Write. Anywhere. Anytime.

Minggu, 04 Desember 2016

The Unforgotten

Hampir semua orang memiliki doanya masing-masing sebelum memulai aktivitas mereka. Sebagian mungkin ada yang berdoa supaya cuaca selalu bersahabat; lekas bertemu jodoh; pulang ke rumah tepat waktu; atau barangkali berharap adanya hujan uang dari langit. Tapi, aku nyaris tidak pernah memanjatkan doa-doa seperti itu. Bagiku, itu terlalu ketinggian. Orang harus bersikap realistis sesekali.
Alih-alih berkeinginan yang kurang masuk akal, setiap harinya aku justru berdoa supaya bisa bertemu Oby dan teman-temannya di tempat biasa. Aku selalu berdoa supaya ia tidak kabur ke mana-mana, supaya tidak dilempari batu oleh anak-anak usil, supaya tidak ada yang menyuapinya dengan racun tikus, dan supaya dia masih sudi menungguku di tempat itu.
Kau akan tertawa jika aku berterus-terang mengenai identitas Oby yang sesungguhnya.
Jadi, Oby adalah seekor kucing kampung yang kutemui ketika pindah ke rusun Bidaracina. Dialah satu-satunya makhluk hidup yang hadir di mulut gang itu, memelototi kemunculan seorang pria berkemeja flanel yang tergopoh-gopoh membawa kardus di pundaknya. Aku jadi teringat bagaimana dia bersuara sewaktu aku melintas di hadapannya dan serta-merta membuntutiku sampai ke bangunan rusun.
Tidak ada filosofi khusus atas nama yang kuberikan padanya. Nama itu muncul begitu saja ketika aku mengusap dagunya dan menasihati untuk tidak mengikutiku sampai ke lantai atas. Dan, sejak saat itulah pertemanan kami berawal.
Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi Oby di mulut gang. Tempat di mana ia, Lastri, Bisma, dan Arga asyik nongkrong di sebelah gerobak bubur ayam yang kian hari kian sepi pelanggan. Tanpa perlu kuberi penjelasan pun, kurasa kalian sudah bisa menebak bahwa nama-nama yang kusebut barusan adalah makhluk hidup yang sama seperti Oby.
Belum genap langkahku berada di sekitar tempat itu, dari kejauhan tampak seseorang tengah mengusik aktivitas mereka. Aku tak tahu persis apa yang dia lakukan di sana, jadi kurasa tak ada salahnya untuk bertanya.
“Saya perlu memberi kucing-kucing ini sarapan, kalau Anda tidak keberatan.”
Orang itu menengadah, mengangkat wajahnya yang sejak tadi tersembunyi di balik tudung sweater abu-abu. Ada beberapa bulir peluh yang mengalir di pelipisnya.
“Kamu pemilik kucing-kucing ini, ya?” Kontan, ia beranjak dan membuka tudung sweater itu. Membiarkan rambut hitamnya yang dikuncir menyambut matahari pagi. “Maaf, aku pikir mereka semua kucing liar.”
Lidahku terasa kelu, sendi mendadak kaku. Bukan karena ia yang baru saja mengungkapkan identitasnya sebagai perempuan—bukan. Ia memang seorang perempuan. Tapi, ia memiliki kulit cokelat yang menarik, senyuman mematikan dengan satu gigi gingsul di sebelah kiri. Fakta bahwa celana training abu-abu yang ia kenakan pun tak sanggup menutup pesona yang ia miliki. Sepertinya, ia baru saja selesai berolahraga.
Di bawah sana, suara Oby dan ketiga kerabatnya terus mengusik fantasiku. Mataku mengerjap beberapa saat sebelum akhirnya berjongkok dan membagi-bagikan potongan roti isi cokelat kepada mereka.
“Masing-masing kucing ini tentu punya nama, kan?”
Aku mengangguk. “Yang bulunya belang tiga itu Arga. Cara mengenalinya gampang, dia yang paling ramping. Bisma yang hidungnya hitam. Satu-satunya yang betina, namanya Lastri. Sepertinya dia lagi hamil. Dan yang ini—“ aku menggapai kucing berperut buncit dengan bulu berwarna kuning dan putih. “—ini favorit saya, namanya Oby, the one who always asking for his extra-meals.
What a cute name!” Kedua sudut bibirnya tertarik hingga matanya tampak hanya segaris. Sambil menggosok leher Oby, dia menyapa, “Hai, Oby.”
“Anda sendiri?”
Ia memandangku sekilas, lalu berkata, “Luna.”
“Setahu saya, Luna itu dalam bahasa Italia artinya bulan.” Tapi, sebagian pikiranku justru terbayang sosok kucing hitam bernama Luna di kartun animasi Sailor Moon.
“Ibuku pernah cerita, selama dia hamil, dia selalu suka memandang bulan. Ditemani secangkir teh kayu manis dan irisan buah pir. My father was there, too. Dan waktu melahirkan aku, bertepatan banget dengan 15 hari bulan.”
Aku merogoh sepotong roti dari dalam jaketku yang khusus kusiapkan untuk Oby. Mengangsurkannya diam-diam tanpa sepengetahuan Lastri dan kawan-kawan.
“Dulu waktu masih SD, aku dijuluki anak aneh sama temen-temen.” Detik berikutnya, kudengar Luna mulai bertutur tanpa kuminta. “Mereka tahu ibu aku suka pelihara kucing. Kalau nggak salah, dulu jumlahnya sekitar 18 ekor gitu. Sebagian berasal dari keturunan yang sama, sebagian lagi aku pungut dari jalan, pasar.”
“Sepertinya nggak ada yang aneh dengan semua itu.”
“Mungkin mereka berpikir, memungut kucing liar sama dengan menculik, atau salah satu bentuk tindak kejahatan,” sahutnya. “But I never really care what they said about that.
“Sudah seharusnya begitu.”
“Kamu penyuka kucing juga?”
“Terobsesi untuk punya satu atau dua, tapi nggak pernah tercapai sampai sekarang.”
Oby baru saja menandaskan roti terakhirnya. Kemudian, kudengar Luna bertanya ‘kenapa’.
“Saya tinggal di rusun yang tidak memperbolehkan para penghuninya membawa hewan peliharaan,” jawabku. “Jadi, satu-satunya yang saya lakukan buat membayar rasa ingin tersebut ya—dengan ketemu mereka di sini setiap pagi. Sengaja bawa isi roti, ngobrol kayak orang gila.”
Luna membalas kisahku dengan tawa yang renyah, dan seperti biasa—kedua mata yang menyerupai garis itu ketika ia tergelak. Dan aku tahu, semua ini hanya masalah waktu saja sampai aku telanjur mengaguminya lebih jauh.
Aku lekas berdiri dari hadapannya. “Saya harus pamit sekarang, mau kejar setoran.”
Luna mengernyit, mungkin kesulitan memahami ucapanku. Namun, aku mengacungkan jempolku pada gitar tua yang bertengger di punggungku. Dia pun mengangguk paham.
Di ujung sana, sebuah metromini berjalan agak lamban dengan teriakan kondektur yang bergelayutan pada pintu belakang. Aku baru mau menyusulnya ketika terdengar sebuah suara dari mulut gang itu. Kepalaku tertoleh ke belakang.
“Nama kamu siapa?”
“Panggil aja Bayu.”
Usai jawaban itu, aku pun melompat ke dalam metromini yang kini berjarak hanya 1 meter dari hadapanku.
*

There is no such thing as coincidence in this world.
Setidaknya, begitulah yang diutarakan Luna seusai berpapasan denganku di depan kafe Rolling Stones malam itu. Aku baru saja selesai perform ketika sosok familier itu muncul di tengah keramaian. Celana jins biru dan sneaker putih membungkus kedua tungkainya yang jenjang. Rambut hitam yang senantiasa dikuncir kuda itu tampak sedikit basah oleh air hujan.
Cukup lama aku mengamatinya dari kejauhan; berkutat dengan DSLR seri terbaru, memotret lalu lintas dan hiruk-pikuk para pejalan kaki, sampai ia menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan.
God doesn’t play dice with the universe.”
“Einstein’s!” balasku.
Kami menepi ke sebuah halte dan menanyakan kabar satu sama lain. Kujelaskan padanya bahwa Oby belum terbiasa dengan menu martabak wijen, Lastri yang sedang hamil besar—dan siapa ayah dari calon bayi-bayi itu. Selanjutnya, Luna bertanya lagu apa saja yang kumainkan selama sesi akustik tadi.
“Yellow, Hotel California, Layla.”
“Eric Clapton?” Ia membelalak seolah tak percaya. “Coba, mainin satu lagu selain Layla dan Wonderful Tonight.”
Aku ragu suara gitarku bisa dinikmati olehnya. Di sekitar kami terlalu banyak distraksi. Beberapa di antaranya berasal dari percakapan pedestrian yang lalu-lalang di hadapan kami, ditambah lagi dengung knalpot yang bising. Kusetem gitarku terlebih dahulu, sebelum akhirnya memetik satu per satu senar gitar.

Would you hold my hand, if I saw you in heaven?
Would you help me stand,if I saw you in heaven?

Di tengah riuh suasana malam, aku terus bernyanyi. Beberapa orang sempat berhenti untuk menyaksikan permainan gitarku. Sementara itu, dari sudut mataku, Luna tampak serius membidikku lewat kameranya. Tanpa lampu kilat, yang terdengar hanyalah bunyi shutter beberapa kali. Hal itu tidak membuatku serta-merta bertindak defensif. Aku percaya ia tidak memiliki maksud jahat terhadap foto itu.
Usai menyanyikan Tears In Heaven, ia bertanya, “Kamu punya Facebook? Kalau punya, nanti ku-tag foto-foto ini ke kamu.”
“Saya nggak punya akun sosial media. Nggak pernah main begituan.” Aku terkekeh, lantas mengeluarkan ponselku dari dalam saku. Itu adalah Sony Ericsson T100. “Ini hape saya, jadul.”
“Setidaknya masih bisa dipake buat teleponan.”
“Nggak bisa juga, speaker-nya rusak. Cuma bisa SMS­-an.”
Well, can I have your number?
Aku mengangsurkan ponsel itu ke tangannya. Jemari Luna memencet tombol numerik dengan sangat teliti, lalu mengembalikan benda berwarna hitam itu kepadaku.
I’ll text you later, Bayu.” Dia berangkat dari duduk. Melambaikan tangannya, lalu berjalan menerobos sisa hujan.
*

“Waktu itu kamu bilang handphone kamu nggak bisa dipake buat teleponan?
“Udah saya perbaiki, di konter di pinggir jalan. Murah, cuma 20 ribuan.”
Aku memandangi langit-langit kamarku, tampak jelas sarang laba-laba yang bergelayut di sana. Rasanya sudah lama sekali aku tidak membersihkan kamar ini. Di waktu yang sama, aku membayangkan Luna sedang berbaring dengan rambut hitamnya tergerai, aroma sabun mandi yang segar, tubuh sintalnya yang terbungkus piyama putih kebesaran.
“Kamu nggak ketemu Oby pagi tadi?”
“Aku lebih tertarik buat ketemu kamu,” jawabnya di seberang sana.
Just come, then.”
Ia tergelak sebelum akhirnya menjawab, “Oke. Tunggu di depan gang, ya.”
Terkadang, kau tak bisa melawan apa yang diinginkan nalurimu. Tak peduli seberapa keras kau berusaha mencoba, kau akan menyadari betapa kau sangat menginginkan hal itu. Dan aku sulit memercayai fakta bahwa Luna benar-benar menepati janjinya.
Ia tiba di mulut gang tepat 30 menit setelah telepon kami berakhir. Penampilannya masih seperti biasa, celana jins panjang, sepatu kets, dan kemeja tartan cokelat. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa pada kemeja itu. Tiga kancing teratas sepertinya dibiarkan terbuka, sehingga aku bisa melihat jelas tanktop hitam di baliknya. Seolah bisa membaca pikiranku, Luna pun menggeraikan rambut panjangnya malam itu.
Untuk pertama kalinya, aku menyaksikan rambutnya bebas dari ikatan.
Aku masih berdiri sana, mematut dirinya cukup lama. Luna tersenyum semringah menyaksikan tingkahku yang tak keruan. Fenomena seperti ini seringkali dialami oleh mereka yang sedang jatuh cinta. Semua ini hanya masalah waktu saja sampai ia menyadari apa yang sebenarnya kurasakan.
Gelap tak lagi menjadi musuh. Di atas sana, bulan tampak penuh. Cahayanya jatuh ke muka bumi, tempat kami berada saat ini. Tak ada lagi jarak. Kugenggam telapak tangannya agar ia tak kedinginan, lalu bibir kami menyatu, bertautan seolah tak ingin lepas. Oby, Lastri, dan konco-konconya menyaksikan adegan itu. Pada akhirnya, Luna memberi gagasan bahwa malam itu akan berakhir sempurna apabila ia bermalam di tempat tinggalku.
Aku mengangguk setuju.
*

            Hari-hari setelah pertemuan kami di malam itu, semua masih baik-baik saja. Luna masih sering menghubungiku via telepon dan mengirim kata-kata mesra di SMS. Sesekali, ia juga menyempatkan diri untuk datang setiap kali ada sesi akustik di kafe Rolling Stones. Namun, seminggu setelahnya, Luna tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
            Berkali-kali aku mencoba meneleponnya, namun yang kuterima hanya suara operator yang berkata bahwa nomor tersebut sedang berada di luar jangkauan. Sempat aku menerka, barangkali ponselnya hilang, atau mendadak rusak.
            Satu hal yang sulit kupahami, kenapa aku sangat mengkhawatirkannya?
            Aku bahkan bukan siapa-siapa di kehidupannya.
            Aku ini cuma orang asing.
            Aku seharusnya merasa bersalah terhadap Oby, Lastri, Arga, dan Bisma yang akhir-akhir ini seringkali kuabaikan. Hari-hari bersama Luna membuatku lupa untuk mengunjungi mereka di mulut gang itu. Bagaimana kabar mereka? Apakah perut Oby masih segemuk dulu? Apakah Lastri sudah punya momongan dan hendak kawin lagi? Apakah Bisma masih suka jaim setiap kali aku menyuapinya roti?
            Yang kutahu, saat ini aku ingin menemui mereka. Segera saja kusambar celana jinsku dan sekantung plastik berisi roti cokelat murahan. Satu porsi ekstra telah kuselipkan ke dalam saku. Itu khusus Oby. Mudah-mudahan saja ia tidak marah atas ketidakacuhanku belakangan ini.
            Langkahku tergesa-gesa. Aku bergegas keluar, dan seketika terhenti oleh kehadiran sesuatu di depan pintu. Seonggok kardus yang bertengger persis di atas keset kaki. Tanpa alamat, tanpa nama tercantum. Kotak itu tidak terlalu besar, hanya seukuran dua telapak tangan.
            Kudekatkan kotak itu ke telinga dan mengguncangnya beberapa kali. Tidak ada yang aneh. Mungkin isinya hanya permen, atau sampo kemasan sachet. Tapi, aku cukup tercengang sewaktu mendapati setumpuk foto berukuran 4R di dalam kotak tersebut. Sebagian gambar itu tampak tidak asing; dengan latar belakang yang sangat kukenal. Itu adalah foto ketika aku memainkan gitar di bawah halte usai perform di Rolling Stones. Foto sepatu Converse-ku yang kumal, foto jari-jariku yang menekan chord C major. Ada pula potret Oby, Lastri, Arga, Bisma—dan keempatnya yang saling berdekatan.
            Hanya memandangnya pun, aku sudah bisa menebak siapa pengirimnya.
            Seolah kurang lengkap, ia juga melampirkan sehelai kertas scrapbook di antara foto-foto itu. Sepucuk surat. Mataku mulai menjelajah tulisan pada kertas tersebut dengan saksama.

            Gagasan ini sebenarnya muncul tiga hari yang lalu. Waktu itu, aku dengar orangtuaku membahas tentang bisnis batik dan kerajinan kayu mereka mengalami kemerosotan. Permintaan pelanggan berkurang, sementara stok barang di gudang masih menumpuk. Ibuku berpikir, daripada jatuh bangkrut, mungkin akan lebih baik jika bisnis di Jakarta ditutup saja. Ide itu disetujui ayahku. Dan mau tidak mau, aku mendukung keinginan mereka.
            Aku tahu, kamu nggak bakalan memaafkan aku setelah membaca ini, Bayu. Mungkin kamu bakal bertanya, kenapa nggak jujur dari awal?
            Aku terpikir untuk menyampaikannya, tapi aku tahu semua itu pasti sulit untuk diterima. Nggak peduli semenarik apa pun alasannya, kalau sudah menyangkut urusan perpisahan, tetap saja menyakitkan.
            Percaya atau nggak, aku bahagia bisa berkenalan dengan kamu. Aku mengagumi setiap lagu yang kamu mainkan lewat gitar itu. Dan, aku harus berterima kasih karena kamu telah menjadi teman yang baik selama beberapa minggu kemarin. Terima kasih pula karena telah menjadi sosok yang sangat menyenangkan. Lain waktu, jika ada kesempatan, berkunjunglah ke Bali. Akan aku tunjukkan kucing-kucing yang kami bawa pindah dari Jakarta. Jumlahnya semakin banyak!

                                                                                                With love,
                                                                                                Luna.
           
PS: Aku jatuh cinta pada Oby sejak pertama. Jadi, aku juga membawanya ke Bali. Kamu nggak perlu khawatir, I’ll be the one who always giving him an extra-meal. Sebisa mungkin aku bawal merawat Oby supaya dia nggak jatuh sakit atau kelaparan. Tadinya aku kepikiran buat ngajak Arga, Lastri, dan Bisma. Tapi aku nggak mau dicap sebagai orang serakah, Bay. Jadi, kuharap kamu nggak menyimpan dendam.

            Surat itu kutuntaskan dengan satu senyuman kecut. Tak ada tangis, tak ada luapan amarah. Semuanya masih baik-baik saja—setidaknya untuk saat ini. Tapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, selama membaca kalimat yang terurai di sana, hampir sepanjang waktu kurasakan napasku tercekat. Pikirku pun ikut melayang ke sejumlah adegan di mana segalanya berawal, setiap detik yang pernah terlewati bersama Luna, lagu yang kumainkan untuknya, percakapan sebelum tidur—di telepon maupun di dalam kamarku.
            Dan Oby.
            Sikapnya pernah membuatku terganggu pada saat pertama. Suara-suara bising yang kerap ia timbulkan setiap kali aku lupa membawakan porsi ekstra; tanda bahwa dia marah. Terlepas dari semua hal yang menyebalkan itu, ialah satu-satunya sahabat yang kumiliki sejak tiba di sini. Satu-satunya yang sudi menyisihkan waktunya untuk menunggu, mendengkur di pelukanku, meskipun hanya sekejap.
            Kulipat kembali kertas di genggamanku, dan memasukkannya ke tempat semula. Mungkin tak ada lagi yang perlu ditangisi. Karena sampai kapan pun, manusia akan terus dihadapi dengan aneka kejutan, salah satunya perpisahan. Dan tak banyak orang yang sanggup mengatasi rasa kehilangan itu.
            Namun, suatu hari kau akan mengerti, merelakan kepergian bukanlah proses melupakan. Ia akan selalu ada di sana, menjadi satu cerita lama yang tak mungkin bisa untuk dihidupkan kembali.

-fin-
           

Minggu, 21 Agustus 2016

More Than Gravity



Untuk waktu yang lama, Gina tepekur memandangi telunjuknya yang tak henti-henti mengentuk meja. Dia tahu tindakannya itu sangat mengganggu Ivy. Tapi, dia sama sekali tidak tahu bagaimana menghentikannya. Pikirannya terfokus pada satu masalah yang sampai saat ini belum memiliki jalan keluar.

“Lo udah menghubungi dia ke ponselnya?” saran Ivy.

“Boro-boro nelepon, gue bahkan nggak pernah bertukar nomor handphone sama dia.”

“Terus gimana?”

Gina berangkat dari kursi yang didudukinya, lalu menjawab, “Gue bakal ke Ubud besok.”

“Gin!” Ivy terperanjat. “Barusan lo bercanda, kan?”

It’s now or never, Vy. Nggak ada hasil yang turun dari langit kalau lo nggak berani mencoba.”

Jawaban Gina sontak membuat Ivy terdiam. Tak ada gunanya menentang atau memberi bantahan. Ivy mengenal seperti apa karakter sahabatnya yang satu itu—keras kepala, impulsif, dan idealis. Jadi, yang sanggup Ivy lakukan hanyalah berharap agar upaya Gina kali ini membuahkan hasil. Meskipun mereka tahu, tidak ada yang bisa menjamin keberhasilan mutlak atas sebuah perjuangan.

*

Bepergian ke suatu tempat ketika bertepatan dengan satu perayaan besar bukanlah ide yang buruk. Kau mungkin berharap segalanya berjalan sesuai rencana; namun kau tak pernah tahu, ada banyak kejutan yang bisa terjadi begitu saja. Atmosfer asing yang menyerupai euforia, perlahan-lahan membuatmu terpukau pada keberagaman. Faktor inilah yang terkadang mendorong sebagian orang selalu ingin kembali ke tempat yang sama.

Ini adalah kali kedua Gina mengunjungi Bali dalam waktu kurang dari setahun. Pertama kali pada pengujung Desember 2014, menyaksikan kembang api pergantian tahun di Pantai Sanur. Masih dengan formasi yang sama seperti waktu itu, Gina ditemani Ivy, Robin, dan kekasih Gina sendiri—Alex. Sekali ini mereka memilih Ubud sebagai destinasi utama.

Semua orang akan setuju bahwa Ubud menyimpan nilai spiritualisme yang sangat kental. Sejumlah Pura bertebaran di mana-mana, sawah terasering yang seolah menjadi simbol keharmonisan. Ditambah lagi dengan kehadiran Penjor dan aneka persembahan yang hadir di muka rumah pada momen hari raya Galungan.

Di bawah langit Ubud yang berwarna biru, keempat wisatawan asal Jakarta itu berkendara menuju Bali Pulina. Itu merupakan pusat agrowisata yang belakangan sedang marak diperbincangkan di media sosial.

Seorang pria pemandu berada beberapa langkah di hadapan Ivy, Alex, dan Robin. Sementara, Gina terpisah dari rombongan. Matanya sibuk menyapu ke sekitar; sebidang tanah yang dihuni pohon nanas, lalu pohon kopi Arabika dengan buahnya yang berwarna merah darah. Gina tertarik untuk mendekat. Namun, sesuatu membuatnya mundur dari tempat itu. Dia melihat jalan setapak yang mengarah ke sebuah panggung kayu berbentuk daun. Panggung yang sering dijadikan lokasi untuk berfoto oleh para turis. Mereka menamainya Kembang Kopi Stage.

Gina tergerak untuk melangkah ke sana ketika terdengar sebuah suara yang mengurungkan niatnya.

“Sebaiknya lewat sini saja, Mbak.”

Pria itu tersenyum sopan sembari menganggukkan kepala. Dia berpakaian seperti pemandu Bali Pulina pada umumnya; kemeja putih gading dengan motif batik, celana panjang dan celemek abu-abu khas barista. Untuk sesaat yang singkat, Gina terperangkap dalam kebisuan.

“Nama saya Galih. Kalau Mbak mau duduk di saung, bisa saya antarkan,” tambah pria itu. “Tapi akan lebih baik kalau saya perkenalkan dulu jenis-jenis kopi di sini.”

“Saya nggak doyan kopi,” ucap Gina.

“Kami juga menyediakan teh dan cokelat sebagai alternatif.”

Lagi, mulut Gina terkunci rapat. Dia sendiri tidak mengerti apa yang membuatnya mendadak salah tingkah di hadapan pria pemandu itu.

“Barangkali mau lihat proses pembuatan kopi luwak? Kebetulan di dapur sudah tersedia biji kopi pilihan yang siap disangrai.”

Angin berdesir pelan meniupi rambut panjang Gina. Lidahnya terasa kelu karena sesuatu yang tidak beralasan. Namun, sesaat kemudian, Gina mendengar dirinya bersuara, “Kedengarannya menarik. Bisa antar saya ke sana?”

Pemandu bernama Galih itu pun mengangguk patuh.

*

“Waktu kecil, saya pernah punya pengalaman kurang mengenakkan sama kopi,” tutur Gina.

Galih tidak memberi respons. Dia menanti Gina meneruskan kisahnya.

“Paman saya petani kopi di Bangka. Letaknya nggak terlalu jauh dari rumah saya. Saya sering pergi ke sana sendirian, melihat dia memetik biji kopi ke dalam bakul; menyaksikan proses penggilingannya, kemudian pulang ke rumah dengan sekantung kopi bubuk.”

Keduanya berjalan mendekati dua buah kandang yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat pemanggangan biji kopi. Masing-masing kandang dihuni seekor luwak yang tengah tertidur pulas. Di dalam kandang itu berserakan kotoran-kotoran luwak—yang kelak akan dipilah dan diolah menjadi kopi luwak. Konon, para luwak hanya mengonsumsi buah kopi berkualitas prima. Itulah sebabnya kopi luwak dibanderol harga yang sangat tinggi.

“Kadang saya iseng, buah kopi yang berwarna merah itu suka saya gigit kulitnya. Manis. Iya, rasanya manis.” Gina terkekeh sendiri. “Karena melihat tingkah saya waktu itu, Paman saya memberi secangkir kopi hitam yang masih hangat.”

Kini, Galih semakin tertarik untuk mengetahui kelanjutan dongeng masa kecil perempuan itu.

“Rasanya gimana?” tanya Galih.

“Saya berekspektasi rasa kopi itu manis, seperti kulit buahnya yang saya gigiti. Dan memang benar, kopi itu manis, pekat, agak pahit,” ungkap Gina. “Tapi, tahukah Anda apa yang terjadi malam harinya?”

Galih menggelengkan kepala.

“Kepala saya pusing, perut saya mual, kembung—mirip seperti orang yang masuk angin.” 

Detik itu pula, Galih meledakkan tawanya. Gina menyadari kisahnya cukup konyol sekaligus menggelikan. Jadi, dia ikut tergelak. Keduanya tertawa lepas sehingga membuat seorang rekan kerja Galih yang tengah menyangrai kopi menoleh ke arah mereka.

“Makanya, sampai saat ini saya masih trauma minum kopi.”

“Itu karena kopi yang Anda minum waktu itu kopi Robusta.”

“Apa bedanya?”

Di dekat pemanggangan kopi, terdapat sebuah pondok yang memperlihatkan berbagai jenis kopi yang telah disangrai. Sebagian telah dikemas ke dalam stoples. Gina membuntuti Galih ke tempat itu. Dia duduk di sebelah baki-baki berisi biji kopi yang telah dikeringkan.

“Biji kopi yang bentuknya lonjong, pipih, dan agak memanjang ini jenis Arabika. Karakter rasanya cenderung asam. Arabika biasanya tumbuh di Aceh, Toraja, Papua.” Galih bergerak ke baki yang lain dan mulai bicara, “Yang ini, jenis kopi Robusta.”

Gina mengamati biji-biji kopi yang berhamburan pada baki itu. Bentuk bijinya bulat, jauh lebih kecil dibandingkan jenis sebelumnya. Karakteristik biji kopi itu sangat familier. Dan secara kontan, Gina menyadari bahwa biji kopi itulah yang sering dia saksikan sewaktu kecil.

“Kadar kafein Robusta lebih tinggi jika dibandingkan Arabika. Rasanya pun cenderung pahit, strong. Meskipun begitu, semua kopi sama saja, tergantung pengolahannya.”

“Boleh saya coba?”

Galih mengangguk, mempersilakan.

Setengah ragu, Gina menyuapi dirinya dengan sebutir biji kopi Robusta. Dan ketika giginya berhasil meremukkan biji kopi itu di dalam mulutnya—meleleh di lidahnya, Gina tak kuasa untuk memuntahkannya.

“Pahit!”

Hal seperti ini memang tak seharusnya terjadi. Tapi, Gina sama sekali tidak pernah memprediksinya. Pun Galih, yang segera saja menuangkan segelas air putih dari dalam teko. Memetik buah kakao dan membentur kulitnya yang kekuningan pada pohon, sebelum mengulurkannya kepada Gina.

“Butuh waktu yang lama bagi seseorang untuk menjadi penikmat kopi sejati. Seperti perjalanan, ada sekian banyak tempat yang kamu lalui sebelum akhirnya memutuskan satu tempat terbaik,” ujar Galih. “Bagi saya, kopi itu teman terbaik yang tidak ada tandingannya. Ia selalu ada ketika seseorang merasa sedih, bahagia, sendirian, ataupun saat ditemani seseorang.”

“Sejak kapan jadi penyuka kopi?” tanya Gina sambil mengulum sebiji kakao di dalam mulutnya.

“Sejak kecil.” Galih melanjutkan, “Orangtua saya petani kopi Gayo di Aceh. Saya selalu bersemangat setiap kali memasuki musim panen kopi. Saya dan teman-teman seumuran saya di kampung, kelak berlomba-lomba mengumpul hasil petikan ke dalam karung. Kelak, kopi-kopi itu kami serahkan ke Bapak. Biasanya kami diupah seribu rupiah, seribu lima ratus.”

“Itu sebabnya Anda berada di sini?”

“Untuk mempelajari sesuatu, membangun relasi, mencari peluang bisnis—“ Galih menunduk dalam-dalam. “Klise, ya?”

Aroma kopi sangrai meruak di udara. Gina baru saja mau menanggapi ucapan itu ketika terdengar seseorang meneriaki namanya dari kejauhan.

“Gue cari lo ke mana-mana, ternyata elo ngumpet di sini!”

Ivy muncul di hadapan Gina dengan napas tersengal-sengal. Matanya membelalak tak keruan—satu kesatuan dari cemas, kesal, jengkel, dan lega. Alex dan Robin muncul beberapa detik setelah kedatangan Ivy.

Alex, sebagai kekasih Gina ikut menunjukkan kekhawatiran. “Kamu ke mana aja sih, Gin? Aku telepon berkali-kali malah nggak diangkat.”

“Ya wajar lah. Aku kan nggak bawa handphone.”

“Terus ini siapa?” Telunjuk Ivy teracung pada Galih, di mana hal itu justru menimbulkan kecurigaan pada semua orang di sekelilingnya. Terutama Alex.

Gina menjawab, “Dia karyawan Bali Pulina juga, kok. Namanya Galih.”

Ada kecanggungan yang menggantung di antara mereka. Tiga pasang mata memperhatikan sosok Galih dengan tatapan berbeda-beda. Gina hendak memaparkan satu penjelasan, namun dia kalah cepat sewaktu Alex menyambar tangannya dan mengakhiri keheningan itu.

“Permisi, Mas, saya perlu bicara sebentar sama pacar saya.

Kalimat itu seharusnya memang tidak perlu. Tapi, Alex berhak menggunakannya—sekadar menegaskan bahwa Gina adalah kekasihnya. Dan dia tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mengajak Gina pergi dari tempat itu. Ivy dan Robin menyusul dari belakang, selagi Galih masih menyaksikan kepergian mereka.

*
Gina tidak pernah tahu berapa banyak mesin pendingin udara yang dipasang di ruang tunggu ini. Dia bahkan sudah merasa dingin sejak tadi, saat taksi yang dia tumpangi menurunkkannya di area dropzone. Menyeret kopernya dengan langkah gontai ke konter check-in, terus berjalan seorang diri tanpa sudi melirik kanan dan kiri.

Lima belas menit menuju waktu keberangkatan pesawatnya. Tidak ada penundaan ataupun jadwal yang dipercepat. Namun, berada terlalu lama di ruang tunggu bandara ini membuat Gina merasa mual. Ditambah lagi dengan upaya pencariannya kemarin tidak berjalan sesuai yang dia harapkan. Seolah-olah semesta tak mengizinkannya bahagia kali ini.

Layar ponselnya tiba-tiba menyala. Gina terpaksa menerima panggilan itu ketika dia melihat peneleponnya adalah Ivy.

“How’s it going, Gin?” tanya Ivy antusias.

“Gagal.” Di antara bunyi pengumuman yang berdengung di tempat itu, suara Gina nyaris terdengar seperti bisikan. “Galih resign dari Bali Pulina lima bulan lalu. Sekarang dia melanjutkan usaha kopi bokapnya di Aceh.”

Yang terdengar di seberang sana hanya helaan napas. Gina sama sekali tidak ingin diganggu saat ini. Membayangkan pekerjaannya pun sudah cukup membuat kepalanya berputar. Apa yang harus dilakukan oleh perempuan yang bernotabene bukan penyuka kopi, selain meminta bantuan kepada Galih?

Betapa Gina sangat ingin mematikan ponselnya. Tapi, dia pun tidak mungkin mendesak Ivy untuk segera memberi solusi. Tak ada gunanya menyelesaikan masalah ketika emosi seseorang sedang tidak stabil.

Gini aja deh, masalah ini kita beresin di Jakarta, ya. Kebetulan gue punya kenalan anak Production House juga. Siapa tahu dia bisa bersedia bantu.”

Itu bukan ide yang bagus. Tapi, itu juga bukan ide yang terlalu buruk.

Jadi, Gina tidak memberi respons yang berlebihan selain mengganti topik pembicaraan mereka.

“Kayaknya gue butuh sedikit refreshing, Vy. Otak gue mumet banget, serius.” Gina memijit pelipisnya sekejap sambil bicara, “That’s why, gue ambil penerbangan ke Bandung.”

“Well... Enjoy your short vacation, then.”

Tak lama setelah panggilan itu berakhir, Gina bergegas menarik kopernya dan bergabung ke dalam antrean. Sesaat lagi, burung besi yang telah menanti di luar sana akan membawanya ke satu tempat yang baru.

*

Gina menyadari satu hal, kedatangannya di kota Bandung bukan sekadar untuk bermalas-malasan. Waktu tidak akan mungkin berputar ke arah yang berlawanan. Jadi, Gina telah memutuskan untuk berjalan kaki sambil mencari inspirasi. Karena, kau tidak akan pernah tahu bahwa sebuah ide bisa muncul kapan saja dan di sembarang tepat.

Melintasi lobi hotel Aryaduta, Gina tak sengaja menyaksikan sesuatu yang menarik perhatiannya. Keramaian itu berada tepat beberapa langkah di hadapannya. Sebuah bangunan sederhana bernuansa cokelat, namun tampak penuh dari luar. Kanopi awning bermotif garis vertikal hitam putih menghiasi teras bangunan itu. Gina bisa melihat sesuatu yang mencolok di atas kanopi itu, enam huruf bertuliskan ‘ROEMPI’. Penyingkatan dari Roemah Kopi.

Seonggok papan tulis hitam yang dicoreti kapur warna-warni berada di dekat pintu masuk. Mereka menuliskan berbagai menu andalan dan sebaris quotes andalan tentang kopi—Everything Gets Better With Coffee. Gina memutuskan untuk melangkah masuk seusai melihat tulisan ‘FREE TIRAMISU’ pada papan tulis itu.

Bunyi mesin penggiling kopi dan sendok yang berdenting seolah menyambut kedatangan para pengunjung. Aroma kopi memenuhi ruangan itu. Gina pernah sangat membenci wewangian itu. Tapi untuk yang pertama kali, dia ingin memaknainya lebih dalam lagi. Ada sebuah meja tak berpenghuni yang terletak di pojok. Gina mendudukinya, memesan pancake dan sebotol air mineral.

Lewat pengeras suara, melantun sebuah musik yang diawali petikan gitar akustik.

There’s not a simple explanation for the things that I feel
There’s no word to tell you why I do the things that I do

Lagu itu terdengar asing di telinga Gina. Pun tidak ada niat untuk menghafal lagu itu secara pribadi. Tapi entah kenapa, ia terus menerus terngiang di telinga Gina. Begitu sulit untuk dienyahkan dari kepalanya.

Strawberry pancake, air mineral, dan tiramisu.”

Kepala Gina terangkat. Bukan karena hendak segera menyantap pesanannya, tapi karena dia begitu familier dengan suara itu.

“Galih?” Gina spontan beranjak dari kursi. “Kamu—”

Dia tersenyum—masih dengan cara yang sama. Dan tatapan yang sama seperti terakhir kali Gina melihatnya. Sepasang bola mata berwarna cokelat kopi, alis yang nyaris bersambungan satu sama lain, dan bibirnya yang ranum. Tidak ada satu pun yang berubah dari pria itu.

“Saya masih nggak percaya kita bisa ketemu di sini.”

“Ceritanya panjang,” ujar Gina sambil tersenyum semringah. “Tapi, percayalah, ini nggak ada kaitannya dengan gaya gravitasi.”

“Saya siap mendengar.” Galih menarik kursi di hadapan Gina.

Mengalirlah kisah tentang project yang menuntut Gina untuk membuat konsep iklan produk kopi. Proyek senilai puluhan juta rupiah, deadline yang semakin dekat. Belum lagi pengetahuan Gina tentang kopi yang teramat minim. Galih terkekeh ketika mengetahui tindakan Gina yang nekat terbang ke Ubud demi mencari dirinya.

Seakan ada yang kurang, Gina pun bertanya apa saja yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Galih menjelaskan bahwa kini dia sedang belajar menjadi pengusaha di bidang kuliner. Sudah saatnya dia membuka lapangan pekerjaan. Dan kedai kopi yang dia kelola saat ini merupakan pengembangan dari usaha milik orangtuanya. Hampir 60% kopi yang digunakan di kedai ini berasal dari kota kelahirannya.

“Semoga saya bisa membantu kamu menyelesaikan proyek ini, Gina.” Itulah kali pertama Galih mengucapkan nama perempuan itu secara langsung. “Tumben, kamu nggak datang satu rombongan kayak waktu itu?”

“Aku sama Alex udah selesai.”

Memang demikian kenyataannya. Hubungan mereka berakhir seminggu setelah peristiwa di Bali Pulina waktu itu. Gina menyadari bahwa selama ini Alex terlalu posesif dan tidak pernah mendukung kariernya di dunia periklanan.

“Mau Earl Grey Tea buat temen ngobrol? Kafe saya nggak melulu tentang kopi, kok.”

“Saya mau Espresso.”

“Whoa! Sejak kapan si Penyuka Teh berani keluar dari zona nyamannya?”

“Sejak saya ketemu kamu di Bali Pulina.”

Dunia seolah berhenti berputar. Dan keduanya bagai terbungkus dalam gelembung udara, terasa hening dan damai. Galih mengagumi saat perempuan itu berkedip, menyukai bagaimana dia menyisipkan rambut-rambut ke belakang telinganya. Dia seperti kembang gula—begitu manis dan menggoda.

Galih berusaha mengenyahkan fantasinya. “Tapi, kalau saya boleh memberi saran, Cappuccino lebih tepat untuk mind-stimulation. Itu bisa membantu kamu dalam berpikir.”

Gina tidak perlu menolak saran dari orang yang sudah berpengalaman di bidangnya. Dan semua itu hanya masalah waktu saja sampai Galih kembali di hadapan Gina, membawakan secangkir Cappuccino hangat dengan latte art berbentuk tulip.

Perlahan, Gina menyesap Cappuccino itu. Dia terdiam sejenak, membiarkan indera pengecapnya bekerja dalam menginterpretasi rasa sesungguhnya. Manis, lembut dan menakjubkan. Gina kehabisan kata-kata sehingga yang dia lakukan hanyalah tersenyum di hadapan Galih.

Satu hal yang Gina tahu, dia telah jatuh cinta. Pada Cappuccino-nya, dan kepada pria yang menghadiahi Cappuccino itu.

- FIN -  


Blog Post ini dibuat dalam rangka Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh Giordano dan Nulisbuku.com