Write. Anywhere. Anytime.

Minggu, 30 September 2018

Broken Inside Out

Kenapa saya perlu repot-repot mengatur ini dan melarang itu sementara dia sangat keberatan dengan itu semua?

Maka, pada sore hari itu, sebuah kisah baru terungkap dan dibeberkan ke hadapan saya.

Bukan... Bukan sesuatu yang berpotensi membuat saya patah hati atau putus asa. Melainkan, sesuatu yang memotivasi diri saya untuk bercermin dan memperbaiki diri. Pada awalnya pun saya tak menyangka jika kenangan tentang dirinya dapat menyeruak ke permukaan. Setelah beberapa bulan kami lewati bersama, setelah sekian banyak mimpi yang kami bagi, dan cerita ini dibagi secara cuma-cuma kepada saya.

Itu berawal dari sebuah foto bersama mantan kekasihnya semasa SMA dulu. Dia membagikannya kepada saya, mengisahkan sedikit banyak tentang perempuan berambut panjang dengan mata kecil yang berdiri di sebelahnya. Keduanya tampak malu-malu, masih terlalu belia untuk mengenal cinta, saya rasa. Saat-saat ketika hormon belum berperan begitu banyak terhadap remaja seusia mereka.

Dan terlepas dari ekspresi mereka yang kala itu terlihat polos, saya berani bertaruh keduanya saling menyayangi dan menyediakan ruang untuk tumbuh bersama.

Begitu pula pengakuan yang diungkapkannya kepada saya pada sore itu.

Betapa dia menyesal pernah mengakhiri hubungan mereka yang berlangsung lumayan lama. Betapa perempuan ini, sesungguhnya memiliki hati yang tabah dan tak menuntut apa-apa kepada kekasihnya. Dia baik-baik saja, meskipun lelaki yang berstatus sebagai kekasihnya ini, tak pernah hadir di muka rumah di setiap malam Kamis ataupun malam Minggu. Mungkin tak banyak gadis di luar sana yang bisa bertahan ketika dihadapkan situasi yang demikian.

Usai kenangan itu, entah bagaimana saya seakan merasa tertampar dan membenci diri sendiri.

Siapa saya di kehidupannya selama ini?
Mengapa saya harus cemburu jika pada dasarnya saya tak memiliki hak sedikit pun?
Kenapa saya perlu repot-repot mengatur ini dan melarang itu sementara dia sangat keberatan dengan itu semua?

Dan saya merasa kerdil sekaligus picik lantaran saya jauh berbeda dengan perempuan yang pernah menjadi kekasihnya itu. Saya tak punya apa-apa. Ada masa di mana saya berpikir sebaiknya saya mundur dan menghilang saja. Mungkin dengan demikian hidupnya jauh lebih tenang. Bahkan saya membenci diri sendiri ketika saya bertingkah berlebihan, terlalu posesif, terlalu rapuh, sehingga rasanya saya tak pantas untuk dicinta sama sekali, oleh siapa pun.

Atau barangkali, memang itu yang telah digariskan Tuhan kepada saya. Not to love, and not to be loved.
Kamis, 20 September 2018

meronta kepada semesta



seandainya kau tahu bagaimana memendam perasaan ini seorang diri
siang malam terjaga hanya untuk menanti
mencari tahu apakah ada namaku
terbetik di antara jarak dan waktu

sebut saja aku naif
atau mungkin gila
karena harapku ketinggian
yang sepertinya Tuhan pun tak sudi mengabulkan

aku tak mengharap banyak
tak perlu pula kau ambil bulan di langit yang jauh
cukup sejenak atau mungkin sedetik
sekadar bicara barang satu atau dua patah kata
agar kita dapat bersikap layaknya orang dewasa

namun, kau mungkin takkan pernah mengerti
betapa beratnya melewati hari
betapa perihnya berpura-pura bahagia
demi menghindari rasa kecewa

dan jika bagimu semua ini tak berarti apa-apa
aku tak tahu lagi apakah dengan meronta
semesta sanggup membuatmu jadi lebih peka