Write. Anywhere. Anytime.

Sabtu, 30 Mei 2015

Selamat Menjadi Genap, Sahabat.


Sebagian orang kerap kali mengaitkan momen ulang tahun dengan pengurangan sisa umur. Saya sering mendengar sejumlah harapan yang diucapkan untuk mereka yang sedang berulang tahun – sehat selalu, semakin dewasa, semoga panjang umur, dan bahagia. Terdengar seperti lagu, ya? Tapi entah kenapa, kalimat klise seperti itu dapat membuat siapa pun tersentuh.

Mari kita enyahkan sejenak filosofi ulang tahun ini sejenak dan mengenang momen paling berharga dalam hidup kita. Menghidupkan masa lalu. Saya sering melakukannya, dengan atau tanpa teman. Memang tidak ada yang menarik dengan hal itu. Rasanya seperti membuang-buang waktu saja. Namun, ada semacam keseruan setiap kali saya menjelajahi koridor memori dan bertabrakan dengan secuil cerita lampau.

Itu adalah pertama kalinya kami memulai pertemanan. Facebook sangat berjaya pada saat itu. Lewat perkenalan singkat, coretan di dinding profil masing-masing, komentar nyeleneh di album foto; sudah menjadi kebiasaan kami sehari-hari. Mungkin di akhir tulisan ini, saya harus memberi credit khusus untuk Mark Zuckerberg yang telah menciptakan Facebook.

Saya sempat menjulukinya sebagai The Most Talkative Person. Bagaimana tidak? Dia bisa berceloteh ratusan kalimat di saat saya hanya mampu menuturkan sepuluh. Saya sering berbicara padanya tentang masalah percintaan, karier, passion, bisnis, teknologi, edukasi, dan entertainment. Dia tahu bagaimana caranya menempatkan diri pada sejumlah aspek yang berbeda. Mungkin karena dia seorang Geminian. Biasanya, orang Gemini itu supel dan fleksibel.

Pada suatu siang yang terik di pengujung bulan Maret, kami meninggalkan kos dengan pintu pagar berwarna hijau itu. Menyusuri gang kecil yang terhubung langsung ke jalan raya Ujung Berung. Atmosfer dipenuhi asap kendaraan. Saya mengayuhkan kaki lebih cepat, mencari tempat untuk menanti bus Damri jurusan Kebon Kalapa, atau sekadar berteduh dari panasnya matahari. Sementara itu, teman saya jauh tertinggal di belakang. Mengusap peluh yang membanjiri keningnya dengan kain bercorak batik khas Sunda. Kepalanya tertutup tudung sweater. Dia selalu bermasalah dalam urusan menyeimbangkan kecepatan.

Sebuah pohon yang berdiri di depan bengkel kusam menjadi tempat persinggahan kami. Saya sempat menebak, bus Damri akan mengalami sedikit keterlambatan. Lalu lintas pada jam makan siang dapat mengacaukan segalanya. Selagi menunggu kedatangan bus Damri, saya membahas kembali tentang insiden mengerikan yang kami alami tadi malam. We were kidnapped by stranger, stepped into his car, til we found the way home. Sedikit pun kami tidak pernah menduga hal itu dapat terjadi. Meskipun, ya – kami sempat terpukau oleh Nissan March putih yang dikendarainya.

Butuh waktu lima belas menit sampai bus berwarna biru putih itu muncul di hadapan kami. Seluruh kursi penumpang tampak penuh. Tak ada lagi kesempatan untuk duduk bersebelahan dan memperbincang kejadian tadi malam. Kami tak punya pilihan selain berdiri di antara himpitan mahasiswa UIN bertampang Islami.

Sebuah pesan baru tiba-tiba muncul di layar ponsel saya.

Langsung nonton atau makan dulu, Buk?

Saya bergegas menekan tombol alfabet dan membalas.

Makan dulu aja. Di Giggle Box.

***

Ada beberapa hal di dunia ini yang tak bisa dihindari, tak peduli seberapa besar kita berusaha. Sebagai contohnya, suara sopir angkot Kalapa yang meneriakkan tujuan keberangkatannya. Malam telah naik sejak satu jam lalu. Kawasan Merdeka dihujani cahaya remang oleh sejumlah lampu jalan. Arloji di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul delapan. Sebagian besar angkot jurusan Kalapa memang beroperasi 24 jam. Tapi, bus Primajasa di terminal Leuwi Panjang sana hanya tersedia sampai pukul sembilan.

“I gotta go now.”

Ada getir yang terasa ketika kalimat itu terlontar dari mulut sahabat saya. Dia membenarkan letak ranselnya. Ransel yang hanya berisi dua helai kaus, charger, dan aneka peralatan kecantikan. Ponselnya telanjur mati sejak di dalam bioskop tadi.

Pada saat yang sama, benak saya terputar lagi pada sosok Iko Uwais, Mad Dog, dan Julie Estelle. Film The Raid berhasil membuat saya menjerit dengan kondisi perut melilit. Tapi, keseluruhan film itu tidak ada apa-apanya dibandingkan drama kehilangan tiket masuk studio XXI. Memang kesalahan saya yang kelewat teledor lantaran menyimpan tiket itu asal-asalan. Entah di mana dan bagaimana tiket itu bisa hilang, saya pun tidak ingat. Satu hal yang saya tahu, tiket itu sudah menghilang dari genggaman saat kami tiba di Giggle Box.

Terus terang perasaan saya campur aduk pada waktu itu. Ada rasa bersalah, sekaligus pasrah. Bersalah karena telah mengacaukan agenda siang ini dalam satu kedipan mata. Pasrah karena saya tahu; saya patut mengganti tiket itu dua kali lipat, meskipun pada akhirnya kami masih diizinkan masuk ke Studio berkat bantuan manajer dan kesaksian si Kasir. Terima kasih, Empire XXI.

Dont forget to text me when you’re at home.” Menariknya ke dalam pelukan sebelum dia benar-benar melangkah ke dalam angkot hijau itu.

Dia mengiyakan permintaan saya dengan satu senyuman. Senyum yang seolah-olah menunjukkan, everything will be fine – sooner or later.

Dan semua itu tidak pernah salah.

Karena bagi kami, sebuah perpisahan bukanlah akhir dari segalanya. Saya sudah pernah mengalami hal itu berkali-kali. Making plans, waving goodbye, memulai hidup yang baru, tapi pada akhirnya – waktu selalu membawa kami pada satu pertemuan. Terminal Kampung Rambutan, Mangga Dua Square, Bandung Timur Plaza, dalam momentum yang berbeda, segalanya masih terasa sama. Senyum kami melayang di udara, dua tawa melebur jadi satu, di antara ingar-bingar suara.

Saya selalu berharap jarak dapat menguatkan, meskipun waktu selalu membuat perubahan. Tak peduli di mana pun kita berada nanti, pasti ada satu atau dua hal yang akan kita rindukan. Salah satunya; kebersamaan.

Selamat menjadi genap. Semoga selalu berkecukupan.


Sincerely,
Joy

Minggu, 17 Mei 2015

Chapter 6 - Kenangan dalam Aksara


Langit sudah gelap ketika aku dan Heru tiba di Cilandak Town Square. Pada awalnya, aku memang enggan mematuhi ajakannya. Apalagi bepergian ke sebuah Mall, tempat yang sarat akan kerumunan umat dan segala jenis aktivitas. Aku tidak pernah merasa nyaman berada di tengah keramaian. Selalu berpikir, semua orang akan menyerangku dengan tatapan aneh.

Tapi mau bagaimana lagi, Heru bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menolak ataupun bernegosiasi.

Setiap hari Sabtu, Cilandak Town Square selalu terlihat ramai dibandingkan hari-hari biasa. Seorang DJ akan hadir di tengah-tengah hall utama dan memainkan musik hingga larut malam. Tak heran jika sebagian besar para selebritis sering muncul di tempat ini. Hal itulah yang terjadi sewaktu kami meninggalkan lot parkir.

Seorang pria berperawakan sedang dengan topi jenis flat cap dan kacamata minus melintas di hadapan kami. Wajahnya tampak familier sekali. Dia pernah muncul di sebuah liputan salah satu stasiun televisi swasta, tapi aku lupa namanya siapa. Heru lekas menyadarkanku bahwa pria itu adalah Mas Joko Anwar.

Kami melewati restoran Burger King sebelum tiba di Aksara Bookstore. Heru sengaja membawaku ke sini karena dia yakin, toko buku ini juga menjual buku Memory Of Solferino.

Heru bergegas menuju undakan buku-buku yang disusun pada satu meja khusus. Semua novel best seller, majalah terbaru, dan aneka literatur terpajang rapi di sana. Sementara itu, aku berhenti di rak magazine, lantas meraih majalah entertainment dengan sosok Miranda Kerr yang menghiasi sampul depan. Tulisan-tulisan mencolok seperti; Tren Super Seru, Seks Gaya Asia, Kesan apa yang ia tangkap dalam 5 detik membuatku tertarik untuk mengintip isi majalah tersebut.

Satu demi satu halaman terlewati. Sederet artikel dan gosip membosankan berada di sana-sini. Meletakkan majalah itu ke tempat semula, sembari melayangkan pandangan ke sekitar. Tampak beberapa pengunjung sedang membaca buku secara gratis lantaran plastik pelindungnya telah terbuka. Sebagian lagi, ada yang tengah bercengkerama dengan seorang pramuniaga.

Situasi seperti ini membuatku teringat pada masa di mana aku dan Texas berbincang untuk pertama kalinya.

Aku berdiri di depan rak buku sambil menekuni Modul Praktikum Fisika Dasar milik perpustakaan sekolah. Materi yang terkandung dalam modul itu adalah hukum Newton dan prinsip dasar dinamika untuk gerak lurus. Texas juga berada di lorong yang sama denganku. Mengulurkan jabat tangan perkenalan sekaligus menyinggung tentang buku bacaanku.

Kami masih terlalu muda untuk jatuh cinta semasa itu. Tapi entah kenapa, aku dapat merasakan getaran aneh setiap kali berhadapan dengannya. Mustahil untuk memungkiri segenap keindahan yang dimiliki Texas. Pada sepasang alis tebal dan bulu matanya yang lebat, bola mata berwarna cokelat pekat, dan bibir merah yang kerap membentuk simpul senyum paling memikat.

“Adam...” Sebuah suara yang diselubungi kehangatan tiba-tiba hinggap telingaku.

Selama sekejap, aku sempat berhalusinasi jika pemilik suara itu adalah Texas. Tersenyum ketika mata kami berdua saling bertemu dalam satu garis maya. Menghambur ke dalam pelukannya tanpa peduli komentar orang-orang di sekeliling kami. Namun, semua angan-angan itu terpaksa kumuntahkan selagi aku menyadari sosok yang kini berdiri di hadapanku adalah Heru.

“Elo ternyata,” aku melengos kecewa.

Heru melipat kedua lengannya di depan dada. “Nggak di tempat rame, nggak di tempat sepi, kerjaan lo melamun aja,” gumamnya. “Nggak takut kesambet apa?”

Aku mengabaikan ucapannya dan lebih memilih bertanya, “Jadi gimana? Ketemu novel Solferino-nya?”

Dia menggeleng lesu. “Abis muter-muter ke semua rak buku, tapi gue sama sekali nggak ketemu buku yang dimaksud.”

“Udah coba tanya ke pegawainya?” Aku memberi solusi alternatif. “Biasanya kan mereka punya database semua judul buku di sini.”

“Udah,” tukas Heru. “Emang bukunya nggak ada.”

Sudah kuduga! Buku itu memang agak sulit didapatkan di Jakarta. Selain langka, novel yang ditulis langsung oleh Henry Dunant itu sudah terabaikan bagi mereka yang tidak tahu apa-apa tentang sejarah Palang Merah. Lagi pula, kalau memang benar-benar tersedia di Indonesia, buat apa aku bersusah payah membelinya di situs Amazon?

“Terus? Itu buku apaan?” Aku memperhatikan sebuah buku agak tebal bersampul hitam di genggamannya.

“Stephen King. Different Seasons. Kata Mbaknya, sih, bagus.” Dari judulnya, aku bisa menebak buku itu ber-genre fantasi atau horor thriller. Terbukti sewaktu Heru mengulas secara singkat salah satu chapter berjudul Rita Hayworth and Shawshank Redemption. Kisah seorang banker bernama Andy Dufresne yang dituduh bersalah lantaran membunuh istrinya yang selingkuh. Dufresne menjalani masa-masa tersulitnya selama menjadi tahanan di Shawshank, sebuah penjara di USA.

“Mau pinjam?” Dia menyodorkan buku itu kepadaku.

“Boleh, kalau lo nggak keberatan,” jawabku.

“Tapi ada syaratnya!”

Kebahagiaanku pupus seketika. “Apa?”

“Barteran sama buku Henry Dunant.”

Aku menggeleng mantap, sama sekali tidak terpengaruh pada seringai senyum dan tatapan Heru yang meskipun harus kuakui, sangat memesona. Tapi tetap saja, hal itu tidak akan membuatku berubah pikiran.

“Oke,” Heru mengedikkan bahu. “Mungkin belum diizinkan untuk memiliki kali, ya.”

Di ruang waktu berikutnya, kami berdua membatu dan saling berpandangan selagi irama musik melantun merdu lewat pengeras suara. Itu adalah Unbeliavable, lagunya Craig David.

But, you came and you change my whole world now
I’m somewhere I’ve never been before
Now, I see what love means...

Aku mendadak terenyuh dalam diam. Lagu itu seperti membungkus kami berdua dalam satu terowongan panjang di mana segalanya terasa hening, tanpa gravitasi, sekaligus damai. Tapi entah kenapa, lama kelamaan lagu itu terdengar memuakkan. Apalagi di tengah situasi awkward seperti ini.

Heru yang lebih dulu mengakhiri kecanggungan itu. “Kalau boleh tahu, isi twit lo kemarin sore itu tentang apa, Dam?”

Aku bergeming. Sedikit pun tidak siap untuk menjawab tentang apa, siapa, dan bagaimana penyebabnya sehingga aku terpikir untuk mempublikasikan kutipan itu ke sosial media.

“Prediksi gue, sih – pasti tentang mantan lo?”

“Bukan!” tanggapku, kelewat defensif.

Faktanya, Texas memang bukan mantan kekasihku. Hanya karena ada jarak di antara kami dan minimnya komunikasi, tidak berarti kami berdua telah resmi berpisah. Aku sendiri tidak berhak memproklamirkan siapa dan seperti apa status hubungan kami saat ini. Karena aku tahu, Texas sendiri telah memiliki hubungan asmara yang lebih jelas dengan Sarah, wanita pilihan hatinya.

“Gue tahu elo menyembunyikan sesuatu.” Heru berdiri tepat di hadapanku. “Kalau emang ada yang mau lo utarakan, ngomong aja. Gue bersedia mendengarkan, kok.”

Tenggorokanku tercekat. Sesuatu memaksa nuraniku untuk bercerita, “There was a time – when i need to forget all about my past and live my life like everyone else. Lo pasti bisa membayangkan gimana rasanya ketika semua kenangan dan suka-duka di masa lalu itu menghantui pikiran lo?” Aku menggelengkan kepala, berkedip beberapa kali sebelum melanjutkan, “Dan lo terbawa arus, nggak ada yang bisa lo lakuin selain menanti sesuatu yang nggak pasti.”

Memutuskan untuk berhenti sejenak lantaran tahu bahwa ceritaku sudah terlalu jauh. Bukan hal bijak jika aku memaparkan semua itu di hadapan Heru. Satu-satunya orang yang dapat menyelesaikan masalahmu hanya dirimu sendiri.

“Kenapa berhenti?” tanya Heru.

Aku menggeleng. “Can we skip this conversation?”

“That’s okay, Dam. Just let ‘em out.” Heru meremas telapak tanganku erat-erat. Matanya menyiratkan bahwa dia ingin mendengar satu cerita komplet tanpa melewatkan satu detail pun.

Tapi aku menepis tangannya dan berkata, “Gue tunggu di luar, ya. Gotta find some fresh air.
Sabtu, 02 Mei 2015

Chapter 5 - Pantai, Sosial Media, dan Kamu

“...Please leave a message after the beep.”

Seribu kali aku menghubungi Texas, seribu kali pula suara itu mengiang di telingaku. Suara operator sialan yang membuatku sadar bahwa jarak adalah sesuatu yang sulit untuk dikalahkan. Tak peduli seberapa besar aku berusaha, rindu yang kutanam tak akan pernah terbalas.

Aku sudah memeriksa seluruh jejaring sosial yang dimilikinya. Dimulai dari Twitter; Facebook, Instagram, hanya untuk memastikan Texas sempat mengunggah sesuatu dalam beberapa waktu belakangan. Namun tetap saja, dia tidak pernah berada di sana. Texas bukan seorang internet-addict seperti orang-orang pada umumnya.

Terkenang lagi saat aku dan Texas berlibur di salah satu pantai di Pulau Bangka. Pantai Parai namanya. Di bawah terik matahari bulan Juni, ditemani suara ombak yang berderu dan nyanyian burung laut, rasanya tak ada yang lebih indah selain dapat berdua bersama Texas di pagi yang cerah itu.

Kami berdua berbaring di atas pasir putih yang sehalus gula. Keheningan membuat kami hanyut dalam kesibukan masing-masing; Texas dengan buku bacaannya, sementara aku berkutat di depan layar Blackberry-ku. Angin yang berdesir dari belakang membuat leherku dihujani rasa sejuk. Pelepah pohon kelapa ikut bergoyang ke sana kemari mengikuti arah angin bertiup.

Di antara kebisuan yang menyatu dengan simfoni alam itu, aku memamerkan satu artikel yang kutemui di salah satu  portal berita ternama di Indonesia. Artikel itu berisi tentang seorang pelajar SMA asal Bogor yang divonis penjara lantaran menulis sesuatu yang kurang pantas di Facebook. Tulisan itu ternyata memancing emosi sehingga terjadi aksi saling memaki antara kedua belah pihak. Tidak ada yang menyangka kasus tersebut akhirnya ditangani polisi dan berujung di pengadilan.

“All those fucking social networks can make anything more difficult.” Begitu katanya dulu.

Aku melepas Blackberry-ku dari genggaman dan meletakkannya asal-asalan di sebelahku. “Bukannya kamu selalu peduli sama hal-hal yang berbau hukum?” Menyinggungnya pada salah satu pihak terkait yang terlibat kasus pencemaran nama baik lewat Facebook.

“Tergantung kasusnya.” Texas menutup buku Pride and Prejudice yang dibacanya sejak tadi. Memandangku dari balik kacamata hitam itu sambil berkata, “Kontroversi yang terjadi pada media sosial biasanya bersumber dari hal sepele. Semata-mata cari sensasi. Mereka harusnya tahu, internet seperti pisau bermata dua. Punya kelebihan, tapi bisa juga sangat merugikan.”

Dia bilang, segalanya dapat menjadi mungkin lewat dunia maya. Orang biasa bisa terkenal lewat Youtube, selebritis semakin populer dengan bantuan fanpage di Facebook. Begitu dahsyatnya pengaruh sosial media di kehidupan nyata, sampai kita sering melupakan; hal-hal demikian bisa menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.

“Contoh kecilnya kayak gini nih – “ Texas menepuk-nepuk kedua telapak tangannya yang ditempeli pasir pantai sambil berkata, “Kamu posting foto bareng seseorang ke Facebook. Padahal kamu nggak tahu kalau teman kamu itu pernah melakukan tindak kriminal, sebut saja kleptomania atau tukang bawa kabur uang orang.”

“Enak aja! Aku nggak setolol itu juga, kali.” Memutar kedua bola mata dan siap mencibir. “Aku tahu mana yang bersifat umum dan mana yang privat. Lagi pula, aku nggak pernah temenan sama tipe orang kayak gitu.”

“Sekadar perumpamaan. Don’t get me wrong, Babe.” Dia menyeringai lebar, tahu bahwa kisahnya terinterupsi oleh cibiranku. Tapi, Texas sama sekali tidak merasa keberatan. Dia malah mendekatkan wajahnya pada wajahku, sehingga aku dapat merasakan dengan jelas napasnya berembus.

Dan, hal pertama yang ingin kulakukan pada saat itu adalah melumat bibirnya. Terbayang setiap kali anak rambut di dagunya bersentuhan dengan kulitku sehingga kerap menimbulkan sensasi geli.

“Dalam kasus yang aku sebutkan tadi, secara tidak sengaja kamu udah membantu orang lain yang punya urusan sama buronan itu. Mereka cukup interogasi kamu, berbagi infomasi, selanjutnya tinggal cari keberadaan Si Buronan.”

“Social media makes nobody to be somebody.”

“Itu kelebihannya. Kekurangannya?” Pandangannya lurus ke arah lautan. Dia meneruskan, “Orang bakal beranggapan kamu salah pergaulan. Orang juga bisa berpikir kamu sekongkol sama buronan itu.”

Semua perandaian itu membuatku sadar kenapa Texas tidak peduli terhadap Facebook dan semacamnya. Ada banyak cara yang lebih baik untuk berbagi dan menerima infomasi tanpa perlu mengandalkan jejaring sosial. Dia bilang, pesan elektronik lebih efektif meskipun terbilang konservatif.

“Terus gimana sama mereka yang berhubungan jarak jauh?” Aku masih sempat menyanggah, “E-mail kan nggak cukup. Mereka pasti butuh video-chat kayak Skype...”

“Then built trust with each other.” Texas tersenyum dan kembali menekuni bukunya.

Itulah alasan mengapa aku mengagumi sosok Texas sampai saat ini.

Texas selalu menilai segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Pola pikirnya sulit untuk diprediksi. Bahkan, apa pun yang dia lakukan tak pernah salah di mataku. Dia selalu mempertimbangkan setiap konsekuensi yang akan dia terima sebelum bertindak.


Dan aku sepenuhnya percaya, dia tidak akan pernah mengingkari ucapannya.[]