Write. Anywhere. Anytime.

Sabtu, 02 Mei 2015

Chapter 5 - Pantai, Sosial Media, dan Kamu

“...Please leave a message after the beep.”

Seribu kali aku menghubungi Texas, seribu kali pula suara itu mengiang di telingaku. Suara operator sialan yang membuatku sadar bahwa jarak adalah sesuatu yang sulit untuk dikalahkan. Tak peduli seberapa besar aku berusaha, rindu yang kutanam tak akan pernah terbalas.

Aku sudah memeriksa seluruh jejaring sosial yang dimilikinya. Dimulai dari Twitter; Facebook, Instagram, hanya untuk memastikan Texas sempat mengunggah sesuatu dalam beberapa waktu belakangan. Namun tetap saja, dia tidak pernah berada di sana. Texas bukan seorang internet-addict seperti orang-orang pada umumnya.

Terkenang lagi saat aku dan Texas berlibur di salah satu pantai di Pulau Bangka. Pantai Parai namanya. Di bawah terik matahari bulan Juni, ditemani suara ombak yang berderu dan nyanyian burung laut, rasanya tak ada yang lebih indah selain dapat berdua bersama Texas di pagi yang cerah itu.

Kami berdua berbaring di atas pasir putih yang sehalus gula. Keheningan membuat kami hanyut dalam kesibukan masing-masing; Texas dengan buku bacaannya, sementara aku berkutat di depan layar Blackberry-ku. Angin yang berdesir dari belakang membuat leherku dihujani rasa sejuk. Pelepah pohon kelapa ikut bergoyang ke sana kemari mengikuti arah angin bertiup.

Di antara kebisuan yang menyatu dengan simfoni alam itu, aku memamerkan satu artikel yang kutemui di salah satu  portal berita ternama di Indonesia. Artikel itu berisi tentang seorang pelajar SMA asal Bogor yang divonis penjara lantaran menulis sesuatu yang kurang pantas di Facebook. Tulisan itu ternyata memancing emosi sehingga terjadi aksi saling memaki antara kedua belah pihak. Tidak ada yang menyangka kasus tersebut akhirnya ditangani polisi dan berujung di pengadilan.

“All those fucking social networks can make anything more difficult.” Begitu katanya dulu.

Aku melepas Blackberry-ku dari genggaman dan meletakkannya asal-asalan di sebelahku. “Bukannya kamu selalu peduli sama hal-hal yang berbau hukum?” Menyinggungnya pada salah satu pihak terkait yang terlibat kasus pencemaran nama baik lewat Facebook.

“Tergantung kasusnya.” Texas menutup buku Pride and Prejudice yang dibacanya sejak tadi. Memandangku dari balik kacamata hitam itu sambil berkata, “Kontroversi yang terjadi pada media sosial biasanya bersumber dari hal sepele. Semata-mata cari sensasi. Mereka harusnya tahu, internet seperti pisau bermata dua. Punya kelebihan, tapi bisa juga sangat merugikan.”

Dia bilang, segalanya dapat menjadi mungkin lewat dunia maya. Orang biasa bisa terkenal lewat Youtube, selebritis semakin populer dengan bantuan fanpage di Facebook. Begitu dahsyatnya pengaruh sosial media di kehidupan nyata, sampai kita sering melupakan; hal-hal demikian bisa menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.

“Contoh kecilnya kayak gini nih – “ Texas menepuk-nepuk kedua telapak tangannya yang ditempeli pasir pantai sambil berkata, “Kamu posting foto bareng seseorang ke Facebook. Padahal kamu nggak tahu kalau teman kamu itu pernah melakukan tindak kriminal, sebut saja kleptomania atau tukang bawa kabur uang orang.”

“Enak aja! Aku nggak setolol itu juga, kali.” Memutar kedua bola mata dan siap mencibir. “Aku tahu mana yang bersifat umum dan mana yang privat. Lagi pula, aku nggak pernah temenan sama tipe orang kayak gitu.”

“Sekadar perumpamaan. Don’t get me wrong, Babe.” Dia menyeringai lebar, tahu bahwa kisahnya terinterupsi oleh cibiranku. Tapi, Texas sama sekali tidak merasa keberatan. Dia malah mendekatkan wajahnya pada wajahku, sehingga aku dapat merasakan dengan jelas napasnya berembus.

Dan, hal pertama yang ingin kulakukan pada saat itu adalah melumat bibirnya. Terbayang setiap kali anak rambut di dagunya bersentuhan dengan kulitku sehingga kerap menimbulkan sensasi geli.

“Dalam kasus yang aku sebutkan tadi, secara tidak sengaja kamu udah membantu orang lain yang punya urusan sama buronan itu. Mereka cukup interogasi kamu, berbagi infomasi, selanjutnya tinggal cari keberadaan Si Buronan.”

“Social media makes nobody to be somebody.”

“Itu kelebihannya. Kekurangannya?” Pandangannya lurus ke arah lautan. Dia meneruskan, “Orang bakal beranggapan kamu salah pergaulan. Orang juga bisa berpikir kamu sekongkol sama buronan itu.”

Semua perandaian itu membuatku sadar kenapa Texas tidak peduli terhadap Facebook dan semacamnya. Ada banyak cara yang lebih baik untuk berbagi dan menerima infomasi tanpa perlu mengandalkan jejaring sosial. Dia bilang, pesan elektronik lebih efektif meskipun terbilang konservatif.

“Terus gimana sama mereka yang berhubungan jarak jauh?” Aku masih sempat menyanggah, “E-mail kan nggak cukup. Mereka pasti butuh video-chat kayak Skype...”

“Then built trust with each other.” Texas tersenyum dan kembali menekuni bukunya.

Itulah alasan mengapa aku mengagumi sosok Texas sampai saat ini.

Texas selalu menilai segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Pola pikirnya sulit untuk diprediksi. Bahkan, apa pun yang dia lakukan tak pernah salah di mataku. Dia selalu mempertimbangkan setiap konsekuensi yang akan dia terima sebelum bertindak.


Dan aku sepenuhnya percaya, dia tidak akan pernah mengingkari ucapannya.[]
Be First to Post Comment !
Posting Komentar