“...Please leave a
message after the beep.”
Seribu kali aku
menghubungi Texas, seribu kali pula suara itu mengiang di telingaku. Suara
operator sialan yang membuatku sadar bahwa jarak adalah sesuatu yang sulit
untuk dikalahkan. Tak peduli seberapa besar aku berusaha, rindu yang kutanam
tak akan pernah terbalas.
Aku sudah memeriksa
seluruh jejaring sosial yang dimilikinya. Dimulai dari Twitter; Facebook,
Instagram, hanya untuk memastikan Texas sempat mengunggah sesuatu dalam beberapa
waktu belakangan. Namun tetap saja, dia tidak pernah berada di sana. Texas
bukan seorang internet-addict seperti orang-orang pada umumnya.
Terkenang lagi saat aku
dan Texas berlibur di salah satu pantai di Pulau Bangka. Pantai Parai namanya.
Di bawah terik matahari bulan Juni, ditemani suara ombak yang berderu dan
nyanyian burung laut, rasanya tak ada yang lebih indah selain dapat berdua
bersama Texas di pagi yang cerah itu.
Kami berdua berbaring di atas pasir putih yang
sehalus gula. Keheningan membuat kami hanyut dalam kesibukan masing-masing;
Texas dengan buku bacaannya, sementara aku berkutat di depan layar
Blackberry-ku. Angin yang berdesir dari belakang membuat leherku dihujani rasa
sejuk. Pelepah pohon kelapa ikut bergoyang ke sana kemari mengikuti arah angin
bertiup.
Di antara kebisuan yang
menyatu dengan simfoni alam itu, aku memamerkan satu artikel yang kutemui di
salah satu portal berita ternama di
Indonesia. Artikel itu berisi tentang seorang pelajar SMA asal Bogor yang
divonis penjara lantaran menulis sesuatu yang kurang pantas di Facebook.
Tulisan itu ternyata memancing emosi sehingga terjadi aksi saling memaki antara
kedua belah pihak. Tidak ada yang menyangka kasus tersebut akhirnya ditangani
polisi dan berujung di pengadilan.
“All those fucking social
networks can make anything more difficult.” Begitu katanya dulu.
Aku melepas Blackberry-ku
dari genggaman dan meletakkannya asal-asalan di sebelahku. “Bukannya kamu
selalu peduli sama hal-hal yang berbau hukum?” Menyinggungnya pada salah satu
pihak terkait yang terlibat kasus pencemaran nama baik lewat Facebook.
“Tergantung kasusnya.”
Texas menutup buku Pride and Prejudice yang dibacanya sejak tadi. Memandangku
dari balik kacamata hitam itu sambil berkata, “Kontroversi yang terjadi pada
media sosial biasanya bersumber dari hal sepele. Semata-mata cari sensasi.
Mereka harusnya tahu, internet seperti pisau bermata dua. Punya kelebihan, tapi
bisa juga sangat merugikan.”
Dia bilang, segalanya
dapat menjadi mungkin lewat dunia maya. Orang biasa bisa terkenal lewat
Youtube, selebritis semakin populer dengan bantuan fanpage di Facebook. Begitu
dahsyatnya pengaruh sosial media di kehidupan nyata, sampai kita sering
melupakan; hal-hal demikian bisa menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.
“Contoh kecilnya kayak
gini nih – “ Texas menepuk-nepuk kedua telapak tangannya yang ditempeli pasir
pantai sambil berkata, “Kamu posting foto bareng seseorang ke Facebook. Padahal
kamu nggak tahu kalau teman kamu itu pernah melakukan tindak kriminal, sebut
saja kleptomania atau tukang bawa kabur uang orang.”
“Enak aja! Aku nggak
setolol itu juga, kali.” Memutar kedua bola mata dan siap mencibir. “Aku tahu
mana yang bersifat umum dan mana yang privat. Lagi pula, aku nggak pernah
temenan sama tipe orang kayak gitu.”
“Sekadar perumpamaan. Don’t
get me wrong, Babe.” Dia menyeringai lebar, tahu bahwa kisahnya terinterupsi
oleh cibiranku. Tapi, Texas sama sekali tidak merasa keberatan. Dia malah
mendekatkan wajahnya pada wajahku, sehingga aku dapat merasakan dengan jelas
napasnya berembus.
Dan, hal pertama yang
ingin kulakukan pada saat itu adalah melumat bibirnya. Terbayang setiap kali
anak rambut di dagunya bersentuhan dengan kulitku sehingga kerap menimbulkan
sensasi geli.
“Dalam kasus yang aku
sebutkan tadi, secara tidak sengaja kamu udah membantu orang lain yang punya
urusan sama buronan itu. Mereka cukup interogasi kamu, berbagi infomasi,
selanjutnya tinggal cari keberadaan Si Buronan.”
“Social media makes
nobody to be somebody.”
“Itu kelebihannya.
Kekurangannya?” Pandangannya lurus ke arah lautan. Dia meneruskan, “Orang bakal
beranggapan kamu salah pergaulan. Orang juga bisa berpikir kamu sekongkol sama
buronan itu.”
Semua perandaian itu
membuatku sadar kenapa Texas tidak peduli terhadap Facebook dan semacamnya. Ada
banyak cara yang lebih baik untuk berbagi dan menerima infomasi tanpa perlu
mengandalkan jejaring sosial. Dia bilang, pesan elektronik lebih efektif
meskipun terbilang konservatif.
“Terus gimana sama mereka
yang berhubungan jarak jauh?” Aku masih sempat menyanggah, “E-mail kan nggak
cukup. Mereka pasti butuh video-chat kayak Skype...”
“Then built trust with
each other.” Texas tersenyum dan kembali menekuni bukunya.
Itulah alasan mengapa aku
mengagumi sosok Texas sampai saat ini.
Texas selalu menilai
segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Pola pikirnya sulit untuk
diprediksi. Bahkan, apa pun yang dia lakukan tak pernah salah di mataku. Dia
selalu mempertimbangkan setiap konsekuensi yang akan dia terima sebelum
bertindak.
Dan aku sepenuhnya
percaya, dia tidak akan pernah mengingkari ucapannya.[]
Be First to Post Comment !
Posting Komentar