masih mengingat dengan jelas segala hal yang kita bicarakan dalam percakapan panjang pada malam itu. Kamu dengan suaramu yang selalu rendah, sesekali diiringi gelak tawa yang renyah, dan letupan gairah untuk saling berbagi kisah. Sementara aku, yang terkadang terlalu ceroboh dan tidak bisa mengontrol diri untuk menanggapi pertanyaanmu dengan bahasa yang tepat.

Kamu bertanya padaku dalam kalimat yang sulit kupahami...

Kenapa kamu begitu ingin bertemu denganku?  

Aku sempat terdiam selama beberapa saat sebelum aku memutuskan untuk sebuah jawaban. Ketika itu aku hanya menjawab, karena aku ingin bercerita denganmu lebih banyak dari biasanya. Tapi kamu hanya melepaskan tawa, tawa yang selalu membuatku merindu. Dan aku tidak mengerti apa maksud dari tawamu itu. Tidak terpikir pula untuk menanyakan mengapa kamu menertawaiku?

Yang kutahu saat itu, kita kembali melanjutkan percakapan. Fokus kepada satu topik pembicaraan, lalu tertawa, sampai kita tidak tahu harus memperbincangkan apa. Tapi entah kenapa, aku selalu menikmati saat-saat seperti itu. Tidak pernah merasa nyaman berada dalam kulitku sendiri ketika aku bersamamu, meskipun hanya lewat cara yang semu.

Kau dan aku mungkin sama-sama mengetahui bahwa tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat memahami prinsip kerja waktu. Baik itu untuk urusan jodoh, perjumpaan, ataupun perpisahan. Oleh karena itulah, aku merasa patut mengungkapkan jawaban atas pertanyaanmu waktu itu.

Aku ingin bertemu denganmu karena aku harus menemuimu. Aku ingin mempergunakan kesempatan itu selagi aku masih bernyawa dan masih sanggup bernapas dalam suka maupun duka. Karena kita tidak pernah tahu kapan seseorang akan pergi, sehingga tidak ada cara baginya untuk kembali. Dan aku ingin memandangi matamu, menggenggam tanganmu, menikmati tawamu, merengkuh hangatmu, tanpa memedulikan seperti apa dirimu yang sebenarnya. Dan aku tidak peduli jika suatu hari nanti kita harus jatuh cinta atau terluka. Aku hanya ingin – merasakan kehadiranmu lewat cara yang nyata. 

Terdengar sedikit sinting, bukan? Tapi beginilah jawaban yang bisa kusampaikan. 

Aku harap kamu dapat memahaminya...