Sebagian orang kerap kali
mengaitkan momen ulang tahun dengan pengurangan sisa umur. Saya sering
mendengar sejumlah harapan yang diucapkan untuk mereka yang sedang berulang
tahun – sehat selalu, semakin dewasa, semoga panjang umur, dan bahagia. Terdengar
seperti lagu, ya? Tapi entah kenapa, kalimat klise seperti itu dapat membuat
siapa pun tersentuh.
Mari kita enyahkan sejenak
filosofi ulang tahun ini sejenak dan mengenang momen paling berharga dalam
hidup kita. Menghidupkan masa lalu. Saya sering melakukannya, dengan atau tanpa
teman. Memang tidak ada yang menarik dengan hal itu. Rasanya seperti membuang-buang
waktu saja. Namun, ada semacam keseruan setiap kali saya menjelajahi koridor
memori dan bertabrakan dengan secuil cerita lampau.
Itu adalah pertama kalinya kami
memulai pertemanan. Facebook sangat berjaya pada saat itu. Lewat perkenalan
singkat, coretan di dinding profil masing-masing, komentar nyeleneh di album
foto; sudah menjadi kebiasaan kami sehari-hari. Mungkin di akhir tulisan ini,
saya harus memberi credit khusus untuk
Mark Zuckerberg yang telah menciptakan Facebook.
Saya sempat menjulukinya sebagai
The Most Talkative Person. Bagaimana tidak? Dia bisa berceloteh ratusan kalimat
di saat saya hanya mampu menuturkan sepuluh. Saya sering berbicara padanya
tentang masalah percintaan, karier, passion,
bisnis, teknologi, edukasi, dan entertainment.
Dia tahu bagaimana caranya menempatkan diri pada sejumlah aspek yang berbeda.
Mungkin karena dia seorang Geminian. Biasanya, orang Gemini itu supel dan
fleksibel.
Pada suatu siang yang terik di
pengujung bulan Maret, kami meninggalkan kos dengan pintu pagar berwarna hijau
itu. Menyusuri gang kecil yang terhubung langsung ke jalan raya Ujung Berung.
Atmosfer dipenuhi asap kendaraan. Saya mengayuhkan kaki lebih cepat, mencari
tempat untuk menanti bus Damri jurusan Kebon Kalapa, atau sekadar berteduh dari
panasnya matahari. Sementara itu, teman saya jauh tertinggal di belakang.
Mengusap peluh yang membanjiri keningnya dengan kain bercorak batik khas Sunda.
Kepalanya tertutup tudung sweater.
Dia selalu bermasalah dalam urusan menyeimbangkan kecepatan.
Sebuah pohon yang berdiri di
depan bengkel kusam menjadi tempat persinggahan kami. Saya sempat menebak, bus
Damri akan mengalami sedikit keterlambatan. Lalu lintas pada jam makan siang
dapat mengacaukan segalanya. Selagi menunggu kedatangan bus Damri, saya
membahas kembali tentang insiden mengerikan yang kami alami tadi malam. We were kidnapped by stranger, stepped into
his car, til we found the way home. Sedikit pun kami tidak pernah menduga
hal itu dapat terjadi. Meskipun, ya – kami sempat terpukau oleh Nissan March
putih yang dikendarainya.
Butuh waktu lima belas menit
sampai bus berwarna biru putih itu muncul di hadapan kami. Seluruh kursi
penumpang tampak penuh. Tak ada lagi kesempatan untuk duduk bersebelahan dan
memperbincang kejadian tadi malam. Kami tak punya pilihan selain berdiri di
antara himpitan mahasiswa UIN bertampang Islami.
Sebuah pesan baru tiba-tiba
muncul di layar ponsel saya.
Langsung nonton atau makan dulu, Buk?
Saya bergegas menekan tombol
alfabet dan membalas.
Makan dulu aja. Di Giggle Box.
***
Ada beberapa hal di dunia ini
yang tak bisa dihindari, tak peduli seberapa besar kita berusaha. Sebagai
contohnya, suara sopir angkot Kalapa yang meneriakkan tujuan keberangkatannya. Malam
telah naik sejak satu jam lalu. Kawasan Merdeka dihujani cahaya remang oleh
sejumlah lampu jalan. Arloji di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul delapan.
Sebagian besar angkot jurusan Kalapa memang beroperasi 24 jam. Tapi, bus
Primajasa di terminal Leuwi Panjang sana hanya tersedia sampai pukul sembilan.
“I gotta go now.”
Ada getir yang terasa ketika
kalimat itu terlontar dari mulut sahabat saya. Dia membenarkan letak ranselnya.
Ransel yang hanya berisi dua helai kaus, charger,
dan aneka peralatan kecantikan. Ponselnya telanjur mati sejak di dalam bioskop
tadi.
Pada saat yang sama, benak saya
terputar lagi pada sosok Iko Uwais, Mad Dog, dan Julie Estelle. Film The Raid
berhasil membuat saya menjerit dengan kondisi perut melilit. Tapi, keseluruhan
film itu tidak ada apa-apanya dibandingkan drama kehilangan tiket masuk studio
XXI. Memang kesalahan saya yang kelewat teledor lantaran menyimpan tiket itu asal-asalan.
Entah di mana dan bagaimana tiket itu bisa hilang, saya pun tidak ingat. Satu
hal yang saya tahu, tiket itu sudah menghilang dari genggaman saat kami tiba di
Giggle Box.
Terus terang perasaan saya campur
aduk pada waktu itu. Ada rasa bersalah, sekaligus pasrah. Bersalah karena telah
mengacaukan agenda siang ini dalam satu kedipan mata. Pasrah karena saya tahu;
saya patut mengganti tiket itu dua kali lipat, meskipun pada akhirnya kami
masih diizinkan masuk ke Studio berkat bantuan manajer dan kesaksian si Kasir.
Terima kasih, Empire XXI.
”Dont forget to text me when you’re at home.” Menariknya ke dalam
pelukan sebelum dia benar-benar melangkah ke dalam angkot hijau itu.
Dia mengiyakan permintaan saya
dengan satu senyuman. Senyum yang seolah-olah menunjukkan, everything will be fine – sooner or later.
Dan semua itu tidak pernah salah.
Karena bagi kami, sebuah perpisahan
bukanlah akhir dari segalanya. Saya sudah pernah mengalami hal itu
berkali-kali. Making plans, waving
goodbye, memulai hidup yang baru, tapi pada akhirnya – waktu selalu membawa
kami pada satu pertemuan. Terminal Kampung Rambutan, Mangga Dua Square, Bandung
Timur Plaza, dalam momentum yang berbeda, segalanya masih terasa sama. Senyum
kami melayang di udara, dua tawa melebur jadi satu, di antara ingar-bingar
suara.
Saya selalu berharap jarak dapat
menguatkan, meskipun waktu selalu membuat perubahan. Tak peduli di mana pun
kita berada nanti, pasti ada satu atau dua hal yang akan kita rindukan. Salah
satunya; kebersamaan.
Selamat menjadi genap. Semoga
selalu berkecukupan.
Sincerely,
Joy
Be First to Post Comment !
Posting Komentar