Hampir
semua orang memiliki doanya masing-masing sebelum memulai aktivitas mereka.
Sebagian mungkin ada yang berdoa supaya cuaca selalu bersahabat; lekas bertemu
jodoh; pulang ke rumah tepat waktu; atau barangkali berharap adanya hujan uang
dari langit. Tapi, aku nyaris tidak pernah memanjatkan doa-doa seperti itu.
Bagiku, itu terlalu ketinggian. Orang harus bersikap realistis sesekali.
Alih-alih
berkeinginan yang kurang masuk akal, setiap harinya aku justru berdoa supaya
bisa bertemu Oby dan teman-temannya di tempat biasa. Aku selalu berdoa supaya
ia tidak kabur ke mana-mana, supaya tidak dilempari batu oleh anak-anak usil,
supaya tidak ada yang menyuapinya dengan racun tikus, dan supaya dia masih sudi
menungguku di tempat itu.
Kau
akan tertawa jika aku berterus-terang mengenai identitas Oby yang sesungguhnya.
Jadi,
Oby adalah seekor kucing kampung yang kutemui ketika pindah ke rusun
Bidaracina. Dialah satu-satunya makhluk hidup yang hadir di mulut gang itu,
memelototi kemunculan seorang pria berkemeja flanel yang tergopoh-gopoh membawa
kardus di pundaknya. Aku jadi teringat bagaimana dia bersuara sewaktu aku
melintas di hadapannya dan serta-merta membuntutiku sampai ke bangunan rusun.
Tidak
ada filosofi khusus atas nama yang kuberikan padanya. Nama itu muncul begitu
saja ketika aku mengusap dagunya dan menasihati untuk tidak mengikutiku sampai
ke lantai atas. Dan, sejak saat itulah pertemanan kami berawal.
Pagi
hari adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi Oby di mulut gang. Tempat di
mana ia, Lastri, Bisma, dan Arga asyik nongkrong di sebelah gerobak bubur ayam
yang kian hari kian sepi pelanggan. Tanpa perlu kuberi penjelasan pun, kurasa
kalian sudah bisa menebak bahwa nama-nama yang kusebut barusan adalah makhluk
hidup yang sama seperti Oby.
Belum
genap langkahku berada di sekitar tempat itu, dari kejauhan tampak seseorang
tengah mengusik aktivitas mereka. Aku tak tahu persis apa yang dia lakukan di
sana, jadi kurasa tak ada salahnya untuk bertanya.
“Saya
perlu memberi kucing-kucing ini sarapan, kalau Anda tidak keberatan.”
Orang
itu menengadah, mengangkat wajahnya yang sejak tadi tersembunyi di balik tudung
sweater abu-abu. Ada beberapa bulir
peluh yang mengalir di pelipisnya.
“Kamu
pemilik kucing-kucing ini, ya?” Kontan, ia beranjak dan membuka tudung sweater itu. Membiarkan rambut hitamnya
yang dikuncir menyambut matahari pagi. “Maaf, aku pikir mereka semua kucing
liar.”
Lidahku
terasa kelu, sendi mendadak kaku. Bukan karena ia yang baru saja mengungkapkan
identitasnya sebagai perempuan—bukan. Ia memang seorang perempuan. Tapi, ia
memiliki kulit cokelat yang menarik, senyuman mematikan dengan satu gigi
gingsul di sebelah kiri. Fakta bahwa celana training
abu-abu yang ia kenakan pun tak sanggup menutup pesona yang ia miliki.
Sepertinya, ia baru saja selesai berolahraga.
Di
bawah sana, suara Oby dan ketiga kerabatnya terus mengusik fantasiku. Mataku
mengerjap beberapa saat sebelum akhirnya berjongkok dan membagi-bagikan
potongan roti isi cokelat kepada mereka.
“Masing-masing
kucing ini tentu punya nama, kan?”
Aku mengangguk.
“Yang bulunya belang tiga itu Arga. Cara mengenalinya gampang, dia yang paling
ramping. Bisma yang hidungnya hitam. Satu-satunya yang betina, namanya Lastri.
Sepertinya dia lagi hamil. Dan yang ini—“ aku menggapai kucing berperut buncit
dengan bulu berwarna kuning dan putih. “—ini favorit saya, namanya Oby, the one who always asking for his
extra-meals.”
“What a cute name!” Kedua sudut bibirnya
tertarik hingga matanya tampak hanya segaris. Sambil menggosok leher Oby, dia
menyapa, “Hai, Oby.”
“Anda
sendiri?”
Ia
memandangku sekilas, lalu berkata, “Luna.”
“Setahu
saya, Luna itu dalam bahasa Italia artinya bulan.” Tapi, sebagian pikiranku
justru terbayang sosok kucing hitam bernama Luna di kartun animasi Sailor Moon.
“Ibuku
pernah cerita, selama dia hamil, dia selalu suka memandang bulan. Ditemani
secangkir teh kayu manis dan irisan buah pir. My father was there, too. Dan waktu melahirkan aku, bertepatan
banget dengan 15 hari bulan.”
Aku
merogoh sepotong roti dari dalam jaketku yang khusus kusiapkan untuk Oby.
Mengangsurkannya diam-diam tanpa sepengetahuan Lastri dan kawan-kawan.
“Dulu
waktu masih SD, aku dijuluki anak aneh sama temen-temen.” Detik berikutnya,
kudengar Luna mulai bertutur tanpa kuminta. “Mereka tahu ibu aku suka pelihara
kucing. Kalau nggak salah, dulu jumlahnya sekitar 18 ekor gitu. Sebagian
berasal dari keturunan yang sama, sebagian lagi aku pungut dari jalan, pasar.”
“Sepertinya
nggak ada yang aneh dengan semua itu.”
“Mungkin
mereka berpikir, memungut kucing liar sama dengan menculik, atau salah satu
bentuk tindak kejahatan,” sahutnya. “But
I never really care what they said about that.”
“Sudah
seharusnya begitu.”
“Kamu
penyuka kucing juga?”
“Terobsesi
untuk punya satu atau dua, tapi nggak pernah tercapai sampai sekarang.”
Oby
baru saja menandaskan roti terakhirnya. Kemudian, kudengar Luna bertanya
‘kenapa’.
“Saya
tinggal di rusun yang tidak memperbolehkan para penghuninya membawa hewan
peliharaan,” jawabku. “Jadi, satu-satunya yang saya lakukan buat membayar rasa
ingin tersebut ya—dengan ketemu mereka di sini setiap pagi. Sengaja bawa isi
roti, ngobrol kayak orang gila.”
Luna
membalas kisahku dengan tawa yang renyah, dan seperti biasa—kedua mata yang
menyerupai garis itu ketika ia tergelak. Dan aku tahu, semua ini hanya masalah
waktu saja sampai aku telanjur mengaguminya lebih jauh.
Aku
lekas berdiri dari hadapannya. “Saya harus pamit sekarang, mau kejar setoran.”
Luna
mengernyit, mungkin kesulitan memahami ucapanku. Namun, aku mengacungkan
jempolku pada gitar tua yang bertengger di punggungku. Dia pun mengangguk
paham.
Di
ujung sana, sebuah metromini berjalan agak lamban dengan teriakan kondektur
yang bergelayutan pada pintu belakang. Aku baru mau menyusulnya ketika
terdengar sebuah suara dari mulut gang itu. Kepalaku tertoleh ke belakang.
“Nama
kamu siapa?”
“Panggil
aja Bayu.”
Usai
jawaban itu, aku pun melompat ke dalam metromini yang kini berjarak hanya 1
meter dari hadapanku.
*
There is no such thing as coincidence in
this world.
Setidaknya,
begitulah yang diutarakan Luna seusai berpapasan denganku di depan kafe Rolling
Stones malam itu. Aku baru saja selesai perform
ketika sosok familier itu muncul di tengah keramaian. Celana jins biru dan sneaker putih membungkus kedua
tungkainya yang jenjang. Rambut hitam yang senantiasa dikuncir kuda itu tampak
sedikit basah oleh air hujan.
Cukup
lama aku mengamatinya dari kejauhan; berkutat dengan DSLR seri terbaru,
memotret lalu lintas dan hiruk-pikuk para pejalan kaki, sampai ia menyadari
bahwa dirinya sedang diperhatikan.
“God doesn’t play dice with the universe.”
“Einstein’s!”
balasku.
Kami
menepi ke sebuah halte dan menanyakan kabar satu sama lain. Kujelaskan padanya
bahwa Oby belum terbiasa dengan menu martabak wijen, Lastri yang sedang hamil
besar—dan siapa ayah dari calon bayi-bayi itu. Selanjutnya, Luna bertanya lagu
apa saja yang kumainkan selama sesi akustik tadi.
“Yellow,
Hotel California, Layla.”
“Eric
Clapton?” Ia membelalak seolah tak percaya. “Coba, mainin satu lagu selain
Layla dan Wonderful Tonight.”
Aku
ragu suara gitarku bisa dinikmati olehnya. Di sekitar kami terlalu banyak
distraksi. Beberapa di antaranya berasal dari percakapan pedestrian yang lalu-lalang
di hadapan kami, ditambah lagi dengung knalpot yang bising. Kusetem gitarku
terlebih dahulu, sebelum akhirnya memetik satu per satu senar gitar.
Would you hold my hand, if I saw you in
heaven?
Would you help me stand,if I saw you in
heaven?
Di
tengah riuh suasana malam, aku terus bernyanyi. Beberapa orang sempat berhenti
untuk menyaksikan permainan gitarku. Sementara itu, dari sudut mataku, Luna
tampak serius membidikku lewat kameranya. Tanpa lampu kilat, yang terdengar
hanyalah bunyi shutter beberapa kali.
Hal itu tidak membuatku serta-merta bertindak defensif. Aku percaya ia tidak
memiliki maksud jahat terhadap foto itu.
Usai
menyanyikan Tears In Heaven, ia bertanya, “Kamu punya Facebook? Kalau punya,
nanti ku-tag foto-foto ini ke kamu.”
“Saya
nggak punya akun sosial media. Nggak pernah main begituan.” Aku terkekeh,
lantas mengeluarkan ponselku dari dalam saku. Itu adalah Sony Ericsson T100.
“Ini hape saya, jadul.”
“Setidaknya
masih bisa dipake buat teleponan.”
“Nggak
bisa juga, speaker-nya rusak. Cuma
bisa SMS-an.”
“Well, can I have your number?”
Aku
mengangsurkan ponsel itu ke tangannya. Jemari Luna memencet tombol numerik
dengan sangat teliti, lalu mengembalikan benda berwarna hitam itu kepadaku.
“I’ll text you later, Bayu.” Dia
berangkat dari duduk. Melambaikan tangannya, lalu berjalan menerobos sisa
hujan.
*
“Waktu itu kamu bilang handphone
kamu nggak bisa dipake buat teleponan?”
“Udah
saya perbaiki, di konter di pinggir jalan. Murah, cuma 20 ribuan.”
Aku
memandangi langit-langit kamarku, tampak jelas sarang laba-laba yang bergelayut
di sana. Rasanya sudah lama sekali aku tidak membersihkan kamar ini. Di waktu
yang sama, aku membayangkan Luna sedang berbaring dengan rambut hitamnya
tergerai, aroma sabun mandi yang segar, tubuh sintalnya yang terbungkus piyama
putih kebesaran.
“Kamu
nggak ketemu Oby pagi tadi?”
“Aku lebih tertarik buat ketemu kamu,”
jawabnya di seberang sana.
“Just come, then.”
Ia
tergelak sebelum akhirnya menjawab, “Oke.
Tunggu di depan gang, ya.”
Terkadang,
kau tak bisa melawan apa yang diinginkan nalurimu. Tak peduli seberapa keras
kau berusaha mencoba, kau akan menyadari betapa kau sangat menginginkan hal
itu. Dan aku sulit memercayai fakta bahwa Luna benar-benar menepati janjinya.
Ia
tiba di mulut gang tepat 30 menit setelah telepon kami berakhir. Penampilannya
masih seperti biasa, celana jins panjang, sepatu kets, dan kemeja tartan
cokelat. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa pada kemeja itu. Tiga kancing
teratas sepertinya dibiarkan terbuka, sehingga aku bisa melihat jelas tanktop hitam di baliknya. Seolah bisa
membaca pikiranku, Luna pun menggeraikan rambut panjangnya malam itu.
Untuk
pertama kalinya, aku menyaksikan rambutnya bebas dari ikatan.
Aku
masih berdiri sana, mematut dirinya cukup lama. Luna tersenyum semringah
menyaksikan tingkahku yang tak keruan. Fenomena seperti ini seringkali dialami
oleh mereka yang sedang jatuh cinta. Semua ini hanya masalah waktu saja sampai
ia menyadari apa yang sebenarnya kurasakan.
Gelap
tak lagi menjadi musuh. Di atas sana, bulan tampak penuh. Cahayanya jatuh ke
muka bumi, tempat kami berada saat ini. Tak ada lagi jarak. Kugenggam telapak
tangannya agar ia tak kedinginan, lalu bibir kami menyatu, bertautan seolah tak
ingin lepas. Oby, Lastri, dan konco-konconya menyaksikan adegan itu. Pada
akhirnya, Luna memberi gagasan bahwa malam itu akan berakhir sempurna apabila
ia bermalam di tempat tinggalku.
Aku
mengangguk setuju.
*
Hari-hari setelah pertemuan kami di malam itu, semua
masih baik-baik saja. Luna masih sering menghubungiku via telepon dan mengirim
kata-kata mesra di SMS. Sesekali, ia juga menyempatkan diri untuk datang setiap
kali ada sesi akustik di kafe Rolling Stones. Namun, seminggu setelahnya, Luna
tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
Berkali-kali aku mencoba meneleponnya, namun yang
kuterima hanya suara operator yang berkata bahwa nomor tersebut sedang berada
di luar jangkauan. Sempat aku menerka, barangkali ponselnya hilang, atau
mendadak rusak.
Satu hal yang sulit kupahami, kenapa aku sangat
mengkhawatirkannya?
Aku bahkan bukan siapa-siapa di kehidupannya.
Aku ini cuma orang asing.
Aku seharusnya merasa bersalah terhadap Oby, Lastri,
Arga, dan Bisma yang akhir-akhir ini seringkali kuabaikan. Hari-hari bersama
Luna membuatku lupa untuk mengunjungi mereka di mulut gang itu. Bagaimana kabar
mereka? Apakah perut Oby masih segemuk dulu? Apakah Lastri sudah punya momongan
dan hendak kawin lagi? Apakah Bisma masih suka jaim setiap kali aku menyuapinya
roti?
Yang kutahu, saat ini aku ingin menemui mereka. Segera
saja kusambar celana jinsku dan sekantung plastik berisi roti cokelat murahan.
Satu porsi ekstra telah kuselipkan ke dalam saku. Itu khusus Oby. Mudah-mudahan
saja ia tidak marah atas ketidakacuhanku belakangan ini.
Langkahku tergesa-gesa. Aku bergegas keluar, dan seketika
terhenti oleh kehadiran sesuatu di depan pintu. Seonggok kardus yang bertengger
persis di atas keset kaki. Tanpa alamat, tanpa nama tercantum. Kotak itu tidak
terlalu besar, hanya seukuran dua telapak tangan.
Kudekatkan kotak itu ke telinga dan mengguncangnya
beberapa kali. Tidak ada yang aneh. Mungkin isinya hanya permen, atau sampo
kemasan sachet. Tapi, aku cukup tercengang sewaktu mendapati setumpuk foto
berukuran 4R di dalam kotak tersebut. Sebagian gambar itu tampak tidak asing;
dengan latar belakang yang sangat kukenal. Itu adalah foto ketika aku memainkan
gitar di bawah halte usai perform di
Rolling Stones. Foto sepatu Converse-ku yang kumal, foto jari-jariku yang
menekan chord C major. Ada pula potret Oby, Lastri, Arga, Bisma—dan keempatnya yang
saling berdekatan.
Hanya memandangnya pun, aku sudah bisa menebak siapa
pengirimnya.
Seolah kurang lengkap, ia juga melampirkan sehelai kertas
scrapbook di antara foto-foto itu.
Sepucuk surat. Mataku mulai menjelajah tulisan pada kertas tersebut dengan
saksama.
Gagasan ini
sebenarnya muncul tiga hari yang lalu. Waktu itu, aku dengar orangtuaku
membahas tentang bisnis batik dan kerajinan kayu mereka mengalami kemerosotan.
Permintaan pelanggan berkurang, sementara stok barang di gudang masih menumpuk.
Ibuku berpikir, daripada jatuh bangkrut, mungkin akan lebih baik jika bisnis di
Jakarta ditutup saja. Ide itu disetujui ayahku. Dan mau tidak mau, aku mendukung
keinginan mereka.
Aku tahu, kamu nggak bakalan
memaafkan aku setelah membaca ini, Bayu. Mungkin kamu bakal bertanya, kenapa
nggak jujur dari awal?
Aku terpikir untuk menyampaikannya,
tapi aku tahu semua itu pasti sulit untuk diterima. Nggak peduli semenarik apa
pun alasannya, kalau sudah menyangkut urusan perpisahan, tetap saja
menyakitkan.
Percaya atau nggak, aku bahagia bisa
berkenalan dengan kamu. Aku mengagumi setiap lagu yang kamu mainkan lewat gitar
itu. Dan, aku harus berterima kasih karena kamu telah menjadi teman yang baik
selama beberapa minggu kemarin. Terima kasih pula karena telah menjadi sosok
yang sangat menyenangkan. Lain waktu, jika ada kesempatan, berkunjunglah ke
Bali. Akan aku tunjukkan kucing-kucing yang kami bawa pindah dari Jakarta.
Jumlahnya semakin banyak!
With
love,
Luna.
PS: Aku jatuh cinta pada Oby sejak
pertama. Jadi, aku juga membawanya ke Bali. Kamu nggak perlu khawatir, I’ll be
the one who always giving him an extra-meal. Sebisa mungkin aku bawal merawat
Oby supaya dia nggak jatuh sakit atau kelaparan. Tadinya aku kepikiran buat
ngajak Arga, Lastri, dan Bisma. Tapi aku nggak mau dicap sebagai orang serakah,
Bay. Jadi, kuharap kamu nggak menyimpan dendam.
Surat itu kutuntaskan
dengan satu senyuman kecut. Tak ada tangis, tak ada luapan amarah. Semuanya
masih baik-baik saja—setidaknya untuk saat ini. Tapi aku tak bisa membohongi
diriku sendiri, selama membaca kalimat yang terurai di sana, hampir sepanjang
waktu kurasakan napasku tercekat. Pikirku pun ikut melayang ke sejumlah adegan
di mana segalanya berawal, setiap detik yang pernah terlewati bersama Luna,
lagu yang kumainkan untuknya, percakapan sebelum tidur—di telepon maupun di
dalam kamarku.
Dan Oby.
Sikapnya pernah membuatku terganggu pada saat pertama.
Suara-suara bising yang kerap ia timbulkan setiap kali aku lupa membawakan
porsi ekstra; tanda bahwa dia marah. Terlepas dari semua hal yang menyebalkan
itu, ialah satu-satunya sahabat yang kumiliki sejak tiba di sini. Satu-satunya
yang sudi menyisihkan waktunya untuk menunggu, mendengkur di pelukanku,
meskipun hanya sekejap.
Kulipat kembali kertas di genggamanku, dan memasukkannya
ke tempat semula. Mungkin tak ada lagi yang perlu ditangisi. Karena sampai
kapan pun, manusia akan terus dihadapi dengan aneka kejutan, salah satunya
perpisahan. Dan tak banyak orang yang sanggup mengatasi rasa kehilangan itu.
Namun, suatu hari kau akan mengerti, merelakan kepergian
bukanlah proses melupakan. Ia akan selalu ada di sana, menjadi satu cerita lama
yang tak mungkin bisa untuk dihidupkan kembali.
-fin-
Be First to Post Comment !
Posting Komentar