Write. Anywhere. Anytime.

Jumat, 27 Desember 2013

Dear Father...


I'm pretty fed up with my father. Long story short, he's not a very good father. He didnt even believe in my passion at all. Sometimes, I wanna get away from him. I know I can move out, but i cant stop wishing if I had a different father, an uncle, or whatever - someone who can treat me like a son, and support what I want to do.

I was physically and emotionally disappointed by my father. As far as I remember, he never care for me , accept me , initiate conversation and give me attention . I hate being lonely. He was never there whenever I need a shoulder to cry on. The day when I was young, he always left me cry in loneliness.

The most important, he never know what I really needed. He always treat me like a stranger, never gave me support for what I did. He's become the reason why I hate another part of myself, the reason why I wanna go out there, the reason why I dont wanna stay here anylonger. I hate when he tried to domimate something that he doesn't understand or shortly -- know me.

I just want to be happy like another. Want to feel like I'm an importance person no matter what happens. Want him to love me even if I walked in the wrong path. I just want to feel the warmth of an embrace.

Back then again when I was teen, he wants me to succeed. But he never had the time to understand my feelings. He never cared what I planned for. Instead, he never really cared for my happiness. I'm still like a stranger in his eyes.

Kamis, 26 Desember 2013

Sebelum Pergi


Semuanya masih terasa sama ketika seulas kata itu terucap dari mulutku.

Bunda hanya bergeming, sedikit pun tak ingin memberi komentar mengenai kalimat yang kusampaikan barusan. Pandangannya kosong, melesat jauh ke arah pepohonan jambu air di halaman rumahku. Angin di luar sana menyapu beberapa helai rambutnya. Tapi dia tak hiraukan. Dia lebih memilih untuk mengunci bibirnya rapat-rapat sambil menahan air mata.

Sesaat kemudian, aku merasa bersalah. Aku benar-benar berdosa karena telah membuatnya terluka. Bahkan, aku selalu mengecewakannya dengan cara seperti ini. Mengungkapkan sesuatu yang tidak ingin dia dengar, hanya untuk melihatnya menjatuhkan air mata.

Peristiwa seperti ini mengingatkanku lagi pada satu tahun yang lalu. Aku baru saja resign dari pekerjaanku waktu itu. Mengundurkan diri lantaran lelah bekerja di bawah tekanan. Dan setelah itu, aku terpikir untuk pergi, berniat melanjutkan hidup dengan cara yang lebih baik lagi. Aku sudah bertekad meninggalkan kota ini.

Tapi saat itu, aku tak menerima apa-apa selain penolakan. Baik Papa maupun Bunda sama-sama tidak memberi izin. Mereka berpikir, akan lebih baik jika aku tetap tinggal di sini sampai tua nanti. Tidak perlu pergi ke mana-mana kalau memang ingin melanjutkan hidup.

Aku memberontak, menyangkal pendapat Papa dengan sejumlah alasan yang meyakinkan. Aku terus berkelakar mengenai apa yang akan kuterima di sana nanti. Sampai pada akhirnya, Bunda mengambil jalan tengah dan mengakhiri perdebatan di antara kami. Dia menangis. Dan satu-satunya orang yang membuatnya menangis adalah aku.

Bunda memang selalu seperti itu. Dari luar, dia tampak begitu tegar. Tapi dia begitu sensitif untuk urusan yang menyangkut perpisahan. Dia tidak pernah sanggup membiarkan satu pun dari kami pergi meninggalkannya. Pernah waktu itu dia menangis sepanjang malam karena tidak sampai hati melepas kepergian Kakakku ke Yogyakarta. Dia masih dapat tersenyum, meskipun matanya terlihat keruh.

Dan hari ini, semuanya terjadi lagi. Aku kembali membuatnya terluka dengan cara yang sama, dengan tujuan yang sama. Bunda tetap tak mau bicara ataupun memberi keputusan. Sama halnya dengan Papa. Mereka masih bungkam, seolah-olah tak mau memberiku kesempatam untuk bahagia.

Minggu, 22 Desember 2013

Kenangan

Dia pernah membangunkan saya di waktu subuh. Hanya untuk mengabarkan bahwa dia rindu dan ingin sekali bercakap-cakap denganku. Dan anehnya, aku sama sekali tidak terganggu. Mataku terbelalak sempurma setiap kali aku membaca pesan darinya..

Aku terjaga. Dan kami masih bercerita.

Pada saat yang sama, adzan subuh mulai terdengar di udara. Kami belum mau menyudahi segalanya. Terus berbicara dan bertukar pikiran sampai kami sepakat untuk menyudahinya.

Dan saat aku menua nanti, aku tak ingin kenangan seperti ini melapuk. Aku ingin terus mengingat dan menjaganya di dalam sanubari. Meskipun aku tahu, kita takkan pernah bisa untuk saling memiliki.

Jumat, 13 Desember 2013

Fragile Heart


Setahun yang lalu, segalanya masih belum serumit ini. Aku masih dapat menikmati gejolak perasaan menyenangkan setiap hari, tersenyum di depan cermin seorang diri, bahkan menulis kata-kata indah di setiap halaman buku binder-ku. Semuanya terasa indah pada saat itu.

Aku mengenalnya sudah cukup lama. Lewat cara konvensional di social media - Twitter - aku dan dirinya sering bertutur sapa. Sekadar bersinggungan mengenai twit-twit yang lucu, berperang sajak, bahkan tak jarang kami berbincang di Direct Message. Dan ya, aku amat bahagia dapat berkenalan dengannya. Aku sudah menganggap dirinya sebagai kembaranku sendiri.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan tak terasa kami berjumpa dengan bulan April. Ketika itulah segalanya mulai berubah secara perlahan. Aku mulai sering mengiriminya ucapan selamat pagi, mengucapkan selamat tidur sebelum kami bermimpi, dan tentu - aku sering menuliskannya puisi. Aku bahkan tak ragu-ragu meminta nomor ponselnya pada waktu itu.

Bertukar nomor ponsel seolah menjadi jembatan bagi kami berdua. Kami sering terjebak dalam pesan singkat yang berisi lelucon konyol dan ledekan garing. Aku juga kerap mengabarkannya setiap kali aku menulis. Entah mengapa aku mau melakukannya, aku sendiri tidak tahu. Yang kutahu, setiap kali berbicara dengannya, darahku berdesir hangat seolah dialiri gelombang semangat tak tanpa batas. Dan aku amat menikmatinya.

Tapi sayangnya, waktu bergulir begitu cepat bagai desingan peluru. Semakin banyak biaya yang kami habiskan untuk percakapan di dunia maya, semakin besar pula bahagia itu tercipta. Dan secara tidak langsung, aku tersadar bahwa aku telah jatuh cinta. Lebih tepatnya, aku telanjur suka. Teramat suka pada sosoknya yang menyenangkan, yang tenang, yang selalu membuatku kangen setiap waktu.

Aku menikmati setiap bulir kebahagiaan itu mengisi kepalaku sepanjang hari. Dan selagi aku terjebak dalam lembah yang dipenuhi warna-warni cinta, aku juga sering dihujani rasa cemburu yang tak beralasan. Aku sering menangis karena rindu terhadap dirinya yang sering menghilang. Bahkan, aku pernah merasakan hal-hal seperti itu selama berbulan-bulan sampai aku tak dapat lagi berpikir secara normal. Akal sehatku seolah-olah mendadak lumpuh.

Hingga pada hari ini, sesuatu yang tak pernah kuharapkan benar-benar terjadi.

Aku tidak tahu apa penyebab sebenarnya. Karena sejak dua hari kemarin, semuanya masih terlihat baik-baik saja. Aku masih menjalin komunikasi dengannya via pesan singkat. Mengiriminya puisi dan bercakap-cakap barang sejenak. Tapi entah kenapa, sewaktu aku hendak membuka akun Twitter-ku, aku melihat satu keganjilan yang membuatku berpikir; ada yang tidak beres dengan jumlah followers-ku.

Aku tahu, ini masalah yang sepele dan sangat wajar. Namun yang tak kumengerti adalah, seseorang yang tidak berada di sana adalah namanya. Selama sejenak, perutku terasa mulas selagi jantungku berdegup kencang. Kepalaku mulai dihujani sejumlah tanda tanya dan spekulasi burukmyang tak kuketahui dari mana datangnya.

Meraih ponselku, dan mencoba menghubunginya. Sekadar bertanya mengenai alasan atau penjelasan singkat sehingga dia melakukan hal seperti itu. Setelah cukup lama menunggu, dia pun menanggapinya dengan satu kalimat yang berisi kata 'maaf'. Aku tidak mengerti kenapa dia harus minta maaf. Karena bagiku, followers are just a number. Aku bahkan tidak peduli seberapa banyak jumlah followers di akun Twitter-ku.

Sampai pada akhirnya, dia menjelaskan alasannya serinci mungkin. Ada sesuatu yang membuatnya harus menjauh, haris menjaga jarak dariku. Dan langkah kecil itu tentu saja dimulai dari social media. Aku berpikir, kenapa sih harus ada drama follow-unfollow-block-unblock di social media? Kenapa??? Itu semua terlalu kekanak-kanakkan!

Dia juga berkata padaku tentang sesuatu yang sulit sekali untuk kuterima. Maksudku, aku sudah berjanji untuk memaklumi apa pun alasannya. Tapi apa yang dia ucapkan begitu -- begitu ganjil dan tidak masuk akal. Aku tidak mengerti. Yang pasti, pada saat itu aku mengungkapkan apa yang telah kusimpan selama ini terhadapnya. Biar saja! Biar dia menyadari semuanya.

Tapi kemudian, tampaknya aku harus menelan kecewa. Semua upayaku tak membawa perubahan. Dia lebih memilih untuk pergi, sementara aku tidak berhak untuk menahannya. Karena akan lebih sakit jika kubiarkan dia bertahan lebih lama. Jadi, mau tidak mau aku mengikhlaskan pilihannya.

Aku sadar, semua orang memang berhak memilih siapa yang hendak dia jadikan sebagai sahabat ataupun teman hidup. Seperti apa pun keputusannya, tidak seorang pun yang pantas untuk melarang.

Saat menulis kisah ini, aku memang merasakan sakit hati yang teramat dalam. Kecewa sekaligus bercampur putus asa. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menanam benci, sekalipun dia berkata bahwa aku pantas untuk membencinya. Aku tidak mau. Kebencian tidak akan membuahkan apa pun selain kebencian itu sendiri.

Dan jika suatu hari nanti kamu membaca tulisan ini, aku ingin kamu tahu bahwa aku masih tetap sama. Sedikit pun tak akan pernah lupa pada seluruh masa lalu kita - meskipun kini ia telah berakhir.

*teruntuk inisial H.A

Kamis, 05 Desember 2013

Reason


Pada suatu hari, aku sangat berharap keajaiban itu dapat terjadi. Di mana kamu menyapaku dengan penuh semangat, lalu meyakinkanku bahwa kamu rindu. Aku pun selalu berharap kamu mengungkapkan satu hal yang lucu. Kamu akan bilang, komunikasi kita terganggu karena sesuatu yang sangat sepele. Beberapa di antaranya karena kesibukanmu yang menumpuk, tidak tersedianya waktu untuk menengok ponsel, atau barangkali kartu prabayarmu belum di-top up. Setidaknya alasan-alasan seperti itu masih dapat kumaklumi.

Tapi, apa pun alasan yang akan kudengar pada suatu hari nanti, aku akan tetap memercayainya. Percayalah...