Siang
itu, orangtua saya kedatangan seorang tamu dari jauh. Saya tidak tahu siapa
orang itu. Yang saya tahu, mereka terus berbincang-bincang di ruang tamu.
Dimulai dari menanyakan kabar satu sama lain, bagaimana kondisi anak-anak,
sampai yang menyangkut kehidupan pribadi anak-cucu masing-masing. Saya sendiri
sempat mendengar dia menanyakan bagaimana kabar saya. Dan orangtua saya hanya
bilang kalau saya jobless dan nggak
punya kesibukan apa-apa.
Sontak
saya terenyuh. Terkejut sekaligus tidak mengerti bagaimana kalimat itu bisa
meluncur dari mulut kedua orangtua saya.
Di
dalam kamar, saya masih terdiam. Saya duduk termenung di hadapan laptop yang
menampilkan revisi naskah saya sambil merenungi kalimat barusan. Mata saya
terasa memanas. Saya pengin menitikkan air mata. Tapi saya tidak mau
menunjukkan kesedihan. Saya sudah berjanji untuk tidak menangisi hal-hal yang
terdengar sepele.
Namun,
saya masih nggak pernah mengerti mengapa orang-orang selalu menganggap sebuah
pekerjaan adalah keharusan. Sesuatu yang dinilai komersil dan memiliki nilai
jual. Mereka bilang, nggak punya pekerjaan nggak akan bisa hidup. Jujur, saya
sendiri pernah berpikir demikian. Tapi itu dulu banget. Saat saya masih
memiliki ambisi untuk meneruskan hidup dengan cara yang normal.
Tapi
kenyataannya, saya hidup di dunia yang tidak normal. And I’m not normal actually...
Sejauh
ini saya justru merasa nyaman dengan kesibukan saya sebagai seorang tenaga
pengajar lepas dan seorang penulis – sekalipun itu belum mendapat pengakuan
secara luas. Tapi, apakah sebuah pengakuan menjadi nilai tolak ukur yang
mutlak? Dan, apakah uang menjadi satu-satunya simbol bahwa orang tersebut
memiliki pekerjaan?
Saya
tekankan sekali lagi bahwa itu tidak benar. Saya sendiri tidak beranggapan
demikian. Bagi saya, pekerjaan adalah sesuatu yang harus dikerjakan berdasarkan
sebuah tuntutan. Sementara, profesi adalah sesuatu yang telah dipilih oleh
seseorang dengan alasan kecintaan dan keikhlasan. Begitu pula anggapan saya
terhadap kesibukan yang saya tekuni sampai pada saat ini. Terus terang, uang
adalah urusan yang kesekian. Yang terpenting adalah selama saya cinta terhadap
apa yang lakukan, itulah profesi saya yang sesungguhnya.
Saya
sudah pernah merasa hidup di bawah tekanan sebuah institusi yang mengharuskan
saya bangun pukul tujuh pagi, bersiap-siap kerja
dari jam sembilan sampai pukul sepuluh. Dua belas jam dalam sehari, tujuh
puluh dua jam dalam seminggu. Terkadang lembur saat akhir pekan. Bayangkan ketika saya melakukan aktivitas yang hanya
itu-itu saja di dalam lingkaran yang teramat membosankan. Sedikit membuat
kekeliruan, surat peringatan pun melayang. Begitu menjenuhkan hingga akhirnya
saya mengambil keputusan untuk resign dan
kembali untuk menulis.
Di
pekerjaan saya yang sekarang, memang masih ada sistem yang seperti saya bilang
barusan. Bangun pagi, mandi, mengajar dari jam sekian sampai jam sekian,
menulis dari jam sekian sampai jam sekian. Tapi terus terang, siklus tersebut
diciptakan oleh saya sendiri. Andaipun saya melanggarnya, saya harus menerima
konsekuensi dari saya pribadi. Bukan dari orang lain.
Dan
saya merasa nyaman dengan aktivitas tersebut.
Yang
saya tidak habis pikir, entah kenapa kalimat seperti itu tercetus dari mulut
orangtua saya? Saya pernah berangan-angan, suatu hari nanti mereka bersedua
menuturkan sesuatu di hadapan teman-temannya bahwa saya seorang penulis, dengan
bangganya pula menyatakan bahwa saya tidak bekerja pada suatu perusahaan
ternama yang memberi saya upah per bulan.
Saya
pun sangat berharap orang-orang dapat memahami maksud dan tujuan kehidupan
saya. Saya sengaja berkarya karena ingin berbagi, bukan untuk mencari uang. Dan
saya senang dengan apa yang saya lakukan sekarang.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar