Write. Anywhere. Anytime.

Jumat, 21 April 2017

Sayonara, Mewko - Tentang Pertemuan dan Kehilangan

Apa yang pertama kali terlintas di pikiranmu ketika mendengar bulan April? Langit biru dan matahari yang berpijar cerah? Warna-warni bunga yang bersemi? Atau justru hujan yang sesekali datang dan tak ingin pergi?

Bagi saya, April tak ayalnya seperti hari-hari yang penuh kejutan. Ada-ada saja peristiwa yang terjadi di luar ekspektasi. Dan anehnya, beberapa peristiwa itu identik dengan awan kelabu, hujan air mata, mendung dan hujan yang sesungguhnya.

Saya masih ingat dengan jelas rangkaian peristiwa pada Sabtu di siang yang dipenuhi rintik gerimis itu. Bau asap kendaraan dan aroma aspal yang basah, kardus-kardus terbengkalai, dan seekor anak kucing yang bersembunyi di balik ember kosong. Di bawah payung merah yang melindungi kepala saya dari sisa hujan, saya memperhatikan sosoknya yang mungil. Dia menatap saya iba. Saya mengajaknya berbicara dengan bahasa yang (mungkin) tidak dia mengerti, membujuknya agar tetap tenang; namun semua usaha itu tak mampu membuat isak tangisnya terhenti.

Anak kucing itu terlihat seperti kucing-kucing kecil pada umumnya. Keempat kaki yang ringkih, sepasang bola mata abu-abu dan bibir yang mungil. Dia memiliki tubuh dengan bulu putih yang sangat dominan, juga ekor panjang yang hampir sama seperti ukuran tubuhnya. Satu hal yang membuat dia tampak istimewa, ada sebuah tanda berwarna hitam di atas mata kanannya.

Hal itu serta-merta membuat saya ingin memilikinya.

Maka, tanpa memikirkan risiko yang akan saya terima, saya mengambil keputusan untuk mengadopsinya. Tangisnya berhenti setelah itu. Yang terdengar hanyalah suara dengkuran yang menandakan bahwa dia nyaman berada di dekat saya.

Empat hari berlalu dengan sejumlah kegiatan yang kami lalui bersama. Dan selama empat hari, saya belum menemukan satu nama yang tepat untuk dirinya. Saya kerap memanggilnya manis, dan dia akan membalas panggilan saya dengan suara yang ceria, Suara yang masih sama seperti pertama kali saya mendengarnya. Dia selalu berlari ke mana pun kaki saya melangkah, merengek setiap kali saya lupa memberinya makan.

Untuk beberapa saat, saya memahami seperti apa rasanya menjadi orang tua. Saya jadi terbiasa meninabobokannya sebelum dia terlelap; terbangun di malam buta hanya untuk menemaninya buang air besar; menerima cakarannya setiap kali saya mengabaikan kehadirannya di sebelah saya. Dan tidak jarang saya menjadi pengganggu di saat dia sedang terlelap; menggelitik perut buncitnya, memelintir telinganya yang lebar, sampai akhirnya dia terpaksa menyudahi tidur dan kembali bermain bersama saya.

Empat hari yang terasa manis sebelum kecelakaan itu menimpa dirinya.

Sore itu, tingkah lakunya tampak aneh dan tak bersahabat. Saya tidak yakin apa yang telah terjadi karena sebelumnya dia masih baik-baik saja. Pagi hari dia masih makan seperti biasa. Dia masih sempat berlarian sebelum saya akhirnya berangkat kerja. Setelah saya berusaha mengumpulkan fakta dan bertanya ke sana kemari, akhirnya saya tahu—tenggorokannya tercekik tulang yang membuat suaranya parau dan napasnya tersengal-sengal. Dan yang paling membuat saya ikut terluka, saya tidak tahu bagaimana menyelamatkannya selain membawanya ke dokter hewan.

Betapa saya bertekad menyelamatkan hidupnya saat itu juga. Ingin dia tetap sehat, ingin melihatnya tumbuh besar dan bermain bersama saya dalam beberapa hari ke depan. Dan saya rela melakukan apa saja asalkan dia bisa tertolong dari penderitaannya.

Di hadapan dokter hewan yang tengah menangani kucing saya, tak henti-hentinya saya membuang muka karena saya tak tega mendengar rintihannya yang memilukan; tak sampai melihat hati melihat ekspresi wajahnya yang menegang, matanya yang nyaris keluar, dan aneka gestur yang menunjukkan bahwa dia tidak nyaman diperlakukan demikian. Tapi, hanya itu satu-satunya jalan. Mengambil langkah operasi dengan cara memberi obat bius sama saja seperti membunuhnya perlahan. Tulang itu mungkin bisa ditarik keluar dari tenggorokannya, namun nyawanya tak akan mungkin terselamatkan.

Susah payah saya menelan kenyataan tersebut. Meskipun proses penyembuhannya hanya berlangsung tidak lebih dari 30 menit, tetap saja saya merasa khawatir terhadap dirinya. Apakah dia akan baik-baik saja dalam beberapa hari ke depan? Akankah dia benar-benar sehat? Mungkinkah dia kembali ceria setelah ini?

Tuhan tahu saya telah berusaha.

Dan saya akan terus berusaha untuk menjaga dirinya semampu saya.

Sepulangnya dari dokter hewan, saya langsung menamainya Mewko. Saya tidak tahu dari mana gagasan itu berasal, tapi yang pasti—ia terdengar lucu untuk seekor kucing betina. Dia pun sama sekali tak keberatan dengan nama itu.

Hari setelah kunjungan ke dokter hewan itu, saya masih sering dihantui perasaan khawatir dan cemas yang tak beralasan. Saya bukan tipikal orang yang bisa percaya dengan mudah terhadap satu hal. Saya tipikal orang yang analisis dalam segala aspek. Dan saya mulai penasaran, kapan Mewko bisa mengeluarkan suara seperti sediakala? Kenapa Mewko masih tampak lesu setiap kali saya mengajaknya bermain?

Apakah suara Mewko akan hilang secara permanen setelah penyembuhan itu?
Apakah mungkin dia tidak bisa bertahan lama?
Apakah dia baik-baik saja?


Sekalipun saya bertanya kepada Mewko, saya tidak akan pernah tahu jawabannya. Dia tidak mengerti apa yang saya ucapkan. Dia juga tidak bisa bicara menggunakan bahasa yang saya gunakan. Jadi, perlahan-lahan saya mengusir aneka hipotesis tersebut dari kepala saya. Berusaha meyakinkan diri saya bahwa Mewko akan baik-baik saja.

Namun, kamu tak akan pernah tahu kapan harus memadamkan harapanmu.

Seseorang menelepon saya dan memberi tahu keadaan Mewko yang sesungguhnya. Saya sempat tidak percaya pada apa yang disampaikan orang tersebut. Lagi pula, saya ingat dengan baik, beberapa jam sebelum berangkat kerja, saya masih sempat memberinya makan dan menyuapinya susu—meskipun dia harus memuntahkan dari mulutnya.

Karena ingin membuktikan kabar tersebut, saya memberanikan diri pulang pada jam makan siang dan mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Dan kalimat klise itu kembali saya senandungkan di dalam kepala saya—everything will be alright, Joy. Anehnya, it didn’t work properly. Di saat-saat demikian, logika kerapkali mengalahkan perasaan. Itulah yang mereka namakan accepting reality.
Setibanya saya di muka rumah, saya terperangah bukan kepalang dengan apa yang saya lihat.
Mewko, dengan bulu putihnya yang bersih, terkapar tak berdaya di atas seonggok kardus. Sepasang matanya terpejam meskipun tak tertutup erat. Saya menghampirinya dengan langkah pelan, dan berusaha mengucapkan kalimat klise tadi berulang-ulang. Tapi faktanya, tidak ada yang baik-baik saja; ini adalah sesuatu yang tidak saya inginkan.

Saya meraba bantalan tangannya yang pucat. Dingin. Menggelitik perutnya beberapa kali, berharap tindakan saya bisa membangunkan tidurnya. Tapi tidak ada reaksi sama sekali yang saya terima. Mewko bungkam dalam kedamaian yang dia miliki. Atau barangkali, saya terlalu tuli untuk mendengar suaranya yang lirih. Saya tidak sadar apakah dia sempat menjawab panggilan saya dan meminta saya untuk merengkuh tubuhnya.

Mewko, saya harap kamu memaafkan saya karena saya mengabaikan permintaanmu.
Segenap fragmen itu kembali berputar di koridor memori saya. Hari di mana saya menatapnya untuk pertama kali; seorang pria di bawah lindungan payung merah, jatuh cinta kepada sepasang mata abu-abu dan tanda hitam di atas mata kanan yang dimiliki seekor kucing kecil.

Saya akan selalu ingat malam di mana kamu merengek minta ditemani buang air di dalam kamar mandi. 
Saya akan selalu ingat saat kamu dengan gemasnya mencakar setiap anggota saya karena saya tidak kunjung bangun.
Saya akan selalu ingat pada lengking suaramu yang menyerupai chord A major.
Saya akan selalu jatuh cinta pada setiap kenakalan dan keempat kakimu yang ringkih.
Dan saya tidak akan pernah lupa air matamu sewaktu dokter itu berusaha menyembuhkanmu.


Sekali lagi, maaf yang sedalam-dalamnya.
Maaf karena saya belum bisa menjadi majikan yang baik.
Maaf karena sering menelantarkan kamu selama saya bekerja.
Maaf apabila rengekan kamu seringkali tidak mampu saya sanggupi.
Maaf untuk fasilitas di kamar yang seadanya.
Maaf karena sering mengusik waktu tidurmu,
Maaf karena saya terlalu lalai sehingga kamu tiba-tiba hendak pergi.
Maaf apabila kepergianmu masih belum saya ikhlaskan.


Dan, terima kasih karena sudah bersedia dibawa pulang di hari Sabtu yang rintik itu. Terima kasih atas enam hari yang menyenangkan dan tak terlupakan bersama kamu. Things come and go, but memories about you will still remain, Mewko. Berisitarahatlah dengan tenang.